IJAZAH JOKOWI: bulan indah bikin tanya


Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, Jum’at: 9 Mei 2025

Assalamu’alaikum wr,wb Yth, Bapak2/Ibuk2/Adik2 generasi muda bangsa, pembaca setia yang saya hormati. Pernahkah anda melihat bulan Purnama? Pepatah China mengatakan:’ Hanya orang bodoh yang melihat ke telunjuk bila ditunjuk orang bulan’. Kenapa telunjuk yang dilihat? Bagaimana bila bulan Purnama itu kita misalkan dengan ijazah Jokowi? Sudah banyak dipermasalahkan orang kasus ijazah S1 Mantan Presiden Jokowi yang dikatakan diperolehnya dulu dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, tetapi orang penasaran ingin melihat fisiknya. Karena penasaran, media massa ramai memberitakan, netizen ikut2an pula berkomentar, ada yang pro ada yang kontra, dan para pakar beradu argumentasi dengan pendekatan hukum, politik dan saintifik: jika ijazah itu memang ada, apakah ia asli atau palsu? Memang Bulan Indah bikin hati bertanya2…bila pada Jokowi tak boleh bertanya, elok kita tanya Buk Iriana…tak dijawab di Istana kita cari sampai Surakarta….tetapi jangan sampai tunggu dijawab di sorga, karena tak ada gunanya.

Pihak UGM kabarnya telah mengundang ke kampus tersebut beberapa pihak yang berkepentingan untuk menyaksikan dokumen, dan bahkan kabarnya rumah Jokowi di Solo juga sudah didatangi guna kepentingan klarifikasi,tapi dirasa belum memuaskan juga, biarlah… Bulan Indah Bikin Tanya. Namun focus saya di sini bukan mempersoalkan apakah asli/tidak asli fisik ijazah tersebut, tetapi lebih pada sesuatu yang bermakna bagi peningkatan ilmu pengetahuan kita yaitu membicarakan PEMIKIRAN ORANG. Apa yang terpikirkan di balik kasus ijazah Jokowi tersebut, bagaimana cara orang2 pintar bernalar, dan apa hikmah yang mungkin ada di baliknya, agar kita tidak lagi melihat ke ‘telunjuk’ bila ditunjuk orang Ijazah Jokowi. Diulangi, posisi saya diupayakan selalu dalam nasehat Socrates: Saya tidak membicarakan ‘aib orang lain (gossip), saya juga tidak pula membicarakan pekerjaan orang (ulah pelapor dan terlapor serta kerja/komentar bebas para netizen di mass media), tetapi saya membicarakan PEMIKIRAN, di antaranya, pendapat Mahfud MD, Hamid Awaluddin, Roy Suryo, Risman Sianipar, Komaruddin Hidayat, dr. Tifa, Yakup (b?) Hasibuan (pengacara Jokowi) dari sekian banyak sumber berserakan di tanah air. Ini penting bagi pendidikan bangsa terutama mahasiswa saya dan generasi muda umumnya. Bahan2nya penulis ambil dari Kompas TV, Metro TV, Podcast, Buku dan lainnya dengan pendekatan sedikit filosofis. Semoga anda senang membacanya.

