Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, Jum’at 21 Maret 2025
Assalamu’alaikum wr,wb
Ibu2/Bapak2/Adik2 pembaca setia dimana saja berada. Saya sudah berjanji Jum’at kemaren mau menulis Jum’at ini tentang konsep ‘Peleburan Cakrawala’, sekarang janji itu saya tepati, takut berdosa apalagi di bulan puasa. Judulnya Syrup Ketemu Air (jangan diaduk), manis rasanya, manis tampilannya, tapi masing2 tetap menjadi diri sendiri (terpisah). Hal serupa dapat pula dikiaskan pada konsep filsafat Gadamer yang dinamai dengan Peleburan Cakrawala. Apa maksudnya?
Bapak/Ibuk2/Adik2 tentu pernah dulu pacaran…mungkin. Duduk berdua, berjalan berdua, senyum berdua, jajan berdua, saling bertanya, berbagi cerita, ceria bersama karena dunia milik berdua…biasanya dari hati yang polos yang paling dalam. Tetapi itu terlalu romantis. Saya sekarang membawa gambaran romantis tersebut ke hermeneutis. Peleburan Cakrawala dalam filsafat mirip seperti kisah di atas, tetapi ia lebih merupakan dialog antara pembaca dan teks, dialog yang serius, logis, radikal, ‘blak2 an’, bukan romantis.
Maka kita buat pertanyaan berikut: apa yang dimaksud dengan Peleburan Cakarawala? Apa gunanya membicarakan Peleburan Cakrawala? Sebetulnya cakrawala apa yang ada dalam teks? Bagaimana sikap yang bijak dalam membaca teks? Bagaimana pula Peleburan Cakrawala bila dikaitkan dengan ayat dan Hadis? Ini penting untuk dijelaskan pada pembaca semua, mudah2an bermanfaat sebelum anda betul2 mengaduk syrup dengan air waktu berbuka puasa nanti.
Cakrawala di sini kita samakan artinya dengan horizon. Menurut penjelasan F. Budi Hardiman dalam bukunya SENI MEMAHAMI (Yogyakarta: Kanisius, 2015), p. 180 mengatakan bahwa kata horizon (cakrawala) dalam pengertian fenomenologis Nietszche dan Husserl berarti ‘intensionalitas kesadaran’, tetapi bagi Heidegger dan Gadamer dibelokkan menjadi ‘situasi hermeneutis’. Bahkan bagi Gadamer, horizon sama juga dengan Prasangka. Prasangka di sini tidak sama artinya dengan sakwasangka (buruk baik). Prasangka adalah modal dasar untuk melangkah kepada pemahaman berikutnya. Misalnya, bila anda melihat suatu bangunan dari kejauhan mempunyai menara dan qubah dan berlambang bulan bintang, anda akan melangkah kepada pemahaman berikutnya yaitu: itu rumah ibadah kaum Muslimin, ayo mampir solat dulu. Itu contoh Prasangka alias Horizon, alias Cakrawala menurut saya. Bila terjadi peleburan horizon2 disebut dalam bahasa Jerman dengan HORIZONSVERMELTZUNG.
Sementara Horizon adalah batas cakupan pemandangan. Seumpama naik gunung, semakin kita mendaki gunung, semakin luas tebaran pemandangan, semakin luas cakupan alam sekitar yang dapat dilihat dibandingkan tatkala kita masih di kaki gunung. Itulah horizon.
Saya lihat dalam Youtube, ada wawancara menarik antara Susanti Kuwinto, UPH (Universitas Pelita Harapan) Jakarta dengan Prof. Yudha Thianto, gurubesar theology di Illinois, USA, asal Semarang. Prof. Yudha mengatakan bahwa suatu saat dia sedang memberi kuliah dan terheran melihat seorang mahasiswinya, sudah terlambat, masuk kelas sambil membawa setumpuk makanan siang (lunch). Makanan tersebut berisi ayam goreng ala KFC, kentang goreng, coca cola segelas penuh lalu makan seenaknya dalam kelas di saat Prof. Yudha lagi memberi kuliah. Ini hal biasa di Amerika, tetapi tidak biasa bagi budaya Indonesia katanya. Ini contoh Fusion of Horizons antara professor dengan mahasiswinya. Menerima perbedaan, tetapi tetap pada jati diri masing2, mirip syrup dengan air (tanpa diaduk) dalam gelas.
