SULTHATH AL-SALAF

JAMBI – IDEAA ID || Oleh : Amhar Rasyid

Pagi Jumat ini kajian kita agak lebih serius sedikit, lebih ilmiah, meskipun banyak pakar yang lebih ahli dari saya, tetapi jangan lari dulu, sebab saya akan menyuguhkannya dengan cara2 yang lebih komunikatif, dengan bahasa yg agak ringan. Ia penting untuk dibaca bagi tua dan muda, sebab ia menyangkut kehidupan beragama di alam modern. Anak muda sering menyebut..Menurut Islam… Menurut Islam…apa maksudnya itu? Itu contoh pernyataan yang terlalu umum, terlalu mengeneralisir, sebetulnya yang lebih tepat bila dikatakan menurut al-Qur’an, atau menurut Hadis, atau menurut Imam Syafi’i..atau menurut ulama NU..atau menurut Ustaz Somad… itu baru pernytaan yang lebih agak tepat. Karena agama Islam telah berusia lama, maka di dalamnya ada yang disebut pendapat Salaf yang sangat mempengaruhi kandungan ajaran Islam, ini biasa disebut Sulthath al-Salaf oleh para intelektual Muslim.
Apa arti Sulthath al-Salaf? Ia disebut juga dengan Otoritas Salaf. Kata Salaf artinya ‘yang terdahulu’. Dalam tulisan ini artinya cara berpikir, cara memahami ajaran agama dan cara bertindak ulama2 terdahulu setelah masa Nabi (tiga generasi awal pasca Nabi: masa Sahabat, masa Thabi’in dan masa Thabi’ Thabi’in), kini ajarannya banyak tertulis (recorded) dalam Kitab Kuning, dalam doa, dalam ilmu Kalam, dalam Fikih, dalam Tafsir, dalam acara2 keagamaan: sebagian umat Islam masih setia pada tokoh ulama pengarang Kitab Kuning tersebut dan ajarannya, sebagian lagi sudah mulai ingin menggeser ajaran2 ulama2 tersebut karena dinilai sudah agak kurang sesuai dengan alam pemikiran dan kehidupan modern. Apa contoh2 ajaran yang ditolak? Siapa tokoh2 yang menolaknya? Apa yang menyebabkan munculnya penolakan semacam itu? Mari kita diskusikan agak 3 alinea + 5 lagi biar agak lebih jelas. Kesediaan anda untuk membacanya sangat dihargai, karena saya tau anda sibuk dan bacaan ini butuh konsentrasi. Mari kita mulai dengan hati yang jernih.

Pertama, maksud ayat Ghayr al-Maghdhubi ‘alaihim Wa la al-dhaalliiin bagi Nabi adalah orang Nasrani dan Yahudi kata Quraysh Shihab yang membaca Kitab Tafsir karangan Imam al-Baydhawi. Sekarang ada pemikir Muslim modern yang mengatakan bahwa maksud ayat seperti itu ‘benar’ tetapi pada lingkungan masyarakat Nabi, masyarakat yang serba terbatas belum mengglobal. Ancaman di depan mata di zaman Nabi yang terlihat adalah Nasrani dan Yahudi karena Yahudi di Medinah (suku Qurayzah, Qaynuqa’ dan Nadzir) (mereka banyak tukang besi, buat panah, buat pedang) disinyalir berkhianat jadi mata2 spionase bagi orang2 kafir di Mekah. Yahudi, bagi umat Islam di masa itu, bagaikan ‘musuh dalam selimut’. Tetapi pada zaman modern, Yahudi kaya2, punya negara namanya Israel dengan haluan ideologinya Zionisme, tetapi tidak pula semua orang Yahudi di Israel setuju dengan sepak terjang Zionis. Yahudi telah berobah dari sekedar pandai besi kepada piawai ekonomi. Oleh sebab itu makna ghayril maghdlubi ‘alaihim ada pakar yang memperluas maknanya kepada semua hal2 yang akan membuat binasa di bumi yang mengancam bagi keberlangsungan alam semesta. Itu sebuah contoh pergeseran makna.

