TAUFIK ABDULLAH: ‘NYANYIAN’ SEJARAH


Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, 7 Maret 2025

Assalamu’alaikum wr,wb

Selamat Berpuasa Ramadhan! Sejarah Nasional Indonesia, kata Prof. Taufik Abdullah, menjadi perhatian menarik karena kita ingin menyingkapkan Historical Truth (Kebenaran Sejarah). Sebab selama ini Pemerintahan Orde Baru di zaman Pak Harto selalu mengontrol penulisan sejarah. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah Histoire-Recite (Sejarah yang Dituliskan) merupakan wakil yang otentik dari Histoire-Realite (Sejarah yang Factual)? Hmmmmm.

Memang Sejarah Nasional Indonesia penuh dengan yang Faktual dan yang Tertulis, maka ‘bernyanyilah’ sejarawan Taufik Abdullah. Saya dengar ‘nyanyiannya’ di Salihara tgl 26 Januari 2016 via YouTube, berjudul Historiografi, presentesainya bagus, menarik, ilmiah, dan perlu didengar terutama oleh generasi muda Indonesia. Namun ada masalah yang masih ingin saya tanyakan pada guru besar tersebut: Dalam upaya menyingkapkan Historical Truth, apakah semua kebenaran sejarah yang disampaikannya tersebut sudah objektif? Di mana posisi Pak Taufik tatkala menulis/membicarakan sejarah Nasional? Dengan menggunakan pendekatan ‘hermeneutika filosofis Gadamer’ saya ajukan pertanyaan tersebut, dan kemudian dipersembahkan dengan narasi yang lebih menjangkau audience kelas menengah ke atas hingga para guru besar, mudah2an usaha saya ini berhasil. Berikut isi nyanyiannya.

Prof. Taufik Abdullah adalah sejarawan terkenal Indonesia, lahir di Bukit Tinggi 3-1-1936, sekarang tinggal di Jakarta, tamatan Universitas Gadjah Mada dan menyelesaikan S3 di Cornell University, USA tahun 1967, pernah menjabat sebagai ketua LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 2000-2002, dan pernah diundang sebagai dosen tamu di McGill University, Canada. Saya sering ‘nyelonong’ masuk kamar kerjanya untuk diskusi, bertanya banyak hal akademik dan sejarah. Saya pribadi sangat berterimakasih sekali pada jasa beliau: dialah yang pertamakali di ruang kerjanya menyuruh saya belajar hermeneutic di McGill, dia pula yang berjasa memberi rekomendasi di rumahnya di komplek LIPI Jl. Gatot Soebroto Jakarta untuk mendapatkan 2x kali interview pra penelitian di Bangkok yang didanai oleh Asia Fellows: tanpa rekomendasi beliau tentu akan sulit tembus ke sana. Pak Taufik adalah seorang tokoh yang pemurah, intelektual, taat beragama, walaupun kadang2 gampang juga tersulut emosi bila dikritik oleh orang lain.

Kata ‘nyanyian’ di sini bukan berarti senandung suara, tetapi istilah pinjaman saya untuk melukiskan penjelasan sejarah yang disampaikan oleh Pak Taufik. Menurut Pak Taufik, Kolonialis Belanda bukanlah menjajah Indonesia selama 350 tahun: itu pendapat yang keliru karena masa selama itu artinya mendahului kedatangan Cornelis De Houtman di Banten katanya. Yang benar Kolonialis Belanda hanya menjajah negeri kita selama 39 tahun dari sudut Hukum Internasional kata Pak Taufik. Maka pernyataan yang sering dilontarkan umum selama 350 tahun itu, menurut dugaan saya, termasuk masa VOC nampaknya. VOC itu adalah perusahaan dagang, bukan penjajahan secara politik. Jadi nampaknya ada dikotomi perspektif antara Hukum Internasional dan perdagangan bangsa Eropa yang dibuat oleh Pak Taufik. Implisit di dalamnya, perlu waktu lebih dari 300 tahun bagi Belanda untuk menundukkan Indonesia katanya. Nyanyian sejarah yang merdu seperti itu akan membuat hati kita tergugah dan membuat isi otak kita terperangah, terutama bagi kami orang UIN yang terbiasa dengan ajaran teologi dalam tradisi kitab kuning dimana nasib/sejarah anak manusia diyakini telah ditentukan oleh Tuhan sebelumnya, Jabbariyah, (kita tinggal menjalaninya saja lagi). Pak Taufik barangkali tidak dalam teologi Jabbariyah semacam itu.

