Christoph Stückelberger: GLOBEthics(Rindu Keseimbangan)


Oleh: Amhar Rasyid
Yogya, 22 Nov 2024

Assalamu’alaikum wr,wb

Pernahkah anda mendengar nama Stückelberger? Kalau belum, saya juga baru mendengar pertama kali. Kebetulan hari Senin 18 November saya ingin bersilaturrahmi ke dalam ruangan Dr. Ahmad Rafiq di UIN Sunan Kalijaga (Wakil Dekan Pascasarjana) dan dia mengatakan bahwa baru saja menghadiri Kuliah Umum oleh Christoph Stückelberger sambil memperlihatkan kepada saya sebuah buku tebal karangan Profesor dari Swiss tersebut. Saya tanya, apa isinya Pak Rafiq? Dijawabnya tentang Global etik. Tetapi dia tidak bercerita panjang tentang isi kuliah umum tersebut. Setelah pulang ke hotel di Malioboro, saya melihat pula secara tak sengaja seorang turis Denmark memakai tas pinggang bertuliskan New Balance: saya semakin berpikir. Mengapa sudah banyak tulisan2 dan pembicaraan ilmiah terkait Global etik (Etika Keseimbangan)? Apalagi besoknya tgl 19 Nov, Stückelberger menawarkan ‘dagangannya’ pula ke UNU Yogya.

Mengapa orang sudah ingin menghembuskan ‘angin’ Keseimbangan? Apa yang selama ini tidak seimbang? Mengapa tidak seimbang? Mengapa Stückelberger berdagang ‘Keseimbangan’ ke kampus UIN kita? Apa nilai lebihya dibandingkan dengan Global etik yang selama ini disuarakan oleh Prof. Amin Abdullah? Setelah larut malam, atas rekomendasi Pak Rafiq tentunya, datanglah buku Stückelberger dikirim via WA oleh Mbak Nina (staf pascasarjana UIN), dan saya sangat berterimakasih atas bantuan mereka. Saya senang membacanya, mari kita simak! Mengapa perlu disimak? Sebab Socrates sudah menasehati kita: coba pahami cara berpikir orang, jangan membicarakan pribadi orang (gossip), jangan bicarakan pekerjaan orang (usil), tapi pelajari pemikiran orang!Bila anda jawab: Ah akhlaq Islamiyah lebih mulia dari Globalethics tersebut. Iya, tapi mari kita simak saja cara berpikirnya secara insan akademik, bila anda tidak sibuk.

Walaupun tidak mendapat penjelasan dari Dr. Ahmad Rafiq saya berusaha sendiri menelusuri Google. Rupanya Stückelberger tersebut adalah memang seorang teolog, professor emeritus di Swiss, juga sebagai guru besar di China, Nigeria, Inggeris dan Russia. Dia menjabat sebagai presiden dan pendiri Yayasan Globethics, memiliki 200.000 pengikut yang telah terdaftar, yang terdiri dari 50.000 guru/dosen dan guru besar, tersebar di 200 negara serta memiliki perpustakaan Online 3 juta dokumen. Yayasannya adalah mitra University World News. Aktifitasnya mempererat pemahaman tentang norma etik dan prilaku. Pengikutnya, katanya, dari berbagai latar belakang agama, kepercayaan, ideologi, termasuk juga atheis, Bila dahulu fokusnya adalah etika bisnis, sekarang beralih kepada etika dan perguruan tinggi, terutama di negara2 berkembang, serta menyediakan kursus Online tentang etik di perguruan tinggi. Silahkan anda buka Google! Bukunya boleh dibaca gratis (Online) asalkan jangan dikomersilkan katanya.

Lebih dalam tentang bukunya Globalance: Ethics Handbook for a Balanced World Post-Covid, pengarang ini menceritakan bahwa dia mulai menulis buku tersebut dari 2016 hingga 2020,pasca turunnya Donald Trump, hingga usai Covid 19. Katanya tahun 2020 adalah zaman disrupsi, krisis dan banyak terjadi pergeseran dalam masyarakat. Tetapi masa2 itu juga saat yang mendorong untuk mencari pemecahan dan menggalang kerjasama lanjutnya. Dalam buku tersebut dia bertanya: bagaimana caranya agar kita bisa merobah disrupsi dan keadaan yang tidak seimbang ini melalui tatanan dunia yang dinamis dan keseimbangan global? Bagaimana etika dapat menyumbang pada transisi tersebut melalui perimbangan nilai2 dan kebajikan? Dan satu bab khusus dalam bukunya membicarakan bagaimana ‘Globalance’ dapat diterapkan untuk kemaslahatan perguruan tinggi?

Setelah saya pahami dari dalam bukunya, pemikiran Stückelberger, terkait bagaimana cara memberikan solusi yang tepat bagi pemikiran yang terbelah/terpolarisasi pasca Covid mengenai globalisasi: dunia terbelah dua antara mereka yang mengatakan bahwa globalisasi hanyalah cara pengabdian kemanusiaan dan mereka yang berpendapat sebaliknya, yang mengatakan bahwa justru globalisasi itu sendiri menjadi beban bagi si miskin, maka globalisasi tidak adil.