Pertama, bila kitab Fikih Muhammadiyah (HPT) dimulai dengan membicarakan Kitab (Bab) Iman, maka kita awali pula diskusi ini dengan fenomena keyakinan Jokowi atas ‘keberkahan’ hari RABU. Bagi kita umumnya PNS, awal bulan adalah hari yang ditungu2 walaupun bukan hari RABU, tetapi bagi Jokowi beda. Mungkin banyak anda tak menyadari bahwa Jokowi ternyata ‘bergerak’ di hari RABU. Buktinya? Ground Breaking IKN hari RABU 25 Sept 2024. PEMILU dan PILPRES yang lalu diadakan pada hari RABU 24 November 2024. Bobby Nst dan Kahyang menikah RABU 8 Nov. Gibran dan Selvi Ananda melangsungkan pernikahannya (sekitar) hari RABU 9-10-11 Juni 2015. Dan ternyata baru2 ini Jokowi sudah melaporkan kasusnya ke Polda Metro Jaya juga pada hari RABU tanggal 30 April 2025, sampai2 Ibunda Jokowi (Hj, Sujiatmi Notomiharjo), setelah saya telusuri Google, ternyata meninggal lagi2 hari RABU 25 Maret 2020, tetapi Bapaknya Jokowi yang meninggal terlambat dari hari Rabu yaitu hari Kamis tgl 23 Juli 2020. Ada apa dengan fenomena KEBERKAHAN hari Rabu? Apakah anda juga mempercayai demikian? Hari RABU atau hari BARU?

Kedua, saatnya kita menyinggung PEMIKIRAN orang tentang ijazah Jokowi. Dian Sandi (pro Jokowi/dari partai PSI) dikatakan membuat pernyataan ‘heboh’ di mass media yang telah memamerkan foto ijazah dengan pernyataan: Ini Ijazah yang asli! Maka mata orang tertuju pada copy ijazah tersebut, tetapi banyak yang ragu antara percaya dan tidak percaya. Karena diragukan maka Roy Suryo menasehatinya: ‘Sebaiknya Pak Sandi, kata Roy Suryo, menulisnya begini: Apakah ini ijazah (Jokowi) yang asli? Sebab bilamana ternyata di kemudian hari setelah dibuktikan bukan foto ijazah yang diakui asli oleh Sandi, tetapi ada ijazah Jokowi yang betul2 asli tersimpan di tempat yang lain atau memang de facto tidak ada fisiknya, maka konsekwensi hukum akan mengarah kepada Dian Sandi sendiri yang telah membuat pernyataan tersebut. Resiko hukum ini yang perlu adik2 kawula muda ketahui, agar jangan sembarangan mengumbar pernyataan di depan public yang berakibat pidana. Urusan pidana urusan Polisi. Berat ancaman hukumannya.

Ketiga, berikut terdapat beberapa pengamatan pihak2 yang kontra Jokowi. Risman Sianipar (Terlapor/alumnus UGM/ahli forensic digital) nampak sangat bersikukuh pada pembuktian saintifik atas ijazah dan skripsi Jokowi. Dari hasil pengujiannya terhadap foto ijazah tersebut, katanya, ada banyak kejanggalan. Di antaranya, tinta stemple UGM yang ada pada Ijazah tersebut tidak terlihat membekas pada foto Jokowi yang ditempelkan di ijazah (seharusnya ada jejak bekasnya). Sementara dari hasil pengujiannya atas skripsi, yang berhasil diperolehnya secara fisik di Perpustakaan Fak. Kehutanan UGM katanya, menunjukkan beberapa kejanggalan juga. Karena Jokowi dikatakan lulus tahun 1985, ada perbedaan menyolok: di antaranya huruf (Font) pada Kulit Skripsi Jokowi sudah menggunakan Font Komputer (teknologi modern), sementara bagian isi skripsi di dalamnya huruf2nya masih diketik dengan mesin tik. Kenapa tidak sinkron? Bahkan Lembaran Pengesahan Skripsi oleh para Pembimbing dan Dosen2 Penguji belum ditanda tangani katanya. Seharusnya skripsi semacam itu belum boleh dikirim ke perpustakaan, kenapa ia sekarang ada di Perpustakaan? Kelemahannya menurut saya, Sianipar nampaknya masih berpegang pada bukti sekunder copy ijazah yang dipamerkan oleh Dian Sandi di atas. Artinya, Sumber Data Sianipar ini bukanlah ‘Primary Evidence’ sebab ia hanya melihat copy ijazah Jokowi yang dinyatakan ASLI oleh Dian Sandi. Bagaimanapun juga, ini adalah contoh cara berargumentasi berbasis sains dalam tradisi akademik. Bukti2 saintifik bisa diuji di level internasional.