Yang lebih menarik lagi bagi saya di penghujung wawancara, Susanti Kuwinto menyimpulkan bahwa apa yang kita ketahui sebenarnya itu adalah BATASAN KECIL wawasan kita. Bagi saya kiasannya mirip tutup gelas. Apa yang kita ketahui masih seluas tutup gelas, ada pinggirnya, ada batasnya, tetapi seringkali kita tidak sadar kiasan seperti itu. Buktinya, kita sering suka beradu argumentasi, bertengkar tak mau kalah dengan orang lain. Maka tatkala kita mau menerima wawasan orang lain dalam berdialog, ini akan memperluas wawasan kita (tutup gelas) yang kecil tadi.
Kiasan lainnya ialah apa yang sudah kita ketahui mirip sebuah sorotan sinar lampu senter dalam kegelapan. Sinar yang terang oleh lampu senter itulah batasan wawasan kita. Bilamana kita mau berdialog dan mendengarkan orang lain dengan lapang dada, maka sorotan sinar senter tersebut akan lebih melebar lagi. Demikian seterusnya, semakin berdialog dengan orang lain akan membuat semakin melebar wawasan kita, mirip naik ke atas puncak gunung.
Ada cerita lucu dari seorang teman saya (orang Jawa). Dia menceritakan bahwa suatu saat di masa lampau dia akan berangkat menghadiri pesta putranya yang akan menikahi gadis orang kampung saya di Payakumbuh (negeri orang Minang), maka berangkatlah rombongan keluarganya dari perjalanan jauh menuju Sumatera Barat. Setibanya di lokasi pesta (Payakumbuh) setelah melalui perjalanan yang meletihkan, rombongan yang sudah kelaparan langsung mengambil piring, sendok, garpu, dan menyendok nasi dan lauk pauk ramai2 yang sudah tersedia di dekat tempat pesta, sontak tuan rumah (besan) dengan sopan meminta dengan sangat hormat pada rombongan agar ‘Jangan makan duluuuuuuuu….. sebab rapat Datuk2 Penghulu Adat sedang berlangsung di atas rumah pengantin..tunggu dulu…tungggu dulu.. tetapi dijawab oleh tetamu yang dari jauh ini..”Kami sudah lapar……(Sambat luwe). Ini contoh lucu dari Peleburan Cakrawala antara suku Jawa dan suku Minang. Bagi yang merasa bahwa ini kasus miliknya..saya minta maaf.
Selain contoh di atas, adanya beberapa sekolah Muhammadiyah di Kawasan Indonesia Timur tentu juga mengalami Peleburan Cakrawala. Sebab banyak dari siswi-siswinya beragama Kristen. Guru2 sekolah Muhammadiyah beserta stafnya di sana akan memahami cara berpikir keagamaan yang nampak di kalangan siswa-siswinya non-Muslim. Demikian pula siswa-siswi yang beragama Kristen akan memahami juga cara berpikir dan tata cara beribadahnya orang2 Islam warga Muhammadiyah di sekitar sekolahnya. Siswa akan terbiasa mendengar suara azan, melihat orang Islam solat, melagukan Mars Muhammadiyah bersama, berbudaya adimistratif di kantor2 sekolah, bertegur sapa dengan Assalamu’alaikum. Guru2 dan staf sekolah Muhammadiyah di sana juga akan terbiasa melihat siswa-siswinya memakai tanda salib di lehernya. Keduanya membaur, keduanya saling memahami, dan keduanya akan saling memperluas Cakrawala tetapi tetap ‘lakum dinukum wa liya din (air di masuki syrup tetapi tanpa diaduk). Ujung2nya boleh jadi…Tak kenal maka tak sayang, sayangi Muhammadiyah walaupun tak sembahyang….kata pepatah.
