AWAL PUASA RAMADHAN:NU-MUHAMMADIYAH KOK BEDA?

JAMBI – IDEAA.ID || Payakumbuh, 15 Maret 2024, Ramadhan kariiim! Umat Muslim Indonesia sudah mulai melaksanakan puasa Ramadhan, ada yang mulai hari Senin tgl 11 Maret dan ada yang mulai hari Selasa tgl 12 Maret 2024, KOK BERBEDA? Banyak adik2 kawula muda yang masih bertanya-tanya, maka saya usahakan juga menjelaskannya secara pengetahuan, meski banyak para Ustaz/Buya/ulama/pakar yang telah menjelaskannya.

Pertama, apa itu NU dan Muhammadiyah? NU adalah singkatan Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama). Ia sebuah organisasi keislaman yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari tahun 1926 di Tebu Ireng Jombang (Jawa Timur). Sementara Muhammadiyah didirikan tahun 1912 di Yogyakarta oleh KH Ahmad Dahlan. Dua organisasi keislaman ini mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya, mulai dari Presiden, Menteri Agama dan para menteri lainnya, Gubernur2, Bupati2, Walikota2, Camat, Lurah, Ketua Rt, petani, nelayan serta pedagang asongan, narapidana dan tunasusila, anehnya warga Muhammadiyah bahkan ada yang Kristen. Lantas anda yang sedang membaca tulisan saya ini, ikut organisasi NU atau ikut Muhammadiyah, kenapa? Ya tanyailah diri anda sendiri! Apakah mengikutnya dengan penuh pengetahuan atau ikut2 saja orang banyak. Yang jelas Nabi Muhammad dulu tidak NU dan tidak pula Muhammadiyah. Yang lebih jelas lagi, NU punya partai politik dan berpolitik, sementara Muhammadiyah tidak berpolitik praktis. Lho Amien Rais? Dia tokoh Muhammadiyah tetapi bukan mewakili organisasi Muhammadiyah, dia punya partai politik sendiri di luar Muhammadiyah.

Kedua, di dalam NU dan Muhammadiyah ada pembagian tugas. Tugas untuk mengkaji masalah keagamaan pada NU diserahkan pada apa yang dinamai Bahtsul Masail (Pembahasan Masalah2) dan di Muhammadiyah diserahkan pada Majlis Tarjih. Di dalam Bahtsul Masail duduk sekelompok para ulama2 terhormat, pintar, alim, berwibawa, menguasai ilmu al-Qur’an, Hadis, Ushul Fiqh dan Kitab2 Kuning (kitab2 kuno bertuliskan huruf Arab gundul dan ada pula yang berbahasa Jawa tetapi dalam tulisan huruf Arab). Di samping itu, dikenal pula apa yang dinamai Imkanur Ru’yat MABIMS. Ini adalah metode dan kiteria penetapan awal bulan hijriyah yang digunakan oleh Kementerian Agama. Hasil kajian Imkanur Rukyat tentang awal Ramadhan selanjutnya dibawa kepada Menteri Agama untuk diumumkan kepada segenap Muslim Indonesia yang mau mengikutinya. Sementara hasil kajian Majlis Tarjih Muhammadiyah tidak dijadikan keputusan oleh Menteri Agama sebab dia dari NU.

Demikian pula Muhammadiyah memiliki Majlis Tarjih di mana duduk para ahli, buya2, kiyai2, para pakar dari berbagai universitas dan keahlian yang diundang untuk memberikan masukan (nara sumber) dalam berbagai cabang pengetahuan: astronomi, kedokteran, lingkungan hidup, dan lainnya. Jadi Bahtsul Masail dan Majlis Tarjih itu adalah dua badan pekerja organisatoris, hasil kajian dan keputusannya nanti diserahkan kepada Pimpinan organisasi masing2 untuk disahkan secara resmi sebagai keputusan akhir. Jadi sekarang, bila anda berpuasa hari Senin 11 Maret atau Selasa 12 Maret, keputusan semacam itu bukan keputusan Nabi Muhammad, bukan pula campur tangan Jokowi, tetapi bermula dari hasil kajian oleh ulama2 yang duduk di Bahtsul Masail dan Majlis Tarjih. Mana yang paling benar? Yang paling benar adalah yang diakui oleh Allah. Allah dak bisa ditanyai di dunia? Ya tunggu saja di akhirat nanti, apakah jumlah puasa anda berlebih atau berkurang setelah dihitung oleh Allah. Bagaimana jika kurang? Ya itu tanggung jawab ulama2 NU yang menggunakan metode Imkanur Ru’yat dan Menteri Agama.

