Oleh: Amhar Rasyid
Jakarta, 18 Okt 2024
Assalamu’alaikum wr,wb, Bpk2/Ibuk2/Adik2ku/Anak2ku/ Mhasw2ku dan segenap pembaca budiman di mana saja berada baik Muslim maupun non-Muslim. Judul di atas adalah kiasan untuk hidup beragama di Indonesia. Dua Kapal Besar maksudnya NU dan Muhammadiyah. Keduanya berlayar di Samudra ( lslsm) tetapi routenya membatasi diri di wilayah lndonesia. Anda dan saya beserta jutaan bangsa Indonesia Muslim dan bahkan non-Muslim boleh ikut menumpang di atas salah satu Kapal tersebut. Sementara kata ‘solat’ maksudnya ‘hidup beragama secara Islami’ tetapi dipagari oleh dinding2 kapal, oleh ideologi Pancasila dan UUD 1945. Solat tidak wajib lg bila sudah mati, apalagi keluar drii NU dan Mhdyh. Jadi maksud judul diatas adalah bagaimana cara kita hidup secara Islami tetapi dalam bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Fasilitas apa dalam kedua kapal tersebut yang akan bermanfaat bagi kita? Apa masalahnya? Bagaimana sikap ‘bijak’ kita sebagai penumpang kapal?
Sejarah dan tujuan semula pembuatan Dua Kapal. Kapal Muhammadiyah dibuat di Yogyakarta tahun 1912 dirancang pertama kali oleh KH Ahmad Dahlan dan penumpangnya disebut warga Muhammadiyah. Sedangkan kapal NU dibuat di Surabaya tahun 1926, perancangnya adalah KH Hasyim Asy’ari dan penumpangnya disebut Nahdliyyin. Tujuan dibuat kapal Muhamamdiyah di antaranya ialah untuk ‘menggembirakan kehidupan beragama’. Dan tujuan dibuat kapal NU, diantaranya menurut Rumusan tahun 1927, ialah untuk memperkuat kesetiaan Islam kepada salah satu dari 4 Mazhab dan melaksakan kegiatan yang bermanfaat untuk para anggota NU menurut ajaran Islam.
Fasilitas apa yang ada dalam kedua kapal NU dan Muhammadiyah? Fasilitas artinya sesuatu yang akan bisa digunakan, yang akan memudahkan kita dalam membantu memecahkan persoalan2 kehidupan. Di antara fasilitas yang ada dalam kapal Muhammadiyah ialah adanya ..Rumah Sakit, Panti Asuhan Anak yatim, Sekolah2 dan Universitas, Organisasi2 Pemuda (IMM, IPM, Tapak Suci, Hizbul Wathan) dan Organisasi Wanita (Aysyiyah), selain ingin akan mendirikan Bank Syar’iah sendiri, juga dikatakan telah memiliki 10 BPRS (Bank Perekonomian Rakyat Syari’ah). Beda kapal Muhamamdiyah dan NU ialah Muhamamdiyah tidak ikut berpolitik praktis dalam NKRI, sementara NU menyatakan dengan tegas ikut berpolitik praktis. Dan diantara fasilitas yang ada dalam kapal NU ialah ada juga banyak rumah sakit, sekolah2 dan perguruan tinggi, perbankan, diantaranya bank BNU Syari’ah dan bank Nusumma hasil MoU NU dengan Bank Summa, dan sejumlah organisasi kepemudaan diantaranya yang terkenal adalah GP Ansor. Sekali lagi, fasilitas artinya sarana atau prasarana (sesuatu) yang akan membantu memudahkan kita berurusan.
Alhamdulillah dari sekian banyak sarana kedua kapal, apa masalahnya bila anda menjadi penumpang kapal? Ini sulit dijawab bagi saya kerena kurang berpengalaman menumpang pada kedua kapal, kecuali Din Syamsuddin (tokoh Muhammadiyah) yang pernah dulu bersekolah di sekolah NU katanya. Menurut Kiyai Said Aqil Siroj (tokoh NU), kelemahan NU diantaranya terkait metode dan manajemen dakwah. Dikatakan bahwa materi dakwah ulama NU biasa2 saja. Selain itu katanya, memang sudah ada Wakil Presiden berasal dari NU dan beberapa Menteri, gubernur, bupati, tetapi ada saja prilaku mereka yang belum mencerminkankan watak luhur NU. Bukan dengan menggunakan symbol NU katanya, tetapi lemah dari segi pola pikir, tata prilaku, cara berpolitik ala NU kata Kiyai tersebut. Dan apa pula kelemahan (kapal) Muhammadiyah? Dikatakan Muhammadiyah cenderung birokratis. Lebih mengutamakan amaliyah (segi praktek). AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) meskpiun kuantitasnya banyak, kualitasnya masih dinilai kurang. Kurang memiliki daya saing, kurang inovatif kata media massa. Ada juga yang melihat bahwa Muhammadiyah kurang menyentuh grass-root, kurang menyentuh mereka yang dikatakan mengalami marginalisasi, seperti kaum buruh, nelayan, petani, sehingga dikatakan bahwa Gerakan Muhamamdiyah hanya berkisar pada lapisan perkotaan saja. Memang kedua kapal besar tersebut tak lepas dari pepatah: Tak ada Gading yang Tak Retak. Tetapi bagi saya pribadi, yang penting, jangan ‘diplintir’ Tak Ada KAPAL yang tak Retak.