Maka proses beridalog antar cakrawala bukan berarti menundukkan lawan bicara. Tetapi ia bagai syrup dg air, menyatu tetapi tidak bercampur. Menyatu keinginan untuk mencari kesepahaman, tetapi masing2 pada pendirian sendiri2. I-Thou. Saya bertanya, kamu menjawab. Saya mendengar, kmu bicara. Saya bicara kamu mendengar. Saya bertanya kamu menjawab: kita saling megisi, saling melyuaskan cakrawala, saling mengarah pada satu titik kesepahaman pada Persoalan Inti yang dibahas (die Sache). Sebab, bagi Gadamer, understanding (pemahaman) sangat penting dalam hubungan sosial. Setiap orang bertolak dari pemahaman lama, kemudian diperbarui dan diperbarui secara terus menerus. Bila telah didapat suatu pemahaman baru, maka nanti ia akan menjadi pemahaman lama lagi. Maka pemahaman kita seharusnya diperbarui terus menerus..inilah yang menghasilkan tebaran Cakrawala.
Coba simak Socrates. Dikatakan bahwa Socrates bila berdialog dengan lawan dialognya mirip dengan bidan. Bidan membantu ibu2 yang akan melahirkan hingga keluar si bayi mungil. Ia hanya membantu, tidak memaksa, tidak mengganggu dan tidak menghalangi tetapi ‘satu tujuan’ dengan si ibu hamil yaitu: lahirnya si bayi dengan selamat.
Bila kita berdialog (bukan berdebat) akan banyak menyingkapkan hal2 yang selama ini tak terpikirkan, tak terucapkan, tak tertuliskan akan muncul kepermukaan. Yang bertanya harus piawai dalam mencari pertanyaan, menggiring ke suatu pemhaman baru yang masih tersirat dan tersuruk (the implicit and beyond the implicit). Yang menjawab akan selalu terbuka memberikan informasi2 yang selama ini tak terbisikkan. Keduanya saling mengisi, keduanya saling terpenuhi. Ibarat bejana air: airnya melimpah ke bejana sebelah.
Berdialog bukan debat kusir, mencari siapa yang menang, siapa yang jago berargumentasi. Berdialog bukan untuk menang, tetapi untuk mencari kesepahaman berdua. Kesepahaman berdua itu timbul demi munculnya ‘ufuk kebenaran baru’. Maka berdialog dengan ijazah Jokowi (yang diisukan palsu) akan semakin membukakan kebenaran di balik isu ijazah tersebut. Yang ditanya bukan Jokowi pribadi di rumahnya di Solo, tetapi menelusuri pengalaman2 yang tersembunyi di balik terbitnya ijazah tersebut. Yakin teks itu akan berbicara bila ditanyai, maka akan terjadi peleburan cakrawala antara sang penanya dan teks ijazah. Teksnya akan bercerita tentang font (huruf Times Roman 1.8 yang dipakai di iajazah). Teks juga akan bercerita apakah dimasa itu (Jokowi lulus tahun 1985) sudah ada Windows 0.1 di Indonesia? Bahkan Uji carbon dan watermark juga akan semakin membukakan rahasia di balik ijazah tersebut. Info ini saya kutip dari penjelasan Dr. Rismon (alumni UGM) yang berbicara di Youtube dan saya kemudian mengaitkannya dengan diskusi kita sekarang. Bagaimanapun juga berdialog dengan teks, bukan menghakimi teks ijazah tersebut. Apa bisa? Dalam hermeneutic hal itu bisa. Orang lau mengaitkannya dengan dialog ala Plato.
Dialog Platonik sangat signifikan bagi dunia kontemporer kata Gadamer, sebab dalam dialog tersebut yang diperkuat adalah penegasan lawan bicara, yaitu dialog yang menemukan kekuatan penegasan yang sesungguhnya dalam subjek (pokok masalah) itu sendiri. Lihat buku karangan Richard E. Palmer, Hermeneutika. Terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), p. 237. Bila ditarik kepada kasus pengharaman riba dalam al-Qur’an, berdialog dengan ayat/teks al-Qur’an boleh jadi akan memperkuat penegasaan keharaman riba oleh al-Qur’an itu sendiri. ‘Penegasan Keharaman’ itu kata kuncinya bukan mengqiyaskan dunia perbankan konvensional dengan riba. Ini sudah mengobjektivasi teks.
