
Oleh: Agus setiyono
( Sek. PWM Jambi )
Bercanda adalah suatu bentuk ekspresi yang umumnya dianggap sebagai cara menyenangkan dan menghibur. Namun, ketika bercanda melibatkan penistaan, terutama ketika dilakukan oleh seorang intelektual dan tokoh publik, hal ini menjadi perdebatan serius. Terlebih lagi, jika candaan tersebut merendahkan nilai sakral terkait ibadah dalam suatu agama yang juga dianut oleh sang intelektual.
Dalam suatu kejadian terbaru, seorang tokoh publik yang seharusnya menjadi panutan, terlibat dalam tindakan yang mencengangkan. Dalam konteks Pemilihan Presiden, hanya karena terbawa arus kepentingan sesaat, sang tokoh memilih untuk menganggap remeh suatu hal yang dianggap sakral dalam ibadah agamanya, dijadikan sebagai bahan candaan terkait Yel – yel, atau alat peraga dari salah satu kontestan lainya.
Sikap semacam ini menciptakan dilema moral dan etika. Seorang intelektual seharusnya menjadi pilar integritas dan kebijaksanaan dalam masyarakat. Ketika kecerdasan diarahkan pada hal-hal yang merendahkan nilai-nilai keagamaan, hal ini menimbulkan pertanyaan serius terkait etika dan moralitas sang tokoh.
Perlu dipahami bahwa kebebasan berekspresi bukanlah jaminan untuk merendahkan atau menista nilai-nilai yang dianggap sakral oleh sebagian besar masyarakat. Intelektualitas seharusnya menjadi kekuatan yang membimbing masyarakat menuju pemahaman yang lebih mendalam dan toleran, bukan sebagai alat untuk menciptakan ketegangan dan konflik.
Bagaimana seorang intelektual menanggapi perbedaan pandangan atau keyakinan seharusnya mencerminkan toleransi dan penghargaan terhadap pluralitas dalam masyarakat. Bercanda seharusnya menjadi sarana untuk menghibur, bukan sebagai senjata untuk melukai perasaan atau merendahkan nilai-nilai yang dianggap suci.
Dalam konteks ini, penting bagi masyarakat untuk menilai dan menyoroti tindakan seorang intelektual yang terlibat dalam penistaan. Pertanyaan moral dan etika harus menjadi pijakan untuk menilai apakah seorang tokoh publik benar-benar mampu membawa masyarakat menuju arah yang lebih baik atau sebaliknya.
Dengan demikian, peristiwa seperti ini menjadi panggilan bagi masyarakat untuk lebih memahami dan mengevaluasi peran intelektual dalam membentuk pandangan dan sikap terhadap perbedaan, sekaligus mengingatkan bahwa kecerdasan sejati seharusnya membawa kedamaian, pengertian, dan penghormatan terhadap nilai-nilai yang dianggap sakral oleh setiap individu dalam masyarakat.
Wallahu a’lam bishawab