BUKU Prof. Amin Abdullah:FRESH IJTIHAD (Manhaj Pemikiran Keislaman Muhammadiyah di Era Disrupsi)


Oleh Amhar Rasyid
Jambi, 8 November 2024

Assalamu’alaikum wr,wb. Jum’at ini lagi2 diskusi kita agak berat, ia lebih ditujukan bagi insan akademis dan tokoh intelektual serta adik2 yang berbakat keilmuan: ia menyangkut pemikiran terkait Muslim Indonesia umumnya dan warga Muhammadiyah khususnya. Tidak semua isi pembahasan buku tersebut saya paparkan di sini. Mudah2an anda tertarik dan sempat membacanya kendatipun sibuk, dan dengan cara keilmuan seperti inilah jalinan silaturrahmi antara saya dan anda akan terus dibangun, diperkokoh. Kita bertemu bicara intelektual dalam Dunia Maya tiap Jum’at, tanpa jumpa fisik, tanpa ‘amplop’. Selamat membaca!
Sebuah buku bagus karangan Prof. Amin Abdullah berjudul Fresh Ijtihad yang diterbitkan pertamakali pada tahun 2019 oleh Suara Muhammadiyah, Yogyakarta. Buku setebal 226 halaman lebih, bercerita tentang Ijtihad yang Fresh (Segar). Ia menjelaskan pola pikir Prof. Amin Abdullah sebagai tokoh pemikir Muhammadiyah khususnya dan keislaman umumnya. Buku tersebut dibagi menjadi 4 Bab. Bab I berisi tentang: Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid: Tantangan dan Peluang. Bab II berisi tentang: Islam yang Berkemajuan: Reaktualisasi dan Reinterpretasi. Bab III berisi tentang Fresh Ijtihad Muhammadiyah: dari Pengayaan Perspektif ke Internasionalisasi Pemikiran. Sedangkan Bab IV (Terakhir) berisi tentang: Rekonstruksi Pendidikan Muhammadiyah: Filosofi dan Paradigma Keilmuan Kontemporer. Keempat bab tersebut mempelihatkan bagaimana buku tersebut sangat padat dengan pemikiran2 baru yang perlu anda baca.
Maka pertanyaannya ialah: Apa yang perlu dipahami dari isi buku tersebut? Persoalan2 apa yang nampak mengganjal dalam berijtihad? Bagaimana pola pikir baru yang ditawarkan oleh Amin Abdullah kepada Muhammadiyah? Seberapa jauh beranjak Fresh Ijtihad yang ditawarkannya dari Ijtihad tradisional yang ada? Mari berpikir, tetapi jangan ‘puyeng’. Kenapa? Sebab konsep Ijtihad dalam buku tersebut rupanya bukan ijtihad dalam pengertian biasa, bukan pengertian hukum, tetapi ijtihad ‘pemikiran’..let’s delve into the crux of the problem!

Mula-mula sekali yang perlu dipahami ialah bilamana seorang tokoh menggagas ide baru, boleh jadi ia telah merasa ‘resah’ dengan ide2 yang mapan selama ini, resah ingin ada peralihan dari status quo.
Apa yang dirasa ‘mapan’ oleh pengarang? Dikatakan bahwa masih sulit terutama dalam Muhammadiyah untuk menggali dan menjelaskan hubungan resiprokal antara ushul fikih dan filsafat tatkala menerapkan bayani dalam rangka mendialogkan al-tsawabit dan al-mutaghayyirat. (maaf penulis tak menjelaskan konsep-konsep ini, silahkan search sendiri di Google!) Akibatnya ijtihad untuk dunia modern dalam mengusung konsep ‘Islam Berkemajuan’ versi Muhammadiyah terasa terganjal katanya.
Kedua, pengertian ijtihad oleh Muhammadiyah di masa awal, dikatakan, bertolak dari normativitas al-Qur’an dan langsung diaplikasikan dalam pengalaman nyata di saat itu. Misalnya, bila ditafsirkan surah al-Ma’un lalu didirikan Yayasan pemeliharaan yatim-piatu. Bila ayat berbicara ‘Wa idza maridhtu fa huwa yasyfiin’ (Q, S: al-Syu’ara’ 80) langsung Muhammadiyah mendirikan rumah sakit, sekolah perawat, rumah bersalin. Demikian pula bila al-Qur’an bicara Iqra’, langsung Muhammadiyah mendirikan sekolah2 di masa itu, yang sekarang jumlahnya sudah 4623 TK dan 172 perguruan tinggi. Yang penting wujud nyata, dakwah bil hal, bukan sekedar berteori katanya. Mana spirit itu?

