Tulisan berikut membahas berbagai persoalan terkait persiapan menjelang Ujian Terbuka S3 yang akan saya hadiri Insyaallah hari Selasa tanggal 22 July 2025 ini di Gedung Pascasarja UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jutaan orang di Indonesia telah pernah menempuh Ujian Terbuka S3 tetapi jarang yang sempat berbagi pengalaman pribadinya menjelang ujian, mungkin karena sibuk, mungkin masih banyak tugas yang perlu dipersiapkan, atau sekurangnya pikirannya masih bimbang dan jantungnya masih dag dig dug. Berbagi pengalaman memang ada data sejarahnya (event), meniru kata2 sejarawan Taufik Abdullah, tetapi yang menjadi masalah kemudian ialah ‘How can we explain it?’ Sebab dalam menjelaskan hubungan antar data, dan makna yang bisa dipetik, diperlukan skill dan seni. Tujuan saya di sini, dengan skill dan seni, hanyalah untuk berbagi pengalaman dengan pembaca semua agar adik2 generasi muda khususnya mendapat informasi yang diperlukan agar supaya cepat2 pula mereka menyelesaikan jenjang studi S3nya dan cepat pula meraih gelar Guru Besar (Profesor). Doa saya: Yaa Allah jadikanlah orang yang membaca tulisan saya ini nanti meraih gelar Profesor juga apapun agama dan keyakinannya. Maka ada beberapa hal yang saya rasa perlu diinformasikan di sini, di antaranya, tentang Persyaratan Administrative, Pengalaman Menulis Disertasi, Perkembangan Wawasan Intelektual dan Suka Duka Pengalaman Pribadi, kemudian Kesimpulan dan Significance of Issue. Tulisan ini ditulis dengan skill dan seni: gaya naratif keilmuan, mengandung data empiric dan akhirnya ditarik kepada perspektif keislaman. Sumber data berasal dari pengalaman penulis sendiri plus bacaan buku dan Podcast di bidang filsafat. Mari kita mulai!
Pertama, persyaratan administrative. Selain harus lunas semua uang kuliah tertunggak, promovendus harus membayar Uang Ujian Terbuka S3 di UIN Yogya Rp 15.000.000, sementara di UIN Aceh saya dengar Rp Rp 35.000.000.- Beberapa syarat lain juga harus dipenuhi seperti telah memiliki Sertipikat TOEC (B. Inggeris min. score 500), Sertipikat B. Arab, Abstrak disertasi diterjemahkan secara resmi oleh Lembaga Bahasa UIN, Naskah disertasi harus diproofreading oleh seseorang yang dianggap kompeten oleh Pascasarjana, Ringkasan disertasi dicetak sekitar 50 exemplar, menulis 1 article ilmiah di jurnal Scopus bersama Promotor atau memperoleh LOA (Letter of Acceptance) dari Penerbit jurnal tersebut. Semua persyaratan harus diupload secara Online dari Jambi. Yang sangat mengesankan bagi saya di saat mengupload LOA, rupanya naskah article yang disebutkan dalam LOA harus pula diupload. Ya naskah artikel asli. Ini tentu membuat kredibiltas Universitas semakin bagus, sebab boleh jadi seseorang promovendus memperoleh LOA dengan pesanan tetapi naskah artikel tidak punya. Bahkan Ijazah S1 dan S2 juga harus juga diupload keduanya. Semua persyaratan administrative tersebut betul-betul ketat di UIN Sunankalijaga Yogyakarta. Sepanjang yang saya ketahui, yang tamat S3 dari UIN Yogya diantaranya adalah Sinta Nuriyah (isteri Gus Dur) dan mungkin Tifatul Sembiring (PKS) sebab saya pernah membaca namanya di Pascasarjana. Seandainya Jokowi ingin pula memperoleh ijazah dari UIN Sunankalijaga tentu tak semudah di UGM.
