Oleh: Anggi Manda Putra .S.Kom – Anggota LHKP PWM Jambi
Dalam dunia Naruto, konflik politik dan sistem politik dinasti telah lama menjadi poin sentral dalam pengembangan cerita. Pada dasarnya, cerita ini mencerminkan sebuah realitas yang kita temui dalam dunia nyata, namun dengan sentuhan yang unik. Naruto menggambarkan berbagai aspek politik, mulai dari penyatuan klan oleh Hokage pertama, Hashirama, hingga konflik internal yang melibatkan klan Senju dan Uchiha.
Politik dinasti dalam dunia Naruto menciptakan hubungan kuat antara Hokage-hokage yang menjabat, seringkali berdasarkan hubungan darah atau relasi guru-murid. Contoh nyata termasuk Tobirama yang menggantikan saudaranya Hashirama, serta Minato yang menggantikan guru lamanya, Hiruzen. Hal ini menciptakan pola yang berulang di mana kekuasaan dipertahankan dalam lingkaran tertutup.
Namun, perlu diingat bahwa dalam konteks Naruto, politik dinasti ini tidak selalu negatif. Para Hokage yang menjabat memang memiliki kapabilitas yang luar biasa dan komitmen pada kebaikan rakyat. Mereka bukan hanya dipilih berdasarkan hubungan keluarga, tetapi juga karena keunggulan mereka sebagai shinobi. Sehingga, sistem politik dinasti dalam Naruto mungkin lebih dapat diterima dalam konteks dunianya yang unik.
Ketika mempertimbangkan politik dinasti dalam dunia nyata, kita harus memperhatikan bahaya yang mungkin timbul akibat nepotisme dan pemilihan berdasarkan hubungan keluarga. Kualifikasi dan kemampuan harus selalu menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan politik. Naruto, sambil memberikan pandangan menarik tentang politik, juga mengingatkan kita untuk selalu berfokus pada kompetensi dalam pemilihan pemimpin di dunia nyata.
Dengan demikian, pertanyaan tentang siapa yang akan menjadi Hokage berikutnya dalam cerita Naruto merupakan refleksi dari pertarungan antara sistem politik dinasti dan penilaian berdasarkan kemampuan. Mungkin, Shikamaru Nara memiliki potensi untuk mengubah dinamika politik dinasti dalam dunia Naruto, namun waktu akan menentukan hasil akhirnya
