Politik identitas di Jambi telah menjadi isu yang semakin mencolok dalam beberapa tahun terakhir ini,dan dampaknya terhadap masyarakat patut disoroti dengan kritis. Politik identitas, mengedepankan ciri khas kelompok tertentu seperti etnis, agama, atau budaya, semakin marak digunakan di berbagai wilayah, termasuk di Jambi. Provinsi Jambi dikenal sebagai daerah yang kaya dengan keberagaman suku, budaya, dan agama. Di tengah pluralisme ini, politik identitas memiliki dua sisi yang kontradiktif. Di satu sisi, ia berpotensi memperkuat solidaritas antar kelompok, namun di sisi lain, politik identitas juga membawa risiko memicu ketegangan sosial dan konflik apabila diterapkan secara eksklusif atau sektarian.
Dalam konteks positif, politik identitas dapat memperkuat rasa saling memiliki di antara masyarakat yang berasal dari kelompok budaya yang sama. Solidaritas etnis atau agama yang positif dapat menjadi sumber daya sosial untuk saling membantu dan mendukung, terutama dalam konteks pembangunan masyarakat lokal. Di Jambi, pendekatan yang mengakui dan menghargai keberagaman dapat memperkaya budaya daerah dan mempererat kohesi sosial antar warga.
Namun, politik identitas yang berlebihan dapat menimbulkan efek negatif yang mendalam. Strategi politik ini cenderung memfokuskan kepentingan pada satu kelompok tertentu dan mengabaikan yang lainnya, sehingga masyarakat yang tidak memiliki afiliasi kuat dengan identitas mayoritas dapat merasa terpinggirkan. Akibatnya, politik identitas dapat menciptakan garis pemisah antara kelompok mayoritas dan minoritas, mengganggu dialog konstruktif, dan bahkan memperbesar ketidakpuasan sosial.
Studi dari Edward Aspinall dalam The Politics of Identity in Indonesia menunjukkan bahwa politik identitas sering kali memperkuat marginalisasi dan mengarahkan pada konflik sosial. Ini mencerminkan bahwa pendekatan semacam ini cenderung bertentangan dengan nilai inklusivitas dan keadilan yang diatur dalam konstitusi Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945, misalnya, menjamin hak setiap warga negara untuk diperlakukan secara adil dan setara, tanpa diskriminasi. Namun, dalam praktiknya, politik identitas dapat melanggar prinsip ini dan malah memicu diskriminasi, terutama terhadap kelompok minoritas.
Pergeseran fokus masyarakat dari isu-isu substantif seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan ekonomi menuju politik identitas juga berisiko menghambat pembangunan daerah. Ketika politisi lebih memilih memainkan “kartu identitas” untuk menggalang suara, perhatian terhadap kebijakan yang lebih konstruktif dan substansial dapat terabaikan. Di Jambi, hal ini terlihat dalam berbagai perdebatan publik yang seharusnya lebih berfokus pada kebutuhan pembangunan berkelanjutan tetapi teralihkan oleh isu-isu sektarian. Akibatnya, pembahasan terkait isu kesejahteraan masyarakat menjadi terhambat, dan dialog yang konstruktif sulit tercapai.
Politik identitas di Jambi memiliki implikasi yang signifikan terhadap persatuan masyarakat. Terlepas dari potensi positifnya, politik identitas yang tidak terkontrol berpotensi merusak keadilan sosial, meningkatkan ketegangan antar kelompok, dan menghambat dialog publik yang sehat. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemimpin daerah untuk mendorong dialog yang inklusif, menghargai keragaman, dan menekankan pada kepentingan bersama di atas kepentingan kelompok tertentu.
Langkah-langkah untuk memperkuat kohesi sosial perlu diambil, misalnya melalui pendidikan multikultural yang mempromosikan pemahaman dan toleransi antar kelompok. Selain itu, penting pula untuk memilih pemimpin yang memiliki visi inklusif dan berkomitmen pada pembangunan yang adil bagi semua.
Penulis : Ardi Muhammad Fikri
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi