Politik: Antara Profesi dan Tanggung Jawab Moral


Oleh: Agus setiyono
(Sek. PW Muhammadiyah Jambi)

Di dunia modern, politik sering kali dipandang sebagai profesi yang unik, kadang dengan kesan negatif yang tak dapat dihindari. Banyak orang merasa bahwa politik memungkinkan seseorang untuk berbohong, mencuri, menipu, dan tetap dihormati. Meskipun kesan ini bukanlah pandangan umum yang berlaku di semua negara atau sistem politik, tak dapat disangkal bahwa sejumlah praktik politik memang telah menyuburkan stereotip ini. Artikel ini akan mengulas mengapa persepsi semacam itu muncul dan bagaimana pandangan ini berimplikasi pada kehidupan demokrasi, kepercayaan publik, dan tata kelola yang baik.

Politik: Antara Etika dan Realitas

Politik, secara teoritis, adalah profesi yang mulia. Ide dasarnya adalah menjalankan mandat masyarakat demi kesejahteraan bersama. Namun, dalam praktiknya, banyak yang melihat politik sebagai sebuah profesi yang memungkinkan seseorang mencapai kekuasaan—terkadang dengan cara yang tidak jujur. Di beberapa tempat, politikus yang terbukti korup atau terlibat dalam manipulasi publik tetap dihormati oleh sebagian pendukungnya. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Fenomena ini umumnya berakar pada dua faktor: sistem kekuasaan yang mengandalkan pengaruh dan kompleksitas kepentingan politik. Di sisi lain, politikus sering menghadapi dilema moral ketika harus memilih antara kebijakan yang populer dan kebijakan yang benar. Situasi seperti ini bisa menciptakan “zona abu-abu” di mana tindakan manipulatif terjadi dan kadang dimaafkan oleh publik.

Pemilu Kepala Daerah: Ujian bagi Etika Politik

Dalam waktu dekat, Indonesia akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak, sebuah ajang yang tidak hanya krusial bagi demokrasi, tetapi juga rentan terhadap intrik politik, termasuk kampanye hitam atau black campaign. Masyarakat sering disuguhi informasi manipulatif atau palsu yang bertujuan untuk menjatuhkan lawan politik. Selain itu, isu lain yang menjadi momok di setiap Pilkada adalah praktik “serangan fajar.”

Serangan fajar adalah istilah yang merujuk pada praktik politik uang yang dilakukan menjelang hari pemungutan suara, biasanya di pagi hari, untuk membeli suara pemilih. Praktik ini telah lama menjadi momok bagi demokrasi Indonesia, namun juga menjadi harapan bagi sebagian masyarakat yang telah terbiasa dengan iming-iming uang atau barang sebagai bagian dari “ritual” pemilu.

Bagi sebagian orang, serangan fajar dianggap sebagai “bonus” yang dinanti-nantikan dalam setiap pemilu. Namun, praktik ini sejatinya adalah ancaman serius bagi integritas demokrasi. Politik uang tidak hanya merusak keadilan dalam proses pemilu, tetapi juga menciptakan budaya pragmatisme politik di mana pemilih tidak lagi memilih berdasarkan visi, misi, dan rekam jejak calon, melainkan pada keuntungan jangka pendek yang mereka dapatkan.

Sistem Politik dan Perilaku

Di banyak tempat, serangan fajar terjadi karena lemahnya pengawasan pemilu serta budaya masyarakat yang permisif terhadap politik uang. Kandidat yang mengandalkan strategi ini sering kali merasa bahwa memenangkan hati pemilih lebih mudah dilakukan melalui materi ketimbang persuasi politik yang substantif.

Selain itu, peran media dan persepsi publik juga berkontribusi pada munculnya pandangan bahwa politik adalah dunia penuh manipulasi. Politikus yang mampu “mengendalikan narasi” atau “membentuk citra publik” sering kali lebih dihormati, walau kenyataannya integritas mereka dipertanyakan.

Politik dalam Perspektif Sosial: Tantangan dan Harapan

Mengaitkan politik dengan tindakan tidak terpuji seperti berbohong, mencuri, menipu, hingga serangan fajar bisa berdampak besar terhadap partisipasi masyarakat dalam demokrasi. Ketidakpercayaan terhadap politisi menurunkan tingkat partisipasi pemilih dan membuat masyarakat enggan berkontribusi dalam aktivitas politik.

Namun, tidak semua politisi terlibat dalam perilaku tidak etis. Di berbagai negara, kita menemukan contoh pemimpin yang menunjukkan komitmen kuat terhadap nilai-nilai moral dan transparansi, serta berusaha untuk membuat kebijakan yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas.

Penutup

Pandangan bahwa “politik adalah profesi yang memungkinkan untuk berbohong, mencuri, menipu, dan tetap dihormati” tentu memerlukan penelaahan lebih mendalam. Meski ada politisi yang mungkin terlibat dalam praktik semacam itu, penting juga untuk mengakui bahwa banyak politisi yang bekerja dengan integritas dan dedikasi tinggi.

Dalam Pilkada mendatang, tantangan bagi masyarakat Indonesia adalah untuk lebih selektif dan kritis dalam memilah informasi, menolak serangan fajar, serta mendukung pemimpin yang benar-benar memiliki visi dan komitmen untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Hanya dengan demikian, harapan akan politik yang bersih, jujur, dan bermartabat bisa terwujud.
Wallahu a’lam bish shawab

*Silakan Share