Kedua, ada ayat al-Qur’an Surah al-Baqarah 120: Wa lan tardha ‘anka al-Yahudu wa al-Nashara hatta tattabi’a millatahum (Orang Yahudi dan Nasrani tidak akan puas diri sampai kalian masuk agama mereka), memang benar ayat tersebut untuk bersikap hati-hati kata Ulama, tetapi Yahudi zaman sekarang telah dimasuki ajaran baru, namanya The Chosen People (Orang2 Terpilih). Artinya tidak gampang bagi orang lain untuk menjadi Yahudi, mereka sangat menutup diri/selective, merasa hebat dari yang lain. Siapa mau tanya2 syarat2 untuk menjadi Yahudi pergilah sekarang ke Tondano, Sulawesi Utara (di sana ada synagoga Yahudi). Mereka bersembunyi di sana karena tau Indonesia terutama MUI (di dalamnya ada Prof. Sudarnoto yang membidangi urusan luar negeri) berpihak pada Palestina. Tapi ingat, orang Yahudi juga matrilenial mirip orang Minang: kalau ibunya Yahudi, maka anaknya otomatis diakui Yahudi, bagi orang Minang, bila ibunya orang Minang, maka si anak secara adat diakui punya suku/marga di Minang. Bila hanya bapaknya orang Minang sedangkan ibunya Bugis, maka nasibnya akan sama dengan Zainuddin dalam novel Hamka Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (dia tidak punya suku). Demikian pula bila seandainya Benjamin Netanyahu (Perdana Menteri Israel sekarang) punya isteri orang Indonesia, maka anak mereka bukanlah Yahudi. Singkat cerita, pengertian Yahudi pasca Nabi telah mengalami pergeseran makna. Otoritas Salaf dipertanyakan.

Kedua paragraf di atas telah menceritakan pergeseran makna konsep Yahudi dalam ayat. Apakah ada contoh yang lain? Ada. Kata ‘alaq dalam surat al-‘alaq biasa diartikan dalam Kitab Kuning dan kitab2 tafsir lama dengan ‘segumpal darah’ kata Quraysh Shihab. Rupanya Prof. Quraysh diberitahu oleh dokter spesialis kandungan bahwa dalam masa yang disebutkan oleh al-Qur’an tersebut belum ada ‘segumpal darah’ tetapi hanya baru ‘secercah gumpalan kecil yang lengket di dinding rahim wanita’. Prof. Karlina Supelli juga bicara begitu. Artinya, pendapat ulama Salaf dalam Kitab Kuning sudah bergeser makna karena adanya temuan terbaru di dunia kedokteran modern spesialis alat reproduksi wanita (Ginekologi). Bahkan ada lagi contoh ke 4. Imam Syafi’i dalam Kitab Kuningnya telah mengajarkan berwudhu’ dengan air yang bersih dan suci, maka datanglah Muhammadiyah mengajarkan dengan Fikih Airnya yang terbaru bahwa air bekas berwudhu’ sebaiknya janganlah terbuang percuma saja, tetapi akan lebih bijak bila air bekas wudhu’ tersebut dialirkan untuk makhluk2 flora yang menunggu/kehausan di sekitar kita berwudhu’, sehingga akan terwujud konsep Global Ethics. Otoritas Salaf bergeser lagi.

Empat contoh di atas adalah contoh2 pergeseran makna ajaran keagamaan dari Sulthath al-Salaf (Otoritas Salaf) kepada pemikiran intelektual Muslim modern. Mereka berprinsip Think Globally, Act Locally (Berpikir Global, Bertindak Lokal). Siapa tokoh2 intelektual modern? Di antaranya Prof. Amin Abdullah, Nurcholish Majid, Harun Nasution, Ulil Abshar Abdalla, Gus Dur dan banyak lagi. Makin ke atas, dari mana ide2 mereka didapat? Menurut pengakuan Amin Abdullah, dia banyak membaca buku Jaser Audah, Khaleed Abou al-Fadhl. Jaser Audah banyak dipengaruhi pemikir Muslim sebelumnya seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Fazlur Rahman, Muhammed Arkoun. Makin ke atas lagi, dari mana Arkoun dapat ide? Orang bilang Arkoun terpengaruh oleh filsafat Dekonstruksi Jacques Derrida, Jurgen Habermas di Eropa. Lebih global lagi, mengapa Derrida berpikiran demikian? Sebab dilihatnya pasca Perang Dunia II (1942-1945) dunia telah hancur oleh ‘tangan besi’ yang memaksakan ‘kebenaran’ menurut versi mereka, misalnya Nazi oleh Hitler. Maka filosuf Post Modernisme ingin merobah cara pandang dunia lewat novel2, buku2, koran2, majalah2, kuliah2, drama, teater, seni arsitektur, diplomasi antar negara, bahwa bukan kebenaran yang harus dipaksakan pada orang lain, tetapi bagaimana menciptakan kehidupan yang indah, toleran, saling menghargai sesama, dan rukun. Mereka menjulukinya dengan The Aesthetics of Existence.

