KEBERSAMAAN itu INDAH

Assalamu’alaikum wr.wb, Bpk/Ibuk2/Adik2ku/Anak2ku/Mhs2ku dan segenap pembaca Muslim dan non-Muslim yang merindukan kebersamaan. Salam dari Yogya, kota nostalgia di masa saya muda dan di masa pasca muda. Kata ‘bersama’ maksudnya bagi kita tentu tidak susah dipahami lagi sebagai bahasa Indonesia. Dalam bahasa Minang disebut ‘basamo’, dalam bahasa Jawa disebut ‘bareng’ dan dalam bahasa Jawa krama inggil ‘sesarengan/sareng-sareng’. Yang menarik untuk dibahas sekarang ialah kebersamaan dalam bentuk apa yang betul-betul indah? Tentu tidak semua urusan elok dikerjakan bersama:: mencontek di sekolah, korupsi berjamaah, sendirian juga tidak elok. Tetapi secara sosiologis, ‘bersama’ di kehidupan kota sudah jauh berbeda dengan ‘bersama’ di kampung. Mengapa demikian? Apa kira-kira penyebabnya? Apa buruk baiknya? Mari kita diskusikan bersama mumpung ada waktu untuk ‘kebersamaan’.

Di kampung, gotong royong bersama, makan piring besar bersama, duduk merokok bersama, arisan bersama, mobil teman/saudara tumpangi rame-rame, asal muat, urusan pribadi orang lain juga suka dibicarakan bersama. Di kota kenyataannya gotong royong dibayar bersama, makan jarang sekali bersama sekalipun dalam satu keluarga, merokok dibenci bersama, dan urusan pribadi orang lain: jangankan diurus bersama, dipikirkan juga tidak.
Jadi ‘bersama’ bagi kehidupan kampung adalah fisikal, sementara bagi kehidupan kota ‘ideal’. Fisikal artinya secara fisik, ada wujud nyata berbentuk barang yang bisa disentuh, diraba. Sementara ‘ideal’ artinya hanya dalam ide, hanya dalam pemikiran, tidak berwujud secara fisik. Orang kota juga ingin hidup indah (ideal), nikmati sendiri, rumah sendiri, mobil sendiri, arisan Online, silatur rahmi Online, bahkan tetangga sebelah rumah ‘mati’ pun tak ada yang peduli melayat, dengan tetanggapun, semasa hidup, tidak saling sedekah makanan di bulan puasa Ramadhan. Nikmati aja sendiri: Lu..lu…gua..gua..Emang gua pikirin? kata Inul Daratista….Masha alaaah buat lu? kata Soimah.

Mengapa orang kota dan orang kampung berpikiran demikian? Penyebabnya mungkin: 1. Pertimbangan waktu 2. Azas manfaat. 3. Pola pikir akibat latar belakang pendidikan. Orang kota sibuk, orang kampung banyak santai. Orang kota berprinsip : apa sih gunanya buat gua? Orang kampung berpikiran ‘berat sama dipikul, ringan sama dijinjing’. Bagi orang kota urusan sosial bersama seperti gotong royong, siskamling, keamanan, penguburan,….udah bayar aja! Bagi orang kampung…..mari kita sinsingkan lengan baju! Dak ado piti kata si Buyuang, (nong hadong hepeng) kata si Ucok. Orang kota banyak mendapat pendidikan tinggi, sibuk, sehingga terbiasa banyak bekerja secara akademik, menulis karya ilmiah, membuat proposal, memikirkan rencana dan seluk beluk perusahaan, ..sehingga memerlukan ‘kesendirian’ dalam berpikir dan berkonsentrasi. Usai solat di langgar langsung lari keluar tanpa zikir. Sementara orang kampung masih punya banyak waktu luang, duduk ngopi di warung bersama, ngobrol santai bersama, gotong royong bersama, siskamling bersama, melayat bersama, rapat saling tunggu yang belum datang, dan yang terlambat datang juga tak merasa terlambat, hingga solatpun diakhiri, bukan melihat ke kanan dan ke kiri saja, tetapi hingga salam2 jabat tanganpun bersama. Orang kampung yasinan/tahlilan bersama, sementara orang kota tak ada waktu untuk hadir. Ini menurut saya dampak berpikir rational akademik. Ujung2nya, acara arisan, yasinan dan tahlilan lambat laun akan semakin sepi. Bagaimana sikap orang kita semacam itu bila dilihat pada kecenderungan global?

