Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, Jum’at 23 May 2025
Assalamu’alaikum wr,wb
Yth Bapak2/Ibuk2/Adik2 dan semua mahasiswaku di mana saja berada. Sebuah peribahasa klasik berbunyi bagai…‘Pungguk Rindukan Bulan’ tetapi bagi saya dirobah menjadi Pungguk sebelum ke Bulan. Pungguk sebenarnya adalah genus burung hantu (Ninox), di sini diibaratkan khayalan dan Bulan adalah Filsafat. Berikut adalah dua versi tulisan yang bertolak belakang. Yang pertama berdasarkan khayalan si Ninox, yang akan melangkah kepada yang kedua yang sangat filosofis. Kenapa dua versi? Untuk apa? Saya ingin pembaca terhibur tetapi sekaligus juga berpikir. Bahan filosofisnya penulis ambil dari buku tebal berbahasa Inggeris kumpulan karangan orang2 hebat, di antaranya Albert Einstein. Tujuan saya di bawah ini bukan mempersoalkan polemic keabsahan pendapat orang, tetapi menfilsafati apa2 di balik pemikiran orang. Di mana titik selisih berpikir saintifik dengan berpikir filosofis, dan bagaimana implikasinya terhadap pandangan religius? Diskusi ini saya yakini akan lebih bermanfaat bagi kita semua. Selamat membaca!
Versi I.
Saya semalam sempat mengkhayal: kira2 bagaimana ending (ujung) polemic ijazah Jokowi? Khayalan saya malah bikin ketawa saya sendiri. Begini ceritanya. Roy Suryo dan Risman Sianipar terbayang oleh saya masih marah2, emosi, teriak2, keduanya pakai baju hitam celana hitam dan ikat kepala hitam, mondar mandir sambil tegak pinggang berdua di depan pintu goa sambil memegang golok bertuliskan SAINTIFIK (ilmiah) di goloknya. Mereka berdua berteriak di pintu goa:” Keluar anda Jokowi!” Keluar anda Jokowi! Karena mereka telah melihat jelas Jokowi lari masuk goa bersembunyi di dalamnya. Namun Jokowi tak kunjung keluar juga. Sementara dari dalam goa, Jokowi lantas mengirim WA pada anaknya yang menjadi Wakil Rt,: ‘Bilang pada Bosmu le..aku lagi sembunyi dalam goa, aku weddi (aku takut), mereka pegang golok bertuliskan ‘saintifik.’
Lalu wakil Rt melaporkan isi WA Bapaknya kepada Ketua Rt dan Ketua Rt bingung. Akhirnya Ketua Rt teringat Pawang Hujan dari Madura, lalu Ketua Rt minta nasehatnya untuk menenangkan suasana. Kata Pawang Hujan:” Ah gampang itu rek…masalah kecil..bikin aja hujan buatan dengan Pompa Kebakaran dari balik goa, lalu semprotkan air ke pintu goa”, katanya. Nanti saya juga akan bacakan mantra hujan kata Pawang itu. Bunyi mantranya begini: al-Muhafazhoh ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah (Menjaga yang lama2 selama ia baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik). Mantra apa itu? tanya Ketua Rt..Itu warisan Gus Dur kata Pawang Hujan yang seusia saya itu. Kok kata Muhafazhoh hampir sama dengan nama anda? Maksudnya apa? Maksudnya…….apa ya?….ya nantilah sebelum 2029 jawabnya.
Maka hujan buatanpun disemprotkan oleh 5 truk Pemadam Kebakaran. Kemudian Ketua Rt dan wakilnya masuk goa lewat pintu belakang sambil membawa 3 payung untuk menjemput Jokowi, tak lama kemudian mereka bertiga berjalan keluar, kali ini lewat pintu depan goa dan Jokowi berjalan di tengah2 sambil mengapit ijazah di lengannya. Tatkala mereka sampai di pintu goa, Roy Suryo dan Sianipar masih saja menggertak dengan golok saintifiknya: “Tunjukkan ijazah aslimu! kata mereka berdua. Lalu Jokowi pelan2 memperlihatkan Ijazah S1 UGMnya…Monggo Mas…Mas iki sing asli…sampun teles ning jeru goa, yo mula ne tinta ne apik (Mas ini yang asli…sudah basah dalam gua..dulunya tintanya bagus). Roy dan Sianipar jadi bingung, garuk2 kepala, mereka saling memandang, semua kamera2 canggih dan laptop milik mereka pada basah dalam tas…tak bisa bekerja lagi karena tinta di Ijazah Jokowi juga sudah meleleh…Roy dan Sianipar tak bisa menverifikasi keasliannya lagi…akhirnya mereka semua pulang. Hujan buatan pun teduh, sekitar goa jadi sepi, se sepinya IKN sekarang! Itulah khayalan saya, bukan mimpi, bukan cerita beneran. Jangan percaya! Tapi seandainya khayalan saya ini benar2 terjadi nanti, memang begitu ending polemic ijazah Jokowi, mudah2an saya diundang oleh Pawang Hujan tersebut ke Jakarta nanti untuk makan sate Madura, sehingga Pungguk tak lagi rindukan Bulan sebab Elon Musk sudah punya proyek species manusia multi planet.