Nah, ini yang lebih penting, bagaimana sikap bijak kita ke depan? Sudah saya katakan bahwa posisi kita sebagai warga NU dan warga Muhammadiyah ibarat penumpang kapal. Keduanya berlayar, bukan menuju IKN tetapi menuju NKRI. Keduanya membaca al-Qur’an dan Hadis tetapi juga harus membaca Pancasila dan UUD 45. Izin berlayarnya harus mengikuti aturan tersebut. Bilamana anda menyadari diri anda sebagai penumpang biasa, ya tetaplah di kelas anda sekarang. Jangan coba2 turun kapal, nati kecebur ke laut. Tetapi bila anda merasa sebagai penumpang VIP (Very Important Person): orang penting, berijazah sarjana S1, S2, S3, Guru Besar, Praktisi Hukum, Militer, Bisnisman, Dokter Spesialis, Teknolog, Ekonom, Politikus, saya mengajak anda, bila sudah sampai di dermaga, ayoklah turun kapal, marilah tegak di dermaga, coba lihat kedua kapal tersebut dengan pikiran tenang, pikiran jernih, tatap dengan bobot intelektualitas yang tinggi, tanyai diri anda: Saya naik kapal itu dulu disuruh orang/ikut2an orang, atau terlahir sudah nasib di atas sana, atau perlukah sekarang saya bertanya pada diri sendiri, kata orang Betawi: Siapa juga yang nyuruh lu naik kapal NU atau Muhammadiyah?
Bila kita yang cendekia sudah turun kapal dan berdiri di dermaga akan kelihatan ‘kelemahan’ kedua kapal. Coba lihat ke kapal, mungkin ada catnya yang sudah kusam, mungkin ada managemen di dalamnya yang terasa kurang pas, mungkin ACnya kurang dingin, atau mungkin ‘menu’ makanannya kurang bergizi. Itu terlihat dan bisa dipikir bila anda sudah turun ke dermaga. Anda sarjana kan? Seorang sarjana, harapan Almamater, agar anda terbiasa bebas berpikir, jangan terikat dengan tradisi yang kaku, melihat segala sesuatu dengan ilmu pengetahuan dan Iman, contohnya Prof. Quraysh Shihab dan lainnya. Kira2 anda sekarang tergolong penumpang biasa atau VIP? Wallahu a’lam.
Bagi pak Amhar? Saya sudah meneliti Kapal Muhammadiyah di ‘laboratorium’ UIN Sunan Kalijaga. Hasilnya? Ditemukan ada kelemahan dari segi metodologi yang diterapkan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah. Apa itu? Ayat dan Hadis, ibarat dua bola bilyar yang sedang menggelinding di atas meja bilyar, dipegang, ditahan dengan tongkat oleh ulama2 yang bertarjih, tidak dibiarkan bergulir dengan sendirinya. Setelah bola itu berhenti, stop, ulama Muhamamdiyah mengatakan bahwa bentuk bolanya seperti yang mereka lihat, warnanya seperti yang mereka saksikan, artinya ayat dan matan Hadis diobjektivasi, kandungan dan makna ayat dan Hadis ditundukkan menurut kadar pengetahuan mereka. Sementara pengetahuan manusia sifatnya limited (terbatas) dan dipengaruhi oleh ‘sejarah’ semasa hidupnya (misalnya oleh Pancasila dan UUD45). Kemudian saya pinjam ‘microscope’ filosuf Jerman bernama Hans-Georg Gadamer. Eeee… rupanya, bola bilyard itu jangan ditahan, jangan di stop kata Gadamer, tetapi biarkan ia bergulir leluasa di atas meja bilyard, ia nanti akan menyingkapkan banyak warna, banyak segi, banyak permukaan, banyak sudut yang semula tak terduga oleh kita. Bila perlu ia ditiup..dan ditiup terus agar semakin menampakkan banyak celah. Jangan distop, ala ulama Muhamamdiyah bahkan jangan pula diikuti saja laporan ‘berantai’ dari orang yang pernah dulu melihat bola bilyard bergulir, ala ulama2 NU.