Bagaimana cara Bahtsul Masail dan Majlis Tarjih bekerja, kok sampai berbeda penentuan awal puasa NU dan Muhammadiyah? Bingung umat. Aaa…ceritanya begini. Maklumlah para kiyai2, buya2, ustaz2 dan para pakar di sana sudah ahli semuanya, ilmu mereka dalam, penguasaan ayat dan Hadis mantap. Sejauh yang saya ketahui, Bahtsul Masail NU mengkaji al-Qur’an, Hadis, Kitab2 Kuning..artinya mereka patuh dengan Allah, mendengar arahan Nabi dan HARUS mengikuti jalan pikiran ulama2 besar terdahulu di Tanah Arab. Sementara Majlis Tarjih Muhammadiyah tidak demikian. Ia juga patuh dengan Allah, dengan isi al-Qur’an, mendengar kata2 Nabi tetapi TIDAK harus IKUT pendapat ulama2 besar zaman dulu di tanah Arab. Lebih prioritas bagi Muhammadiyah memahami al-Qur’an dan Hadis saja dari pada Kitab Kuning. Dua sumber utama saja, selanjutnya digunakan akal pikiran untuk memahami arti dan maknanya. Setelah dipahami ayat tertulis dalam al-Qur’an dan Hadis, diluar soal ibadah dan ‘aqidah/iman pemahaman ulama Muhammadiyah boleh jadi berbeda dengan yang tertulis. Tidak mesti ikut bunyi Hadis dalam soal non ‘ubudiyah, misalnya soal kepemimpinan wanita. Memang puasa Ramadhan itu sendiri adalah ibadah wajib (murni), tetapi hitung2an untuk menentukan awal puasa bukanlah ibadah (murni). NU dan Muhammadiyah sepakat sama2 berpuasa Ramadhan tetapi tidak sepakat tanggal mulainya.

Bagaimana metode yang dipakai? Bagi NU, setahu saya, ada Hadis yang diikuti: Shumu li ru’yatihi waf thiru liru’yatihi (Berpuasalah kalian bila telah melihatnya (bulan) dan berbuka (lebaran) bila telah melihatnya (bulan). Harus melihat. Maka penentuan awal puasa oleh NU selalu melihat terbitnya awal bulan (hilal), bisa pakai teropong, telescope, bahkan alat2 teknologi canggih juga dengan naik ke tempat yang tinggi atau di lepas pantai untuk melihat hilal, sementara bagi Muhammadiyah tidak begitu. Itu dianggap mengikuti cara lama. Sekarang zaman sudah modern, maka Muhammadiyah pakai cara2 ilmu astronomi modern canggih, lebih percaya hasil kemajuan teknologi, lebih akurat, memakai computer, memakai hitung2an mutakhir sedunia, maka dihasilkanlah apa yang dinamai KHGT (Kalender Hijrah Global Tunggal). KHGT sudah beberapa kali diseminarkan oleh ulama2 sedunia di Turki, di Marokko. Ulama2 sedunia, katanya, ingin punya 1 kalender mirip dengan kalender Masehi untuk menyatukan semua umat Islam sedunia, sehingga awal Ramadhan 100 tahun ke depan, untuk anak cucu kita, sudah bisa ditentukan hari ini. Sementara bagi NU..tunggulah tiap tahun ..lihat bulan dulu. Apakah pandangan manusia bisa akurat bila terganggu oleh kabut, oleh gunung, oleh awan? Tanyailah ulama2 NU yang meneropong. Sebagai orang yang punya pendidikan dan mengenal teknologi modern, menurut anda bagaimana? Pilih hitung2an dengan kecanggihan teknologi atau cukup meneropong bulan? Ya kalau anda orang Indonesia tinggal di jalur khatulistiwa ini, agak mudah meneropong, tetapi bagaimana dengan saudara2 Muslim kita, atau warga NU, yang tinggal di Kutub?

Bagaimana solusinya ke depan? Entahlah. Yang jelas roda sejarah dak bisa diputar ke belkakang. Artinya Kiyai Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan tidak bisa hidup kembali. Seandainya mereka sempat dihidupkan Tuhan agak sebentar, mungkin kedua tokoh tersebut akan bilang….sudahlah…damai2 saja…tak usah pertahankan pendapat NU dan pendapat Muhammadiyah…kembali saja kepada kesepakatan bersama. Bisa dicari titik temu bersama, kenapa nggak? Kan NU dan Muhammadiyah sama2 pingin beribadah, sama2 ingin membimbing umat. Yang bikin gak bisa itu ialah masing2 ‘ngotot’ mempertahankan identitas organisasi.

