IRAN DAN PERSIA: SAUDARA ½ HATI?


Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, Jum’at 27 Juni 2025

Assalamu’alaikum wr,wb Bapak2/Ibuk2/Adik2 kawula muda dan segenap mahasiswaku di mana saja berada. Saya senang menjalin silaturrahmi dengan anda semua lewat tulisan tiap Jum’at, ada teman dosen2 yang bertemu di kampus, di dalam lift, di dunia maya yang sangat berjauhan dengan Jambi bahkan ada yang di Mesir, Saudi Arabia, Malaysia dan Yaman. Demikian juga para tokoh nasional, politikus senior, guru besar, dan ulama serta saudara2 non-Muslim. Senang jumpa lagi hari ini dengan anda semua, sehingga dipilih tema terkait suasana politik hangat di Timur Tengah, karena meletusnya perang Iran – Israel. Tulisan ini sengaja dibuat agak panjang seakan meniru rudal Iran yang menyeberangi 2 negara. Diskusi bermula dari Iran pra Islam, kemudian tentang Syi’ah dan tak lupa apa relevansinya bagi kita bangsa Indonesia.

Di Indoesia banyak nampak orang gembira turun ke jalan, membawa bendera Iran, Palestina…mereka senang Israel hancur. Sayang sekali saya di sini tidak akan banyak berbicara tentang politik tetapi tentang aspek ilmu pengetahuan, karena filosuf Jerman bernama Heidegger menasehati kita: ‘Suatu pernyataan akan bermakna bilamana ia bermakna juga bagi kita’. Maka kita pilih topik ‘bermakna’ sejauh terkait Iran, bukan Irian (nama pulau yang kaya hasil tambang tapi penduduknya nampak ‘bungkam’) bukan pula Iriana (isteri pak Jokowi yang mungkin tau banyak tentang realita ijazah suaminya, tetapi juga memilih bungkam). Iran juga bungkam, tetapi setelah Israel mengganggunya pada tanggal 17 Juni 2025 ini, kekesalannya meluap bukan ½ hati lagi: Jadi, Iran, Irian dan Iriana, deretan 3 nama indah dalam kata, kadang bungkam dalam sikap.

Pertama, Iran dan Persia. Iran adalah nama suatu negara modern yang dahulunya dikenal dengan nama Persia. Pada waktu ia bernama Persia, sejarah Islam diukir indah oleh beberapa tokoh dan ulama besar yang berasal/berdarah Persia, tetapi di saat negara itu telah bernama Iran, ia menjadi Saudara ½ hati. Kenapa? Apa sebabnya? Mari kita bahas secara ilmu pengetahuan dengan mengambil sumber data dari berbagai buku, kamus dan umumnya dari Google kemudian disajikan dengan pendekatan religious-historis, menggunakan ‘pisau analisis’ filsafat agar anda yang membaca tulisan saya ini semakin senang membacanya.

Negara Iran mula berdiri pada tahun 1935, sebelumnya ia bernama Persia, dan kemudian ia resmi menjadi negara Republik Islam Iran, setelah referendum nasional, pada tanggal 1 April 1979 di bawah Pemimpin Tertinggi Ayatullah Khomenini. Nama Iran dikatakan berasal dari kata Persia Ayran (artinya tanah bangsa Arya). Bangsa Arya, menurut sejarah, adalah bangsa Indo-Eropa di Asia Tengah yang kemudian menduduki wilayah Iran sekarang. Sementara nama Persia terkenal dalam sejarah penguasa di Asia Barat selama lebih kurang 1200 tahun lebih dengan urutan nama kerajaan2 raksasa: Achaemenid (550-330 SM), Parthia dan Sasaniah. Hegel menyebut Persia sebagai bangsa bersejarah yang pertama. (Lihat Azadpour, M. “Hegel’, Encyclopaedia Iranica, diakses tanggal 26 Juni 2025). Berbagai artefak arkeologi dari pegunungan Zagros (Iran) katanya kini masih disimpan di Universitas Pensylvania, (USA).

Adapun nama Persia dikatakan berasal dari kata Fars (nama suatu suku bangsa Arya), tetapi orang2 Romawi (musuh bebuyutannya) menyebutnya dengan Persia, sementara orang Arab menyebutnya Farsi atau Farisi, maka terkenallah nama Sahabat Salman al-Farisi di masa Nabi Muhammad hidup.