Roy Suryo (Terlapor/alumnus UGM, mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga di zaman SBY). UGM katanya mengkalim sudah menunjukkan 34 tesis tetapi buktinya tidak dihadirkan semua di atas meja, hanya 1 yang diberikan oleh pihak UGM dan ini akan berguna bagi Roy sebagai Primary Evidence. Di zaman sekarang, katanya, dokumen2 masa lalu tidak bisa dirahasiakan lagi manipulasinya, sebab ia bisa diverifikasi oleh kemajuan technologi katanya. Selain itu, Roy mengatakan bahwa tanggal 30 April adalah Hari Keterbukaan Informasi Publik. Sekarang dihadiahkan hari tersebut oleh mantan Presiden Jokowi dengan melapor ke Polisi katanya. Tentang kerahasiaan dokumen, Roy mengatakan bahwa Ijazah dan Kartu Mhasiswa boleh diungkap ke Publik. Yang tak boleh diungkap, katanya, adalah Nilai, Transkrip dan penyakit dalam yang diderita seseorang…itu sangat pribadi (mungkin begitu maksud Roy). Dasar hukumnya, katanya, adalah UU Keterbukaan Publik No. 14 tahun 2008. Dengan nada nampak jujur dia mengatakan, boleh jadi nanti dalam menverifikasi, software yang digunakannya bisa salah katanya, tetapi saya (Roy) tak boleh bohong. Terkait dengan Roy, Abraham Somad (Mantan Ketua KPK), dalam kesempatan lain, mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Jokowi atas Roy Suryo dkk, adalah pembungkaman suara2 kritis..ini melanggar hukum katanya..sebab mengeluarkan pendapat itu dijamin oleh hukum. Di sini nampak argumentasi saintifik telah diiringi dengan argument hukum. Bila diibaratkan argument santifik dan argument hukum dengan dua ekor udang dalam air, maka di hadapan udang2 tersebut bakal ada BATU BESAR yaitu argument politis: menurut anda mana yang kalah/menang? Kita lihat saja nanti! Nasehat Munarman (mantan anggota FPI) janganlah cepat2 ke ranah hukum, sebab ranah hukum itu ‘sempit’ banget.

Kemudian ada komentar Ilham Saputra:(Ketua KPU), mengatakan bahwa untuk memverifikasi suatu ijazah, KPU selalu membuat POKJA (Kelompok Kerja). POKJA inilah selanjutnya yang akan menanyakan keaslian copy ijazah yang telah dilegalisir oleh sang calon ke almamaternya. Yang ditanyakan adalah apakah yang bersangkutan pernah kuliah di sini (almamater), dan apakah benar ijazahnya dikeluarkan di sini? Itu saja kata Ilham kerja Pokja KPU di masanya. Artinya pengecekan keabsahan ijazah seorang calon Presiden tidak dilakukan secara saintifik. Adapun kerja KPU sebelum dia, entahlah katanya. KPU di masanya tidak lagi menggunakan data KPU lama ujarnya. Begitulah cara orang2 KPU bekerja. Gus Dur dinyatakan sehat oleh team Kesehatan, ya diterima oleh KPU. Megawati tidak punya ijazah Perguruan Tinggi, ya SMA cukuplah. Anehnya kini syarat untuk menjadi dosen, anda harus S2…ya ketat..bahkan lebih ketat lagi syarat untuk berpoligamy..anda harus mendapatkan persetujuan dari isteri tua. Ini jauh lebih sulit dari pada syarat untuk calon Presiden.