Bila dipikir mendalam, anehnya sikap orang kita tidak pula mengarah kepada Postmodernisme. Walaupun Postmodernisme semacam cluster filsafat Barat, ia juga mengarah pada keinginan universal: BERSAMA. Paradigmanya keindahan bersama, dan peraturan adalah nomor dua. Norma2: peraturan negara, peraturan apa saja nomor dua, agamapun nomor dua. Tidak usah buat aturan aturan negara, aturan agama, katanya, yang penting hidup indah bersama. Nama paradigmanya the Aesthetics of Existence, tokohnya misalnya Michel Faucoult (Bukalah Google!). Sementara bagi kita, masyarakat kota dan masyarakat kampung, soal peraturan masih nomor 1. Bila agama mengharamkan alcohol, ya babat habis warung-warung minuman keras, Peraturan syari’at agama no,1 kata FPI, keindahan bersama …nomor sekian, itu menurut analisa saya, Allah yang lebih tahu.

Dari diskusi di atas nampak gradasi tangga pemikiran. Di level dunia Barat, peraturan kurang perlu dibandingkan keindahan. Kenapa? Orang sudah trauma dengan Nazi. Hitler lebih mementingkan peraturan atas nama kebenaran, tembok Berlin dibuat katanya demi peraturan, Yahudi dibantai termasuk perempuan2 dan anak2 katanya juga demi peraturan, jadi peraturan dipaksakan atas nama kebenran. Lantas usai Perang Dunia II para filosuf mulai beralih berpikir: mana yang lebih baik ‘tegaknya peraturan meniru semangat Hitler’ atau ‘indahnya kehidupan bersama?” Mana yang hendak diutamakan? Menurut anda bagaimana?

Ajaran Nabi nampaknya cenderung kepada keindahan dari pada kerasnya tegak peraturan. Buktinya, suatu kali Sahabat menagkap seorang wanita yang berzina, diikatnya, ditahan di suatu tempat, tiba2 lepas, lari/kabur wanita tersebut, dikejar ramai2, tertangkap dan langsung dirajam sampai mati. Setelah Sahabat tersebut bertemu Rasul maka dilaporkan kejadian tersebut dengan bangga telah menegakkan aturan agama. Eee malah Nabi menjwab dengan suara lembut:” Ya…. kalau dia sudah tobat, biarkanlah dia lepas”. Sahabat tersebut terdiam, ee rupanya ‘keliru’ memahami Nabi. Dikiranya tegaknya syari’at yang utama, rupanya sikap pemaaf lebih mulya. Jadi, eloklah memaafkan dari pada kasar. Eloklah indah bersama dari pada segudang peraturan. Bila sudah indah bersama, peraturan nanti mengikut di belakang.

Di Indonesia, dunia peradilan sibuk menegakkan peraturan, yang menang yang kuat bayar kata media massa. Orang ahli hukum sibuk bersilat lidah…Sesuai UUD 45,…sesuai Kepres No…Sesuai Perda No……akhirnya? Ya …’disesuaikan’. Pembaca tentu maklum. Di negeri tercinta ini Peraturan adalah No 1. Orang berkoak-koak bahwa dengan tegaknya aturan, hidup di Indonesia bisa happy, tetapi kenyataannya? KPK adalah lembaga yang menegakkan aturan, tetapi toh tidak sukses di mata rakyat. Indonesia tidak menganut spirit Postmodernisme.
Bahkan di MK. Saya dengar banyak ‘hati nurani’ mendenyut berbisik ngomel tatkala menyaksikan sidang MK baru2 ini digelar. Tapi apa boleh buat, peraturan tetap nomor 1: ‘legal and binding’ (sah dan mengikat) kata Yusril. Ha..haaaa.. Wakil Presiden kita anak muda, mungkin termuda di dunia, tetapi jangan disebut ‘anak ingusan’. Seandainya Presiden berumur pendek, kata Yusuf Kalla, undang2 melegalkannya menduduki ‘Kursi Presiden, dan kita segenap bangsa Indonesia, menurut peraturan lagi, wajib angkat tangan hormat pada…….. si ‘anak muda’. Hebatkan? bila peraturan yang nomor 1.

Sekarang terserah pada anda untuk menyimpulkannya, saya sudah dikritik biasanya nulis terlalu panjang. Demi ‘ELOK BASAMO’ bagi saya biarlah stop mengetik sampai di sini. Terimakasih sudah memabaca, silahkan dikritik, diperdebatkan! Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share