HEIDEGGER DAN PROBLEMA KITA

Dari tulisan saya pada Jum’at yang lampau, Prof. Abdul Mustaqim guru besar filsafat di UIN Yogya sangat berjasa, dia sempat menolong menjelaskan secara filsafat bahwa ‘Saya tidak tahu’. Dengan mempelajari filsafat Heidegger, kita dibawa ‘berwisata’ ke alam pikiran yang berbeda dari alam ceramah2, khutbah, dan pengajian umumnya. Dan di bangku kuliah, kita semakin sadar bahwa ilmu pengetahuan yang diajarkan di ruangan kelas oleh dosen dan professor nampak bagaikan ‘barang kiriman COD’ dari penjual anonym (tanpa nama). Maksud COD di sini, ilmu2 yang diajarkan di kelas ternyata sudah dirumuskan oleh para tokoh ulama dan intelektual jauh sebelum kita lahir. Terkait hal itu, saya membayangkan seakan Heidegger berkata:”Saya juga punya produk unggulan yang belum banyak dijual di super market dan online”. Mau tau apa itu?

Demikianlah kiasan saya, berdasarkan pengalaman mengajar, untuk membangunkan minat anda membaca tulisan di bawah ini. Maka timbul beberapa pertanyaan menarik: apakah ada cara/metode lain, secara filsafat, untuk melirik kebenaran ajaran keagamaan selain yang biasa kita dengar dari cara2 ustaz, cara kiyai, cara buya, cara pendeta, dan cara biksu? Apakah selama ini di ruangan kuliah ada cara/metode lain untuk menyingkapkan kebenaran dalam ilmu pengetahuan? Barangkali selama ini kita disuguhi ‘barang kiriman dari beberapa agen’ yang mana dosen dan professor tak memberitahu dan memang tak tahu nama agen2 pengirimnya atau produsennya? Dia hanya memasarkan kepada kita, menyuruh hafal, menyuruh pakai, menyuruh makan, produk2 yang dibuat dengan kerangka metodologi yang dia sendiri tak menyadarinya, bahkan saya juga tidak menyadarinya di saat menulis thesis di McGill, Canada dan disertasi di UIN Yogyakarta. Karena saya menghormati anda sebagai orang yang taat beragama atau sebagai mahasiswa, marilah kita kupas sedikit buah pikiran Heidegger, kita kenali keunggulan produknya. Pertama siapa itu Heidegger? Kedua, apa buah pikirannya? Ketiga apa relevansinya dengan problema kita? Terakhir kesimpulan dan hikmah. Selamat menikmati tulisan saya ini apalagi bila diiringi dengan secangkir kopi di tempat sepi….asli barang kiriman dari Jambi.

Siapa Heidegger? Martin Heidegger adalah filosuf Jerman ternama (1889-1976). Dia pernah menjabat sebagai Rektor Universiteit Freiburg, tetapi sayangnya di masa Hitler berkuasa dia dikatakan orang agak pro Hitler, tetapi di akhir hayatnya dia berbalik arah. Heidegger telah mempengaruhi perobahan cara berpikir Barat abad ke 20. Banyak filosuf besar yang mengikuti ajarannya di antaranya Hannah Arendt, Leo Staruss, Karl Lowith, Gerhard Kruger, Hans Jonas dan Hans Georg Gadamer. Dikutip dari buku F. Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: Kanisius, 2015), 102.

Apa buah pikirannya yang perlu kita ketahui? Dari sekian banyak buah pikiran Heidegger yang terasa penting sekarang ini, menurut saya, adalah fenomenologi tetapi bukan ala Edmund Husserl. Fenomenologi, bagi Heidegger, berarti sebuah pendekatan untuk mendeskripsikan hal2 seperti yang kita alami sendiri, jauh sebelum ia kita rumuskan dalam pikiran kita, jauh sebelum filsafat atau ilmu pengetahuan merumuskannya (Seni Memahami, p. 104). Apa contohnya? Bagi saya, berbeda dengan Heidegger, contoh fenomenologi lebih romantis..mudah2an contoh ini benar. Anda pernah jatuh cinta? Bagaimana perasaan anda saat itu? Bagaimana rasa rindu ingin ketemu sang pacar yang anda alami? Perasaan anda bahagia kan?, senang, larut dalam fantasi…dunia milik kita berdua, ‘t…k kambing rasa coklat’ kata orang.