Kemudian saya pahami pula bahwa dia melihat adanya latar belakang etik yang tidak harmonis pada dataran pribadi, keluarga atau pada dataran dunia kampus. Maka yang perlu dipikirkan bersama selanjutnya, katanya, ialah bagaimana cara kita mencarikan perimbangan pada nilai2 yang nampak sudah saling bertabrakan tersebut. Harus ada solusi katanya. Buku tersebut terutama ditujukannya buat para pengambil kebijakan, ekonom, bisnisman dan para pendidik termasuk guru besar. Menurut saya, ia tentunya juga mengincar Kemenag, MUI, NU, Muhammadiyah, organisasi keagamaan lainnya (non Islam), para tokoh agama Islam dan para da’i serta ulama, walaupun Stückelberger tak menyebutnya karena mungkin kurang mengenal tradisi keagamaan di Indonesia.

Jadi, apa yang tersambung antara kita orang Islam dengan dia? Prof. Amin Abdullah, diantara sekian banyak tokoh intelektual Muslim di tanah air, sudah lama berbicara tentang global etik, risau dengan zaman disrupsi, risau dengan nilai2 keagamaan yang nampaknya masih susah didialogkan dengan berbagai disiplin ilmu. Teologi masih memagari diri, masih agak menutup pintu, belum membuka ‘pintu gerbang’ dan ‘pintu rumah’ untuk mempersilahkan ilmu2 umum ‘bertetamu’ dan berbicara panjang secara dialogis-filosofis. Pembacaan teks keagamaan, dalam pandangan guru besar tersebut, kadang2 masih terasa rigid/kaku, sehingga ia menghasilkan interpretasi, pemahaman dan nilai2 yang sulit didialogkan dengan perkembangan dunia modern. Akibatnya etika global sulit untuk dirumuskan dan diterapkan. Kita masih terkurung oleh etika yang kita yakini paling bagus tetapi belum bisa berdialog lembut dengan etika luar Islam pada dataran global. Bukan ‘aqidah kita yang didialogkan tetapi ‘PRAKTEK’ dari ‘aqidah tersebut dalam kehidupan berbeda agama/keyaninan di dataran global. Jadi yang jadi masalah sekarang bagaimana mencari jalan ‘keseimbangan’ pada dataran kehidupan global.

Pemikiran Balance (keseimbangan) semacam itu, menurut analisa saya, adalah versi lanjutan dari aliran Post-Modernisme. Hitler, dalam pandangan kaum Post-Modernis, sudah memaksakan kebenaran yang diyakininya, memaksakan peraturan yang dibuatnya, ternyata hancur dunia akhirnya. Maka usai Perang Dunia II timbul pertanyaan oleh para filosuf kata Bambang Sugiharto (guru besar filsafat di Universitas Parahyangan, Bandung): Mana yang lebih baik, apakah peraturan tertulis yang harus diterapkan atau ‘keindahan’ kita ciptakan dalam hidup bersama? Kaum Post Modernis seperti Danah Zohar, Alain Badieu, Jean Francois Lyotard,…..meyakini lebih baik kita ‘Indah Bersama’, bukan ngotot benar atas nama peraturan. Peraturan kan dibuat untuk ‘indah’ bersama. Bahasa Minangnya untuk ‘Elok Basamo’. Lebih baik kita prioritaskan keindahan dari pada kerasnya peraturan. Jangan ikuti Hitler atau ekstrimis, fundamentalis, skripturalis, apalagi separatis. Pemikiran semacam itulah, menurut saya, yang telah menyebar ke mana2 sekarang, termasuk yang ditiupkan oleh Stückelberger ini.

Sekarang Prof. Amin Abdullah dalam paradigma Post Modernisme ingin mengajak pula membuka diri bagi Global etik secara inklusif. Kaum Muslimin umumnya dan warga Muhammadiyah khususnya diajak untuk membuka diri, memperlembut rigiditas pemabacaan ayat2 suci dan Hadis secara bayaniyah, mengurangi otoritas Sulthath al-lafz dan al-Sulthath al-nash, bersikap toleran terhadap orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Singkat kata, yang didengungkannya dengan Global etik ialah keramahan antar umat beragama, dengan tetap meyakini ‘aqidah masing2. Dari mana Amin Abdullah mendapat ide tersebut? Menurut penelitian saya, dia memperolehnya jelas bukan dari Stückelberger tetapi dari Immanuel Kant, karena disertasinya di Turki tahun 1990 meneliti hal tersebut, tetapi dalam banyak tulisannya sekarang dia mengedepankan Abdullah Saeed, Abu Rabi’, dan lainnya. Kant itu memiliki konsep filsafat yang terkenal bernama Imperative Category. Bagaimana konsep filsafat tersebut kemudian mengisi etika global say tak mampu menjelaskannya. Hanya saja konsep Human Rights (Hak2 Azasi Manusia) di PBB, kata Franz Magnes Suseno, terinspirasi dari Immanuel Kant. Dari paparan ini nampaknya baik Stückelberger maupun Amin Abdullah sama2 ingin agar etika yang patut dikembangkan ke depan adalah etika global, etika untuk bersama, lintas agama, lintas bangsa, lintas budaya. Marilah kita berpikir!

