GADAMER….GADAMER: APA ITU PEMAHAMAN?

Jambi, Jum’at 26 July 2024, Assalamu’alaikum wr,wb Bpk2/Ibuk2/Adik2ku/Anak2ku/Mhsw2ku dan segenap pembaca budiman di mana saja berada, baik Muslim maupun non-Muslim. Jum’at lalu saya mempersembahkan tulisan mengenai Ujian Tertutup S3 saya, dalam tulisan tersebut disinggung filsafat hermeneutika Gadamer. Tetapi kali ini saya tidak akan bicara isi disertasi, tetapi hanya bicara tentang konsep Pemahaman oleh GADAMER. Memangnya siapa itu Gadamer? Apa yang dibicarakannya? Ini perlu dijelaskan karena dalam tulisan saya Jumat kemaren banyak yang tertarik, banyak yang berkomentar, tetapi mungkin jarang yang paham tentang filsafat Gadamer.

Hans-Georg Gadamer adalah seorang filosuf Jerman, hidup tahun 1900-2002. Buah pikirannya telah banyak mempengaruhi dunia akademik, peradilan, kepurbakalaan, seni sastra dan ilmu hukum di dunia modern. Bagi kita yang penting di sini ialah memahami cara berpikirnya tentang arti PEMAHAMAN. Cara berpikir filosuf yang pantas untuk dipikirkan menyimak Socrates. Rupanya setiap Pemahaman kita, menyimak Gadamer, terdiri atas 3 komponen: Keterlemparan (Faktisitas) + Prasangka + Dimensi Sosial. Apa maksud semua ini? Untuk membahasnya kita mulai terlebih dahulu dengan membicarakan Unsur2 Prapemahaman yang disebutnya dengan Prasangka yang disebut juga dengan Prejudice. Gadamer sendiri dalam bukunya Truth and Method menyebutnya Fore-meaning. Ingat, istilah Pra (sebelum) pemahaman dan Pemahaman nanti akan ditemukan silih berganti, harap jangan bingung. Dan harus ingat juga bahwa Heidegger adalah gurunya Gadamer.

Apa itu PEMAHAMAN (VERSTEHEN)? Ini adalah Pemahaman yang terkait hidup di dunia nyata ini. Kita hidup saling memahami. Kita cekcok karena beda pemahaman. Manusia tidak berpikir hal yang sama, kata F. Budi Hardiman, meski mereka memakai kata2 yang sama. Oleh sebab itu kita perlu memahami. Memahami adakalanya secara spontan, dan adakalanya dengan usaha. Lantas apa isi pemahaman? Ini yang difilsafati oleh Gadamer. Banyak orang merasa sulit memahami filsafat (pola pikir) Gadamer, termasuk salah seorang Promotor saya katanya, tetapi ada nasehat dari sarjana lain agar dapat memahami Gadamer, mulailah sedikit demi sedikit dengan memasuki relung2 pemikirannya. Pelan2, nanti akan terlihat celah yang dapat dipahami. Biar agak mudah dicerna, saya akan paparkan dalam tulisan Jum’at ini dengan model narasi diiringi dengan contoh2 keseharian. Mudah2an anda senang membacanya! Mungkin masih ada yang menduga bahwa hermeneutika untuk menafsirkan Bibel. Bukan lagi. Hermeneutika Gadamer bukan sebuah teori untuk menafsirkan teks. Jangan su’u zhann. Gadamer memikirkan bagaimana Pemahaman semua anak manusia terjadi.

Hermeneutika Gadamer untuk keperluan kita semua, keperluan anda dan keperluan saya. Pemahaman, menurut Gadamer, lebih tua usianya dari pada Tak Kesepahaman. Contoh dari saya, Palestina dan Israel itu dulu telah ada ‘Kesepahaman’ kedua pihak, damai2 saja, Palestina orang asli sementara Yahudi pendatang, Yahudi dari berbagai penjuru dunia datang dan membeli tanah/rumah orang Palestina, dikira penjualan biasa2 saja, akhirnya menyatakan: ‘INI TANAH AIR KAMI’ kata Yahudi, maka kemudian timbul cekcok, keTak Sepahaman..hingga berlarutlah perang sampai hari ini karena ketidak sepahaman. Demikian pula kasus rumah tangga anda. Anda yang bercerai dengan isteri anda sekarang, kan dulunya…I love You, dari kesepahaman berdua, yaitu di saat mana ‘tai kambing rasa coklat’ kata anak muda, mana ada orang menikah akibat cekcok? Begitu cara berpikir Gadamer. Ada 3 unsur pemahaman (Prasangka, Keterlemparan dan Dimensi Sosial). Bila unsur pemahaman ada 3, maka unsur Prasangka juga ada 3.