Ada juga teman Roy Suryo dan Sianipar yaitu Dr. Tifa (Terlapor/alumnus UGM/F. Kedokteran/ahli anatomi). Katanya, bukti2 foto di ijazah seseorang akan sangat mendukung bagi adanya kecurangan dengan ijazah yang asli. Misalnya, batang hidung. Tulang batang hidung seseorang, katanya, walaupun sudah menua, tidak memanjang, tetapi hanya otot hidung yang boleh jadi melebar. Ini bisa diteliti. Dan jarak posisi antara dua mata (kiri-kanan) akan selalu tetap/tidak berobah katanya. Maka bila ada foto yang satu jarak matanya sekian, dan yang lain beda sekian, bila terbukti ada perbedaan antara kedua ijazah yang dibandingkan, maka ini bisa dikategorikan pemalsuan jelasnya. Ini ilmu baru bagi kita. Maka hati2 mencuci muka waktu berwudhuk, bila bergeser jarak mata anda, akibat diusap kuat2 5 x sehari/semalam, bisa jadi nanti timbul persoalan dengan ijazah lama anda. Saya guyon.

Kedua, dikutip dari Pos Kota, Mahfud MD pernah mengatakan di TV dan kanal YouTubenya bahwa pihak UGM tak usah repot2 menjelaskan keaslian ijazah Jokowi. Tak semestinya UGM diseret kepada pusaran konflik hukum, yang menurut Mahfud, tidak beralasan. Yang penting, katanya, otoritas UGM cukup mengatakan bahwa kami (UGM) sudah mengeluarkan ijazah dan menyerahkannya pada yang berhak. Adalah tugas Jokowi selanjutnya, sebagai pemilik ijazah, untuk menjelaskan tentang keasliannya. Bijak sekali, sangat normative, logika transendental. Ibarat al-Qur’an, seakan2 Mahfud ingin mengatakan bahwa Allah telah menjamin keasliannya dengan menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw, selanjutnya adalah tugas manusia untuk membuktikannya (bila ragu2).

Yang perlu kita lirik sekarang ialah: apa makna di balik pernyataan Mahfud tersebut mengingat posisinya sebagai Menkopolhukam di zaman Jokowi? Sebab logikanya begini: Bila ada orang menggoyang batang pohon besar, walaupun sudah mati pohonnya, maka cabang2 dan ranting pohon boleh jadi akan ikut bergoyang. Mengapa saya berkata demikian? Sebab di tempat lain Mahfud mengatakan bahwa bila ada orang mengatakan ijazah Jokowi palsu maka akibatnya semua keputusan2 yang dibuatnya selama menjabat Presiden akan batal. Jawab Mahfud: Ini tidak bisa. Yang palsu biarlah palsu, tetapi semua keputusannya tetap berlaku sah katanya. Coba lihat, pernyataan semacam itu tentu akan didengar oleh banyak Hakim2 dan Jaksa di negeri ini (sebagai penjaga tiang gol di dunia peradilan), dimana mereka sebagian besar adalah ‘murid2’ Mahfud mengutip Refly Harun. Sekali dia memberikan statement, dunia peradilan dari Sabang sampai Merauke akan mendengarnya.

Menariknya lagi, ketika dia mengatakan bahwa UGM tak semestinya diseret kepada konflik hukum, sejauh yang saya ketahui Mahfud tidak mengutip undang2, peraturan2, pasal2, tetapi opini. Opini yang berdasarkan unsur2 empiric. Ini boleh jadi buah dari pengalaman politiknya di pentas nasional. Boleh jadi Mahfud yang ahli hukum tata negara tersebut ingin hanya melepaskan UGM dari konsekwensi pidana atau ending polemic kasus tersebut di Pengadilan nanti diharapkannya akan berujung pada……….(entahlah…silahkan tanya pada rumput yang ber….goyang!) kata Ebiet. Dia sangat pintar menerka ada apa di balik ‘bulan’? ‘Saya harus bagaimana sekarang’?…. itu kata kuncinya, setiap dia melihat ada fenomena politik yang signifikan di negara ini. Anda, yang punya bakat politik, boleh belajar dari kepintaran Mahfud.