Dialog dengan teks, boleh jadi ada yang menyakitkan hati. Si pembaca (reader) mau menang sendiri, tak mau dengar teks bicara, pokok e..pokok ee….apa kata pembaca itulah benar. Apa yang tertulis, lalu dipahami dan diberikan penafsirannya: benar atau salah tergantung si penafsir. Ayat dan Hadis dibaca, ditrafsirkan dan diobjektivasi kebenaran di dalamnya oleh yang menafsir. Penafsir Sunni membawanya kepada kebenaran menurut Sunni. Penafsir Syi’ah membawanya ke ranah Syi’ah, penafsir Muhammadiyah membawanya ke ranah Muhammadiyah, demikian pula NU dan Persis, lantas tafsiran yang menurut teks itu sendiri bagaimana? Ini persoalan dalam pembacaan teks2 mu’amalat (non ibadah murni) hari ini dalam berbagai ceramah agama, fatwa, sidang Majlis Tarjih Muhammadiyah, sidang Bahtsul Masa’il NU, dan lainnya. Teks ayat/matan Hadis mu’amalat sebenarnya penuh pengalaman Nabi yang bertolak dari nilai2 yang dihormati, boleh jadi unsur pengalaman di balik teks tersebut terabaikan, sebab bagi mayoritas umat Islam hari ini memahami teks mirip dengan memahami logam dan kimia di laboratorium (diobjektivasi, ditundukkan). Logam dan kimia tidak punya pengalaman hidup, tidak punya nilai2 di tengah masyarakatnya. Akibatnya tidak terjadi Peleburan Cakrawala.
Dosen, guru besar, da’i, ustaz, buya, pengacara hukum, politikus, sejarawan, sering memahami teks mirip dengan memahami logam dan kimia. Teks ditundukkan, diobjektivasi, diinterpretasikan sesuai isi kepala pembaca, sesuai metode penelitian, sesuai kerangka teori. Artinya pencarian kebenaran dari dalam teks sudah dipasang ‘kaca mata tertentu’ yang akan digunakan oleh reader sesuai dengan pengetahuannya. Sementara telah dikatakan di atas, isi pengetahuan di kepala kita sebenarnya adalah batasan cakupan pengetahuan kita, mirip lingkaran bundar sorotan sinar senter dalam kegelapan (ada batas bundar melingkar). Seringkali batasan semacam itu tak disadari dan kita mengklaim bahwa apa yang ditafsirkan telah sesuai dengan maksud….yang sebenarnya. Ini persoalan kita umat Islam dalam memahami terutama kitab2 berbahasa Arab, karena itu perlu hermeneutik.
Hermeneutik itu bertolak dari asumsi bahwa di balik setiap teks terdapat unsur pengalaman anak manusia. Dalam Bahasa Jerman disebut Erlebnis. Ambillah contoh Akte Kelahiran yang anda miliki sekarang. Di dalamnya tertulis nama bayi, jenis kelamin, berat badan, panjang badan, nama ibu, nama ayah, nama bidan, tempat dan tanggal lahir. Tetapi Akte Kelahiran tidak mencantumkan RASA SAKIT ibu yang melahirkan, suasana sekitar klinik, pengalaman ayah di luar klinik yang menunggu bayinya lahir, pengalaman ayah pertama kali menggendong dan meng azankannya. Pengalaman2 semacam itu biasanya ada dalam setiap proses melahirkan bayi, tetapi yang kita saksikan hari ini dalam Akte Kelahiran hanya tertulis teks saja. Dan teks tidak mampu bercerita banyak, hanya proses hermeneutislah yang bisa membantu menelusuri pengalaman2 semacam itu. Dialog dengan Akte Kelahiran tersebut akan membukakan cakrawala hingga tersingkap pengalaman ibu saat2 melahirkan anda dan saya sebagai bayi sekian puluh tahun yang silam. Ini contoh, sekedar contoh.