Versi II.
Yang boleh anda percayai adalah versi berikut.
Bertrand Russell dalam bukunya History of Western Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1947) mengatakan bahwa dalam menilai seorang saintis tidak mesti mempercayai apa yang dia yakini dalam sains tetapi bagaimana cara dia meyakini sains dan kenapa dia mempercayai sains (p. 549). Susah memahami kalimat di atas ya? Begini penjelasannya. Kita tarik ke masalah ijazah Jokowi. Ingat Roy Suryo dan Sianipar itu sebenarnya bukan ahli sains tetapi mereka menggunakan cara2 kerja saintifik untuk berargumentasi. Mereka jelas berbeda dengan ahli sains. Seandainya ahli sains diumpamakan tukang buat golok, Roy dan kawan2nya cuma ‘meminjam golok’ buatan ahli sains. Maka yang patut dipertanyakan, jika mengikuti ‘dalil’ Bertrand Russell di atas, ialah kita tidak mesti mempercayai apa2 yang dipercayai oleh Roy Suryo, tetapi kita harus mempertanyakan bagaimana cara Roy dan kawan2nya mempercayai bukti2 ilmiah dan kenapa mereka mempercayai kebenarannya? Bagaimana cara Roy dkk sehingga mempercayai data ilmiah? Ya mereka menggunakan berbagai perangkat modern yang canggih special untuk memverifikasi kebenaran data, seperti camera canggih, laptop canggih, ChatGPT, alat2 uji forensic digital dan lainnya.
Dan kenapa mereka mempercayai kebenarannya? Ya karena diyakininya bahwa kebenaran ilmiahlah yang akan mampu mengungkap kebohongan pemalsuan ijazah Jokowi. Bila ternyata nanti palsu di depan Pengadilan, maka diyakininya akan banyak rentetannya sesudah itu. Nampaknya Roy dkk sangat mengharapkan rentetan semacam itu. Bila hanya untuk sekedar membuktikan, secara ilmiah, data itu palsu dan lalu berhenti…ya untuk apa? Kenapa mereka menggebu-gebu untuk membuktikannya? Ya karena sosok Jokowi itu mantan Presiden bukan sosok orang awam. Bila ijazah tersebut milik orang awam yang diragukan keasliannya, ya untuk apa diurus? Ini yang perlu kita pertanyakan, bukan mesti ikut terlibat dengan Roy untuk mempercayai kebenaran ilmiah yang dipercayainya. Kenapa begitu? Bila Roy dkk mengatakan mereka tidak berpolitik, maka sebenarnya mereka berpolitik juga: berpolitik di balik dalih saintifik. Demikian pula bila Amhar mengatakan bahwa dia hanya mengkhayal tentang ending polemic Ijzah Jokowi, tidak sebenarnya, maka sebenarnya logika Amhar telah ikut merangkai data2 empirik meski dalam khayalan belaka. Di sini anda boleh pikir2 untuk percaya pada saya.
Lebih jauh mari kita simak artikel Albert Einstein mengenai Teori Pengetahuan Bertrand Russell berjudul ‘Remarks on Bertrand Russell’s Theory of Knowledge’, dalam buku Russell yang berjudul The Philosophy of Bertrand Russell (Evanston: Illinois, 1946), diterjemahkan aslinya dari bahasa Jerman oleh Paul Arthur Schilpp. Mula2 Einstein mengutip beberapa kalimat Russell dalam bukunya An Inquiry into Meaning and Truth….’ We all start from “naïve realism,” i.e., the doctrine that things are what they seem. We think that grass is green, that stones are hard, and that snow is cold. But physics assures us that greenness of grass, the hardness of stones, and the coldness of snow, are not the greenness, hardness, and the coldness of snow that we know in our own experience, but something very different. The observer, when he seems to himself to be observing a stone, is really, if physics is to be believed, observing the effects of the stone upon himself. Thus science seems to be at war with itself: when it most means to be objective, it finds itself plunged into subjectivity against its will. Naïve realism leads to physics, and physics, if true, shows that naïve realism is false. Therefore naïve realism, if true, is false; therefore it is false. (pp. 14-15).