Kenapa demikian? Sebab ide pokok dalam Historiografi yang disampaikan oleh pak Taufik di Salihara, sebagaimana sudah dikatakan di atas, adalah bahwa setiap sejarah itu terbagi dua: Sejarah Faktual (realite dalam Bahasa Perancis) dan Sejarah yang Dituliskan (recite). Sejarah factual adalah yang betul2 terjadi di suatu zaman tertentu di masa lampau. Misalnya peristiwa Lobang Buaya tahun 1965. Sementara Sejarah yang Dituliskan adalah Sejarah yang penuh dengan interpretasi oleh para penulis sejarah, nah yang ini terus diperdebatkan katanya. Misalnya, adanya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang hingga kini masih misterius keberadaannya kata Pak Taufik.

Jadi penulisan sejarah, menurut Pak Taufik, selalu bersisi kedua unsur tersebut. Lantas saya senyum sendiri dalam hati: Bagaimana dengan kisah cinta dulu orang yang sedang membaca tulisan saya sekarang ini? Ini kan peritiwa masa lalu: ia adalah sejarah. Bahwa secara factual dulu memang telah terjadi pertemuan dua sejoli yang saling jatuh cinta, dan itu memang tak terbantahkan, itu fakta, tetapi bagaimana kisah itu kemudian ‘TIDAK DICERITAKAN’ pada banyak orang termasuk pada isteri, anak dan cucu mungkin demi menjaga ‘kestabilan dalam negeri’? Bagaimanapun juga itu adalah Sejarah. Ya Sejarah Kenangan pribadi, maka Pak Taufik menurut saya telah lupa menyebut jenis sejarah yang ke tiga yaitu Sejarah Memory yang didiamkan. Jadi dalam sejarah factual, seperti kata Pak Taufik, terselip ada lagi Sejarah yang Didiamkan. Ia tidak tertulis. Bagi Gadamer, Sejarah yang Tertulis lebih sedikit jumlahnya dari pada Sejarah yang Tak tertulis, dan yang Tak Tertulispun masih sangat sedikit jumlahnya dari pada Sejarah yang Didiamkan. Ada pepatah Minang: Nan tasurek, nan tasirek bahkan nan tasuruak (the written, implicit and beyond the implicit). Dengan kata lain, historiografi yang dipelajari di dunia akademik kita saat ini masih menyisakan persoalan, menurut saya yang bukan ahli sejarah.

Ada beberapa hal menarik yang perlu kita dengar dari ‘nyanyian sejarahnya’. Pertama, Pak Taufik mengatakan bahwa orang yang pertama kali menulis sejarah Indonesia secara akademik ialah Bung Hatta tatkala menjadi mahasiswa di Negeri Belanda tahun 1926. Bung Hatta menulis sejarah tetapi pelit mengomentari pendapat orang lain: ini berbeda dengan Bung Karno yang juga menulis sejarah tetapi latah mengomentari pendapat orang lain katanya. Seorang hadirin kemudian bertanya pada Pak Taufik usai presentasi, bukankah sebelum Hatta sudah banyak tulisan2 sejarah, misalnya karya Mas Marko yang banyak ditulis di koran2 Semarang yang mengeritik sejarah versi Kolonial. Kemudian adalagi karya Semaoen yang menulis novel berjudul Rasa Merdeka. Kemudian ada juga Ali Arkom yang sudah ada di Digul tahun 1926 di masa Hatta masih menjadi mahasiswa. Bahkan pada tahun 1800an katanya sudah ada ditemui tulisan2 orang Tionghoa yang berbicara tentang negara kesatuan. Apa jawaban pak Taufik? Yang saya maksud, kata Pak Taufik, adalah sejarah yang ditulis secara AKADEMIK, bukan dari cerita umum seperti itu.