Ketiga, terdapat tiga paradigma yang harus dihadapi oleh Muhammadiyah di era disrupsi ini katanya. Pertama, globalissi, ini terlihat dengan semakin banyaknya minoritas Muslim di Eropa dan Amerika. Kedua, unggulnya peradaban Barat yang tak tertandingi dalam berbagai bidang. Ketiga, fenomena dakwah dan tajdid versus dakwah dan jihad. Pihak2 Muslim yang memilih damai contra Muslim yang bertindak terror. Ketiga paradigma tersebut katanya terpaksa dihadapi.
Keempat, persoalan lain yang terasa mengganjal bagi pengarang buku tersebut adalah persoalan dalam metode dan pendekatan dalam menyampaikan pesan2 agama. Harus dibedakan antara agama dan institusi keagamaan. Institusi keagamaan (terkait politik, ekonomi, budaya) masih banyak yang model lama, yang silau dengan pandangan kejayaan Islam klasik, tetapi belum punya a new approach. Akibatnya masih banyak penyampaian pesan agama yang tidak utuh, masih bercorak subjektif. Di tengah situasi semacam itulah, antara lain, perlunya ijtihad model baru.
Maka solusi yang ditawarkannya: 1. Dibutuhkan telaah ulang atas al-Ushul al-Fikr al-Islami. Diperlukan proses metodologis yang kompleks, berlapis-lapis dan multi disiplin, agar fatwa dan hasil ijtihad up to date. 2. Perlu dikoreksi ulang pemahaman atas konsep Maqasid al-Syari’ah yang selama ini diwarisi oleh kaum Muslimin, terutama dari Imam al-Syathibi. Misalnya, konsep ‘hifzhun nafs’, sekarang jangan hanya dipahami untuk menjaga nyawa kaum Muslim individual saja, tetapi juga menjaga nyawa seantero umat sedunia, lintas agama dan negara. Beralihlah dari kesalehan individu kepada kesalehan sosial. Jangan terpesona dngan slogan: Islam ya’lu wa la yu’la ‘alaihi’, Islam Rahmatan lil ‘alamin… tetapi realisasinya dalam kehidupan global malah tidak damai, tidak harmoni.
Kedua, diperlukan keberagamaan ihsan model baru, spiritualitas ihsan yang Berkemajuan. Nilai2 dalam ihsan yang terkandung di dalamnya, kata pengarang, akan sulit dikembangkan oleh para otoritas agama bilamana mereka belum mampu membuat differensiasi antar ushul al-Din dan Ushul Mazhab. Ushul al-Din maksudnya ialah seperangkat nilai2 fundamental yang memungkinkan untuk mengembangkan dan memuliakan peradaban manusia semuanya. Sementara ushul al-mazhab artinya semacam kepentingan kelompok dan organisasi2 keislaman lainnya. Keduanya harus dibedakan. Ini ijtihad baru.
Ketiga, buka pintu dialog antar para ulama, intelektual, saintis, ekonom, ahli pendidikan dan ahli pikir. Dengan terbukanya pintu dialog diharapkan akan mengalir pemahaman kepada lawan bicara. Ilmu jangan dibuat tersekat-sekat. Pemahaman kita mirip ‘air tergenang’, ia akan mengalir bila ada celah yang memungkinkan ia mengalir. Celah itu namanya ‘dialog’. Dialog bukan menundukkan lawan bicara, tetapi mendengarkannya hingga ada ‘titik temu’ kesepahaman. Integrasi-interkoneksi itu perlu.
Sampai di sini, saya melihat adanya unsur Kantianisme dalam cara berpikir Amin Abdullah di atas. Global ethics yang ditawarkannya dalam banyak buku dan tulisannya jelas bukan berasal dari Imam al-Ghazali tetapi dari Immanuel Kant sebagaimana temuan disertasinya di Turki tahun 1990. Bagi Imam al-Ghazali konsep kesalehan terbatas pada kesalehan pribadi antara seorang hamba pada Tuhan (lihat kitabnya al-Ihya al-‘Ulum al-Din), sementara Immanuel Kant lebih menekankan kesalehan sosial, global ethics, tanpa membedakan manusia. Contoh: ajaran Kant pada konsep Imperative Category yang berbunyi: ‘Bertindaklah seolah-olah maksim tindakan anda melalui keinginan anda sendiri, dapat menjadi sebuah Hukum