Bagaimana hasil ‘telescope’ Gadamer? Ini khusus bagi penumpang VIP. Agak berat, agak filosofis menjelaskannya. Begini. Pernahkan anda mengatakan pada isteri anda:” Saya tadi siang sibuk sekali di kantor, ….betul2 sibuk”. Kalimat seperti itu, menyimak Gadamer, masih menyembunyikan banyak hal yang tak terkatakan. Memang laporan anda sibuk pada isteri, tetapi kan sempat baca WA beberapa kali, sempat makan, solat, ngobrol dengan tamu/teman, jajan ke kantin, ngopi, merokok mungkin, ke WC, itu hal2 yang tak sempat terkatakan, padahal ia ada, sungguh terjadi, DIALAMI tetapi semua ter’tutup’ oleh kata2 ‘saya sibuk’. Demikian pula ayat dan Hadis (khusus mu’amalat), bila satu ayat mengatakan begini, atau ditafsirkan begini, itu baru satu permukaan bola bilyard, masih banyak hal2 yang tak terkatakan, masih banyak hal2 di masa lampau yang terselimut dalam kebenaran Hadis dan ayat2 mu’amalat. Misalnya Hadis: Uthlubul ‘ilma walau bish Shin (Tuntutlah ilmu hingga negeri China), bukanhkah waktu itu sudah ada India, Persia dan Romawi? Jadi, tidak terkatakan semuanya. Maka kebenarannya ‘terselimut’ bukan pada zahir ayat/Hadis, tetapi terselimut pada unsur pengalaman (Erlebnis: Jermannya) Nabi yang mengamalkannya. Dalam Bahasa Jerman ayat dan Hadis itu juga mempunyai Sitz im Leben (masa hidupnya dulu sebelum menjadi dituliskan berbentuk nash/matan Hadis). Masa hidup semacam itu mengandung unsur pengalaman. Pengalaman Nabi itu ada di bagian terdalam matan Hadis, sebab tidak ada Hadis mu’amalat yang timbul se-konyong2/tanpa sebab di lapangan, maka janganlah ia distop tatkala ia bergulir. Ia belum sempat membukakan banyak wajah permukaannya, belum sempat menceritakan ‘pengalaman Rasul saw’, lalu ia mendadak distop bergulir oleh ulama Muhammadiyah dan diberi penafsiran setelah mendengarkan dan memahami banyak dalil dan pertimbangan lain. Isi penafsiran tersebut kemudian dibukukan, diumumkan kepada semua penumpang kapal, diberinama dengan HPT (Himpunan Putusan Tarjih) dan akhirnya diperintahkan untuk diberlakukan/ditanfizkan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah (sebagai Nakhoda Kapal), dan isinya mengikat pada semua penumpang kapal Muhammadiyah agar mematuhi dan mengamalkannya, begitu cara ‘Solat di atas kapal Muhammadiyah’. Demikianlah kira2 hasil teropong ‘microscope’ Gadamer setelah saya pinjam di laboratorium UIN Yogya. Apakah anda tertarik dan ingin lebih jelas lagi? Mari kita diskusi di mana saya diundang. Saya siap hadir insyaallah walau sampai ke Malaysia, Yogya dan Surabaya. Lalu bagaimana ‘microscope’ Gadamer bila digunakan untuk kapal NU? Silahkan anda sendiri uji di labor. Bila ulama M uhammadiyah hanya melihat dua bola: ayat dan Hadis, ulama NU boleh jadi melihat puluhan bahkan ratusan bola bilyard di atas meja, sebab mereka mengikuti banyak pendapat para Imam2 dan ulama2 terkenal. Silahkan tulis disertasi anda dengan Gadamer…mudah2an mendapat Summa Cum Laude.
Sekian dulu pembaca setia, sudah terlalu panjang. Terimakasih sudah membaca tulisan saya, maaf bila ada kata2 yang salah, pamit, wassalam.
SOLAT DI ATAS DUA KAPAL BESAR
Oleh: Amhar Rasyid
Jakarta, 18 Okt .2024
Assalamu’alaikum wr,wb, Bpk2/Ibuk2/Adik2ku/Anak2ku/ Mhasw2ku dan segenap pembaca budiman di mana saja berada baik Muslim maupun non-Muslim. Judul di atas adalah kiasan untuk hidup beragama di Indonesia. Dua Kapal Besar maksudnya NU dan Muhammadiyah yg berlayar di Samudra Islam tetapi mengutamakan hanya berlayar di wilayah perairan lndonesia. Anda dan saya serta jutaan bangsa Indonesia Muslim dan bahkan non-Muslim boleh ikut menumpang di atas salah satu Kapal tersebut. Sementara kata ‘solat’ maksudnya ‘hidup beragama secara Islami’ tetapi dipagari oleh dinding2 kapal, oleh ideologi Pancasila dan UUD 1945. Solat tidak wajib lg bila sudah mati, apalagi ber NU dan berMhdyh. Jadi maksud judul diatas adalah bagaimana cara kita hidup secara Islami tetapi dalam bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Fasilitas apa dalam kedua kapal tersebut yang akan bermanfaat bagi kita? Apa masalahnya? Bagaimana sikap ‘bijak’ kita sebagai penumpang kapal?
