Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, 04 Oktober 2024
Assalamu’alaikum wr,wb Bpk2/Ibuk2/Adik2ku/Anak2ku/Mhsw2ku dan segenap pembaca setia di mana saja berada baik Muslim maupun non-Muslim. Kita belasungkawa Minggu ini karena telah berpulang kerahmatullah Rektor UIN Jambi Prof. As’ad, Innaalillahi wa innaa ilaihi roji’un, semoga Allah memberkahinya.
Saya tertarik, di YouTube, mendengar perbincangan mengenai Filsafat Hegel yang diselenggarakan oleh Philosophy Underground di Hutan Kayu, Jakarta antara dua orang professor (Setyo Wibowo, tamatan Universitas Sorbonne, Perancis dan Sitorus tamatan Jerman). Mereka bukan membicarakan hal2 di atas, tetapi saya tergelitik untuk mengaitkan isi diskusi mereka dengan poin2 semacam itu. Ia akan sangat berguna bagi anak2 muda sehingga bila diterapkan pemikiran Hegel dalam keseharian, hidup anda akan lebih cerah, berpikir lebih dinamis, lebih bergerak. Bagaimana caranya? Selamat membaca.
Sebagai Pendahuluan, anggaplah berikut ‘Daftar Isi’ tulisan Jum’at ini.
1.Siapa Hegel?
2.Bagaimana dan apa menariknya filsafat Hegel?
3.Hegel dan Karl Marx
4.Hegel dan Suami-Isteri yang Cekcok
5.Hegel dan Kuliah oleh Dosen
6.Hegel dan Ceramah Agama
7.Hegel dan NU-Muhammadiyah
8.Penutup
- Siapa Hegel? Hegel adalah filosuf Jerman kelas dunia (1770-1831), buah pikirannya telah banyak berpengaruh pada filosuf2 sesudahnya, dan putra Hegel dikatakan ada yang ikut menjadi tentara Belanda dan kuburannya di Indonesia.
- Apa sih menariknya Hegel? Cara berpikirnya menggelitik, membuat kita tersentak dari cara2 berpikir biasa. Misalnya, bila anda katakan gula manis, sesungguhnya bukan gula yang manis dengan sendirinya, tetapi rasa manis itu setelah gula dicicipi oleh lidah. Jadi ada interaksi gula, lidah dan didapat rasa manis. Bila anda mengasah pisau, batu asah adalah lawannya pisau, sementara hasil yang diharapkan adalah tajam: lagi2 interaksi. Maka cara berpikir semacam interaksi itu bagi Hegel disebut dialektis antara proses2 konsepsional Tesis, Anti-tesis dan sintesis. Pisau tumpul adalah tesis, batu asah adalah anti-tesis dan tajam adalah sintesis. Sekarang untuk lebih mudahnya kita gambarkan interaksi itu bagai segi tiga antara A, B dan C. Maka untuk lebih mudahnya kita singkatkan tesis=A, anti-tesis=B dan sintesis = C. Mari kita bahas dialektika Hegel dalam teori dan dalam prakteknya.
- Hegel dan Karl Marx. Buah pikiran Hegel kata para ahli hanya banyak dalam kepala, just idea, dipikirkan, belum menyentuh realitas, maka kemudian Karl Marx lah yang membumikannya. Menurut Marx, pikiran Hegel itu HARUS diwujudkan dalam sejarah. Harus! Sebab golongan kaya ‘bourjuis’ di banyak negara di dunia, katanya, sudah menindas golongan miskin ‘proletar’, kenyataannya kekayaan hanya menumpuk pada segelintir orang, yang miskin tak berdaya, gaji buruh terlalu rendah. Menurut Marx, dalam situasi seperti itu negara harus hadir untuk menata situasi, bila pemerintahnya tak mau merombak status quo, maka negara harus diambil alih dengan cara (keras) melalui revolusi. Proletar harus berjuang melawan bourjuis agar tak ada lagi kemiskinan dan kekayaan yang mencolok. Semua dibuat sama rata, ini dinamakan Marxisme yang kemudian semakin berkembang menjadi Komunisme. Maka pikiran Hegel nampak di dalam Marxisme: Proletar=Tesis, Bourjuis=Anti-Tesis, dan kehidupan sama rata=sintesis. Ide Marx semacam itulah yang kemudian diwujudkan dalam banyak negara: Russia, Kuba, Cina dan pernah pula ingin diwujudkan di Indonesia dengan nama PKI (Partai Komunis Indonesia), untunglah gagal.