Ada beberapa tempat dan sumber referensi yang patut disebutkan di sini. Ada Perpustakaan Muhammadiyah di Menteng, Jakarta, Perpustakaan Muhammadiyah di Jl, Cik Ditiro Yogyakarta.Perpusatakaan Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jakarta, Perpustakaan University Kebangsaan Malaysia di Kualalumpur, NUS Library, Singapore. Kuliah Online dari beberapa pakar hermeneutic, diantaranya F. Budi Hardiman (Jakarta), Bambang Sugiharto (UNPAR Bandung), Setyo Wibowo (STF Driyarkara, Jakarta), Victor Gijsberg (Leiden, Belanda), Paul H. Fry (Yale University), Michael Sugrue (Columbia University, New York), dan Fahruddin Faiz (Yogya), mereka semua sangat berjasa dalam menjelaskan hermeneutika yang sangat diperlukan kuliahnya untuk menghadapi Ujian Terbuka S3 saya.
Kedua, pengalaman menulis disertasi. Sebenarnya saya mengambil Program S3 by Research bukan hadir kuliah di kelas Offline. Kuliah tatap muka di UIN Yogya hanya sekitar 2 Minggu saja terutama mengenai pendalaman filsafat ilmu dan metode penelitian. Selebihnya saya menulis, meneliti jarak-jauh dari Jambi dengan mencari, membaca, mencopy berbagai sumber rujukan yang dapat dijumpai di berbagai Perpustakaan. Promotor I dan II terasa sekali sangat berjasa dalam penulisan disertasi saya. Keduanya membawa saya kepada tradisi berpikir keilmuan yang terbuka, argumentative dan innovative. Mereka membimbing saya agar mandiri dalam berpikir dan selalu mendesak agar cepat2 diselesaikan disertasi. Yang tak kalah besar jasanya ialah para staff di Pascasarjana UIN Yogya, mereka selalu ramah bila ditelpon/WA jauh dari Jambi, suka membantu, cepat dan informatif. Memang orang2 Yogya penuh sopan santun dan ramah, ‘grapyak-semanak, lembah-manah’.
Ketiga, perkembangan wawasan intelektual. Ada pengetahuan yang baru tersingkap dalam pemikiran saya. S3 adalah jenjang studi terakhir di dunia akademik untuk meraih gelar Doktor. Di luar negeri gelarnya Ph.D (Philosophy Doctor). Artinya jenjang S3 diwajibkan menulis disertasi yang bernuansa filosofis, karena filsafat merupakan ‘pohon ilmu’. Pertanyaannya ialah bilamana sebuah disertasi tidak bernuansa filosofis, hanya menggunakan epistemology Cartesianism yang dikira dapat menemukan Truth dalam ilmu2 sosial mirip dengan metode ilmu2 alam, bagaimana penulisnya bisa diberi gelar Doktor Filsafat? Karena berkenalan dengan dunia filsafat, penulis akhirnya menemukan beberapa hal yang sebelumnya memang belum diketahui. Rupanya bidang ilmu pengetahuan telah dibagi menjadi 2: Geisteswissenschaften (Ilmu2 sosial) dan Natuurwissenschaften (ilmu alam), dan ini pada gilirannya mempengaruhi epistemology. Ternyata pencarian Kebenaran (Truth) dalam berbagai penelitian kita, skripsi, tesis, banyak hingga kini yang nampaknya belum menyadari dikotomi seperti itu. Akibatnya ada sarjana yang terpapar positivisme dan ada juga yang semakin terbelenggu oleh normativitas al-Din. Sementara Muhammadiyah telah menggunakan metode burhani untuk pembacaan teks2 Natuurwissenschaften, tetapi nampaknya belum menyadari pentingnya menyingkapkan Verstehen (dalam arti EVENT) pada teks2 Geisteswisseschaften. Nah ini masalah bagi saya.