Pertama, apa itu Prasangka/Prapemahaman? Sudah saya jelaskan Jum’at kemaren bahwa konsep Prasangka, bukan dalam arti husnuz zhan/Su’uz zhann (prasangka baik/buruk), tetapi ia adalah Modal Awal. Prasangka bagi Gadamer ialah hal yang memungkinkan kita untuk dapat mulai memahami/menafsir segala sesuatu. Prasangka harus ada, dan wajar ada dalam setiap diri kita. Tak bisa kita lepas total/bebas 100% dari Pasangka bila hendak mulai memahami segala sesuatu. Bagi saya ada contoh sederhana, mudah2an benar. Bila anda memegang HP. Mula2 anda akan bertanya dalam hati: Ini benda apa? Ini HP. Bukan korek api, bukan kotak besi biasa, bukan dll, tetapi sebuah telpon genggam. Setelah itu anda mulai bertanya lagi dalam hati : Untuk Apa? Kata orang (yaitu pendapat umum) untuk berkomunikasi, menonton gambar, ngaji al-Qur’an, dan lainnya. Lantas selanjutnya boleh jadi anda akan menggunakan konsep agama karena anda taat beragama, sambil bertanya dalam hati: HP ini apakah ‘haram/mubah’ bila dibawa masuk wc karena ada ayat suci di dalamnya?

Dari contoh di atas nampak ada 3 unsur prapemahaman yang selalu muncul (akibat keberadaan kita) tatkala kita mulai memahami segala sesuatu: 1. Apa ini: dinamai Vorsicht (dalam bahasa Jerman). 2. Manfaatnya apa (kata orang): dinamai Vorhabe. Vorhabe, menurut penjelasan F. Budi Hardiman, artinya ‘rencana’ atau (memiliki lebih dahulu). Misalnya, untuk memahami sifat orang Yogya menurut saya, anda sudah memiliki lebih dahulu pemahaman umum (kata orang) tentang sifat2 orang Yogya: lemah lembut, sopan, dan lainnya. Untuk memahami orang Minang, anda sudah punya pemahaman umum lebih dahulu sebelum pemahaman pribadi anda muncul, misalnya orang Minang suka merantau, berjiwa dagang, pintar memasak, matrilinial. Itu kata orang. Apakah memang begitu sebenarnya, nanti akan tersingkap Pemahaman pribadi anda. Dan unsur ke 3 adalah konsep yang akan diterapkan: dinamai Vorgriff. Konsep nomor 3 inilah yang memberi kerangka awal bagi penafsiran menurut Heidegger. Semuanya membentuk unsur2 Prasangka sebagai modal awal untuk memahami. Memang disadari oleh Gadamer, prasangka adakalanya mengandung informasi yang sah/legitimate dan yang tidak sah/illegitimate. Yg tidak sah dibuang, yang sah terus dipupuk dalam proses memahami. Berikut ini saya kutip kata2 Gadamer:
…understanding achieves its full potentiality only when the fore-meaning that it uses are not arbitrary. Thus it is quite right for the interpreter not to approach the text directly, relying solely on the fore-meaning at once available to him, but rather to examine explicitly the legitimacy, i. e the origin and the validity of the fore-meaning present to him. (H. G. Gadamer, Truth and Method, London: Sheed and Warp, 1975, p.237). Artinya, ..pemahaman mencapai puncaknya hanya tatkala Prasangka yang dimiliki tidak sembarangan. Maka akan sangat bijak bagi seorang penafsir jangan langsung menafsirkan teks, dengan hanya mengandalkan pada prasangka yang serta merta muncul dalam dirinya, tetapi akan lebih baik bila menguji keabsahan (prasangka) tersebut dengan teliti. Maksudnya menguji asal muasal dan keabsahan prasangka yang muncul dalam dirinya).