Tetapi dikabarkan bahwa persoalannya bukan pada ‘meneropong hilal’ atau menggunakan alat teknologi canggih lagi. Persoalannya malah terjadi pada memahami arti Hilal. Ada hal yang disepakati bersama oleh NU dan Muhammadiyah bahwa ijtima’ (tatkala diamati bersama bahkan dengan alat2 teknologi modern) sudah terjadi Senin sore (11 Maret 2024) sekitar pukul 16 WIB. Nah, ijtima’ tersebut dikatakan disepakati sebagai pergantian bulan atau ‘terbitnya Hilal’. Sementara Hilal itu sendiri, katanya, baru bisa terlihat dengan jelas setelah mencapat 4 derajat azimuth (garis ufuq). Bila kurang dari 4 azimuth…mata sangat sulit melihatnya. Tetapi apa itu yang dimaksud dengan Hilal?

Di sini katanya NU dan Muhammadiyah berbeda pendapat. Bagi NU dengan metode Imkanur Rukyah, Hilal adalah ‘anak bulan’, ia belum awal puasa, sementara bagi Majlis Ulama dan Muhammadiyah, ijtima’ (terbitnya Hilal) sudah dipahami sebagai masuknya bulan baru, artinya awal puasa (bukan anak bulan lagi). Jadi persoalannya terletak pada defenisi Hilal. Begitulah kira2 penjelasannya saya kutip dari tokoh akademisi, sahabat saya, Rijal Idrus. Tentu keterangan ilmiah selanjutnya lebih banyak lagi. Itulah sebabnya anda yang sepakat dengan NU memulai berpuasa hari Selasa (12 Maret 2024), sebab Menteri Agama kita dari NU dan dia memutuskan atas nama Pemerintah. Apa kata Jokowi? Ya ikut Menteri Agama saja. Jadi anda BERIBADAH puasa diperintah Allah, tetapi Menteri Agama yang menyuruh anda MEMULAI dan MENGAKHIRI. Benar juga lagunya: “Kau yang memulai..kau yang mengakhiri’.

Anehnya, di Kampus Muhammadiyah Jambi sekitar tahun 1990an, pernah mantan Rektor IAIN saya di Jambi, beliau tokoh NU dan Ketua MUI Provinsi, solat Iedul Fitri persis di saf di belakang saya, padahal NU mulai berpuasa besok harinya. Saya diam saja di saf depan, setelah usai khotbah saya rebut tangannya bersalaman, saya bilang..eh..Bapak kok sudah solat? Spontan dijawabnya langsung berdiri bergegas melipat sajadahnya:’ Ah..ah..sudah..sudahh..langsung dia pergi (kabur), takut diketahui wartawan mungkin. Ini menandakan bahwa ada tokoh NU secara intelektual mengakui kebenaran hisab Muhammadiyah, atau dia solat karena waktu itu mungkin Menteri Agamanya dari Muhammadiyah (Malik Fadjar). NU dan Muhammadiyah memang berebut kursi Menteri Agama saat pelantikan Presiden baru. Siapa Menteri Agama mendatang?

Maka dalam beribadat puasa terdapat dua perintah: Berpuasa diperintahkan oleh Allah, sedangkan tanggal awal puasa diperintah oleh Pemimpin. Pahala puasa kembali pada Allah, resiko berpuasa ditanggung oleh Pemimpin (harga sembako, transport ‘Iedul Fitri/Mudik). Maka sekarang sempurnakanlah ibadah puasa Ramadhan anda, tenanglah…mungkin ini yang terakhir kali untuk ‘pulang kampung ketemu dulur’ atau ‘pulang kampung ketemu kubur’.

Bila demikian cara melihat kebenaran dalam menentukan awal puasa, kami rakyat jadi bingung. Kok bingung? Ini ada penjelasannya. Prof. Syukri SS, guru besar UIN Jambi, sangat tergugah oleh penjelasan gurunya waktu sekolah dulu katanya. Cara melihat kebenaran itu begini. Ibarat melempar kolam dengan batu, kata gurunya, batunya jatuh mengenai kolam tetapi tidak seluruh permukaan kolam. Jangan dikatakan kita telah mengenai SELURUH permukaan kolam tersebut. Belum. Demikian pula NU dan Muhammadiyah. Awal Ramadhan adalah hari Senin tanggal 11 Maret 2024, kata Muhammadiyah, ya kena permukaan kolam, tetapi sedikit seluas batu. NU bilang, hari Selasa 12 Maret 2024 adalah awal puasa Ramadhan, ya kena pula sebagian permukaan kolam, tapi sedikit seluas batu pula. Lantas mana yang paling benar, yang penuh seisi kolam? Allah yang Maha Tahu, tetapi paling kurang cara2 menentukan awal Ramadhan, kita bisa melirik kepada cara Nabi sebab dia berpengalaman (dulu)..Bagaimana caranya? Berikut penjelasan filosofisnya, agak rumit sedikit.