Sejarah dan tujuan semula pembuatan Dua Kapal. Kapal Muhammadiyah dibuat di Yogyakarta tahun 1912 dirancang pertama kali oleh KH Ahmad Dahlan dan penumpangnya disebut warga Muhammadiyah. Sedangkan kapal NU dibuat di Surabaya tahun 1926, perancangnya adalah KH Hasyim Asy’ari dan penumpangnya disebut Nahdliyyin. Tujuan dibuat kapal Muhamamdiyah di antaranya ialah untuk ‘menggembirakan kehidupan beragama’. Dan tujuan dibuat kapal NU, diantaranya menurut Rumusan tahun 1927, ialah untuk memperkuat kesetiaan Islam kepada salah satu dari 4 Mazhab dan melaksakan kegiatan yang bermanfaat untuk para anggota NU menurut ajaran Islam.
Fasilitas apa yang ada dalam kedua kapal NU dan Muhammadiyah? Fasilitas artinya sesuatu yang akan bisa digunakan, yang akan memudahkan kita dalam membantu memecahkan persoalan2 kehidupan. Di antara fasilitas yang ada dalam kapal Muhammadiyah ialah adanya ..Rumah Sakit, Panti Asuhan Anak yatim, Sekolah2 dan Universitas, Organisasi2 Pemuda (IMM, IPM, Tapak Suci, Hizbul Wathan) dan Organisasi Wanita (Aysyiyah), selain ingin akan mendirikan Bank Syar’iah sendiri, juga dikatakan telah memiliki 10 BPRS (Bank Perekonomian Rakyat Syari’ah). Beda kapal Muhamamdiyah dan NU ialah Muhamamdiyah tidak ikut berpolitik praktis dalam NKRI, sementara NU menyatakan dengan tegas ikut berpolitik praktis. Dan diantara fasilitas yang ada dalam kapal NU ialah ada juga banyak rumah sakit, sekolah2 dan perguruan tinggi, perbankan, diantaranya bank BNU Syari’ah dan bank Nusumma hasil MoU NU dengan Bank Summa, dan sejumlah organisasi kepemudaan diantaranya yang terkenal adalah GP Ansor. Sekali lagi, fasilitas artinya sarana atau prasarana (sesuatu) yang akan membantu memudahkan kita berurusan.
Alhamdulillah dari sekian banyak sarana kedua kapal, apa masalahnya bila anda menjadi penumpang kapal? Ini sulit dijawab bagi saya kerena kurang berpengalaman menumpang pada kedua kapal, kecuali Din Syamsuddin (tokoh Muhammadiyah) yang pernah dulu bersekolah di sekolah NU katanya. Menurut Kiyai Said Aqil Siroj (tokoh NU), kelemahan NU diantaranya terkait metode dan manajemen dakwah. Dikatakan bahwa materi dakwah ulama NU biasa2 saja. Selain itu katanya, memang sudah ada Wakil Presiden berasal dari NU dan beberapa Menteri, gubernur, bupati, tetapi ada saja prilaku mereka yang belum mencerminkankan watak luhur NU. Bukan dengan menggunakan symbol NU katanya, tetapi lemah dari segi pola pikir, tata prilaku, cara berpolitik ala NU kata Kiyai tersebut. Dan apa pula kelemahan (kapal) Muhammadiyah? Dikatakan Muhammadiyah cenderung birokratis. Lebih mengutamakan amaliyah (segi praktek). AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) meskpiun kuantitasnya banyak, kualitasnya masih dinilai kurang. Kurang memiliki daya saing, kurang inovatif kata media massa. Ada juga yang melihat bahwa Muhammadiyah kurang menyentuh grass-root, kurang menyentuh mereka yang dikatakan mengalami marginalisasi, seperti kaum buruh, nelayan, petani, sehingga dikatakan bahwa Gerakan Muhamamdiyah hanya berkisar pada lapisan perkotaan saja. Memang kedua kapal besar tersebut tak lepas dari pepatah: Tak ada Gading yang Tak Retak. Tetapi bagi saya pribadi, yang penting, jangan ‘diplintir’ Tak Ada KAPAL yang tak Retak.
Nah, ini yang lebih penting, bagaimana sikap bijak kita ke depan? Sudah saya katakan bahwa posisi kita sebagai warga NU dan warga Muhammadiyah ibarat penumpang kapal. Keduanya berlayar, bukan menuju IKN tetapi menuju NKRI. Keduanya membaca al-Qur’an dan Hadis tetapi juga harus membaca Pancasila dan UUD 45. Izin berlayarnya harus mengikuti aturan tersebut. Bilamana anda menyadari diri anda sebagai penumpang biasa, ya tetaplah di kelas anda sekarang. Jangan coba2 turun kapal, nati kecebur ke laut. Tetapi bila anda merasa sebagai penumpang VIP (Very Important Person): orang penting, berijazah sarjana S1, S2, S3, Guru Besar, Praktisi Hukum, Militer, Bisnisman, Dokter Spesialis, Teknolog, Ekonom, Politikus, saya mengajak anda, bila sudah sampai di dermaga, ayoklah turun kapal, marilah tegak di dermaga, coba lihat kedua kapal tersebut dengan pikiran tenang, pikiran jernih, tatap dengan bobot intelektualitas yang tinggi, tanyai diri anda: Saya naik kapal itu dulu disuruh orang/ikut2an orang, atau terlahir sudah nasib di atas sana, atau perlukah sekarang saya bertanya pada diri sendiri, kata orang Betawi: Siapa juga yang nyuruh lu naik kapal NU atau Muhammadiyah?