Pengalaman Falling in Love seperti itulah yang anda coba pahami,renungi, pikirkan dalam2, jangan menggunakan istilah2 yang telah dirumuskan oleh para ahli psikologi, apalagi defenisi cinta oleh Sigmund Freud, tetapi jauh sebelum ia diberi istilah2, jauh sebelum cinta diberi defenisi2 oleh para ahli dalam berbagai buku, kamus atau Google. Itu namanya fenomenologi. Pengalaman bercinta itu menyingkapkan kebenaran dirinya sendiri lewat pengalaman pribadi anda, tanpa dibantu oleh para ahli untuk menjelaskannya, tanpa baca buku, tanpa merujuk pada kamus atau Google apa itu cinta. Sambil mencicipi ‘kopi Jambi’ angguk2kan kepala anda sendiri, berbisik sendiri: “Ooooo ….begitu ya sebenarnya yang terjadi ketika Falling in Love’. Mungkin Heidegger tersenyum pada contoh saya ini, sebab dia tidak memberikan contoh tersebut atau saya yang keliru, mudah2 dikoreksi oleh Prof. Mustaqim (UIN Yogya) atau Pak Marzuki Arsyad (Jambi) yang lebih memahami filsafat Heidegger. Syukur bila dikritiknya, maka akan tau bahwa saya tidak tau. Sing angel, kata orang Jawa: kulo boten ngertos nik kulo niku boten ngertos (saya tidak tau bahwa saya tidak tau). Anda kira2 pada posisi yang mana?

Sekarang saya tanya anda, ‘Apa itu solat?’ Bila anda jawab: Solat ialah ibadah menyembah Allah dengan bacaan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbirotul Ihram dan diakhiri dengan salam lengkap dengan syarat dan rukun2nya’. Ini namanya bukan fenomenologi, sebab ia sudah dirumuskan, diberi defenisi oleh para ulama. Lalu mana contoh yang fenomenologis? Contohnya, bagi saya, solat Umar bin Khattab. Dikatakan bahwa suatu kali anak panah menusuk tubuhnya, dan dia minta tolong pada sahabat untuk mencabutnya tetapi tunggu dulu hingga dia sedang solat. Nah, usai solat dan anak panah dicabut, Umar mulai bermenung, berpikir terkait mengalami ‘hal2 di saat dia solat tadi yang menyingkapkan kebenaran solat itu sendiri’…pemahamannya berdasarkan pengalaman…mirip pengalaman cinta anda di atas.

Bila ditanya, mana yang lebih dulu muncul apakah ‘pemahaman’ atau ‘interpretasi’? Jawab Heidegger: pemahaman, sementara interpretasi muncul menyusul. Memahami merupakan tindakan primordial (paling awal) cara keberadaan kita, sementara interpretasi, penafsiran merupakan artikulasi (uraian) atas tindakan primordial kita tersebut. Jadi fenomenologi menurut Heidegger ialah ‘membiarkan apa2 yang menampakkan diri itu dilihat dari dirinya sendiri dengan cara dia memperlihatkan diri dari dirinya sendiri’ sesuai buku Martin Heidegger, Being and Time, Blackwell, Oxford, 2001, p. 58, terjemahannya penulis kutip dari buku Profesor F. Budi Hardiman, Seni Memahami, p. 105.

Setelah anda pahami fenomenologi dari uraian di atas, maka timbullah pertanyaan apa itu Ontologi dan Ontis? Sejauh yang saya pahami dari penjelasan Heidegger, Ontis lawan Ontologis. Bila Ontologi adalah istilah yang digunakan Heidegger untuk cara menggali kebenaran ke asalnya, primordial, ke hulu seperti fenomenologi, sementara Ontis memahami, mewarisi sesuatu apa yang sudah dirumuskan oleh para pendahulu kita. Misalnya, apa defenisi solat? Apa defenisi cinta? Apa defenisi ijazah asli menurut pembela Jokowi? Apa defenisi Muhammadiyah? Apa defenisi NU? Bila kita ikuti defenisi2 para ahli atau defenisi persyarikatan itu, maka kita dikatakan memahami secara Ontis. Kalau begitu Asmaul Husna juga Ontis? Iya nampaknya. Sebab 99 nama tersebut adalah nama2 yang ‘ditempelkan’ kemudian oleh ulama terdahulu kepada nama Zat Yang Maha Esa.