Demikian pula berdialog dengan teks novel Siti Nurbaya boleh jadi akan mempertegas kondisi sosial budaya masyarakat Minang di saat novel itu ditulis oleh Marah Rusli. Yang dicari bukan maksud Marah Rusli sebagai pengarang novel, tetapi seluk beluk liku2 sosial budaya yang dialami oleh orang Minang di saat itu. Ada nilai (value) yang terganggu. Pembaca yang memulai dialog dengan teks novel tersebut akhirnya mungkin akan sampai pada penyingkapan kebenaran di luar dugaannya semula. Anda sebagai pembaca novel yang semula marah/jengkel pada Dt. Maringgih, karena umumnya pembaca novel tersebut memang demikian sikapnya, akhirnya akan melihat persoalan lebih jernih tentang seluk beluk budaya orang Minang dan di mana posisi Dt. Maringgih sesungguhnya. Boleh jadi anda akan menyalahkan Kolonialis Belanda yang kurang peduli dengan hukum perdata di tengah masyarakat pribumi, sehingga ayah Siti Nurbaya terlilit hutang oleh lintah darat.
Demikian pula, bila dibuat dialog dengan teks sejarah pangeran Diponegoro, mungkin anda akan berkesimpulan akhirnya bahwa Pangeran Diponegoro itu bukanlah pahlawan nasional sebagaimana buku pelajaran sejarah nasional di bangku sekolah, tetapi seorang Pangeran (keluarga istana kraton) yang anti status quo, anti dengan sikap para Raja2 Jawa yang akomodatif/damai dengan kolonialis Belanda, maka Diponegoro berontak. Mungkin..mungkin…begitu. Ini contoh2 dialog hermeneutis namanya dengan teks, bukan menafsirkan teks sesuai wawasan pengetahuan kita, tetapi bertanya, berdialog tanpa henti sehingga tersingkap hal2 yang semula tak terduga. Berdialog dalam bentuk Peleburan Cakrawala yang akan membawa kepada ufuk kebenaran baru.
Film terkenal Hollywood berjudul The Message (Risalah) yang dibintangi oleh Anthony Quinn dan Irene Papas, sebelum difilmkan terlebih dahulu, katanya, scenario filmnya telah dikonsultasikan dengan beberapa tokoh intelektual terkemuka di Mesir seperti Abbas Muhammad al-‘Aqqad. Dalam film tersebut terlihat bagaimana Antony Quinn memerankan pribadi Rasul saw dengan wajah tak terlihat. Demikian pula bagaimana sadisnya Irene Papas memerankan Hindun binti ‘Utbah yang merobek dada dengan pisaunya dan memakan jantung Hamzah paman Nabi dalam suasana perang. Tujuan dikonsultasikan film tersebut tentu agar terjadi Peleburan Cakrawala antara ‘pengalaman’ yang dikisahkan dalam film dengan pengalaman Nabi menurut versi mayoritas umat Muslim Sunni dewasa ini. Namun secara filosofis, saya menduga film tersebut tidak sampai menggapai batas ambang ontologis, ia tidak melalui proses hermeneutis, ia masih mengobjektivasi kebenaran Islamiyah ala Natuurwissenschaften. Horizon yang diajaknya berdialog adalah horizon Muslim Sunni kontemporer, akibatnya pengalaman Nabi ditundukkan oleh horizon zaman di mana scenario film tersebut dikonsultasikan.
Maka berdialog, bagi Gadamer, akan mengantarkan seseorang kepada suatu kesadaran diri bahwa dugaannya semula boleh jadi keliru. Ia sadar bahwa dugaannya semula masih bertolak dari tradisi. Dugaan berbasis tradisi artinya dugaan kita yang masih berpegang kepada kata/petunjuk pemuka adat, Pemerintah, pemuka agama, cerdik pandai, ideologi partai, norma adat/suku/marga, dan sebagainya. Berdialog merupakan sarana yang mengantarkan seseorang kepada saat-saat penyingkapan ontologis: lepaskan buat sementara tradisi yang mengunci kita. Penyingkapan ontologis maksudnya penyingkapan hakikat wujud kebenaran (paling awal) yang sesungguhnya sejauh yang dapat disingkapkan. Penyingkapan ontologis atas Asnaf yang 8 (Q. S. at-Tawbah 60), seyogyanya berbentuk dialog dengan al-Qur’an yang akhirnya akan menyingkapkan bagaimana sesungguhnya pengalaman Nabi dalam mendistribusikan zakat di masa2 awal turunnya perintah zakat. Bila berhasil disingkapkan pengalaman Nabi di masa2 awal tersebut, maka Panitia Amil Zakat (BAZIS) sekarang boleh jadi akan heran karena pemahaman mereka selama ini berdasarkan penafsiran bukan berdasarkan hermeneutik. Kerja penafsir biasanya bertolak dari membaca, menafsirkan teks kepada mencari makna lalu berhenti. Sementara hermeneutic biasanya melakukan dialog antar makna dengan makna, dengan mengintip unsur pengalaman universal cucu Adam di balik teks, usaha tanpa henti.