Kedua, seorang penanya lain membuat pak Taufik nampaknya agak tersinggung. Apa katanya? Presentasi Pak Taufik sejak dari awal sudah bermasalah dengan membuat pernyataan2 seperti di atas. Dia kecewa karena tidak sempat mendengarkan ketajaman seorang Taufik Abdullah sebagaimana ditemui ide2 cemerlangnya dalam banyak buku dan artikel. Tidak terdengar kegeniusan Pak Taufik dalam menemukan dan merumuskan problem inti sebagaimana juga dikatakan oleh teman di samping duduknya, hanya review saja, cuma bercerita tentang perkembangan ilmu sejarah di Indonesia, bukan Historiografi, ulasnya. Bahkan dalam kesimpulan, kata penanya II ini, pak Taufik tidak menyebutkan apa sebetulnya problem inti/tantangan yang tengah dihadapi oleh sejarawan dalam kontek historiogarfi Indonesia abad ke 21? Maka lebih baik judul presentasi ditukar saja katanya, jangan menggunakan kata Historiografi. Lalu dijawab oleh Pak Taufik dengan sinis, ‘Rupanya anda lebih pintar dari saya, kalau saya tau dari sebelum datang kesini, akan saya buat tulisan yang lebih baik kata Pak Taufik. Yang salah adalah Salihara (penyelenggara acara), kenapa mengundang orang ‘begok’ seperti saya’? jawab Pak Taufik. Inilah salah satu sebab maka tulisan ini diberi judul ‘nyanyian’ oleh Amhar karena ada nada ‘kurang merdu’ di dalamnya yang dilantunkan oleh seorang tokoh besar.

Terlepas dari nyanyian semacam itu, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari Pak Taufik. Pertama, Pengajaran sejarah di sekolah2 oleh guru sejarah jangan hanya menekankan hafalan tahun2 kejadian peristiwa pada siswa, tetapi guru harus lebih bijak dan arif. Untuk apa sejarah diajarkan? Ada apa peristiwa di masa itu? Mengapa manusia berbuat? Mengapa itu yang dilakukannya, mengapa tidak yang lain? Pertanyaan2 semacam itulah yang seyogyanya yang lebih menjadi panduan guru dalam mengajarkan sejarah kepada siswa2 katanya. Kedua, kata Pak Taufik juga, dulu sejarawan melihat sejarah dari kaca mata politik, sekarang jauh lebih kompleks. Yang saya lakukan, kata Pak Taufik, adalah menceritakan situasi pengalaman politik kita dan mengaitkannya dengan situasi dalam ilmu sejarah’, itu saja katanya. Ketiga, perkembangan penulisan sejarah di Indonesia sekarang sudah jauh lebih maju katanya. Sudah banyak sejak tahun 1990an sarjana2 dari IAIN/UIN tamatan McGill University dan Columbia kemudian yang menulis sejarah, kata Pak Taufik, misalnya Azyumardi Azra lulusan Columbia University, New York. Orang2 IAIN/UIN sepatutnya lebih menguasai materi sejarah Islam di negeri ini, sambungnya, karena menguasai filologi yang mana sebelumnya hanya dipelajari di Fakultas Sastra (di luar IAIN).

Maka sejarah seperti yang dipresentasikan oleh Pak Taufik itu dapat dikritik dari sudut pandang Gadamer karena nampaknya bagi saya telah ‘mengobjektivasi kebenaran (Truth)’ dalam sejarah. Tiada jalan lain yang lebih mewakili penyingkapan Truth selain dari pada hermeneutic, bila disimak Gadamer. Sebab tatkala Pak Taufik Abdullah menulis sejarah, dia sedang berada di mana? Pasti dia sedang berada dalam suatu tradisi tempat dia berpijak. Dia tak bisa keluar dari kolam sejarah dimana dia berendam saat ini. Ini yang nampaknya belum disadari oleh Pak Taufik bila disimak Gadamer. Posisi Pak Taufik, menurut saya, mirip dengan posisi J. G. Droysen, Ranke, dan Dilthey, sebagaimana disebutkan oleh Gadamer dalam bukunya Truth and Method (New York: Crossroad 1989), p.201. Asumsi Dasar bagi pandangan dunia sejarah (historical worldview) bagi filosuf2 sejarah tersebut adalah ‘that idea, essence, and freedom do not find any full or even sufficient expression in historical reality’. (bahwa ide, esensi, bahkan kemerdekaan tidak menemukan bentuk yang sepenuhnya atau bahkan yang cukup memadai dalam realitas sejarah). Jadi ada objektivitas Truth yang dicari oleh mereka.

