Puasa dalam Perspektif Matematika Pahala (Telaah puasa kaum elit dan golongan sulit)

Penulis : Ineke Stasia Vanela

Puasa adalah praktik spiritual yang dilakukan oleh umat Islam di seluruh dunia sebagai bagian dari ibadah mereka. Puasa di banyak literatur di bicarakan sebagai amalan yang di lakukan oleh umat-umat sebelum nabi Muhammad. Namun, apakah kita tergolong orang yang mempertimbangkan puasa dari sudut pandang matematika? Meskipun konsep ini mungkin terdengar tidak lazim, tetapi dengan menggunakan prinsip-prinsip matematika untuk menghitung pahala yang diperoleh dari amal ibadah ini sering memberikan efek-efek tersendiri.

Banyak diantara kita selalu menggunakan persamaan matematika dalam menghitung jumlah pahala yang di peroleh setiap kali melakukan ibadah, sebut saja pahala sholat di Masjid tertentu sama dengan seratus ribu kali lipat dari pada sendiri. Ada juga puasa di hari tertentu sama dengan pahala selama tiga puluh hari.

Berapa banyak dari kita yang menjadikan dalil dalil yang seperti itu menjadi landasan dasar semangat kita untuk beribadah sehingga melupakan aspek-aspek mendasar dari ibadah itu tersendiri.

Dalam hal berpuasa tidak aneh bagi saya ketika Prof Abdul Munir Mulkhan dalam pengajian Ortom Muhammadiyah dalam guyonannya mengatakan bahwa tukang becak yang kerja keras dan profesi lain dengan menggunakan penuh energi tidak wajib berpuasa. Guru besar UIN Yogyakarta ini mengklasifikasikan beberapa katagori puasa ada puasa elit dan ada puasa sulit.

Perlu kita pikirkan dari kisah dua profesi tersebut antara bankir dan buruh tani.
Seorang bankir mulai dari sahur ia sudah bisa memilih menu apa yang ia sukai, minuman apa yang ia senangi, dan makan dalam keadaan nyaman. Ketika ia beraktivitas sudah di sungguh kan oleh pakaian yang bersih wangi, keluar dari rumahnya sudah di tunggu sama sopir dan di bukakan pintu mobilnya, turun sudah di tunggu sama ajudan untuk membukakan pintu kantor nya, tidak perlu naik tangga sudah ada lip, tidak perlu menekan tombol lip sudah ada yang menekannya. Sampe di ruangan tinggal memerintah para staf untuk menyelesaikan segala pekerjaan nya. Ketika pulang sudah di tunggu sama sopir sampe di rumah bisa memilih menu buka sesuka hati dan tidur dengan nyaman.
Jadi kalau profesi ini puasa seperti orang dalam katagori puasa sulit ya terlalu gampang profesi ini untuk masuk surga.

Selanjutnya kita kembali ke buruh tani mulai dari sahur tidak bisa memilih menu terkadang hanya kentang dan kerupuk, saat mau subuh pakaian yang di pakai kotor, beraktivitas dengan pakaian tidak nyaman, kerja tanpa pandang jam dalam kotoran, melaksanakan aktivitas penuh energi, belum lagi di beratkan oleh pikiran yang serba kekurangan sampai pada berbuka dengan menu yang tidak bisa di pilih.

Jika timbangan pahala puasa elit sama dengan puasa sulit (buruh tani) ya ndak adil kan.

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, jika tidak memasukkan rumus persamaan walaupun itu sederhana untuk menghitungnya:

Pahala = [(Ketekunan / Faktor_Kualitas) + Pengorbanan]

Dalam hal ini jika persentase antara ketekunan dan pengorbanan nya sama terlalu memberatkan bagi yang dalam katagori sulit, dari kisah diatas sama sama menjalankan puasa tapi pengorbanan yang di keluarkan tidak sama. Bagaimana seorang bankir pengorbanan puasa yang ia lakukan dalam menjalani puasa hanya sedikit dari persentase yang di keluarkan oleh yang di katagori puasa sulit itu.

Meskipun tidak mungkin untuk secara tepat mengukur nilai spiritual dari ibadah seperti puasa menggunakan matematika, mempertimbangkan puasa dari perspektif ini dapat membantu kita mengapresiasi nilai-nilai yang terkandung dalam praktik keagamaan setiap individu yang menjalaninya. Dengan pandangan tidak terjebak dalam hal ritual materil semata mampu membuat kita dapat mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang pentingnya ketekunan dan pengorbanan.

*Silakan Share