Perlu diketahui bahwa Pemahaman yang akan disingkap oleh Heidegger adalah pemahaman eksistensial (bukan kata orang umum, bukan yang diajarkan secara formal, tetapi apa yang akan tersingkap nanti). Ibarat anda solat, yang akan disingkapkan adalah pemahaman cara solat, bukan menurut kiyai/ustaz/Imam Syafi’i/guru2 anda, tetapi pemahaman yang lepas dari ajaran2 semuanya (sebab ini semua masih pada tahap Vestehen ontis namanya). Yang akan dituju ialah pemahaman yang akan menyingkap ke arah pengalaman solat Nabi yang orisinil (ini namanya Verstehen eksistensial, sangat metafisis, ini yang diinginkan oleh Heidegger). Tetapi bagi Gadamer tak semetafisik itu. Maaf agak susah ya? Saya sudah berusaha keras memberikan contoh2 yang paling mudah dalam keseharian, tentu ia bukan contoh2 dari Heidegger. Boleh jadi saya salah. Boleh jadi guru besar yang membaca ini lebih paham dari pada saya, asalkan jangan ‘kurang’ dari ilmu saya.

Mau contoh Prapemahaman yang lain? Ini contoh dunia muda mudi. Boleh jadi anda berkenalan dengan seorang mahasiswi cantik berdarah Minang di kampus. Anda akan mulai berpikir: Siapa mahasiswi yang cantik itu? Namanya, katakanlah Lenggogeni (nama gadis Minang). Lantas, dalam hati anda bertanya lagi, anda bisa apa dengannya? Maka boleh jadi timbul jawaban (menurut pendapat umum): Bisa menikahinya. Kemudian muncul lagi pertanyaan ketiga dalam hati: Kalau saya nikah dengannya, bukankah orang Minang itu materilanilal ya? Kata ‘matrilenial’ di sini adalah konsep antropologi budaya namanya. Diulangi lagi, ketiga unsur tersebut diakui oleh Gadamer wajar ada, ia harus ada, sebagai modal awal untuk memulai pemahaman selanjutnya, meniru gurunya Heidegger. Boleh jadi anda tidak hanya tahu konsep ‘materilenial’ saja, tetapi lebih canggih lagi, misalnya anda juga tahu kerangka pikir Emile Durkheim (sosiolog) atau konsep pemikiran Prof. Koentjoroningrat (ahli antropologi), maka kualitas Pemahaman anda nantinya akan semakin tinggi pula tentang si gadis Minang tersebut.

Namun sebaliknya, bila anda tak paham konsep materilenial, hanya tahu bahwa gadis Minang pintar masak (kuliner), maka Pemahaman anda nantinya akan berkualitas kurang ilmiah pula, sebab si gadis Minang tersebut telah diletakkan pada konsep yang kurang ilmiah. Artinya, semakin ilmiah konsep digunakan, maka akan semakin berkualitas pula Pemahaman yang akan dihasilkan nanti. Mirip membuat gulai daging, semakin segar daging dan rempah2 yang anda gunakan, maka akan semakin enak/lezat hasil gulai anda nantinya. Demikian pula bila anda bertanya pada professor anda. Semakin berkualitas pertanyaan yang anda ajukan padanya, maka akan semakin ilmiah pula jawaban yang akan diberikan oleh professor, kecuali bila profesornya dak mampu menjawabnya. Coba bayangkan bila anda memberikan sebuah permen karet pada seorang anak TK. Apa kira2 unsur Prapemahamannya? Dalam hatinya sambil memegang permen karet tersebut seakan berkata: Ini apa? Permeeen katanya. Untuk apaaaa? Dimakan. Lantas muncul (konsepnya): Enaaaaak lho. Itu umumnya pemahaman anak TK. Bagaimana bila si anak TK tersebut mampu berbicara konsep2 ilmiah komposisi permen karet: gum, resin, calcium carbonade, dan BHT? Bisa dibayangkan betapa tingginya kualitas pemahamannnya terhadap permen karet. Profesor permen karet.