Lebih jauh, ternyata menulis disertasi itu adalah praktek memaparkan ide sebanyak lebih kurang 400 halaman, latihan berargumentasi secara panjang lebar, sehingga kita menampakkan alur berpikir ilmiah yang elaborative, argumentative, sistematis, logis, empiric. Harus pula menemukan suatu Novum. Harus pula ada kontribusi baru bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Artinya bila suatu karangan hanya berbentuk Cerpen (Cerita Pendek), maka alur berpikirnya juga pendek, apalagi SMS (short message system). Akhirnya dengan menulis disertasi nampak perbedaan cara berpikir orang awam dan sarjana. Orang awam memiliki pengetahuan sporadic, singkat, sederhana, tidak terurai, tidak argumentative, tidak bisa menjelaskan pengetahuannya secara konsepsional. Sementara sarjana memiliki pengetahuan ilmiah yang causalitas, dapat menjelaskan secara konsepsional dari sudut teori tertentu. Ini yang menjadi tugas Pemerintah seharusnya: mencerdaskan kehidupan bangsa, mebudidayakan berpikir mandiri, logis, ilmiah, dan konsepsional. Singkat kata, setelah menulis disertasi ternyata selama ini saya rupanya BANYAK BELUM TAHU (a) tapi BERLAGAK TAHU (b). Kalau begitu anda sendiri kini sebetulnya pada posisi yang mana (a atau b)? Jujurlah pada diri sendiri! Bila anda akui secara jujur, maka dampak positifnya akan luar biasa bagi peningkatan kualitas dosen2 muda terutama di UIN. Sebab bagi Gadamer, hasil proses hermeneutis sebenarnya adalah Bildung (penggemblengan diri untuk betul2 menjadi Dasein, sayonara Das Man).
Keempat, Suka Duka Pengalaman Pribadi. Sedih, baru 3 bulan di Yogya, Bapak kandung saya (ex Polri) meninggal di Payakumbuh (Maret 1975), hanya surat yang terlambat datang di Yogya setelah mayat dikubur 2 minggu, air mata saya membasahi pipi..berpisah dengan bapak selamanya…nun jauh di seberang lautan di Sumatera. Setelah 43 tahun kepergian Bapak, Ibu kandung saya juga meninggal tatkala itu disertasi masih sekitar 200 halaman. Isteri sakit stroke pula. Eee..Laptop hilang pula dicuri maling di atas sleeper-bus (Jakarta-Yogya) mau Ujian Tertutup 14 July 2024 dan disertasi 400 halaman di dalamnya..untunglah ada Flash Disc terpisah. Selain itu terasa berat pula membayar tunggakan SPP, terutama usai zaman Covid 19, sebab kata Presiden Jokowi saat Covid semua kredit boleh ditunda pembayarannya. Akibatnya SPP saya tunda. Maka usai Covid, jumlah tunggakan SPP saya mencapai hampir Rp 60.000.000 yang harus dibayar. Berat sekali. Di saat itu ‘Berat tak bisa sama dipikul, ringan tak boleh sama dijinjing’. (harus bayar lunas sendiri). Seandainya tunggakan SPP saya diketahui oleh Jokowi dan dia ingin membantu saya, mungkinkah Ijazahnya dapat diagunkan ke bank? Bila Bank tak mau menerima, kenapa KPU mau ya? Itu cuma guyon saya, guyon dalam duka.