Maka anda harus memikirkan rentetan sejarah ideologi: Hegel, Marx, PKI yang berujung pada pertumpahan darah di tanah air kita, terkenal dengan Gerakan 30 September, nampaknya ‘sudah dilupakan’ untuk diperingati setiap akhir September 4 hari yang lalu. Tokoh2 PKI di Indonesia di antaranya Tan Malaka, Aidit, Muso, dan lainnya. Sekiranya mereka berhasil menguasai Republik ini, kira2 apa jadinya bangsa ini? Kita tidak boleh punya mobil mewah, rumah mewah, semua bersepeda saja. Dilarang ceramah agama atau pergi solat, sebab tidak boleh meninggalkan tempat bekerja, terlantar sekian jam/menit. Tidak boleh santai dengan WA, TikTok, Facebook, YouTube karena semua disensor, dikontrol oleh negara. Pagi2 bis sudah menjemput anda untuk dibawa ke tempat kerja dan sore diantar pulang, semua kebutuhan pokok dipenuhi oleh negara: beras, kopi, gula, lauk pauk, listrik, PDAM dan gas. Semua kegiatan ekonomi dikuasai negara dan semua uang masuk ke kas negara: pertanian, perdagangan, pertambangan, transportasi, teknologi dan sebagainya. Ini penjelasan politik menurut analisa saya yang belum pernah hidup di negara Komunis apalagi masuk Korea Utara.
- Bila anda sudah menjadi suami, suatu kali cekcok mulut dengan isteri. Anda merasa benar, isteri juga merasa benar, tidak bisa dibedakan mana yang benar dan mana yang salah bila keduanya benar. Tidak bisa dibedakan siang dan malam bila keduanya siang atau keduanya malam. Dalam cara berpikir Hegel, anda sesungguhnya dikatakan ‘benar’ bila dilihat dalam kesalahan istri, dan istri ‘benar’ bila dilihat dalam kesalahan anda. Maka proses dialektis diperlukan untuk melihat apa yang bisa dihasilkan dari dua perbedaan semacam itu. Anda sebagai suami, sebagai A, memerlukan isteri sebagai B untuk melakukan (kata kerja) C. Apa itu C? Urung rembuk, konsolidasi, cari titik kesepahaman berdua, akui kesalahan masing2, introspeksi diri, mundur selangkah, kurangi egois, buka dialog berdua, lapangkan dada, berpikir jernih, berwudhu’, duduk tundukkan kepala dan ucapkan astaghfirullah… ini dilakukan demi keutuhan rumah tangga..begitu pola pikir Hegel bila diterapkan dalam rumah tangga anda, bukan pergi ke Pengadilan Agama…cerai: akhirnya isteri menangis ‘Pulangkan aku pada ayahku atau ibuku’..nyanyi Betharia Sonata.
- Bila anda kuliah, Anda adalah A, kuliah dosen adalah B. Apa Cnya? Ini yang penting anda ketahui. Kuliah oleh dosen bukan diterima 100% in toto (taken for granted=benar semua), tetapi ia dijadikan ‘batu asah’ agar menghasilkan pemikiran inspiratif. Kuliah dosen ibarat batu asah, anda adalah pisaunya, maka yang diharapkan hasilnya ialah tajam (berpikiran inspiratif, banyak timbul pemikiran2 baru dalam kepala anda akibat tergelitik oleh kuliah dosen). Jadi, bukan kuliah itu sendiri yang lebih penting sebagaimana anda kuliah selama ini takut tak lulus, cari nilai, tetapi dari proses berdialektika dengan kuliah, muncullah kemudian C, C, C, C, dan C mirip gemercik kembang api.
Bila dosen mengatakan misalnya boleh jadi Pemerintah akan menaikkan harga BBM pada Oktober ini dan harga sembako dipastikan akan naik. Bila anda mengikuti cara berpikir Hegel, maka seharusnya dari mendengar kuliah tersebut, terlintas dalam kepala anda sejumlah ide. Apakah Jokowi akan merepotkan Prabowo agar Presiden baru tersebut kurang popular di masa2 awal? Atau memang karena pengaruh tekanan ekonomi dunia? Atau memang sudah dirancang sejak lama untuk mengurangi belanja Negara guna membayar subsidi pada rakyat? Bila demikian, tanyai diri sendiri, bagaimana seharusnya saya sekarang? Anda seharusnya ‘tergelitik’ berpikiran semacam itu, jangan hanya isi kepala anda mengandung apa2 yang dijelaskan dosen dan semua materi kuliah hari itu. Jangan merasa puas dengan isi catatan2 kuliah yang dibawa pulang, itu cara kuliah jadul. Sekali lagi, anda seumpama pisau, kuliah dosen seumpama batu asah, lantas mana hasil ‘tajam’nya?