Nah sekarang kita pindah membicarakan unsur kedua yaitu konsep Keterlemparan (Faktisitas). Apa itu Faktisitas? Faktisitas artinya ‘Keterlemparan’(Geworfenheit Bahasa Jermannya yang diambil Gadamer dari Heidegger). Terlempar gimana? Setiap kita dipahami sebagai ‘terlempar’ kepada suatu kondisi yang boleh jadi tak terduga sebelumnya, tau tau sudah di situ. Contohnya, anda sudah terlempar pada tradisi NU, memangnya siapa sangka, sejak kecil sudah ikut2an baca qunut subuh dan ikut2an tahlilan kematian? Anda sekarang ‘terlempar’ hidup di Jambi, di Jawa, di Sulawesi, siapa sangka sebelumnya, kecuali anda ‘terlempar’ ke dalam kubur di balik liang lahat…itu tak dibicarakan oleh hermeneutik Gadamer. Nah, keterlemparan2 semacam itu dalam hidup juga ikut membentuk Pemahaman kita akhirnya. Keterlemparan itu tidak mengikat selamanya, boleh saja anda keluar/lari dari keterlemparan tersebut. Keluar/lari dari NU, lari dari Muhammadiyah, toh Nabi Muhammad saw juga bukan NU dan bukan pula Muhammadiyah. Hanya anda yang ‘terlempar’ kesitu tak mau/tak mampu keluar. Sampai di sini apakah anda semakin suka dengan hermeneutik?

Jadi dalam Pemahaman kita terdiri dari unsur Faktisitas + unsur2 Prapemahaman yang 3 tadi + Dimensi sosial. Apa itu dimensi sosial? Dimensi sosial ialah lingkungan yang akhirnya juga ikut mempengaruhi pola pikir kita. Bila dimensi sosial kita sudah dipengaruhi, umpamanya, oleh HP, WA, Youtube, Facebook, Tik Tok, maka isi otak kita diwarnai oleh kandungan dimensi sosial semacam itu. Pemahaman kita berisi kandungan dari berbagai mass media semacam itu. Demikian pula bila dimensi sosial anda petani, pedagang, lingkungan kerja yang ABS, korupsi, preman, bandar narkoba, maka isi Pemahaman anda ya dipengaruhi oleh dimensi sosial tersebut. Maka orang2 politik seperti Jokowi, Mega, Mahfud MD ya Pemahaman politiknya jelas berbeda dengan kita karena dimensi sosial yang berbeda. Coba anda bayangkan bila anda mendirikan sekolah/pesantren jauh di tengah hutan, terisolir, bagaimana jadinya Pemahaman santri2 nantinya? Dimensi sosialnya menentukan Pemahaman mereka.

Singkat kata, anda tak bisa lepas dari ke 3 unsur di atas kata Gadamer karena anda hidup dalam suatu tradisi tertentu. Prasangka terkubur dalam tradisi. Misalnya tradisi Islam, tradisi Kristen Protestan, tradisi NU, tradisi Muhammadiyah (Muhammadiyah anti tradisi? Itu kata mereka. Penolakan itu sendiri berarti sudah membentuk tradisi, ya tradisi Muhammadiyah namanya), ada juga tradisi Sunni, tradisi ideologi Pancasila, tradisi Jawa, tradisi Betawi, dan lainnya. Jadi tradisi itu mirip ‘kolam renang’ tempat kita berenang, airnya selalu melekat di tubuh kita, dan pandangan kita dibatasi oleh pinggiran kolam renang tersebut. Di dalam tradisi semacam itulah terdapat unsur2 pemahaman. Anda dan saya tak bisa ‘bebas’ dari pengaruh tradisi. Unsur2 Prapemahaman lengket pada kita, karena ia terkubur dalam tradisi. Bila unsur2 semacam itu terus diperbaiki, ditingkatkan kualitas ilmiahnya, maka pemahaman anda nantinya akan semakin berkualitas pula. Bila selesai S1 unsur Prapemahaman anda begini. Bila telah selesai S2 meningkat lagi, apalagi bila telah selesai S3 seharusnya lebih bermutu kualitas hasil Pemahaman anda. Dengan cara apa? Ya dengan cara kritis terhadap unsur2 Prasangka yang anda bawa menafsir apa saja dari tradisi anda.

