Penulis: Nabila Eliza Fitri, Mahasiswi Pendidikan Sejarah UNP
Setiap bangsa besar dibangun di atas fondasi sejarahnya. Sejarah adalah napas panjang yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Namun, sering kali sejarah hanya dipahami sebagai sekumpulan tanggal, nama tokoh, dan peristiwa yang dihafal untuk ujian sekolah, bukan sebagai sumber kebijaksanaan yang menuntun arah bangsa.
Di tengah derasnya arus informasi, globalisasi, dan instabilitas sosial-politik, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa pemahaman sejarah di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda, semakin dangkal. Sejarah kehilangan daya hidupnya. Padahal, bangsa yang gagal memahami sejarahnya sendiri akan mudah diombang-ambingkan oleh wacana instan dan ideologi sesat.
Mengapa penting untuk belajar dari sejarah? Apa akibatnya bila kita abai terhadapnya? Dan bagaimana teori-teori sosial bisa membantu kita memaknai sejarah sebagai kekuatan pemersatu dan pengarah?
Kita sering menyangka sejarah adalah cerita masa lalu yang sudah selesai, padahal sejarah selalu hidup dalam ingatan kolektif dan keputusan-keputusan hari ini. Ketika kita memilih siapa pemimpin yang pantas, menyusun sistem pendidikan, atau memperdebatkan arah kebijakan, kita sebenarnya sedang merujuk, sadar atau tidak, pada ingatan historis kita.
Sejarawan E.H. Carr dalam bukunya What is History? menekankan bahwa sejarah bukanlah sekadar fakta, tetapi interpretasi terhadap fakta. Ia hidup dalam konteks zaman dan selalu terbuka untuk penafsiran ulang. Artinya, sejarah adalah diskusi terus-menerus antara masa kini dan masa lalu.
Sayangnya, sejarah seringkali disederhanakan menjadi narasi tunggal yang memihak kekuasaan. Peristiwa-peristiwa penting yang menyangkut perlawanan, penderitaan, atau ketidakadilan kerap disensor atau dihilangkan demi stabilitas semu. Padahal, bangsa yang sehat adalah bangsa yang berani berdialog dengan luka masa lalunya.
Maurice Halbwachs, sosiolog Prancis, memperkenalkan konsep memori kolektif (collective memory), yaitu ingatan akan masa lalu yang dibentuk secara sosial dan menjadi bagian dari identitas kelompok. Dalam konteks ini, sejarah bukan lagi milik sejarawan, tetapi milik masyarakat.
Memori kolektif menentukan bagaimana kita memandang diri sendiri dan orang lain. Misalnya, bagaimana kita mengenang penjajahan Belanda menentukan sikap kita terhadap imperialisme global hari ini. Bagaimana kita memahami peristiwa 1965 akan mempengaruhi cara kita berbicara soal toleransi, HAM, dan politik kekuasaan.
Namun, bila memori kolektif dibentuk secara manipulatif dengan menutupi tragedi, menghapus tokoh-tokoh alternatif, atau menebarkan glorifikasi berlebihan—maka yang lahir bukan identitas yang kuat, melainkan kebanggaan semu dan luka yang tidak pernah sembuh.
Inilah sebabnya mengapa pelajaran sejarah tidak boleh berhenti pada penghafalan. Ia harus menjadi medan refleksi dan kritisisme. Kita tidak hanya bertanya “apa yang terjadi?”, tetapi “mengapa itu terjadi?”, “siapa yang diuntungkan?”, dan “apa pelajaran yang bisa kita ambil?”
Hans-Georg Gadamer, filsuf Jerman dalam tradisi hermeneutika, mengajarkan bahwa pemahaman terhadap teks sejarah memerlukan “fusi cakrawala” antara masa lalu dan masa kini. Kita tidak bisa membaca sejarah dengan lensa masa kini secara mentah, namun juga tidak bisa memisahkan diri darinya. Artinya, sejarah harus ditafsirkan dalam dialog antara konteks masa lalu dan kebutuhan zaman sekarang.
Sebagai contoh, ketika kita belajar tentang Sumpah Pemuda 1928, kita tidak hanya mengenang romantisme persatuan, tetapi juga memahami bahwa persatuan itu lahir dari perdebatan dan perbedaan identitas yang sengit. Maka dari itu, memaknai sejarah hari ini berarti menyadari bahwa keberagaman bukan ancaman, tapi kekuatan yang sudah melekat sejak awal.
Namun, di tengah politik identitas dan media sosial yang penuh disinformasi, narasi sejarah yang kompleks sering dikerdilkan menjadi slogan atau dogma. Akibatnya, kita tidak lagi berpikir kritis, melainkan hanya mengulang apa yang “dianggap benar” oleh arus dominan.
Sejarah, seperti halnya kekuasaan, tidak pernah netral. Apa yang dikenang dan dilupakan dalam sejarah seringkali ditentukan oleh pihak yang berkuasa. Inilah yang disebut dengan politics of memory, yakni praktik bagaimana negara dan elite menentukan versi mana dari sejarah yang layak diabadikan dalam buku pelajaran, museum, monumen, hingga nama jalan.
Kita bisa melihat bagaimana Orde Baru membentuk ingatan kolektif mengenai peristiwa G30S/PKI melalui film, kurikulum, dan simbol-simbol negara. Ingatan ini bertahan lama dan memengaruhi cara generasi setelahnya memahami sejarah Indonesia. Tapi ketika ingatan itu dibangun di atas manipulasi dan penghilangan fakta, maka yang tercipta adalah trauma sosial yang belum sembuh.
Negara seharusnya tidak menjadi produsen tunggal kebenaran sejarah, melainkan fasilitator ruang diskusi sejarah yang inklusif. Keberanian membuka arsip, mendengarkan suara korban, dan mengakui kesalahan adalah bagian dari membangun bangsa yang matang secara historis.
Tantangan terbesar kita hari ini adalah membangun kesadaran sejarah di tengah generasi muda yang hidup dalam era digital. Budaya instan dan distraksi media sosial membuat sejarah terasa membosankan dan tidak relevan.
Namun, justru di sinilah peluangnya. Teknologi bisa digunakan untuk menghadirkan sejarah dalam bentuk yang lebih menarik: dokumenter interaktif, museum virtual, podcast sejarah, hingga game edukatif. Yang terpenting bukan bentuknya, tapi bagaimana nilai-nilai sejarah mampu menyentuh kesadaran kritis generasi muda: bahwa mereka adalah bagian dari sejarah, dan keputusan mereka hari ini akan menjadi sejarah di masa depan.
Pendidikan sejarah harus menumbuhkan empati, nalar kritis, dan keberanian untuk bertanya. Kita tidak bisa membangun bangsa yang beradab hanya dengan mengenang pahlawan, tapi juga dengan memahami mengapa kita bisa gagal sebagai bangsa agar kita tidak mengulanginya lagi.
Sejarah bukan rantai yang membelenggu, melainkan akar yang memberi arah. Ia bukan hanya tentang mengenang kemenangan, tetapi juga tentang berani mengakui kesalahan. Kita tidak bisa membangun masa depan tanpa berdamai dengan masa lalu.
Oleh karena itu, belajar dari sejarah adalah bentuk tanggung jawab kita sebagai warga negara. Sejarah yang hidup bukan yang dihafal, tetapi yang dimaknai. Dan sejarah yang dimaknai bukan yang dikuduskan, tapi yang dikritisi dengan cinta akan kebenaran.
Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang memiliki sejarah panjang, tetapi bangsa yang mampu belajar dari sejarahnya sendiri dengan jujur, kritis, dan penuh harapan.