- Hegel dan ceramah agama oleh para ustaz, buya, kiyai, dai… akan lebih bijak bila dilihat dengan Hegel. Bagaimana caranya? Anda yang mendengar ceramah diposisikan sebagai A (Tesis). Ceramah, kultum, khutbah, tawsiyah semuanya kita jadikan sebagai B (anti-tesis). Lantas mana Cnya? Isi ceramah itu seyogyanya jangan dianggukkan semuanya, jangan asal menerima, tetapi jadikan ia sebagai ‘penggelitik’ pemikiran keagamaan anda. Bila anda mendengar ceramah Ustaz Somad, KH Zainuddin MZ, Mama Dedeh dan da’I kondang lainnya, jangan menerima ceramahnya bulat2 sebagai kebenaran final, seolah tidak ada cacat pemikirannya, tetapi anda seyogyanya berpikir lebih jauh/lebih dalam. Contoh, bilamana ceramah agama menyuruh kita berbuat baik di dunia, itu sudah jelas. Tetapi berbuat baik seyogyanya dipikirkan lebih dalam untuk kontek zaman sekarang. Misalkan seseorang sedang keberatan membawa tas jinjing di airport, lantas dia minta tolong bawakan, apakah anda spontan mau menolongnya? Tunggu dulu. Pikir2 dulu. Bagaimana kalau narkoba di dalam tasnya? Tatkala sampai di meja pemeriksaan, anda diborgol. Demikian pula tatkala di ATM, seseorang minta tolong transferkan sejumlah uang ke suatu nomor rekenening katanya milik anaknya yang kuliah di Yogya atau di Bandung atau di Jakarta. Uang anda digantinya secara tunai di luar ATM. Apakah anda mau menolongnya? Boleh jadi uang yang ditransfer tersebut untuk membayar bandar narkoba, nanti polisi akan menjemput anda ke rumah. Proses dialektika ala Hegel akan mempertanyakan ‘sisi gelap mu’amalat’ dalam ceramah2 agama di zaman now.
- Hegel dan NU-Muhammadiyah. Ini harapan kita pada sesepuh kedua organisasi tersebut bukan pada anda/warganya yang masih muda. Dalam tulisan yang lampau saya sudah mengibaratkan NU dan Muhammadiyah adalah dua kapal laut besar yang berlayar di Nusantara, anda sebaiknya, baik Muslim maupun non-Muslim, menumpang ke salah satunya guna menuju, bukan ke IKN, tetapi ke NKRI. Sekarang NU kita posisikan sebagai A, dan Muhammadiyah B. Dalam hidup bersama dalam bingkai NKRI, diharapkan proses dialektika antara A dan B akan menghasilkan C. Gus Dur mengatakan bahwa NU semakin menyadari dirinya akibat keberadaan Muhammadiyah. Terselip ada proses dialektika Hegel dalam kalimat Gus Dur ini, tetapi tokoh NU tersebut tak menyebut Hegel.
Tergelitik oleh kata2 Gus Dur semacam itu, sekarang saatnya kita berpikir lebih jauh. Dalam hubungan NU-Muhammadiyah, mana Cnya untuk zaman kita? Boleh jadi dialektika NU- Muhammadiyah akan menghasilkan sebuah role model bagi kehidupan beragama yang dicontoh oleh banyak umat Islam di negara lain. Diharapkan akan muncul pemikiran2 brilliant keagamaan yang sebelumnya tak terpikirkan oleh para pendahulu kedua ormas. Sebab di dalam hebatnya NU ada kelemahan Muhammadiyah, dan dalam hebatnya Muhammadiyah ada kelemahan NU. Bila tidak demikian cara melihatnya menyimak Hegel, sama saja persoalannya dengan kehidupan suami isteri dalam contoh di atas. Bila diikuti pemikiran Gadamer, dalam diri NU sebagai ‘the Other’ (yang lain), ada unsur2 keberlainan NU yang akan bijak bilamana dipahami oleh Muhammadiyah. Dan dalam keberlainan Muhammadiyah ada unsur2 keberlainan Muhammadiyah yang akan bermanfaat bila dipahami oleh NU. Perlu dialektika.