Bila kita yang cendekia sudah turun kapal dan berdiri di dermaga akan kelihatan ‘kelemahan’ kedua kapal. Coba lihat ke kapal, mungkin ada catnya yang sudah kusam, mungkin ada managemen di dalamnya yang terasa kurang pas, mungkin ACnya kurang dingin, atau mungkin ‘menu’ makanannya kurang bergizi. Itu terlihat dan bisa dipikir bila anda sudah turun ke dermaga. Anda sarjana kan? Seorang sarjana, harapan Almamater, agar anda terbiasa bebas berpikir, jangan terikat dengan tradisi yang kaku, melihat segala sesuatu dengan ilmu pengetahuan dan Iman, contohnya Prof. Quraysh Shihab dan lainnya. Kira2 anda sekarang tergolong penumpang biasa atau VIP? Wallahu a’lam.
Bagi pak Amhar? Saya sudah meneliti Kapal Muhammadiyah di ‘laboratorium’ UIN Sunan Kalijaga. Hasilnya? Ditemukan ada kelemahan dari segi metodologi yang diterapkan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah. Apa itu? Ayat dan Hadis, ibarat dua bola bilyar yang sedang menggelinding di atas meja bilyar, dipegang, ditahan dengan tongkat oleh ulama2 yang bertarjih, tidak dibiarkan bergulir dengan sendirinya. Setelah bola itu berhenti, stop, ulama Muhamamdiyah mengatakan bahwa bentuk bolanya seperti yang mereka lihat, warnanya seperti yang mereka saksikan, artinya ayat dan matan Hadis diobjektivasi, kandungan dan makna ayat dan Hadis ditundukkan menurut kadar pengetahuan mereka. Sementara pengetahuan manusia sifatnya limited (terbatas) dan dipengaruhi oleh ‘sejarah’ semasa hidupnya (misalnya oleh Pancasila dan UUD45). Kemudian saya pinjam ‘microscope’ filosuf Jerman bernama Hans-Georg Gadamer. Eeee… rupanya, bola bilyard itu jangan ditahan, jangan di stop kata Gadamer, tetapi biarkan ia bergulir leluasa di atas meja bilyard, ia nanti akan menyingkapkan banyak warna, banyak segi, banyak permukaan, banyak sudut yang semula tak terduga oleh kita. Bila perlu ia ditiup..dan ditiup terus agar semakin menampakkan banyak celah. Jangan distop, ala ulama Muhamamdiyah bahkan jangan pula diikuti saja laporan ‘berantai’ dari orang yang pernah dulu melihat bola bilyard bergulir, ala ulama2 NU.
Bagaimana hasil ‘telescope’ Gadamer? Ini khusus bagi penumpang VIP. Agak berat, agak filosofis menjelaskannya. Begini. Pernahkan anda mengatakan pada isteri anda:” Saya tadi siang sibuk sekali di kantor, ….betul2 sibuk”. Kalimat seperti itu, menyimak Gadamer, masih menyembunyikan banyak hal yang tak terkatakan. Memang laporan anda sibuk pada isteri, tetapi kan sempat baca WA beberapa kali, sempat makan, solat, ngobrol dengan tamu/teman, jajan ke kantin, ngopi, merokok mungkin, ke WC, itu hal2 yang tak sempat terkatakan, padahal ia ada, sungguh terjadi, DIALAMI tetapi semua ter’tutup’ oleh kata2 ‘saya sibuk’. Demikian pula ayat dan Hadis (khusus mu’amalat), bila satu ayat mengatakan begini, atau ditafsirkan begini, itu baru satu permukaan bola bilyard, masih banyak hal2 yang tak terkatakan, masih banyak hal2 di masa lampau yang terselimut dalam kebenaran Hadis dan ayat2 mu’amalat. Misalnya Hadis: Uthlubul ‘ilma walau bish Shin (Tuntutlah ilmu hingga negeri China), bukanhkah waktu itu sudah ada India, Persia dan Romawi? Jadi, tidak terkatakan semuanya. Maka kebenarannya ‘terselimut’ bukan pada zahir ayat/Hadis, tetapi terselimut pada unsur pengalaman (Erlebnis: Jermannya) Nabi yang mengamalkannya. Dalam Bahasa Jerman ayat dan Hadis itu juga mempunyai Sitz im Leben (masa hidupnya dulu sebelum menjadi dituliskan berbentuk nash/matan Hadis). Masa hidup semacam itu mengandung unsur pengalaman. Pengalaman Nabi itu ada di bagian terdalam matan Hadis, sebab tidak ada Hadis mu’amalat yang timbul se-konyong2/tanpa sebab di lapangan, maka janganlah ia distop tatkala ia bergulir. Ia belum sempat membukakan banyak wajah permukaannya, belum sempat menceritakan ‘pengalaman Rasul saw’, lalu ia mendadak distop bergulir oleh ulama Muhammadiyah dan diberi penafsiran