(Kita semua bertolak dari ‘realisme naïve’, yaitu, ajaran yang mengatakan bahwa benda-benda itu seperti apa yang nampak. Kita mengira rumput hijau, batu berat, dan salju dingin. Tetapi ilmu fisika mengatakan bahwa hijaunya rumput, kerasnya batu, dan dinginnya salju tidaklah sama dengan hijau, keras dan dingin sebagaimana yang kita rasakan dalam pengalaman kita, tetapi sesuatu yang sangat berbeda. Maka pengamat, tatkala dia nampak melihat dirinya sendiri sedang mengamati batu, jika ilmu fisika dianggap benar, sebenarnya dia sedang mengamati efek batu tersebut atas dirinya sendiri. Oleh sebab itu sains itu kontradiksi dalam dirinya sendiri: bilamana ia betul2 sangat objektif, sains tersebut menemukan dirinya terperosok kepada subjektivitas yang menentang keinginan sains itu sendiri. Maka realisme naïve mengarah kepada ilmu fisika, dan ilmu fisika, jika ia benar, menunjukkan bahwa realisme naïve keliru. Oleh karena itu realisme naïve, jika ia benar, sebenarnya ia keliru; jadi ia keliru). (hal. 14-15).
Apa makna kalimat Russell di atas bila dikaitkan dengan temuan Roy Suryo dan Risman Sianipar tentang foto di ijazah S1 Jokowi? Roy Suryo dan Sianipar menurut doktrin ‘realisme naïve’, bukanlah mengamati foto itu sendiri, tetapi mengamati effek, pantulan foto yang nempel di ijazah atas diri mereka. Mereka berdua sebenarnya hanya sedang mengamati EFEK pantulan foto. Ia hanyalah pantulan/effek. Maka realisme naïve itu keliru dan Roy Suryo/Sianipar keliru ketika mengaku mereka melihat foto. Begitulah kira2 penjelasan filosuf Russell bila kita kaitkan dengan polemic sekarang ini….anda bingung? Menurut anda bagaimana? Kalau menurut saya, foto Jokowi itu bisa dilihat oleh Roy dan Sianipar berkat adanya sinar. Artinya, sinar memberikan effek pantulan foto pada bola mata Roy dan Sianipar, bila sinar tidak ada (gelap), maka efek tidak terjadi. Gitu aja ….kok repot!
Lalu apa kata Einstein? Einstein mengaku dirinya bukanlah filosuf seperti Russell tetapi hanya seorang fisikawan. Pernyataan Russell dalam kalimat di atas, kata Einstein, tidak pernah terjadi pada dirinya. Yang diterangkan oleh Russell di atas, kata Einstein, hanyalah adanya hubungan antara subjek-objek, yang mana bila dilacak akar pemikirannya ada pada Berkeley dan Hume tetapi pendapat mereka bertentangan dengan model pemikiran dalam Ilmu2 alam. Dan pemikiran Berkeley menemui pembenarannya selama kita percaya pada model pemikiran fisika. Kalau tidak percaya, maka tidak ada perlunya menginterpolasi (mengisi jarak antara) objek yang dilihat dengan tindakan melihat kata Einstein (p. 383).
Sekarang izinkan pula saya berfilsafat. Saya bukan fisikawan bukan pula filosuf tetapi hanya berusaha membuat cerita lebih menarik. Mudah2an anda senang. Bila kita simak uraian di atas, Russell menyingkapkan adanya ‘hubungan’ antara benda dengan tindakan melihat oleh seseorang. Sementara Einstein mengatakan bahwa keyakinan atas adanya hubungan tersebut ya karena Russell meyakini model pola pikir fisika. Itu dasarnya bagi Russell kata Einstein.
Lebih jauh mari kita bahas menurut versi saya. Foto Jokowi yang dipersoalkan oleh Roy Suryo dan Sianipar sebenarnya tersusun dari mungkin ratusan ribu titik2. Sementara satu titik kecil mungkin terdiri dari jutaan atom. Unsur atom jelas memerlukan ruang dan memanjang (res extensa). Sementara satu titik kecil terdiri dari ribuan atom atau lebih. Jutaan atau ratusan juta atom2 itulah yang sekarang membentuk formasi memantulkan foto yang ditampilkan sebagai Jokowi. Ini fisika. Jadi yang dipersoalkan oleh Roy dan Sianipar sebenarnya adalah tumpukan jutaan atom2 yang membentuk formasi antara 2 foto yang diragukan keasliannya. Asli menurut siapa? Ya asli menurut pengalaman Roy Suryo dan Sianipar yang menyadari dirinya telah melihat foto Jokowi yang lain. Sementara hasil melihatnya merupakan ‘pantulan/effek’ kedua foto (yang diduga asli dan palsu) atas diri mereka. Yang mengganggu pikiran Roy dan Sianipar adalah formasi susunan milayaran atom tidak seperti pengalamannya. Jadi keyakinan empiric mereka didasarkan pada pola pikir ilmu2 alam juga. Itulah yang dinamai pembuktian saintifik. Mungkin juga saya salah…silahkan anda pikirkan!