Apa Sukanya? Kuliah di UIN Yogya telah membangkitkan kembali memory saya yang tenggelam sekian puluh tahun. Setelah tamat PGAN 4 tahun di Payakumbuh, saya melanjutkan SLA di Yogya tahun 1975-1977 nama sekolahnya PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) di Bulak Sumur di selatan Fakultas Kehutanan UGM Jokowi (tapi Jokowi saat itu mungkin masih siswa SLP sebab dia katanya tamat UGM tahun 1985), saya di Yogya juga hidup penuh bahagia. Maka sekarang bila duduk sendirian malam hari di bangku di Malioboro, sambil minum ronde, bisa membangkitkan kenangan indah waktu SLA dulu, waktu itu air teh/angkringan Rp 5/gelas, nasi rames dengan peyek kacang Rp 25/piring, mahasiswa UGM dan UII cowok/cewek umumnya naik sepeda pergi kuliah. Tetapi saya waktu SLA itu juga sudah bisa menerjemah bahasa Inggeris buku2 fakultas hukum mahasiswa UGM ya bekerjasama dengan tukang ketik skripsi di sekitar Stasiun Tugu, maka saya banyak dapat duit dan bisa nonton film India tiap Jumat sore di Yogya Theater, makan soto dan es jeruk di malam hari di Jl. Kaliurang, malam2 makan sate kambing dan tongseng sekitar Stasiun Tugu, sering bolak balik pulang kampung naik kereta api ke Jakarta dan naik bis ke Sumatera tiap libur kwartal (Yogya-Payakumbuh) sambil bawa barang kerajinan tas rotan (sekitar 5 kodi) dari kampung saya dan dijual grosir ke toko2 souvenir di Malioboro dengan untung banyak, sebab turis2 asing suka beli tas rotan. Saya memang hobby dagang, hobby wisata, kantong tebal, jajan puas, pernah naik kereta api murah bangku kayu ke Bali dan bersepeda Yogya- Solo bahkan pernah ditawari oleh Mahfud MD pulang liburan ke kampungnya di Madura. Dia suka bergaul dan bakat leadershipnya memang sudah menonjol di acara2 Pramuka. Itulah sekelumit cerita suka dan duka yang akhirnya berujung juga pada Ujian Terbuka S3 dan Mahfud sudah berjanji dari Jakarta akan mengirimi saya karangan bunga di hari H.
Kelemahan. Jujur diakui bahwa menulis disertasi memang berat, susah dan memerlukan kekuatan fisik, mental dan finansial. Yang tak bisa dihindarkan selama menulis disertasi ialah rutinitas keseharian. Rutinitas itu semakin akut bilamana promovendus tinggal jauh dari almamaternya. Inilah biasanya yang membuat seorang promovendus lama menyelesaikan S3.
Semua kisah di atas adalah pengalaman saya pribadi dalam menyelesaikan studi S3, memang terasa berat karena disertasi saya memang DIBUAT SENDIRI, dipikirkan sendiri, diketik sendiri, dikritik sendiri, bukan diupahkan, kadang tertawa bila terasa lucu, kadang keluar air mata tatkala berjumpa suatu ilmu yang selama ini tak diketahui. Ilmu itu seolah menyingkapkan dirinya, dan saya jadi terharu sehingga memerlukan beberapa lembar tissue untuk mengusap air mata. Ilmu itu datang ke meja saya dekat laptop tempat saya mengetik, ia menyingkapkan dirinya mirip seekor merpati putih yang mengembangkan sayapnya, maka saya ‘menangis’….kenapa? rupanya saya ini BODOH selama ini. Kemana saja kau merpati putih? Memang ilmu itu semakin mendekat bila kita mau bersahabat dengannya. Dan ilmu itu akan mempercantik diri kita bila ia dipraktekkan di tengah masyarakat. Ilmu itu bukan ‘diperkosa’ untuk mencari duit setamak mungkin, bukan semata untuk meraih posisi structural, bukan pula untuk memecah persatuan, tetapi ilmu untuk KEINDAHAN HIDUP BERSAMA jauhi fanatic buta. Di situ kita berjumpa dengan Nabi Muhammad saw: BERJUMPA dalam CITA2 indahnya hidup bersama, hidup berilmu pengetahuan, sebab di masanya dulu Nabi mengaku kekurangan SDM (Sumber Daya Manusia), katanya: Inna Ummati Ummiyatun….(sesungguhnya umat di masaku minim SDM). Hingga di sini cerita kita akhiri..siap2 untuk Ujian Terbuka.