setelah mendengarkan dan memahami banyak dalil dan pertimbangan lain. Isi penafsiran tersebut kemudian dibukukan, diumumkan kepada semua penumpang kapal, diberinama dengan HPT (Himpunan Putusan Tarjih) dan akhirnya diperintahkan untuk diberlakukan/ditanfizkan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah (sebagai Nakhoda Kapal), dan isinya mengikat pada semua penumpang kapal Muhammadiyah agar mematuhi dan mengamalkannya, begitu cara ‘Solat di atas kapal Muhammadiyah’. Demikianlah kira2 hasil teropong ‘microscope’ Gadamer setelah saya pinjam di laboratorium UIN Yogya. Apakah anda tertarik dan ingin lebih jelas lagi? Mari kita diskusi di mana saya diundang. Saya siap hadir insyaallah walau sampai ke Malaysia, Yogya dan Surabaya. Lalu bagaimana ‘microscope’ Gadamer bila digunakan untuk kapal NU? Silahkan anda sendiri uji di labor. Bila ulama Muhammadiyah hanya melihat dua bola: ayat dan Hadis, ulama NU boleh jadi melihat puluhan bahkan ratusan bola bilyard di atas meja, sebab mereka mengikuti banyak pendapat para Imam2 dan ulama2 terkenal. Silahkan tulis disertasi anda dengan Gadamer…mudah2an mendapat Summa Cum Laude.
Sekian dulu pembaca setia, sudah terlalu panjang. Terimakasih sudah membaca tulisan saya, maaf bila ada kata2 yang salah, pamit, wassalam.
SOLAT DI ATAS DUA KAPAL BESAR
Oleh: Amhar Rasyid
Jambi,…….2024
Assalamu’alaikum wr,wb, Bpk2/Ibuk2/Adik2ku/Anak2ku/ Mhasw2ku dan segenap pembaca budiman di mana saja berada baik Muslim maupun non-Muslim. Judul di atas adalah kiasan untuk hidup beragama di Indonesia. Dua Kapal Besar maksudnya NU dan Muhammadiyah. Anda dan saya beserta jutaan bangsa Indonesia Muslim dan bahkan non-Muslim ikut menumpang di atas salah satu Kapal tersebut. Sementara kata ‘solat’ maksudnya ‘hidup beragama secara Islami’ tetapi dipagari oleh dinding2 kapal, oleh ideologi Pancasila dan UUD 1945. Jadi maksud judul diatas adalah bagaimana cara kita hidup secara Islami tetapi dalam bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Fasilitas apa dalam kedua kapal tersebut yang akan bermanfaat bagi kita? Apa masalahnya? Bagaimana sikap ‘bijak’ kita sebagai penumpang kapal?
Sejarah dan tujuan semula pembuatan Dua Kapal. Kapal Muhammadiyah dibuat di Yogyakarta tahun 1912 dirancang pertama kali oleh KH Ahmad Dahlan dan penumpangnya disebut warga Muhammadiyah. Sedangkan kapal NU dibuat di Surabaya tahun 1926, perancangnya adalah KH Hasyim Asy’ari dan penumpangnya disebut Nahdliyyin. Tujuan dibuat kapal Muhamamdiyah di antaranya ialah untuk ‘menggembirakan kehidupan beragama’. Dan tujuan dibuat kapal NU, diantaranya menurut Rumusan tahun 1927, ialah untuk memperkuat kesetiaan Islam kepada salah satu dari 4 Mazhab dan melaksakan kegiatan yang bermanfaat untuk para anggota NU menurut ajaran Islam.
Fasilitas apa yang ada dalam kedua kapal NU dan Muhammadiyah? Fasilitas artinya sesuatu yang akan bisa digunakan, yang akan memudahkan kita dalam membantu memecahkan persoalan2 kehidupan. Di antara fasilitas yang ada dalam kapal Muhammadiyah ialah adanya ..Rumah Sakit, Panti Asuhan Anak yatim, Sekolah2 dan Universitas, Organisasi2 Pemuda (IMM, IPM, Tapak Suci, Hizbul Wathan) dan Organisasi Wanita (Aysyiyah), selain ingin akan mendirikan Bank Syar’iah sendiri, juga dikatakan telah memiliki 10 BPRS (Bank Perekonomian Rakyat Syari’ah). Beda kapal Muhamamdiyah dan NU ialah Muhamamdiyah tidak ikut berpolitik praktis dalam NKRI, sementara NU menyatakan dengan tegas ikut berpolitik praktis. Dan diantara fasilitas yang ada dalam kapal NU ialah ada juga banyak rumah sakit, sekolah2 dan perguruan tinggi, perbankan, diantaranya bank BNU Syari’ah dan bank Nusumma hasil MoU NU dengan Bank Summa, dan sejumlah organisasi kepemudaan diantaranya yang terkenal adalah GP Ansor. Sekali lagi, fasilitas artinya sarana atau prasarana (sesuatu) yang akan membantu memudahkan kita berurusan.