Terkait diskusi di atas saya melihat hermeneutic Prof. Amin Abdullah bertemu dengan Gadamer pada konsep Inter-Koneksi yang diusungnya. Dengan konsep Inter-Koneksi dimaksudkannya ‘saling terhubung’, saling menyapa, saling menembus. Ibarat air dengan syrup, air tetap air, syrup tetap syrup: tidak diaduk, masih terpisah satu sama lain, tetapi dapat saling menembus. Demikian pula antara hukum fikih Islam dan Covid 19. Hukum Fikih Islam masih tetap sebagai hukum fikih, kebenaran saintifik medis terkait Covid 19 tetap saintifik, tetapi keduanya dapat saling memahami. Fikih dapat memahami sifat ilmiah Covid 19: menular, viral, dan sangat berbahaya meskipun kena tiupan angin. Covid 19 juga dapat memahami rigidnya hukum fikih Islam terkait ritual peribadatan yang idealnya harus mencontoh ibadah Rasul saw, saf solat yang harus rapat, bersalaman, berdekatan, berjejer dalam masjid dan langgar. Antara keduanya diharapkan oleh Prof. Amin Abdullah terjadi Inter-Koneksi. Bagi Gadamer dinamai dengan Fusion of Horizons (Peleburan Cakrawala). Bedanya bagi Gadamer Peleburan Cakrawala itu bersifat hermeneutis. Hermeneutis di sini maksudnya Peleburan Cakrawala tersebut bersifat mencari kesepahaman berdua di mana proses dialog komunikatif tak pernah henti, sehingga akan tersingkap penyadaran diri di mana pengalaman universal anak manusia dapat saling bertemu. Nabi Muhammad saw juga manusia: ada pengalaman universal yang terhubung antara pengalaman kita hari ini dengan pengalaman Nabi di abad ke 7 Masehi, karena sama2 cucu Adam. Pengalaman Nabi dalam soal mu’amalat tentu punya pertimbangan dan niat semula. Nah sepatutnya yang dilirik oleh kita adalah pertimbangan dan niat semula Nabi tersebut dalam setiap mu’amalat, bukan perawi Hadisnya. Mungkin ini yang terabaikan dalam penafsiran teks2 Islamiyah selama ini.
Kesimpulan. Memang masih terasa pengaruh tesis Hegel dalam dialog heremeneutis Gadamer: tesis-anti tesis dan sintesis, tetapi Gadamer lebih cenderung pada dialog Platonik. Terlepas dari itu, proses dialog hermeneutis di atas akan sangat besar manfaatnya bagi generasi muda Indonesia bila melakukan dialog yang berujung pada Perluasan Wawasan. Sebab keputusan sepihak yang sering terjadi pada seseorang sebenarnya karena kurang menyadari bahwa apa yang diketahuinya pada hakekatnya adalah batas wawasannya. Di luar batas tersebut ada ruang yang sangat luas lagi. Maka konsep HORIZONSVERMELTZUNG (Peleburan Cakrawala) akan sangat berguna untuk kehidupan yang pluralistic, multi etnis, multi suku, multi adat, multi dialek, multi kepercayaan. Persoalannya: HOW? Kita dihadapkan pada pertanyaan: Bagaimana cara mewujudkannya?
Sekian dulu pembaca setia. Terimaksih atas kesediaan anda telah membaca tulisan saya. Mohon maaf bila ada kata2 yang salah. Selamat berpuasa. Pamit, Wassalam, Amhar Rasyid, Jambi.