Persia dikenal sebagai kekaisaran pertama di dunia yang berkuasa sangat besar. Persia pernah ditundukkan di masa lalu oleh Yunani, Arab,Turki dan Mongol. Raja2 ternama dari Persia tertulis dalam sejarah misalnya Cyrus, Xerxes I yang melakukan invasi ke Yunani pada 480 SM, Darius Yang Agung (522 SM-486 SM) bapaknya Xerxes I. Khusrau II (590 M-628 M). Melihat masa hidupnya sezaman dengan Nabi (571-672 M) mungkin Khusrau ini yang pernah dikirimi surat oleh Nabi Muhammad. Ada juga nama Rostam Farrokhzad (Jenderal Persia). Semua nama2hebat dalam sejarah dunia. Sebelum kedatangan Islam ke Persia, yang berkuasa terakhir adalah dynasti Sasania (dikatakan berawal sejak sekitar tahun 700 M). Sejak runtuhnya Sasania maka mulailah Islam berkembang di sana, lantas nenek moyang kita di Nusantara saat itu sedang ‘ngapain’ ya?

Kedua, apa itu Syi’ah? Apa uniknya Syi’ah bila dibandingkan dengan kita yang beraliran Ahlus Sunnah wal jama’ah (Sunni)? Syi’ah artinya kelompok orang2 yang meyakini secara politis bahwa keturunan Ali bin Thaliblah (Ahlul Bayt) yang berhak memimpin umat Islam. Sedangkan secara teologis mereka meyakini bahwa ulama yang sudah bergelar Ayatullah wajib diikuti perintahnya, sebab titah katanya sama levelnya dengan ayat suci al-Qur’an. Ingkar kepada Ayatullah sama artinya dengan ingkar kepada ayat suci. Aduh! Apa ada perbedaan lain? Syi’ah membolehkan nikah mut’ah (sementara), sementara kita Sunni tidak mengharamkan Nikah Sirri (sembunyi). Di Iran sekarang, karena nikah mut’ah dibolehkan, bila kedapatan pasangan non-Muhrim dalam kamar hotel katanya langsung dipenjarakan polisi, di negeri kita bila ada razia ke hotel2 dan tertangkap basah pasangan non-Muhrim biasanya dibawa ke kantor Satpol PP.

Dengan kedatangan Islam, maka terukirlah nama2 besar tokoh intelektual dan ulama besar Persia seperti Imam al-Ghazali (al-Ghazali=pemintal benang). Imam al-Asfahani juga Persia, Sibawayhi al-Farisi (ahli bahasa) wafat 183 H, Abu Abdillah an-Naysabury (w., 405 H), Ibnu Faris (lahir 395 H) juga Ibnu Majah, ahli Hadis (824- 886 M), sejarawan Abu Ja’far At-Thabari (w. 923 M), Muslim bin Hajjaj (w. 261 H) dan banyak lainnya. Ini semua tokoh2 cendekia dan ulama besar dari Persia. Tidak dipungkiri lagi sudah banyak jasa2 orang Iran kepada Islam sejak dulu. Pujian saya ini berdasarkan data sejarah, bukan berarti pula saya pro Syi’ah….takutnya nanti dicap pula pro Syi’ah seperti kasus Prof. Quraysh Syihab yang banyak bicara soal Syi’ah secara keilmuan.

Kapan Iran mulai menganut teologi Syi’ah? Bangsa Arab membawa Islam masuk ke negeri Persia ini, menaklukkan kerajaan Parsi terakhir yaitu dynasti Sasania pada tahun 633-656 M dan secara berangsur menghalau agama asli mereka (agama Zoroaster atau Majusi). Menurut sejarah setelah runtuhnya dynasti Sasania, lalu digantikan oleh dynasti Safawi: di saat inilah Syi’ah mulai berkembang (sekitar tahun 1501 M (abad ke 16). Artinya hingga kini Syi’ah sudah berkembang di sana sekitar 524 tahun.