Proses dialektika yang mendengarkan ‘keberlainan’ itu akan menghasilkan C yaitu sintesis. Nah sintesis semacam itu, bila sudah didapat, harus diulangi dan diulangi terus dijadikan tesis baru lagi. Bagi Gadamer proses dialektisnya berbentuk Peleburan Cakrawala (Horizonvermeltzung). Bila NU menerima izin tambang, Muhammadiyah soyagyanya melihat segala ‘keberlainan’ NU dalam mengelola pertambangan dan itu dijadikan ‘batu asah’ agar pengelolaan tambang ala Muhammadiyah lebih membahagiakan kehidupan beragama bagi umat sebagaimana pesan KH Ahmad Dahlan (dengarkan NU, pelajari, pikirkan, dan ambil langkah baru).
Demikian pula pengelolaan tambang ala Muhammadiyah bila dilihat dengan segala keberlainannya oleh NU, keberlainan itulah yang dijadikan ‘batu asah’ agar menghasilkan ‘ketajaman’ yang baru pula oleh NU. (Dengarkan pemikiran Muhammadiyah, pelajari, pikirkan dan tentukan langkah2 baru oleh NU dengan bermodalkan wawasan keislaman dan wawasan global, sesuai dengan pesan KH Hasyim Asy’ari). Yang dijadikan sintesisnya (barometer) ialah sejauh mana pengelolaan tambang oleh masing2 organisasi tersebut bermanfaat bagi kemajuan umat dalam hidup bernegara dan merawat lingkungan hidup yang sustainable? Jadi NU-Muhammadiyah itu seyogyanya berdialektika, bukan berjalan sendiri2. Ibarat menyanyi, paduan suara keduanya diharapkan menghasilkan lantunan suara yang merdu. Itulah Hegel.
- Penutup. Dari uraian di atas, tidak tepat bila anda menyalahkan Hegel karena timbul pemberontakan PKI di Indonesia. Pemikiran Hegel hanya dalam kepala, sifatnya sebatas filosofis, yang menafsirkannya ke dunia nyata adalah Karl Marx. Jangan pula menyalahkan Karl Marx sebab yang ingin membawa ideloginya ke Indonesia ialah Tan Malaka dan kawan2nya. Yang penting untuk dicatat sebagai anak muda adalah bahwa pemikiran Hegel semacam itu sangat berguna untuk mengasah cara berpikir kita. Sebab Hegel mengajarkan kita berpikir dialektis sebagaimana contoh2 di atas.
Bila ayat mengatakan: Wa idza quri al-Qur’anu fas tami’u lahu wa anshitu la’allakum turhamun. al-A’raf 204. (Bila dibaca al-Qur’an, maka dengarkanlah dan tenanglah mudah2an kamu mendapat rahmat). Bilamana suruhan ‘mendengar dan tenang’ itu dipraktekkan menurut cara berpikir Hegel: Ayat yang di baca orang =Tesis, kita mendengar dan diam= anti-tesis dan akhirnya munculkan beberapa pemikiran baru dalam kepala akibat mendengar dan diam tersebut, ini namanya sintesis. Harus ada nuktah (point) buah pikiran yang didapat setelah mendengar ayat. Setelah didapat sintesis I ini, kemudian jadikan ia tesis II lagi, ulangi lagi…begitu seterusnya tanpa henti. Selama ini apakah anda sudah mendengarkan bacaan al-Qur’an dengan teori dialektika Hegel? Maka ‘mendengar dan diam’ tersebut tidak lagi seperti selama ini, mungkin sambil mengantuk, atau diam mulut tetapi sambil main Hp, belum berpikir dialektis. Ini memang berat tetapi penting bagi kemajuan anak muda zaman now. Kelemahan MTQ selama ini nampaknya hanya bersifat seremonial, kurang berdampak pada kehidupan nyata, sebab banyak orang tidak mengerti makna ayat. Bila tidak paham bahasa Arab, lantas bagaimana berpikir dialektis atas al-Qur’an? Ayat2 Allah melantun nyaring, tinggi ke angkasa tetapi tidak membumi. Mungkin perlu dipikirkan system MTQ model baru, jadikan dialektika Hegel sebagai sumber inspiratifnya.
Demikianlah diskusi kita Jum’at ini, terimaksih pada semua anda yang telah sudi membacanya. Maaf bila ada kata2 yang salah, mohon pamit, wassalam.