Kesimpulan. Cukup sudah bagi saya melaksanakan wasiat Nabi: Uthlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi’ (Tuntutlah ilmu dari buayan hingga liang lahat). Ujian Terbuka nanti akan mengantarkan saya pada ujung bangku kuliah. Di ujung ini terlihat bahwa memang menuntut ilmu itu tak ada batas2nya. Tapi memang ada terasa sari pati akibat menuntut ilmu puluhan tahun: seakan selama ini saya tenggelam dalam air sebuah drum, lalu promotor menarik rambut saya keluar drum, dia bilang coba lihat alam di luar drum…ooo rupanya baru sadar diri saya bahwa selama ini BANYAK YANG BELUM DIKETAHUI. Rupanya para ahli ilmu pengetahuan punya TEORI2, rupanya saya selama ini tenggelam dalam Tradisi. Tradisi yang membuat pandangan saya terbatas, terkunci, terbelenggu. Saya belum pandai mengintip keluar Tradisi. Belum berani berpikir merdeka. Kata Francis Bacon ada 4 idola (arca) di dalam Tradisi yang sering mengunci pandangan kita (Idola Suku, Gua, Pasar, dan Teater). Yang susah ialah menyadarkan orang bahwa pandangannya terikat dengan Tradisi dan dia tidak sadar dan tak mau menyadari bahwa pandangannya terbelenggu oleh beberapa dari 4 idola di atas. Bagaimanapun juga tulisan saya tiap Jum’at akan selalu menjadi perekat persahabatan kita. Saya hanya berharap kepada anda semua, kejarlah cita2 anda, kuliahkan anak2 kita, majukan bangsa Indonesia dan bela aqidah kita tetapi ciptakan Indah Hidup Bersama (Harmony in Diversity). Sekian.
Significance of Issue (Hikmah). Pra Ujian Terbuka S3 membawa hikmah. Yang akan dihadapi nanti di saat Ujian Terbuka tentu sejumlah penguji bertitel Dr dan Profesor. Tetapi bukankah mereka itu dulu juga mahasiswa? Bukankah tulisan dalam disertasinya juga pernah dicoret oleh Promotornya? Ada hikmah. Boleh jadi sikap bijak mereka sekarang dalam membimbing dan menguji Promovendus adalah berkat pengalaman pahit mereka sendiri di masa lampau. Ada relung2 pengalaman kelemahan masa lampau dalam redaksional disertasinya yang mungkin bisa diintipnya kembali di dalam disertasi saya, dari situlah mungkin dia akan mencari TITIK TEMU HERMENEUTIS antara dia dan saya. Hebatnya filsafat Gadamer karena hermeneutika filosofisnya dapat menguntungkan kedua belah pihak. Guru Besar yang bijak adalah yang pandai membawa promovendus ikut mengembangkan ilmu pengetahuan bersama. Memang tidak akan pernah ada nilai yang betul2 OBJEKTIF: subjektivitas tak terelakkan. Tetapi saya yakin semua penguji saat Ujian Terbuka nanti adalah para guru besar yang penuh kasih sayang, penuh keteladanan dan penyemangat sesuai kata2 bijak Ki Hajar Dewantoro: ‘Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri Handhayani’ (Di depan pemberi teladan, di tengah pemberi semangat, di belakang jadi pendorong). Ayo generasi muda, selesaikan kuliah, selesaikan disertasi kalian hingga Ujian Terbuka S3! Bagaimanapun juga, bagi saya Kuliah hingga S3 adalah HUTANG, hutang kepada keluarga, hutang kepada almamater, mencontoh Muhammadiyah yang berhutang Peradaban, kata Prof. Syamsul Anwar, membayarnya bukan dengan menyelesaikan disertasi tetapi dengan menyelesaikan KHGT (Kalender Hijriyah Global Tunggal). Bila Muhammadiyah berhutang ber abad2 untuk menghitung jumlah bulan yang 12/tahun, saya malah berhutang bukan 12 tetapi 400 halaman hanya dalam beberapa tahun: jadi lebih cepat hutang saya lunas, benar kan?
Sekian dulu pembaca budiman, terimakasih sudah membaca, mohon maaf bila ada kata2 yang salah. Wassalam, Amhar Rasyid, Jambi.