Bahkan menurut saya, apa yang dialami oleh Roy dan Sianipar bukanlah termasuk yang dibicarakan oleh Russell. Sebab, bagi Russell yang dipersoalkan ‘effek/pantulan’ benda apapun (misalnya rumput, batu dan salju) merupakan contoh bukti realisme naive, sementara bagi Roy Suryo dan Sianipar, yang dipersoalkan adalah ‘ketidak sesuaian’ antara pantulan/effek foto yang lengket pada kertas yang diduga ijazah Jokowi sekarang dan efek/pantulan bayangan wajah yang telah ‘nongkrong’ dalam pikiran Roy dan Sianipar. Diulangi, yang bertabrakan dalam pikiran mereka adalah efek/pantulan foto yang lengket sekarang pada apa yang diduga sebagai copy ijazah dengan efek/pantulan foto yang sudah ada dalam memory Roy dan Sianipar. Uji forensic sebenarnya untuk meruntuhkan efek/pantulan yang dianggap benar pada kertas yang diduga ijazah Jokowi, dan mempertahankan kebenaran efek/pantulan yang timbul akibat memory. Yang akan diuji forensic nampaknya yang lengket di kertas, sementara yang dalam memory Roy dan Sianipar diterima kebenaran apa adanya (taken for granted). Kita sebagai pemirsa polemic ijazah Jokowi semakin hari oleh Roy dan Sianipar semakin digiring ke arah ‘merobohkan’ anggapan keaslian yang lengket pada ijazah Jokowi (jika ada). Apa yang lengket sebenarnya? Yang lengket ialah butir2 milyaran atom yang membentuk formasi foto seseorang dan memantulkan efek karena cahaya tetapi diduga tak sesuai dengan formasi milyaran atom2 bayangan orang yang sama yang telah terbentuk dalam memory Roy Suryo dan Sianipar. Ini bukan lagi physical mode of thought dalam istilah Einstein.
Kesimpulannya: cara melihat filsafat memang beda dengan cara melihat saintifik. Uji forensic nampaknya digunakan untuk memeriksa unsur2 kimia yang membawa lengket milyaran atom2 berbentuk formasi pantulan/effek gambar, bukan untuk menguji keaslian ijazah..kata siapa menguji keaslian? Asli/palsunya ijazah Jokowi itu soal lain… uji forensic itu berjalan di atas physical mode of thought, memeriksa bukti2 jejak kimia, sementara pembuktian asli/palsu adalah legal mode of thought yang didasarkan atas effek/pantulan jejak2 kimia tersebut. Itu kesimpulan saya kalau Bapak2/Ibuk2/ dan adik2 pembaca setuju.
Significance of Issue (Hikmah): ayat2 al-Qur’an boleh jadi merupakan tumpukan trilyun milyar bahkan lebih atom2 yang membentuk formasi huruf Arab sekarang banyak terukir di atas kertas Mushaf dan dalam layar HP. Satu huruf Alif Qur’ani saja, misalnya, boleh jadi sudah terdiri dari milyaran atom, yang kemudian membentuk sekian banyak titik2. Titik2 itulah yang kemudian berkumpul membentuk formasi tegak lurus dan kaum Muslimin menamainya huruf Alif: ini meniru physical mode of thought di atas. Sebaliknya religious mode of thought meyakini bahwa formasi huruf Alif Qurani sudah ada di Luh Mahfudz…tetapi tak pernah terdengar pembicaraan tentang unsur ke‘atoman’ huruf Alif pada hal huruf Alif sudah ada di Arabia pra wahyu diturunkan. Buktinya penyair pra Islam: Qanthara dan ‘Anthara telah bersyair menggunakan huruf Alif. Orang boleh bilang di situ nampak dikotomi konsepsional dalam pemikiran Immanuel Kant: huruf Alif yang di Luh Mahfudz adalah noumena dan huruf Alif yang di atas kertas al-Qur’an sekarang adalah phenomena. Maka tatkala peserta MTQ berlomba melantunkan phenomena, apakah diyakini mereka sedang melantunkan yang noumena di ranah transcendental, atau sedang melantunkan effek/pantulan fisik huruf2 Qur’ani yang sudah di bumi sebagai res extensa? Wallahu a’lam.
Sekianlah diskusi filsafat rumit kita pembaca yang terhormat. Terimakasih telah membaca dan mengerutkan kening. Mohon maaf bila ada salah ucap, salah tulis. Wassalam, pamit, Amhar Rasyid, Jambi.