Ketiga, Komaruddin Hidayat (Mantan Rektor UIN Jakarta) dalam acara Dua Arah di Kompas TV …saya lihat sikap Prof. Komar sangat bijak, tidak berbicara lepas semaunya, tidak emosi, tidak berpihak dan tidak mempunyai konsekwensi hukum dari kata2 yang dilontarkannya di depan umum, murni akademik. Kalimat2 dan pernyataannya disusun, diucapkan dimana posisinya sebagai guru besar akan mampu menyinari pemirsa TV, menyinari dengan butir2 hikmah dan pengetahuan, statementnya nampak betul2 dijaga agar tidak bisa dijadikan alasan untuk menuduh atau menyalahkannya di kemudian hari. Prediksinya ialah boleh jadi nanti kasus ini akan bisa dibuktikan secara hukum (asli/palsu) oleh para ahli, atau dibawa ke ranah politik oleh mereka yang berkepentingan dan boleh jadi juga ijazah tersebut akan diverifikasi secara saintifik. Prof. Komar mengingatkan, Medsos tak bisa mengontrol, dikhawatirkan nanti bakal ada penumpang gelap. Katanya, polemic ijazah ini telah melelahkan umat (wasting time), tetapi ia juga berguna sebagai pendidikan politik bagi bangsa Indonesia. Masih dalam acara yang sama, Prof. Komar juga mengatakan bahwa polemic ini juga merupakan bagian dari marketing UGM. UGM dijatuhkan tetapi akan berimbas semakin melejitnya nama UGM sebab dua2nya (mungkin maksudnya Roy dan Sianipar) orang UGM.

Support psikologis juga diucapkannya. Klarifikasi ke UGM rasanya sudah cukup, katanya, tetapi kalau ada keraguan silahkan dipatahkan, tetapi anda (Roy Suryo) juga harus siap2 untuk dipatahkan. Bagus bila dibawa kasus ini ke Pengadilan, jangan sampai ada ‘Penumpang Gelap’ dia mengingatkan. Selanjutnya dikatakan bahwa Jokowi sudah milik bangsa, dan dia punya hak, sebagaimana anda Roy juga punya hak. Wali Amanah UGM dan rakyat sama2 ingin agar polemik ini cepat selesai. Yang penting adalah prosesnya kata Prof. Komar, perlu niat para actor untuk bisa selesai agar rakyat Indonesia jangan sinis nantinya. Maka Prof. Komar mempertanyakan: dalam kasus ini apa sebetulnya yang terjadi? Apakah actor menciptakan pentas, atau pentas menciptakan actor? Who knows? Hampir senada dengan Prof. Komar, Hamid Awaluddin (Mantan Menteri HAM) juga berkomentar di Mata Najwa ( Metro TV Sabtu 3 May 2025) bahwa kasus ijazah palsu ini sengaja diperpanjang, dijaga terus, agar Jokowi tetap hadir di panggung politik nasional. Komentar Munarman lagi, ini adalah reproduksi popularitas. Cara berpikir serupa ini, cara berucap di depan umum dan cara menyusun kata2 oleh kedua tokoh ini mungkin perlu ditiru, sebab kebiasaan kita mudah terseret emosi dan lupa diri ‘kita ini siapa?’.

