Oleh: Dedek Helida Pitra – Dosen UMMUBA
Pendidikan sejatinya bukan hanya soal menyampaikan materi, tetapi membentuk kepribadian dan karakter. Sebagai dosen yang mengampu mata kuliah Umum Pendidikan Kewargaengaraan topik “Identitas Nasional”, saya meyakini bahwa nilai-nilai luhur bangsa tidak cukup hanya dikenalkan lewat teks, tetapi perlu dihadirkan dalam konteks yang nyata dan hidup. Dari keyakinan inilah, saya dan mahasiswa Program Studi PGSD dan PBI Universitas Muhammadiyah Muara Bungo (UMMUBA) melaksanakan kuliah lapangan tematik di Rumah Tuo Adat Melayu Jambi di Dusun Rantau Panjang, Kabupaten Merangin, pada 14 Juni 2025.
Pengalaman lapangan ini membuka mata kami semua bahwa di balik bangunan tua yang berdiri tanpa paku itu, tersimpan literasi nilai dan budaya yang sangat kaya, mendalam, dan penuh makna. Rumah Tuo bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga “ruang pendidikan budaya” yang nyata. Rumah Tuo adalah bangunan adat peninggalan masyarakat Suku Batin yang telah berdiri sejak abad ke-14.Seperti disebut dalam beberapa sumber sejarah dan budaya Jambi, rumah ini dulunya digunakan sebagai tempat musyawarah, pertemuan adat, dan ruang spiritual masyarakat setempat.
Bagi mahasiswa yang terbiasa belajar lewat slide presentasi, menyentuh langsung tiang-tiang tua ini adalah pengalaman yang menggugah.Struktur arsitektur rumah ini bukan tanpa makna. Tiang-tiang kayu yang besar dan kuat, tanpa paku, melambangkan kekuatan dan kebersamaan masyarakat.Pintu masuk yang rendah mengajarkan nilai kerendahan hati setiap orang, tanpa terkecuali, harus menundukkan kepala saat masuk, simbol penghormatan terhadap ruang dan tuan rumah.Ruangan utama yang bertingkat menunjukkan nilai hierarki sosial yang dihormati, tempat duduk pemangku adat berada di ruang tertinggi, sementara masyarakat umum berada di bawahnya.
Ini adalah bentuk literasi ruang yang mengajarkan tata krama, etika sosial, dan penghargaan terhadap otoritas adat.Pembelajaran Kontekstual dan Peran Mahasiswa Melalui kegiatan ini, mahasiswa diajak bukan hanya menjadi pengamat, tetapi juga pelaku. Mereka melakukan observasi, wawancara dengan tokoh adat, membuat catatan lapangan, dan menulis refleksi pribadi. Di sinilah esensi dari pembelajaran kontekstual muncul dengan kuat: mahasiswa tidak hanya “mengetahui” nilai budaya, tetapi “mengalami dan menghayatinya” secara langsung.
Refleksi semacam ini tidak akan muncul dari ujian pilihan ganda. Inilah kekuatan pendidikan kontekstual karena menyentuh lapisan terdalam kesadaran mahasiswa.Rumah Tuo mengajarkan banyak nilai penting: kesantunan, musyawarah, gotong royong, penghargaan terhadap leluhur, serta tanggung jawab sosial. Dalam masyarakat modern yang sering kali memuja kecepatan dan efisiensi, nilai-nilai ini menjadi pegangan moral yang mulai luntur.
Sebagai pendidik, saya percaya bahwa kearifan lokal adalah pintu masuk strategis untuk pendidikan karakter. Ia membentuk kepribadian yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kuat secara moral dan spiritual. Logikanya sederhana, jika mahasiswa mampu memahami nilai yang hidup di sekitar mereka, mereka akan lebih siap menjadi guru yang mampu menanamkan nilai itu kembali kepada generasi selanjutnya.
Guru yang mengenal budayanya akan lebih mampu menjadikan pembelajaran sebagai proses internalisasi, bukan sekadar transmisi.Menghidupkan Kurikulum dari Tanah Sendiri kegiatan ini juga menjadi kritik terhadap pola pembelajaran yang terlalu sentralistik. Kita sering mendewakan kurikulum nasional dan melupakan konteks lokal. Padahal, pendidikan sejati harus bersandar pada realitas sosial dan budaya tempat peserta didik tumbuh.
Rumah Tuo adalah simbol bahwa pendidikan bisa (dan harus) dimulai dari akar.Sebagai dosen, saya melihat betapa mahasiswa lebih antusias, lebih aktif, dan lebih reflektif saat berhadapan langsung dengan kenyataan budaya. Kelas kami di Rumah Tuo lebih hidup daripada ruang kuliah biasa. Tidak ada meja, tidak ada proyektor, hanya ada ruang, nilai, dan kesadaran.
Perjalanan ke Rumah Tuo bukan sekadar wisata budaya, tetapi perjalanan pembentukan karakter.Mahasiswa UMMUBA telah mengalami proses belajar yang otentik, di mana nilai-nilai tidak diajarkan, tapi ditumbuhkan. Mereka menyaksikan, merasakan, dan menyadari bahwa warisan budaya adalah sumber daya pendidikan yang tak ternilai. “Jika kita ingin membentuk pendidik yang kuat, maka biarkan mereka belajar dari tanah tempat mereka berpijak.”
Tulisan ini adalah refleksi saya sebagai dosen, sebagai fasilitator pembelajaran, dan sebagai bagian dari masyarakat yang ingin menyaksikan kebangkitan kembali nilai-nilai luhur bangsa lewat pendidikan. Semoga Rumah Tuo tidak hanya menjadi bangunan tua yang dikunjungi sesekali, tapi menjadi bagian dari narasi besar pendidikan nasional yang membumi dan mencerahkan.
Penulis: Dedek Helida Pitra, Pengajar di Universitas Muhammadiyah Muara Bungo