Sementara posisi Pak Taufik, sebagaimana kita juga, sedang dalam status warga negeri Indonesia dan mengeritik politik Pemerintah yang mana kepentingan Pak Taufik tak bisa lepas darinya. Dalam posisi semacam itu, mustahil akan didapat Truth yang objektif menurut Gadamer: Pak Taufik akan selalu BIAS (berat sebelah, subjektif). Sebab meneropong sejarah tidak bisa disamakan dengan meneropong objek penelitian ilmu alam di laboratorium kata Gadamer. Itulah salah satu kelemahan metode Cartesian: ia tidak membedakan penelitian sosial (Geisteswissenschaften) yang disingkapkan melalui Verstehen (Understanding yang mengandung unsur2 pengalaman manusia) dengan penelitian ilmu alam (Natuurwissenschaften) yang disingkapkan dengan Erklaren (pemahaman yang nihil unsur2 pengalaman non manusia).

Apa contohnya Pak Amhar? Contohnya Proyek Kereta Cepat Whoosh (Jakarta-Bandung). Pak Taufik pernah mengeritik proyek tersebut dalam ceramahnya di Salihara sebagai kurang mencerminkan Sila ke 5 Panca Sila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakjyat Indonesia. Mengapa diprioritaskan pembangunan kereta cepat tersebut tanyanya, sementara masih banyak di pelosok/pedesaan, dalam bahasa saya, kondisi jalan yang masih berlobang, berlumpur, jauh dari kesejahteraan: dimana keadilan sosial bagi seluruh… ? Jadi posisi Pak Taufik ibarat sedang melihat kolam yang terbebas dari dirinya sebab di sana ada Truth (Kebenaran), padahal dia sendiri sedang berada dalam kolam tersebut, yaitu sebagai seorang warga negara dalam kolam NKRI. Pandangan sejarah semacam itu tidak bisa objektif bila dilihat dari perspektif Gadamer.

Bagaimana agar supaya lebih objektif? Gadamer memperkenalkan suatu konsep hermeneutic yang terkenal dengan nama Effective History (Sejarah Berdampak), bukan Dampak Sejarah. Dalam Bahasa Jerman disebut Wirkungsgeschichte. Wirkung (bekerja, beroperasi), Geschichte artinya sejarah. Bagaimana maksudnya? Maksudnya Pak Taufik dan termasuk siapa saja, sebagai anak zaman, yang menulis sejarah harus menyadari bahwa dia sedang dipengaruhi oleh sejarah yang mengitarinya: tidak bisa lepas. Pak Taufik sedang berada dalam ‘kolam’ Pancasila di wilayah NKRI. Maka untuk menulis dan memahami sejarah agar lebih objektif, lebih terhindar dari bias2 walaupun tidak bersih sama sekali, yaitu dengan cara Menyadari Diri, tak bisa mengelak dari dampak keterpengaruhan tersebut.

Begini penjelasannya bagi saya dengan contoh sederhana. Dewasa ini banyak beredar makanan dengan bahan pengawet, dan bahan penyedap rasa (Vietsin). Kita semua tak bisa terhindar darinya. Anda bisa mengaku telah menghindarinya dalam masakan di rumah sendiri, tetapi anda kan suka jajan di restoran, apalagi di bulan Ramadhan ini sering beli makanan dari luar, demikian pula di acara pesta2, makan bersama di masjid, minum kopi bareng, makan dan minum di berbagai acara rapat, seminar di hotel2. Mustahil di zaman kini anda bisa bebas 100 % dari bahan pengawet, makanan dan bahan penyedap. Inilah yang harus disadari karena kita hidup dalam ‘kolam makanan’ semacam itu. Gunanya cuma untuk disadari saja, tak bisa mengatakan ‘aku bebas 100% zat pengawet’, ini kiasan saya buat bila kita mengutip pendapat Gadamer.