Terakhir, Yakup Hasibuan (Pengacara Jokowi). Yang dilaporkan oleh Pak Jokowi, katanya, adalah PERISTIWAnya, bukan SIAPAnya. Dengan kata lain, yang dilaporkan oleh Jokowi adalah pencemaran nama baiknya, bukan sosok Roy dan kawan2. Apa kritik Yakup kepada pihak lawannya? Pihak Roy dan kawan2, katanya, tak berhak mengatakan ijazah itu Palsu, sebab itu adalah domainnya Hakim. Sebaiknya kata2 Palsu itu diganti dengan ‘Tidak Identik’ saran Yakup. Namun bagaimana bentuk ijazah yang betul2 asli, yang dapat dipegang secara fisik, tidak pernah diperlihatkan baik oleh Jokowi sendiri. Banyak orang bertanya2 mengapa ia terus disembunyikan? Netizen banyak berkomentar, apalah sulitnya untuk menunjukkan fisik ijazah tersebut bilamana ia betul2 ada dan ASLI agar bangsa Indonesia ini tenang dan tidak membuang2 waktu. Yakup nampak berargumentasi di ranah hukum, bukan di ranah saintifik. Ibarat keduanya berkelahi, Roy Suryo memegang pedang, sementara Yakup memegang kapak. Ya beda. Jangan2 kapak tersebut sudah dimandikan pula sebelumnya dengan kembang (bunga) pada hari Rabu. Kapak bisa dijadikan palu di atas meja hijau, sementara pedang harus disimpan tetap di pinggang dalam sarungnya. Coba anda pikir, kenapa pembela Jokowi dalam debat di media massa tak berani pegang pedang alias tak berani bicara digital forensic dan bukti2 ilmiah, tetapi selalu bicara hukum? Sementara hukum dan politik itu berdekatan, ibarat ‘rumah dengan dapur’…bila kepepet tinggal melompat. Repotnya, bila argument saintifik dapat diuji di level internasional, argument politis hanya nasional.

Dari uraian di atas terlihat bahwa cara bernalar, bergumentasi dan tampil di depan public oleh para tokoh sangat berbeda dengan cara2 orang awam membicarakannya di mass media. Mahfud MD, Komaruddin Hidayat, Roy Suryo, Rismon Sianipar, dr. Tifa, Yakup Hasibuan, Hamid Awaluddin, semuanya BIJAK bicara. Pernyatan2 mereka tidak emosional, tidak debat kusir, selalu argumentative, dan mereka pandai ‘memposisikan’ dirinya dengan untaian kata2 yang berusaha meyakinkan orang ke pihaknya. Mereka seakan sudah memikirkan: Bila saya bicara begini, nanti posisi saya dimana? Pertanyaan filosofisnya ialah mengapa pihak pembela Jokowi dan Roy Suryo dkk berbeda pendapat? Mengutip pendapat filosuf. Hans Georg Gadamer perbedaan pendapat timbul karena adanya perbedaan pada unsur2 Pre Understanding (Pra Pemahaman) sebagai dasar selanjutnya untuk menggapai Understanding bersama. Manusia ini, kata Gadamer, semula bersepaham tetapi kemudian tak sepaham. Penyebab tak sepaham tersebut bermacam2. Caranya untuk Bersepaham (Understanding) tak lain ialah dengan mengadakan proses dialog berkepanjangan, open minded, agar semakin terlihat ufuk Kebenaran, termasuk dalam masalah ijazah Jokowi tersebut. Berdialog bukan berdebat: berdialog menggali kebenaran bersama, demi kesepahaman bersama, sementara berdebat adalah mempertahankan Pembenaran sepihak, tidak ingin mencari titik temu, boleh jadi ada kepentingan (vested interest) di baliknya. Boleh jadi di pihak Jokowi sudah ada yang hati sanubarinya menerima kebenaran saintifik pihak lawan, tetapi tetap melawan mungkin dengan pembenaran. Bila sidang pengadilan nanti akan berujung pada pendekatan hukum dan politis, bukan saintifik, janganlah hendaknya sampai terjadi ‘Pembenaran’.