Alhamdulillah dari sekian banyak sarana kedua kapal, apa masalahnya bila anda menjadi penumpang kapal? Ini sulit dijawab bagi saya kerena kurang berpengalaman menumpang pada kedua kapal, kecuali Din Syamsuddin (tokoh Muhammadiyah) yang pernah dulu bersekolah di sekolah NU katanya. Menurut Kiyai Said Aqil Siroj (tokoh NU), kelemahan NU diantaranya terkait metode dan manajemen dakwah. Dikatakan bahwa materi dakwah ulama NU biasa2 saja. Selain itu katanya, memang sudah ada Wakil Presiden berasal dari NU dan beberapa Menteri, gubernur, bupati, tetapi ada saja prilaku mereka yang belum mencerminkankan watak luhur NU. Bukan dengan menggunakan symbol NU katanya, tetapi lemah dari segi pola pikir, tata prilaku, cara berpolitik ala NU kata Kiyai tersebut. Dan apa pula kelemahan (kapal) Muhammadiyah? Dikatakan Muhammadiyah cenderung birokratis. Lebih mengutamakan amaliyah (segi praktek). AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) meskpiun kuantitasnya banyak, kualitasnya masih dinilai kurang. Kurang memiliki daya saing, kurang inovatif kata media massa. Ada juga yang melihat bahwa Muhammadiyah kurang menyentuh grass-root, kurang menyentuh mereka yang dikatakan mengalami marginalisasi, seperti kaum buruh, nelayan, petani, sehingga dikatakan bahwa Gerakan Muhamamdiyah hanya berkisar pada lapisan perkotaan saja. Memang kedua kapal besar tersebut tak lepas dari pepatah: Tak ada Gading yang Tak Retak. Tetapi bagi saya pribadi, yang penting, jangan ‘diplintir’ Tak Ada KAPAL yang tak Retak.
Nah, ini yang lebih penting, bagaimana sikap bijak kita ke depan? Sudah saya katakan bahwa posisi kita sebagai warga NU dan warga Muhammadiyah ibarat penumpang kapal. Keduanya berlayar, bukan menuju IKN tetapi menuju NKRI. Keduanya membaca al-Qur’an dan Hadis tetapi juga harus membaca Pancasila dan UUD 45. Izin berlayarnya harus mengikuti aturan tersebut. Bilamana anda menyadari diri anda sebagai penumpang biasa, ya tetaplah di kelas anda sekarang. Jangan coba2 turun kapal, nati kecebur ke laut. Tetapi bila anda merasa sebagai penumpang VIP (Very Important Person): orang penting, berijazah sarjana S1, S2, S3, Guru Besar, Praktisi Hukum, Militer, Bisnisman, Dokter Spesialis, Teknolog, Ekonom, Politikus, saya mengajak anda, bila sudah sampai di dermaga, ayoklah turun kapal, marilah tegak di dermaga, coba lihat kedua kapal tersebut dengan pikiran tenang, pikiran jernih, tatap dengan bobot intelektualitas yang tinggi, tanyai diri anda: Saya naik kapal itu dulu disuruh orang/ikut2an orang, atau terlahir sudah nasib di atas sana, atau perlukah sekarang saya bertanya pada diri sendiri, kata orang Betawi: Siapa juga yang nyuruh lu naik kapal NU atau Muhammadiyah?
Bila kita yang cendekia sudah turun kapal dan berdiri di dermaga akan kelihatan ‘kelemahan’ kedua kapal. Coba lihat ke kapal, mungkin ada catnya yang sudah kusam, mungkin ada managemen di dalamnya yang terasa kurang pas, mungkin ACnya kurang dingin, atau mungkin ‘menu’ makanannya kurang bergizi. Itu terlihat dan bisa dipikir bila anda sudah turun ke dermaga. Anda sarjana kan? Seorang sarjana, harapan Almamater, agar anda terbiasa bebas berpikir, jangan terikat dengan tradisi yang kaku, melihat segala sesuatu dengan ilmu pengetahuan dan Iman, contohnya Prof. Quraysh Shihab dan lainnya. Kira2 anda sekarang tergolong penumpang biasa atau VIP? Wallahu a’lam.