Para filosuf Post Modernisme mempertanyakan untuk apa gunanya kita maju kalau hanya saling membunuh anak manusia, saling memaksakan kebenaran sepihak, pada hal kebenaran itu adalah sesuatu yang menyingkapkan diri kata Gadamer, bukan sesuatu yang final dan objektif. Bila kita yakin ‘benar’ atas sesuatu, itu mirip dengan orang buta memegang gajah, kata orang bijak. Terpegang kakinya lantas kita bilang gajah mirip tiang besar. Terpegang belalainya, kita bilang gajah itu mirip pipa lembut. Terpegang kupingnya, kita bilang gajah mirip kipas besar. Yaa semua benar, tapi tidak utuh, tidak 100% persis dengan gajah yang sebenarnya. Bagaimana agar lebih utuh? Ya tanyai orang2 lain biar wawasan kita tentang gajah yang agak lebih lengkap. Mungkin Hitler terpegang ‘3 kaki gajah’, maka ia bersekutu dengan Mussolini dan Hirohito untuk memaksakan kebenaran yang diyakininya. Trauma dengan pemaksaan kebenaran semacam itu membuat filosuf2 dunia berpikir dan berpikir.

Di atas tadi adalah contoh pemikiran global yang merembes masuk ke dunia pemikiran keagamaan tokoh2 intelektual Muslim, sehingga terpikir pula oleh mereka dalam beberapa hal untuk menggeser otoritas Salaf. Jadi yang menggeser otoritas Salaf bukan filosuf2 dunia, tetapi tokoh2 intelektual Muslim yang menghayati perlunya pemikiran semacam itu. Gus Dur lantas mengumandangkan semangat pluralisme (keberagaman). Nurcholish Majid mengumandangkan ‘Islam Yes, Partai Islam No’. Artinya Cak Nur ingin menolak dipraktekkan di Indonesia pendapat otoritas Imam al-Mawardi dengan isi kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyah yang mengajarkan sistem kekhalifahan dengan keturunan Quraysh sebagai khalifahnya. Akhir2 ini muncul pula gagasan Prof. Amin Abdullah (mantan Rektor UIN Yogyakarta) dengan anjurannya agar mengurangi otoritas Imam al-Ghazali yang cenderung terpaku pada kesalehan pribadi semata-mata pada Tuhan, ia digeser menjadi kesalehan sosial yang peka dan tanggap atas persoalan2 global, misalnya persoalan Hak2 Azasi Manusia (HAM), Kebencanaan, Global Warming, Deforestasi, persamaan hak antara pria dan wanita, semua masalah2 semacam ini belum ada dan belum terpikirkan di masa Imam al-Ghazali.

Ada suatu hal yang perlu diketahui oleh generasi muda yaitu kebenaran pengetahuan sosial (Geisteswissenschaften) berbeda dengan kebenaran ‘aqidah (credo) bahkan berbeda pula dengan kebenaran sains (Natuurwissenschaften). Yang dipersoalkan di sini adalah sebatas kebenaran pengetahuan sosial. Di atas sudah dikatakan bahwa pemikiran filosuf Post Modernisme ‘merembes’ masuk ke dunia Islam dan beberapa tokoh terpengaruh olehnya, sehingga otoritas/pendapat/ajaran/ isi Kitab Kuning oleh ulama2 masa silam ingin digeser cara pandang keagamaannya oleh beberapa tokoh Muslim kontemporer. Konsep Maqasid al-Syari’ah oleh Imam al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat ingin ditafsir ulang oleh Jasser Audah. Biasanya dikenal 5 Maqasid al-Syari’ah: menjaga agama, harta, jiwa, keturunan dan akal. Bagi al-Syathibi menjaga agama, ya Islam saja, bagi Jasser Audah ya semua agama, saling menghormati, prinsipnya: lakum dinukum wa li yadin. Bagi al-Syathibi menjaga jiwa (orang Islam saja), bagi Jasser Audah lebih luas, ya termasuk Hak2 Azasi Manusia (HAM) included Yahudi dan Nasrani, China Komunis. Dengan kata lain, baginya Islam adalah agama Rahmatan lil ‘alamin, bukan rahmatan lil Muslimin. Anda setuju atau tidak? Boleh ia, boleh tidak. Adik2 yang muda2 sebaiknya tahu hal ini. Sebenarnya yang ingin digeser itu bukan agama, tetapi PEMAHAMAN atas agama. Yang ingin dirobah itu bukan ajaran Nabi, tetapi PEMAHAMAN atas ajaran Nabi. Ibarat sebuah rumah, yang ingin dilakukan mereka bukan merombak seluruh bangunan rumah, tetapi mempercantik bagian2 yang dirasa nampak telah usang, biar trendy zaman now. Itu saja! Maka tatkala anak muda mengatakan ..Menurut Islam..Menurut Islam…sebaiknya dirobah mengatakannya…menurut al-Qur’an,…menurut Hadis….menurut MUI, menurut Ustaz Somad, dan lain2.