Kesimpulan lain, suatu kasus nampaknya menjadi hangat di negeri ini biasanya setelah dipolitisasi. Orang2 pintar seakan mempolitisir ‘bulan’ tetapi banyak di antara kita terpesona melihat ke ‘telunjuknya’, bukan ke bulan. Umat Islam juga demikian. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, setelah Nabi wafat pada tahun ke 11 H, bukan persoalan teologi yang mula2 muncul di kalangan umat, tetapi persoalan politik. Lihat bukunya TEOLOGI ISLAM (Jakarta: UI Press), p. 1. Dengan kata lain persoalan teologi Islam adalah imbas dari persoalan politik Muslim. Apa yang saya pahami dari pernyataan Prof. Harun ini ialah bahwa sekarang kita umat Islam ‘mengunci diri’ pada teologi sebagai imbas dari warisan politik semacam itu, dan kita bangga menjadi penganut Asy’ariyah, Maturidiyah, Syi’ah, seakan diyakini bahwa teologi semacam itu adalah warisan ajaran Nabi Muhammad saw. Padahal Nabi telah wafat sebelum lahirnya teologi Asy’ariyah. Ajaran Asy’ariyah yang terkondisi oleh historis itulah yang kita ‘tempelkan’ sebagai ajaran Nabi. Demikian pula, bila kasus ijazah dipolitisir, boleh jadi akan berujung pada semakin populernya pihak2 yang berkepentingan di panggung politik, juga semakin naiknya nama almamater yang disebut2 maka akan semakin banyak isi rekening banknya akibat banyaknya calon mahasiswa yang tertarik untuk mendaftar kuliah di masa mendatang,…Secara politis, mungkin ada benarnya pernyataan Hamid Awaluddin: kasus ini dijaga, dipertahankan terus agar eksis dan Jokowi, dalam bahasa saya, tetap ‘nge trend’ di panggung politik nasional. Di masa datang, juga menurut dugaan saya, mungkin popularitas Jokowi yang selalu dipentaskan menjelang 2029 akan berguna bagi modal Gibran guna maju ke jenjang Capres atau bagi Bobby. Makanya adik2 muda dan mahasiswa saya jangan terpesona, sekedar sibuk gossip di WA, Facebook, Instagram, gossip tentang ijazah Jokowi. Itu sama dengan melihat ke ‘telunjuk’ bila ditunjuk orang ………ijazah……. Jokowi.

Significance of Issue (Hikmah):

  1. Di masa yang akan datang bakal banyak pihak yang akan bersikap hati2 terhadap status hukum ijazah: para almamater tentu termasuk UIN di mana saya tamat dan mengajar, KPU di segenap lini, bahkan sang pemegang ijazah sendiri. Administrasi akademik dan KPU akan semakin rapi, pencatatan ijazah akan semakin ketat, sebagai imbas dari polemic kasus Jokowi. Ini adalah pendidikan politik bangsa yang sangat berharga.
  2. Pemikiran hukum kita di Indonesia nampaknya secara teoritik banyak diinspirasi oleh ajaran positivisme hukum Hans Kelsen yang saya simpulkan dari ceramah hukum oleh Mahfud MD dan Rocky Gerung. Sementara Kelsen sendiri adalah seorang Yahudi Austria teman dekat Sigmund Freud. Pertanyaan yang timbul, apakah ada unsur2 psikologi Freudian yang masuk ke dalam pemikiran hukum kita bila dilihat dari pengaruh teori Hukum Murni dan Norma Dasarnya Hans Kelsen?
  3. Ada sebuah Pantun yang dibacakan oleh seseorang di Acara Wisuda Pascasarjana III di UGM Kamis 23-24 April 2025 sekarang diunggah di FaceBook. Pantun itu sangat menarik untuk didengar, bunyinya begini: ”Ubur2 Ikan lele….., dimasak dengan tahu dipagi hari….. Jangan lupa ijazahnya nantinya difoto ya le……., siapa tahu ada yang bertanya di kemudian hari”. Hhhaaaa hebat juga.

Sekianlah diskusi kita pembaca budiman, terimakasih telah membaca tulisan saya setiap hari Jum’at. Mohon maaf bila ada kata2 yang kurang bijak, pamit, Wassalam. Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share