Kata Heidegger, bila seseorang menafsir, ia membawa latar belakang Tradisi yang sudah ia miliki sebelumnya. Jadi bila ustaz Somad menafsirkan ayat, dia sudah mengantongi latar belakang ilmunya selama di Maroko, tradisi keNUannya, ideologi keIndonesiaannya, adat Riaunya. Dengan mengikuti Heidegger, bagi Gadamer, unsur2 Prapemahaman memang dipengaruhi oleh Tradisi. Sementara Tradisi mengandung keyakinan, norma2, ideologi, adat istiadat yang selalu mempengaruhi pandangan hidup kita seperti contoh ustaz Somad diatas. Demikian pula, bila benar, 3 orang utusan NU yang diundang ke Israel. 3 orang ini boleh jadi sudah memiliki 3 unsur Prapemahaman. Dalam hatinya boleh jadi begini: Netanyahu itu Yahudi (ini Vorsicht). Kata orang umum dia biadab pada bangsa Palestina (ini Vorhabe). Jadi konsep apa yang akan cocok? Boleh jadi utusan NU memakai konsep ‘peace’ (perdamaian). Yang akan dicari mereka barangkali pemahaman kedua belah pihak (mutual understanding), sebab posisi Israel agar dipahami oleh umat Islam di Indonesia. Sementara bagi Heidegger, guru Gadamer, yang akan dicari bukan pemahaman semacam itu, tetapi pemahaman eksistensial. Yaitu pemahaman yang tidak didikte oleh PBB, oleh Amerika, oleh OKI, oleh pesan2 Menteri Agama dan Presiden Jokowi dari Jakarta. Yaitu pemahaman yang akan menyingkapkan dirinya setelah melalui proses dialektika yang panjang. Begitu..rumit ya? Ya rumit cara berpikir Heidegger…tetapi Gadamer punya cara yang lebih mudah. Bagaimana caranya? Lain waktu akan saya uraikan.

Oleh sebab itu bila anda ingin tahu Isi Pemahaman seseorang, selidikilah ke 3 unsur di atas: Keterlemparan, Prapemahaman dan Dimensi sosialnya. Ingin mengerti Pemahaman anak anda? Selidiki ketiga unsur tersebut. Ingin memahami menantu anda? Urai ketiga unsur tersebut. Ingin mengerti Pemahaman seorang ustaz? Selidiki ketiga hal tersebut. Ingin mengerti Pemahaman pacar anda? Selami ketiga unsur tersebut. Ingin mengerti kenapa mahasiswa demo? Wakil Rektor III boleh jadi memeriksa ke 3 unsur tersebut. Mungkin persoalannya terletak pada Vorhabe dan Vorgriff. Itu dibenahi dulu!

Demikianlah filsafat Gadamer tentang isi kandungan Pemahaman. Oooo jadi filsafat hermeneutika Gadamer bukan teori untuk menafsirkan ala Bible ya? Sudah saya katakan sebelumnya, bukan, bukan. Jangan salah sangka. Filsafatnya perlu untuk lebih menjelaskan hakikat Pemahaman kita, yang selama ini kita anggap remeh saja. Yaitu Pemahaman kita tentang seluk beluk dunia, pemahaman yang membuat kita lebih cerdas, bijaksana, penuh pengertian, timbang rasa, respect pada keyakinan orang lain. Lebih penting lagi hermeneutika Gadamer ini perlu untuk menggali pemahaman dari dalam teks. Cobalah belajar hermeneutika Gadamer. Boleh jadi nanti anda semakin senang dengan hermeneutika.

Demikianlah para pembaca budiman, terimakasih telah membaca, senang sekali saya bila anda berkomentar nanti, jangan debat kusir, agar kita saling memahami dalam hidup yang indah. Mohon pamit, Wassalam, Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share