Bila demikian, bagaimana sikap kita ke depan? Di sini mungkin kita terbelah. Ada yang ingin tetap setia dengan ajaran Salaf, ada yang ingin berobah kepada modern, ada yang bahkan lebih ekstrim dari pada ajaran Salaf. Ya begitulah. Anda pilih yang mana? Bila di mesjid atau di pesantren terdengar doa Allahumma ghfir lil Muslimina wal muslimat, wal mukmininan wal mukminat: itu doa hanya eksklusif terbatas untuk kaum Muslimin saja, apakah anda kini setuju bila non- Muslim juga ikut didoakan agar diampuni Tuhan dosa2 mereka? Bila iya, berarti anda sudah hijrah ikut semangat Post Modernisme. Bila tidak berarti anda masih ikut Salaf. Ooo saya tetap pada Salaf, its OK. Sebab ulama2 Salaf adalah orang yang dekat dengan zaman Nabi, mereka alim, bersih jiwanya, dalam ilmunya, dan kita jangan merasa sok nak lebih pintar pula dari mereka. Its OK. Its OK. Kita hargai pendapat anda. Tetapi non-Muslim berhasil buat mobil, motor, pesawat, kapal laut dijualnya pada kita, kita beli juga untuk alat transportasi dan prestasi sosial apalagi untuk naik haji…ogah naik onta, iya kan? Kita sakit di UGD terbaring, alat2 kedokteran yang canggih2 mereka jual juga pada kita karena alasan ekonomi dan alasan kemanusiaan, artinya kita juga butuh jasa mereka meski dibayar dengan BPJS iya kan? Kita dilanda Covid 19, banyak obat2 kita beli dari non-Muslim, tak yakin dengan obat2 dukun dan jamu2 iya kan? Kita punya lahan sawit dan perlu mengekspor CPO ke luar negeri, kepada non-Muslim, bila mereka tidak membeli minyak sawit kita, dengan apa dibayar kredit bank, kredit rumah, kredit motor iya kan? Apalagi sekarang kita butuh HP dan WA serta facebook di saat2 menjelang Pilpres 14 Februari mendatang, iya kaaaan? Bagaimana kalau tiba2 WhatsApp (Yahudi) dan TikTok (China) putus kontrak stop sementara waktu beroperasi untuk Indonesia, bagaimana ya? Sekali lagi..doa usai solat yang dibaca oleh para Imam dan ustaz umumnya hanya untuk kaum Muslimin saja mengikuti ajaran otoritas Salaf, dan kita sebagai makmum hanya berucap ‘Kabulkanlah yaa Allah’…kita tak sadar akibat ruginya atas penjualan CPO. ‘Terserahlah, ‘awak nak cakap apeee’ kata orang Malaysia. Realita hidup memang saling ketergantungan, hidup saling membutuhkan, kita hidup pada planet bumi yang sama, kadang2 ajaran Salaf membelenggu diri, kadang2 pemikiran modern berbangga diri…dan kita kadang2 tak tahu menempatkan diri….maka eloklah kini ‘kita tanya pada rumpuuut …yang bergoyaaang’…kata Ebiet. Sekian dulu pembaca budiman terutama anak muda. Terimakasih telah membaca. Mohon maaf bila kita berbeda pendapat, karena saya dan anda terpegang bagian tubuh gajah yang berbeda, Salam, Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share