Sekarang, bila anda telah setuju dengan kiasan ‘makanan’ di atas, mari kita bahas masalah penulisan sejarah. Dengan membedakan Sejarah Factual dan Sejarah Tertulis, Pak Taufik seakan sudah yakin betul bahwa telah menulis ‘ Sejarah yang sebenarnya, sudah objektif’. Haha tunggu dulu Pak Taufik. Bapak sekarang sedang dalam wilayah NKRI dengan ideologi Pancasila: tak bisa menghindarinya mirip dengan tak bisa menghindar dari kondisi makanan yang beredar saat ini. Bila Pak Taufik makan rendang Padang, lantas mengatakan bahwa rendang tersebut asli meniru cita rasa warisan leluhur nenek moyang orang Minang dari mana Pak Taufik berasal. Ya keliru dong Pak. Bapak anak zaman modern, bukan anak zaman leluhur. Rendang yang sekarang Bapak makan pasti sudah dimasuki oleh unsur2 bumbu pengawet modern, kalaupun bukan unsur bumbu2nya, sekurangnya ide orang yang membuat rendang tersebut (juru masak) sudah mengenal apa yang dinamai dengan Vietsin. Ini perlu disadari menyimak Gadamer. Cuma disadari saja karena itu adalah Sejarah yang Berdampak demi menggali historical Truth.

Lantas bagaimana Sejarah Berdampak bila ditarik kepada dunia Islam? Ini yang lebih penting untuk didiskusikan. Semua isi kitab kuning berbahasa Arab harus disadari bahwa pengarangnya tidak bisa lepas dari Sejarah Berdampak. Imam Malik tak bisa lepas dari pandangan Ahli Madinah: dan ini harus disadari oleh kita sekarang. Pandangan Imam al-Ghazali dipengaruhi oleh kekuasaan dinasti Abbasiyah. Imam al-Ghazali bilamana mengatakan bahwa begitulah ajaran Rasul, artinya begitulah ajaran Rasul bila dilihat dari kaca mata zamannya, tidak bisa dikatakan persis seperti di zaman Nabi. Ustaz Somad bila mengutip Hadis, sudah pasti dia memahaminya dalam kerangka ideologi Pancasila dan NKRI, karena dia adalah anak zaman. NU dan Muhamamadiyah juga demikian. Bila mereka mengatakan bahwa tafsirannya atas ayat dan Hadis sudah persis objektif, murni, seperti maksud Rasul saw, di situ kita bertanya: anda sekarang hidup di zaman apa? Di zaman penuh bahan pengawet dan dan penyedap masakan modern, maka isi perut anda telah terkontaminasi (mau tidak mau).

Mungkin anda agak susah memahami penjelasan saya di atas ya? Atau mungkin juga saya sudah ‘kualat’ dengan Prof. Taufik Abdullah yang semula menyuruh saya belajar hermeneutic dulu di McGill, sekarang malah berbalik ‘mengeritik’ guru. Ya karena metode historiografi gurunya nampak cenderung Cartesian dimana aliran sejarah yang dianutnya mengobjektivasi Truth, ia nampak sehaluan dengan metode Wilhem Dilthey dan Emilio Betti yang dikritik oleh Gadamer.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari diskusi di atas adalah bahwa semua buku sejarah nasional kita dan kitab2 kuning yang menulis sejarah keislaman di masa lalu disimpulkan telah terseret juga kepada Cartesianisme semacam itu. Ini tentu termasuk juga kitab2 sejarah Melayu yang ditulis dengan huruf Arab-Melayu, di mana pengarangnya mencoba membuat jarak dengan sejarah yang mana dia sendiri, tanpa disadari, sedang berada dalam ‘kolam’ sejarah yang sama. Mustahil akan diperoleh yang objektif, menjaga jarak, seperti dalam penelitian ilmu2 alam (yang meneliti kandungan logam, kimia, species), sebab penelitian sejarah selalu melibatkan posisi penelitinya. ‘Kakinya selalu berlumuran lumpur di kolam mana ia sedang meneliti’, lantas mana bisa bersih? Pak Taufik meneliti sejarah Indonesia, dia bangsa Indonesia, dan tegak berdiri/berlumpur di dalam kolam Indonesia, tetapi mengidolakan yang ‘bersih’, maka saya yang sedang berpuasa Ramadhan termenung mendengar ‘nyanyiannya’ ….hingga beduk berbunyi…duk..duk…duk. Allahumma laka shumtu……Wallahu a’lam.

Demikianlah diskusi kesejarahan kita, terimakasih pada semua pembaca budiman, selamat berpuasa. Mohon maaf bila ada kata2 saya yang salah. Wassalam, pamit, Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share