Dynasti Safawi berdiri sejak 1501 (abad ke 16) dan berakhir di zaman modern ini (zaman Pahlevi berkuasa dari 1925-1979) dengan tumbangnya penguasa terakhir mereka bernama Syah Iran tahun 1979 yang melarikan diri dan akhirnya meninggal dan dikubur di Cairo, Mesir, takut dengan Khomeini (Imam Syi’ah) yang pulang/diterbangkan ke Iran dari pembuangannya di Paris (saya nonton langsung di TV Khomeini turun pesawat di bandara Teheran). Karena pernah menontonnya di TV, saya sempat duduk lama termenung, suatu kali,di dekat kuburan Syah Iran yang sepi di Cairo,sendirian bertopang dagu memikirkan sejarah nasib anak manusia dari jaya hingga merana: teringat seseorang biasanya dipuja di masa hidup, tetapi dicuekin di kala mati. Nampaknya sudah menjadi kebiasaan orang2 politik: dekat2 ketika bossnya berkuasa, jauh2 ketika sudah lengser. Kenapa ya? Karena manusia, mirip orang berenang, selalu ‘melihat ke zaman depan, manusia kurang hirau dengan yang sudah lewat’…sebab manusia punya rasa cemas (Angst) yang lengket dalam dirinya dalam menatap masa depan kata Heidegger.

Di Indonesia Syi’ah terdengar banyak berkembang di Bandung dengan tokohnya alm. Dr. Jalaluddin Rahmat, dosen Universitas Padjadjaran, Bandung dan mantan anggota DPR-RI periode 2014-2019 dari PDIP (meninggal 2021), dikatakan juga bahwa dia, mirip kasus Jokowi, pernah dituduh menggunakan Ijazah Palsu S2 dan dilaporkan ke Poltabes Makassar. Selain di kota Bandung Syi’ah dikatakan berkembang juga di pedalaman Jawa, Madura dan Sumatera (Pariaman, Bengkulu dan Sigli/Aceh). Organisasi mereka dikenal dengan sebutan IJABI dan ABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia dan Ahlul Bait Indonesia) yang mengembangkan Fikih Ja’fari. Dikabarkan bahwa MUI tidak melarang Syi’ah di Indonesia, tetapi menuyuruh kita waspada kepada sepak terjang Syi’ah yang dianggap ekstrim seperti Ghulat dan Rafidhah. Syi’ah adalah saudara kita sesama Muslim tapi ½ hati.

Yang tak terlupakan oleh saya adalah kritik teman saya mahasiswa Iran di Canada (1992-1994). Waktu kuliah di Universitas McGill, Canada, kami mahasiswa Indonesia umumnya tidak diberi biaya untuk membawa anak isteri ke Canada biasanya selama 2 tahun lebih untuk S2 dan 3 tahun lebih untuk S3. Lalu seorang mahasiswa Iran bilang pada saya: ‘Apakah Pemerintah kamu tak punya pertimbangan kemanusiaan, terbukti kamu berpisah jauh dengan isteri selama 2 tahun? Saya hanya diam saja. Itu di antara perbedaannya, mungkin anda lebih tau banyak informasi dari pada saya.

Terbukti antara orang Persia dan Nabi Muhammad sudah akrab sejak lama. Orang Persia bukanlah orang Arab maka disebut ‘Ajam. Hadis menggunakan bahasa halus untuk orang2 selain Arab dengan istilah ‘Ajami (selain Arab). Misalnya Hadis: La fadhlu baina ‘Arabi wa ‘Ajami illa bit taqwa (Tidak ada kelebihan orang Arab dan non-Arab kecuali taqwa). Ingat Salman al-Farisi (Salman orang Persia) sang arsitek lobang Khandaq di Medinah sedang berada dekat Nabi waktu itu.

Lalu kenapa dikatakan ½ hati? Itu istilah saya sendiri.

Alasan ke 1. Sebagaimana diketahui, bangsa Iran menganut teologi Syi’ah sementara mayoritas umat Islam menganut teologi Ahlus Sunnah (Sunni). Apa bedanya? Kita Sunni mengakui 4 orang Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, sedangkan Syi’ah hanya mengakui Ali saja dan keturunan2nya sebagai Ahlul Bayt yang berhak memerintah umat Muslim. Syi’ah bermacam2 sektenya, Syi’ah Imam 12 mempercayai bahwa hanya ada 12 Imam yang berhak memerintah sejak Ali bin Abi Thalib, sesudah itu menghilangnya Imam ke 12 yang bernama Imam Ja’far al-Shadiq di tengah kepungan musuh katanya, dia menghilang hingga kini, sampai pada suatu masa nanti dia akan muncul kembali. Sembari dia gaib, maka para Imamlah yang punya kekuasaan tertinggi, bertindak atas nama Imam yang ghaib. Imam yang terkenal adalah Imam Khomaeini, di mana dalam teologi Syi’ah setiap perintahnya diyakini sama derajatnya dengan al-Qur’an, sama suci dan kuatnya. Maka tatkala Imam Khomeini memerintahkan dari pembuangannya di Paris agar rakyat Iran mogok massal, maka mogoklah berdinas para tentara, polisi, PNS, buruh pabrik, sopir2 dan lainnya, mogoooook total. Akibatnya Syah Iran terguling ..dan kabur ke luar negeri. Kita salut ½ hati.