Alam yang universal’(Dikutip dari buku F. Budi Hardiman, Pemikiran Modern, Yogya: Kanisius, 2019, p.146). Imperative Category adalah ajaran moral Kant. Imperative ini bukan memerintahkan sesuatu untuk tujuan tertentu, tetapi perintah itu baik pada dirinya sendiri. Apakah ia? Bagaimana menurut anda? Saya ragu. Amin Abdullah nampaknya ingin mendekonstruksi cara kesalehan pribadi dengan kesalehan sosial, mirip global ethics Kant, sebagai contoh ijtihad modern, tetapi dia jarang menyebut nama Immanuel Kant secara terus terang. Ada apa?
Dalam beberapa tulisannya, guru besar ini nampaknya selalu berusaha menghindar dari terus terang terpengaruh oleh Kantianisme dan memakai ‘tameng’ untuk berlindung di bawah nama Abdullah Saeed, Farid Esack, Fazlur Rahman, dan tokoh Muslim lainnya. Dikatannya bahwa ide yang diusungnya telah didahului oleh, antara lain, Farid Esack. Temuan penulis dalam tesis di McGill tahun 1994 juga melihat Fazlur Rahman bersembunyi di balik khazanah klasik untuk menutupi Gadameriannya. Buktinya, teori Double Movementnya yang mengajak untuk menggali dan memahami particularistic kekinian hukum Islam, kemudian di bawa ke zaman Nabi agar diperoleh General principlesnya, ini adalah meniru teori Gadamer. Bukankah itu ontology cara Rahman untuk mengungkap Being? Coba lihat buku Fazlur Rahman berjudul Islam and Modernity, memang dia menyebut nama Gadamer dalam beberapa kata, tetapi tetap saja dikatakannya bahwa raw materials untiuk kajiannya adalah khazanah intelektual Muslim klasik. Amin Abdullah juga demikian. Mengapa para guru besar mengajar kita ‘main petak umpet’ semacam itu? Silahkan anda tebak sendiri!
Sekarang saya teringat nasehat Munawir Syadzali (mantan Menteri Agama), setelah membaca tesis saya yang sempat saya diskusikan dengannya, meskipun pembimbing tesis saya adalah Wael Hallaq. Dia menelpon dari Hotelnya di Montreal (1993?) kepada saya yang sedang berada di apartemen tempat kost, bahwa Daftar Pustaka dalam tesis saya sebaiknya diperbanyak jumlah literatur bahasa Arabnya. Sebab nanti di tanah air, katanya, akan banyak pembaca yang ‘alergi’ melihat sumber literatur lebih banyak diambil dari ‘kitab putih’. Itu nasehat bagus darinya, semoga Allah memberikan pahala pada arwahnya kini. Nasehat semacam itu tentu mengingat respon masyarakat yang akan variative, bahkan banyak yang masih alergi bila mendengar nama non-Muslim. Maka yang terbayang oleh penulis ada semacam ‘etika’ di kalangan para guru besar mirip main ‘petak umpet’, tetapi etika semacam itu apakah dapat dijadikan sebagai Imperative Category?
Fresh Ijtihad adalah Ijtihad yang segar, ijtihad yang mendekonstruksi sekat-sekat historisitas, fanatisme, eksklusivisme dan sektarianisme. Fresh ijtihad nampak bagi saya mirip dengan pesawat udara yang ingin lepas landas, ingin terbang ke angkasa luar. Dekonstruksi dirintis oleh Jacques Derrida, Integrasi-Interkoneksi disuarakan oleh Amin Abdullah. Tinggalkan ‘landasan’ yang membelenggu, membelenggu pola pikir, metode, pendekatan, teologi eksklusif. Tinggalkan metode belajar-mengajar yang linear, yang hanya bilang ‘kami saja yang hebat’. Global ethics disuarakan oleh Immanuel Kant, Ihsan Berkemajuan oleh Amin Abdullah. Pikirkanlah!
Sekian dulu pembaca budiman, sudah terlalu panjang, terimakasih telah membaca, walau tidak seluruh kandungan isi buku tersebut terangkum di sini. Bila ada kata2 yang sulit dipahami silahkan buka kamus dan Google, namun bila ada kata2 saya yang salah tolong buka pintu ‘maaf’. Izin Pamit, wassalam. Amhar Rasyid.

*Silakan Share