Komunitas Bara Nyala Hadirkan Diskursus Politik Di ruang Publik

Kota Jambi, Pada Jum’at (12/09/25) pukul 15.00 wib bertempat di D’Pathi Cafe jalan Kapten Ahmad Chatib RT 11 Pematang Sulur, Telanaipura, telah diadakan sebuah acara Diskusi Panel dengan tema “Menakar Sentimen Publik; Relevansi Demonstrasi di Jalanan Pada Era Digitalisasi”. Diskusi ini dibuat atas inisiatif komunitas warga Bara Nyala. Komunitas yang didirikan di Jambi pada tanggal tiga September yang lalu, mengusung baris tera Transparansi, Reformasi dan Empati. Pada kesempatan perkenalan awalnya, Hendra Malik (salah satu dari lima inisiator komunitas Bara Nyala) menggambarkan Bara Nyala sebagai Nyala Pijar dalam ruang diskursus edukasi sosial-politik publik yang gelap. “Bara Nyala adalah nyala pijar yang dijaga oleh para warganya untuk menerangi ruang diskursus edukasi sosial-politik publik yang gelap oleh kerahasiaan dan narasi-narasi yang misleading”. Tegas nya sembari menyeruput es kopi ditengah hawa panas matahari yang merambat masuk diruang udara acara kala itu.

Acara tersebut diisi oleh pemateri-pemateri yang mumpuni dibidangnya masing-masing, yang disebut sebagai Narator Warga, ketika ditanya alasan kenapa disebut sebagai Narator Warga, ia berkelakar bahwa penggunaan nama pemateri atau pembicara itu sudah bukan lagi zamannya, “kalau pemateri atau pembicara itu biasa digunakan di kampus-kampus, kami-kami ini sudah bukan lagi zamannya memakai budaya itu, sejujurnya kami ingin memposisikan diri sebagai warga masyarakat, sekarang zamannya warga yang mengorganisir dan terorganisir, kami ingin ciptakan budaya diskursus baru di ruang publik Jambi ini”, tukasnya sambil tertawa tipis. Dari pantauan tim wartawan Indonesia Muda Menyala (Inala), ada tiga Narator Warga yang hadir pada acara kali ini, mereka adalah : DR. Pahrudin HM,M.A., (dari kalangan akademisi dan peneliti dari Public Trust Institute), Riri Ferdiansyah (dari kalangan musisi), dan Risma Pasaribu (dari kalangan aktivis).

Acara yang direncanakan dimulai pukul 14.00 wib ini, dikarenakan pertimbangan keterlambatan dari beberapa Narator Warga untuk hadir, sayangnya harus terlaksana satu jam terlambat dari perencanaan, sehingga dimulai pukul 15.00 wib. Diawali dengan pertunjukkan slide pada layar proyektor dari nama dan foto korban demonstrasi besar di kota-kota pada 28-31 Agustus 2025 yang lalu, yang memprotes kenaikkan tunjangan DPR RI. Lalu, dilanjutkan dengan pembacaan puisi dari salah satu relawan warga Bara Nyala yang berjudul Bunga dan Tembok karya Wiji Thukul, penyair sekaligus aktivis yang menjadi korban penghilangan paksa pada tahun 1998 yang hingga kini, masih belum ditemukan.

Pasca pembacaan puisi tersebut, dilanjutkan dengan pembacaan essay tulisan dari Hendra Malik sebagai salah satu inisiator yang menggambarkan kelahiran komunitas Bara Nyala dan misi yang diembannya. Sekali lagi ia menekankan pentingnya dilektika dalam diskursus sosial-politik dalam ruang publik. “Warga punya hak menilai dan mengetahui adanya alternatif narasi-narasi yang dibangun oleh satu pihak dengan melibatkan pengamat atau narator yang kredibel dan dapat menjernihkan situasi seterang-terangnya.” Tegasnya sebelum membacakan isi dari essai yang ditulisnya. Ia mengharapkan, kedepan Bara Nyala bisa secara organik menjadi alternatif pijakan atau dasar bagi warganya dalam mengambil keputusan dan keberpihakan di era informasi yang banyak misleading dan chaotic.

Setelah itu, acara secara resmi dan santai dibuka oleh moderator yang langsung melanjut alihkan mikrofon kepada Narator Warga yang pertama, yaitu Risma Pasaribu. Ia menjelaskan bahwa nilai empiris atau nilai pengamatan dari sebuah unjuk rasa atau demonstrasi itu adalah pentingnya menjaga semangat dan amarah dalam barisan. “Saya yakin jika kawan-kawan memahami betapa pentingnya menjaga semangat dan amarah dalam berunjuk rasa, tujuan-tujuan suci itu akan tercapai suatu saat nanti”, tukasnya sambil menyala-nyala. Aktifis perempuan yang akrab disapa Risma ini, juga aktif sebagai Bendahara DPW PWDPI (Dewan Perwakilan Wilayah Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia) Jambi. Setelah itu dilanjutkan dengan Narator Warga yang kedua, Riri Ferdiansyah. Riri (sapaan akrabnya) mengingatkan pentingnya untuk terus berekspresi dengan kreatif. “Cara menyampaikan pendapat diera digital ini sangat banyak sekali ragamnya, kalau dari perspektif musisi tentu kita mengungkapkannya dengan nada-nada seperti nada minor, bagi kami yang geram melihat realita saat ini, kami mainkan dengan nada-nada minor. Lalu bisa juga dengan berkarya baik itu bentuk lagu, gambar visual penuh makna, atau simbol-simbol. Karena tanda atau simbol sifatnya arbitrer, suka-suka aja.” Tegasnya dengan senyum kecil dan nada santai.

Setelah itu sesi dilanjutkan dengan dialog interaktif santai bersama peserta. Ditengah sesi, turut hadir pula DR. Pahrudin HM, M.A,. Salah satu peserta diskusi mempertanyakan relevansi demonstrasi di jalanan pada era digitalisasi, yang setelahnya direspon oleh Risma dengan santai, “tentu saja sangat relevan”. “ Kawan-kawan betul kita tentu saja bisa terkoneksi langsung dengan anggota dewan dan pejabat-pejabat kita via sosial media dan lainnya, namun pada akhirnya selalu saja mereka beralasan jika ditanyakan perihal-perihal yang menyangkut pekerjaan-pekerjaan yang tidak beres, dengan dalih belum lihat pesan atau apalah. Pentingnya demonstrasi di jalanan adalah untuk mempertegas dan menyaksikan langsung tanggapan dari petugas-petugas rakyat yang sedang menjabat itu, dan kita juga bisa langsung jawab kalau ditanyo apo nian selero kau ni!.” Tukas risma sambil tersenyum sumringah dan mengundang tawa dari para peserta.

Acara berlanjut hingga pukul 17.00 Wib, diakhiri dengan pembacaan puisi karya WS Rendra dan foto bersama. (*)

*Silakan Share