Kalau begitu di mana bedanya dengan Globalance Stückelberger? Professor dari Swiss ini, karena dia teolog, dikatakannya dalam bukunya bahwa dia menganut Calvinisme, ingin menyeimbangkan dunia dengan etika Kristen. Sifat dakwahnya global, antar negara. Sebetulnya Max Weber juga sudah pernah menunjukkan adanya korelasi antara etika Protestan dan meningkatnya kapitalisme di abad pertengahan. Bagi Amin Abdullah, global ethicsnya massih berorientasi pada kehidupan keagamaan di Indonesia dan pada Muhammadiyah khususnya: belum mengglobal. Oleh sebab itu ia menganjurkan anak muda Muhammadiyah agar menerjemahlkan buku2 keislaman di Indonesia ke dalam Bahasa Arab, agar ia dibaca di Kawasan Timur Tengah katanya dalam YouTube.

Mengapa Stückelberger ‘berdagang’ ke kampus kita? Yang saya pahami dari tulisannya Online, dia ingin mengajak dunia Pendidikan untuk bergabung dalam Global ethics. Dia belum melihat dunia pesantren tentunya. Pengetahuannya tentang keislaman di Indonesia masih sedikit. Islam di Indonesia, katanya, lebih lembut dari pada Islam di Timur Tengah, tetapi dia tidak bicara Islam di Maluku, Aceh, Makasar, dan lainnya. Dia juga mengutip dalam bukunya ayat al-Qur’an tentang ‘keseimbangan’(Mizan) terutama ayat ..tajri fil fulkil masyhun (berputar dalam orbit yang sudah ditetapkan), kemudian dikutip pula Surah 55 ayat 1-9, yang menekankan ‘keseimbangan’. Selain itu dia juga mengapresiasi Sufi yang lebih mencari kesatuan di balik keragaman. Tokoh reformis Muslim yang disenanginya nampaknya Tariq Ramadhan lewat buku2nya.

Yang nampak berbeda dengan Amin Abdullah ialah: Globalance Stückelberger lebih inklusif. Dari bacaan saya atas bukunya, dia melihat peluang untuk mewujudkan programnya pada banyak bidang di level global, apalagi ia bermarkas di Swiss, karena bekerja pada dataran internasional tentu didanai oleh donatur keuangan yang ‘raksasa’, tetapi usahanya non-profit katanya. Ia ingin menyasar bidang2 ekonomi, pembasmian korupsi, ekstrimisme, pengangguran, kaum terlantar, climate change, dunia kampus, hukum, persenjataan militer, ‘Dunia maya’ dan lainnya.

Apa contoh cara kerjanya? Setelah disadarinya ada jarak antara gereja dan ekonomi, maka Stückelberger berinisiatif mengadakan pemberdayaan ekonomi jama’ah melalui pendekatan teologi kewirausahaan. Sedikit apologetic, saya berani mengatakan bahwa Muhammadiyah sudah lebih dahulu punya amal usaha semacam itu. Banyak peneliti mengatakan bahwa KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah meniru system administrasi Belanda yang rapi, terorganisir dengan baik. Maka disusunlah bidang amal usaha, kegiatan ekonomi yang mengayomi rakyat, yang berjalin berkelindan dengan teologi Islami. Kalau begitu, dari aspek mana ‘dakwah’ Stückelberger akan masuk?

Kesimpulan. Orang bijak yang berpandangan jauh nampaknya semakin berminat menata dunia ini kembali dalam paradigma Keseimbangan. Jelas inti dari keseimbangan mereka adalah Aesthetika, dan ini tentunya spirit Post Modernisme. Hidup yang terkotak2-terkoyak2 ingin dirajut kembali, ingin ditata kembali dalam kehidupan yang ‘Seimbang’ agar keberlangsungan kehidupan di atas planet bumi ini damai, sejahtera dan maju. Untuk itu Stückelberger rela ‘berdakwah’ keliling dunia, hingga masuk kampus kita, tetapi dia tak tahu bahwa kita telah berpengalaman dalam bidang itu. Yang harus diakui adalah ruang skala etika kita ‘kecil’.

Demikianlah tulisan kecil Jum’at ini. Terimakasih pada semua pembaca budiman yang telah sudi meluangkan waktunya. Mohon maaf bila ada kata2 yang salah. Pamit. Amhar Rasyid.

*Silakan Share