Alasan ke 2. Kendatipun Iran adalah Syi’ah, rakyat Palestina yang beraliran Sunni juga dibelanya. Tidak ada negara Arab yang berani mirip Iran sekarang menyerang Israel (lihat Saudi Arabia, Mesir, Libya, Tunis, Al-Jazair, Marokko, Iraq, Libanon, Syria, Yaman, Abu Dhabi, Qatar, Kuwait, Sudan). Banyak ejekan sinis di media sosial atas sikap para Raja2 Arab di Timur Tengah yang ‘manut’ pada Amerika. Mereka senang dengan kemewahan mereka sendiri dari hasil penjualan minyak, hidup mewah, glamour, hingga toilet dan kotak tissue juga terbuat dari emas, sementara penduduk Gaza Palestina dirundung peluru dan diusir oleh Zionis Israel dari tanah kelahirannya. Sekarang terbukti siapa yang menaruh simpati sebenarnya kepada penderitaan Palestina: ternyata Iran yang berteologi Syi’ah. Dari lubuk hati yang paling dalam saya bertanya pada anda: Apakah anda merasa bangga/puas dengan hancurnya sebagian negeri Israel sekarang oleh serangan Iran? Apakah anda yang selama ini anti Israel-Amerika berdemo dan sibuk dengan slogan boikot Coca Cola, KFC, AW, namun sekarang melompat2 kegirangan karena hancurnya Israel? Bila ia, maka itu namanya bersaudara ½ hati dengan Iran. Jasa Iran membela Palestina kita acungkan jempol, tetapi sikap kita untuk mengakui teologi Syi’ahnya ya tunggu dulu.

Alas an ke 3. Sebagai mahasiswa Timur Tengah, saya pernah diberitahu oleh teman2 yang pernah kuliah dan dapat bantuan bea siswa dari Kerajaan Saudi Arabia bahwa negara Arab yang kaya minyak tersebut selalu merasa iri dan curiga dengan Iran, sehingga apapun aktifitas Syi’ahnya selalu ingin dibatasi. Maka saya disarankan oleh teman tersebut bilamana kita ingin mendapatkan bantuan keuangan dari Saudi Arabia, misalnya untuk membangun masjid atau sekolah di lndonesia, maka buatlah proposal yang menceritakan pentingnya proyek kita, mendesak, emergency, katakan bahwa di dekat kawasan kita sudah ada tanda2 perkembangan Syi’ah. Dengan cara demikian, Saudi Arabia biasanya akan mudah tergerak hatinya untuk mengucurkan dana agar perkembangan Syi’ah terhambat. Itu teori teman saya. Mana tau anda ingin coba? Masih juga ½ hati.

Terakhir Selat Hormuz. Di saat-saat sekarang anda banyak membaca dan mendengar dari media massa nama Selat Hormuz, apa itu? Kata Hormuz berasal dari ‘Ahura Mazda’ yaitu dewanya penganut agama Zoroaster (Majusi). Dalam buku lama Denis Saurat ‘ A History of Religions’ (London: Jonathan Cape, 1934), p. 114-116 dikatakan bahwa ‘Ahura- Mazda’(Ormazad, Ormuz) diambil dari nama Varuna. Nama Varuna itu sendiri ditemukan dalam sebuah inskripsi kuno di negeri Mitanni (Barat Laut Persia) sekitar 1400 SM. Selanjutnya dikatakan bahwa ada dua nama dewa yang antagonistic bagi orang Iran kuno: Ahura Mazda dan Ahriman. Ahura Mazda adalah dewa kebaikan, sementara Ahriman dewa kejahatan. Dalam keyakinan penganut Zoroaster kemudian hiduplah dualisme: Baik dan Buruk. Hormuz ditempelkan menjadi nama selat mungkin sebagai symbol ‘kebenaran’ memberantas yang bathil.