Nama saya Amhar juga Ontis, sebab ia ‘tempelan’ oleh Bapak saya pada seorang bayi yang lahir tahun 1957 dari hasil pernikahannya dengan ibu saya. Lalu seharusnya anda bertanya: apa kebenaran Ontologis bayi itu (kebenaran primordialnya)? Sampai di sini nampak bahwa umumnya mata kuliah kita di UIN, di berbagai universitas oleh dosen2 dan profesor, ceramah2 agama oleh ustaz, kiyai, da’i, buya, dan para pemuka agama2 lain, pernyataan para politikus, ekonom, seniman, sejarawan, semuanya umumnya ‘mengkonsumsi’ Ontis. Mirip dengan mengunyah makanan yang sudah dikunyah oleh orang2 sebelum kita, dirumuskan oleh orang2 terdahulu, mirip shopping kita juga seolah-olah puas dengan belanja online COD, dalam istilah alm. Buya Syafi’i Ma’arif: Kita ini bangsa memamah biak. …itu lagi..itu lagi yang didakwahkan, diajarkan, diulangi.

Bila anda telah menyadari selama ini banyak menerima Ontis, maka apa itu positivistic? Positivistik maksudnya mencari kebenaran sesuatu mirip cara kerja metode ilmiah, mengikuti metode pencarian kebenaran yang diajarkan oleh Descartes pada abad ke 16: mencari kebenaran yang tersembunyi di dalam suatu benda (kita yang aktif berbekal pengetahuan kita yang Ontis dengan cara membuat jarak antara Subjek dengan Objek). Misalnya, kebenaran dalam virus Covid 19 yang lalu. Apa yang ditemukan sebagai kebenaran di dalamnya, memang sudah melalui serangkaian metode ilmiah yang sudah nongkrong dalam kepala ilmuan yang meneliti. Kebenaran tentang virus Covid 19 (Objek) lalu ditundukkan, didefenisikan oleh ilmuwan sebagai Subjek sesuai dengan metode ilmiah yang digunakan. Semakin canggih metode yang dipakai, semakin ilmiah pula temuan kebenaran ilmiahnya. Itu namanya mengobjektivasi kebenaran. Itu yang dibahas dan dikritik oleh Thomas Kuhn terkait ‘The Shifting Paradigm’ dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions.

Bila dibawa cara berpikir Cartesian tersebut ke dalam kajian keislaman, apakah metode positivistic semacam itu saja yang memancarkan kebenaran? Mungkin ada benarnya isi kitab2 kuning, seperti tafsir, Sirah Nabawiyah, tetapi kurang berhasil, kata Gadamer. Bagi saya, ingat Hadis Nabi Muhammad yang menyesali Sahabat karena mereka melapor setelah mengejar dan menangkap kembali, kemudian melakukan hukuman rajam hingga mati karena tidak memaafkan wanita yang sudah mengaku berzina. Sahabat sudah yakin bertindak benar dengan merajam karena berpikir secara positivistic, tetapi Nabi berkata lain: Biarkanlah wanita pezina yang lari itu menentukan nasibnya sendiri (tak usah di rajam). Jadi Nabi tidak positivistic, tidak kaku dalam memahami isi pesan wahyu. Bahkan di kemudian hari Umar bin Khattab juga tidak positivistic. Umar diriwayatkan tidak selamanya memberikan zakat kepada orang mu’allaf walaupun ayat al-Qur’an tegas secara positif menyuruh beri. Umar juga pernah tidak menerapkan hukum potong tangan kepada pencuri yang mencuri di masa paceklik. Artinya Umar tidak positivistic, tidak mengobjektivasi kebenaran dalam menafsirkan ayat al-Qur’an sebagaimana yang jelas2 tertulis. Tidak menganggap dirinya Subjek dan ayat/Hadis sebagai Objek.