Sekarang izinkan saya sambil bertanya pada pembaca2 yang lebih ahli. Nampaknya NU dan Muhammadiyah berbeda pada Understanding (Hilal dan Anak Hilal). Apakah memang begitu? Understanding semacam ini, bagi Gadamer, bukan termasuk Verstehen, sebab ia mengobjektivasi Truth ala Cartesian. Verstehen ialah Understanding dengan cara mengalami, sehingga ia menimbulkan ‘event’ dalam diri hermeneut. Contoh, bila kita ingin mengetahui Kebenaran terkait Kraton Yogyakarta, bukan dengan melihat dan menilainya dari luar dan membaca buku2 sejarah secara objektif, tetapi berdialog dengan berbagai artefact dan kepurbakalaan, sejauh objek2 lawan dialog tersebut mampu membukakan informasi masa lalu Kraton. Ini berakibat mengalami kejadian (event), penyingkapan dalam diri. Infonya tidak disangka dari semula, heran sendiri berkat dialog2. Maka Understanding itu bukan mengetahui, tetapi mengalami. Understanding semacam ini (Verstehen) bagi Gadamer, lebih tua usianya dari pada misunderstanding, artinya kesalah pahaman manusia datangnya belakangan (historical), ya boleh saja akibat perbedaan wawasan, pengaruh lingkungan, vested interest, dan ideologi. Understanding, kata filosuf Jerman tersebut, dimungkinkan untuk diungkap sebab di lapisan bawah paticular bahasa2 sudah terjalin pengalaman hermeneutik (Erlebnis) semua anak manusia. Pengalaman bersifat universal. Jadi pengalaman hermeneutik Nabi secara ontologis bisa dilacak oleh NU (pengikut KH Hasyim Asy’ari) dan Muhammadiyah (pengkiut KH Ahmad Dahlan) untuk menentukan awal puasa Ramadhan, bukan dengan meneropong hilal dan/atau menghitung dengan teknologi modern. Bukan metodologis seperti itu tetapi ontologis. Particularitas bahasa Nabi (Arab) dan particularitas bahasa NU dan Muhammadiyah (Indonesia) sebenarnya produk historis saja, bukan sesuatu yang universal. Bahasa adalah bagian dari tradisi. Kebenaran (Truth) terkubur dalam tradisi Islami ratusan tahun semcam itu, sehingga bisa dilacak oleh NU dan Muhamamadiyah kepada Nabi, karena ketiganya sama2 hidup dalam satu tradisi Islami yang sama. Begitu…

Oleh sebab itu, bila dilacak pada lapisan bawah bahasa2 (phenomena), sebenarnya ada titik temu (numena dalam filsafat Kant). Titik temu NU, Muhammadiyah dan Nabi bukan pada kepastian tanggal berapa awal Ramadhan, yang bikin bingung umat, tetapi titik temu pada ‘Being’ (unsur2 paling awal/primordial yang menentukan cara berpikir Nabi) tentang cara menentukan awal Ramadhan. Ia ibarat mata air hulu sungai, NU dan Muhamamdiyah itu berenang mengejar menggapai hulu sungai (unsur paling awal) tersebut. Unsur2 paling awal tersebut bisa dilacak/disingkap dengan proses dialektis antara reader (NU dan Muhamamdiyah) dan teks (Quran, Hadis, dan semua teks2 kuno termasuk non teks historis, misalnya artefacts) agar semakin terbuka peluang baru guna melihat, bukan ‘ufuk Hilal’ tetapi ‘ufuk’ kebenaran di hulu sungai. Bagaimana proses dialektikanya? Contohlah Socrates kata Gadamer. Socrates bila berdialektika/berdebat dengan orang lain, bukan debat kusir, tetapi dia ibarat bidan, yang berusaha menolong ibu2 hamil bagaimana agar bayinya terlahir sukses..itu kiat Socrates yang berbeda dengan sidang penetapan itsbat.

Jadi kebenaran itu sesuatu yang menyingkapkan diri (a continuous process). Harus diingat bahwa Hadis Nabi, shumu li ru’yatihi.., itu particular/juziyyah, bukanlah universal/kullliyah. Maka ‘Peleburan Cakrawala’ (Horisonvermeltzung) sangat digiatkan oleh readers, agar pengalaman hermeneutik via ‘lapisan bawah’(teks) bisa semakin diungkap dan akan nampak hasilnya buat sementara dalam kebenaran historis temporer. Dikatakan temporer sebab ia harus diperbarui, diperbarui lagi dan lagi. Disitu diharapkan titik bertemu kalian, hai umat Muhammad yang sering ‘bertengkar’ soal awal Ramadhan! Bagaimana menurut anda ya Ulul Albab? Ya Doktor, ya profesor, ya guru besar?

Sekian dulu pembaca terhormat, maaf bila salah bicara. Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share