Selat Hormuz, kata Kompas TV (26-6-2025), memang dilewati lebih dari 1000 kapal tangker dalam sebulan untuk suplai sebagian besar konsumsi minyak dunia. Bila Selat tersebut ditutup oleh Iran yang tidak takut pada Amerika, maka harga minyak dunia akan melonjak naik dan dampaknya bagi kita jelas akan menggerus APBN Indonesia atau boleh jadi harga Solar, Pertalite dan Pertamax di SPBU seluruh Indonesia akan segera naik.

Dari uraian di atas, apa yang terbayang oleh kita? Mungkin bagi sebagian orang Iran modern tertanam dalam diri mereka ‘jiwa pemberani, tegar, tak pernah kompromi’ yang diwarisi dari spirit Ahura Mazda. Hitam ya Hitam, Putih ya Putih: ini dualisme Zoroaster. Bila Israel mulai nakal duluan (ini sifat Ahriman), mereka habisi (dengan sifat Ahura Mazda) maka nama selat Hormuz sangat bermakna bagi orang Iran modern. Sementara dunia internasional yang pragmatic-rational malah lebih memikirkan politik-ekonomi di balik nama Selat Hormuz dan nama dewa Ahura Mazda terlupakan. Jadi nama Hormuz bagi orang Barat sudah disekularisasi, bagi orang Iran menjadi inspirasi keberanian. Di Indonesia juga bisa dicari samplenya. Bila Ahura Mazda bagi orang Iran, maka Gatot Koco (si otot kawat tulang besi): bagi orang Jawa. Bila Ahriman bagi orang Iran, maka Sengkuni dan Kurowo bagi orang Jawa. Mungkin bagi orang Iran spirit Ahura Mazda sudah Go International, sementara Gatot Koco bagi kita masih Go Nasional dan bila ia Go Internasional, bahkan ia menjadi sikap politik luar negeri kita ‘non-Block’. Ahura Mazda dan Gatot Koco adalah dua kisah kesatria dalam fiksi rakyat dan boleh jadi sekarang telah menjadi SIKAP bangsa. Gatot Koco belum seperti Pakistan yg mau membela lran.

Bahkan berbeda dengan Syi’ah, Teologi Sunni kita juga terbukti cenderung kompromistik. Imam al-Mawardi (ulama Sunni) dalam kitabnya berjudul ‘al-Ahkam al-Sulthaniyah’ kalau tak salah mengatakan bahwa pemerintah yang korup lebih baik dari pada tidak ada pemerintah sama sekali. Ini kompromistik. Bahkan Wali Songo menyebarkan Islam di Jawa juga membawa semangat ‘kompromistik’ Sunni. Banyak dijumpai contoh semangat kompromistik dalam kehidupan kita di Indonesia, ia tercermin dari kalimat: ‘Semua bisa di…atuuuuur’ (lagi2 kompromistik). Teringat awal tulisan saya di atas tentang 3 nama: Iran, Irian dan Iriana: sikap Iran ternyata memang beda (non kompromistik), apakah sikap Irian dan sikap Iriana pada ijazah suaminya juga akan berujung nanti pada kompromistik?

Kesimpulan: bangsa Iran punya sejarah panjang yang hebat, pernah ditakuti oleh Romawi (bangsa Barat/Eropa zaman dulu). Nampaknya ada rasa bangga bagi orang Iran bahwa mereka adalah pewaris semangat raja2 ternama Darius, Xerxes, ditambah lagi warisan spirit Ahura Mazda. Kebanggaan heroic atas kejayaan masa lampau itu perlu bagi suatu bangsa. Hanya saja sahabat Muslim Iran kita tersebut masih diterima ½ hati: jasanya dihargai, teologinya tunggu dulu.

Significance of issue (Hikmah). Nama Hormuz boleh jadi bukan bermakna romanticisme (rindu masa lalu), tetapi dari mana nasionalisme Iran mendapatkan sandaran basis ‘tegar’ psikologis, pada taraf numenon bagi Immanuel Kant. Pertanyaannya, kenapa fenomena ‘tegar’ orang Iran semacam itu ada juga pada semangat orang Aceh? Ini analisa secara filosofis saja, boleh jadi analisa saya keliru, menurut anda bagaimana?

Demikianlah tulisan saya Jum’at ini untuk pembaca setia. Terimakasih telah membacanya semoga bermanfaat. Mohon maaf bila ada kata2 yang salah. Wassalam, pamit, Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share