Di dalam khazanah pemikiran keislaman modern, metode penjarakan Subjek-Objek yang positivistic ala Cartesian itulah yang ‘ditangisi’ oleh Muhammed Arkoun (filosuf Muslim kontemporer). Dia ingin ‘membalikkan’ metode menafsir kitab suci dengan tidak membuat penjarakan Subjek-Objek lagi seperti metode ilmiah Cartesian tersebut, tetapi antara lain dengan analisis semiotika dimana peneliti al-Qur’an mendekati teks bukan dengan menggunakan tafsir2 sebelumnya yang sudah banyak dirumuskan dalam sejarah (Misalnya, bagi saya, tafsir Muqatil bin Sulaiman yang diidolakan oleh Dr. Sukidi jebolan Harvard). Dalam analisis semiotika biarkanlah kebenaran dalam al-Qur’an menyingkapkan dirinya sendiri. Kalau begitu bukankah analisis semiotika usulan Arkoun ini mirip dengan fenomenologi Heidegger? Anda yang kuliah hermeneutika perlu memahami pemikiran Arkoun, Fazlur Rahman, Abdullah Saeed, Hassan Hanafi, Amin Abdullah dan lainnya.

Kesimpulan ternyata kita selama ini banyak disuguhi oleh ustaz, kiyai, pendeta, biksu, dosen dan professor cara melihat kebenaran dengan kaca mata positivistic, dan Ontis. Seharusnya, menurut Heidegger, biarkanlah kebenaran menyingkapkan dirinya sendiri. Dengan melakukan dialog yang serius, sama2 ingin menggali kebenaran, sama2 ingin mencapai pemahaman bersama, sama2 satu tujuan, maka berdialog adalah jalan ‘terang’ ke hulu menuju penyingkapan di mana kebenaran bersemayam. Kitab2 tafsir dan kitab2 kuning di perpustakaan kita umumnya, sadar atau tidak sadar, ‘terbelenggu’ oleh Cartesian. Demikian pula buku2 dan skripsi, thesis dan disertasi, artikel2 di jurnal oleh para professor banyak yang Cartesian. Gadamer menyadari bahwa penyingkapan kebenaran seperti itu kurang memadai.

Significance of Issue (Hikmah). Debat tentang keaslian ijazah S1 Jokowi itu tidak menuju penyingkapan kebenaran. Tidak sama2 satu arah, tidak satu tujuan untuk menggali kebenaran fenomenologis. Kapan akan timbul kesepahaman kalau masing2 pihak bersandar pada kebenaran Ontis yang berbeda? Bila ujung2nya politik yang sudah berbicara, bukan keadilan hukum, bukan pula bukti2 uji digital forensic ala Cartesian, maka yang akan muncul nanti bukan kebenaran tetapi ‘pembenaran’. Bila hal ini ber-larut2 tanpa kejelasan, hasilnya akan terkubur dua ‘bisul’ sejarah yang diidap oleh anak cucu kita: 1 ‘bisul’ kepresidenan RI yang pernah diduga berijazah palsu, dan 1 lagi ‘bisul’ di dalam kejujuran marwah Universitas Gadjah Mada. Mungkin di suatu saat ‘kedua bisul’ tersebut nanti akan pecah oleh anak cucu kita…yang namanya kebenaran tetap akan tersingkap dan yang ‘busuk’ akan tercium baunya.

Demikianlah Bapak2/Ibuk2/Adik2 dan semua mahasiswa saya yang telah sudi membaca tulisan yang rumit ini. Rumit dipikirkan, dicerna, tetapi berguna ibarat batu asah untuk mempertajam pisau kita, mempertjam cara berpikir kita, semoga kita sadar sebenarnya ‘KITA MEMANG TIDAK TAHU’. Terimakasih telah membaca tulisan saya ini. Maaf bila ada kata2 yang salah, Wassalam, pamit, Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share