Bagi pak Amhar? Saya sudah meneliti Kapal Muhammadiyah di ‘laboratorium’ UIN Sunan Kalijaga. Hasilnya? Ditemukan ada kelemahan dari segi metodologi yang diterapkan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah. Apa itu? Ayat dan Hadis, ibarat dua bola bilyar yang sedang menggelinding di atas meja bilyar, dipegang, ditahan dengan tongkat oleh ulama2 yang bertarjih, tidak dibiarkan bergulir dengan sendirinya. Setelah bola itu berhenti, stop, ulama Muhamamdiyah mengatakan bahwa bentuk bolanya seperti yang mereka lihat, warnanya seperti yang mereka saksikan, artinya ayat dan matan Hadis diobjektivasi, kandungan dan makna ayat dan Hadis ditundukkan menurut kadar pengetahuan mereka. Sementara pengetahuan manusia sifatnya limited (terbatas) dan dipengaruhi oleh ‘sejarah’ semasa hidupnya (misalnya oleh Pancasila dan UUD45). Kemudian saya pinjam ‘microscope’ filosuf Jerman bernama Hans-Georg Gadamer. Eeee… rupanya, bola bilyard itu jangan ditahan, jangan di stop kata Gadamer, tetapi biarkan ia bergulir leluasa di atas meja bilyard, ia nanti akan menyingkapkan banyak warna, banyak segi, banyak permukaan, banyak sudut yang semula tak terduga oleh kita. Bila perlu ia ditiup..dan ditiup terus agar semakin menampakkan banyak celah. Jangan distop, ala ulama Muhamamdiyah bahkan jangan pula diikuti saja laporan ‘berantai’ dari orang yang pernah dulu melihat bola bilyard bergulir, ala ulama2 NU.
Bagaimana hasil ‘telescope’ Gadamer? Ini khusus bagi penumpang VIP. Agak berat, agak filosofis menjelaskannya. Begini. Pernahkan anda mengatakan pada isteri anda:” Saya tadi siang sibuk sekali di kantor, ….betul2 sibuk”. Kalimat seperti itu, menyimak Gadamer, masih menyembunyikan banyak hal yang tak terkatakan. Memang laporan anda sibuk pada isteri, tetapi kan sempat baca WA beberapa kali, sempat makan, solat, ngobrol dengan tamu/teman, jajan ke kantin, ngopi, merokok mungkin, ke WC, itu hal2 yang tak sempat terkatakan, padahal ia ada, sungguh terjadi, DIALAMI tetapi semua ter’tutup’ oleh kata2 ‘saya sibuk’. Demikian pula ayat dan Hadis (khusus mu’amalat), bila satu ayat mengatakan begini, atau ditafsirkan begini, itu baru satu permukaan bola bilyard, masih banyak hal2 yang tak terkatakan, masih banyak hal2 di masa lampau yang terselimut dalam kebenaran Hadis dan ayat2 mu’amalat. Misalnya Hadis: Uthlubul ‘ilma walau bish Shin (Tuntutlah ilmu hingga negeri China), bukanhkah waktu itu sudah ada India, Persia dan Romawi? Jadi, tidak terkatakan semuanya. Maka kebenarannya ‘terselimut’ bukan pada zahir ayat/Hadis, tetapi terselimut pada unsur pengalaman (Erlebnis: Jermannya) Nabi yang mengamalkannya. Dalam Bahasa Jerman ayat dan Hadis itu juga mempunyai Sitz im Leben (masa hidupnya dulu sebelum menjadi dituliskan berbentuk nash/matan Hadis). Masa hidup semacam itu mengandung unsur pengalaman. Pengalaman Nabi itu ada di bagian terdalam matan Hadis, sebab tidak ada Hadis mu’amalat yang timbul se-konyong2/tanpa sebab di lapangan, maka janganlah ia distop tatkala ia bergulir. Ia belum sempat membukakan banyak wajah permukaannya, belum sempat menceritakan ‘pengalaman Rasul saw’, lalu ia mendadak distop bergulir oleh ulama Muhammadiyah dan diberi penafsiran setelah mendengarkan dan memahami banyak dalil dan pertimbangan lain. Isi penafsiran tersebut kemudian dibukukan, diumumkan kepada semua penumpang kapal, diberinama dengan HPT (Himpunan Putusan Tarjih) dan akhirnya diperintahkan untuk diberlakukan/ditanfizkan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah (sebagai Nakhoda Kapal), dan isinya mengikat pada semua penumpang kapal Muhammadiyah agar mematuhi dan mengamalkannya, begitu cara ‘Solat di atas kapal Muhammadiyah’. Demikianlah kira2 hasil teropong ‘microscope’ Gadamer setelah saya pinjam di laboratorium UIN Yogya. Apakah anda tertarik dan ingin lebih jelas lagi? Mari kita diskusi di mana saya diundang. Saya siap hadir insyaallah walau sampai ke Malaysia, Yogya dan Surabaya. Lalu bagaimana ‘microscope’ Gadamer bila digunakan untuk kapal NU? Silahkan anda sendiri uji di labor. Bila ulama Muhammadiyah hanya melihat dua bola: ayat dan Hadis, ulama NU boleh jadi melihat puluhan bahkan ratusan bola bilyard di atas meja, sebab mereka mengikuti banyak pendapat para Imam2 dan ulama2 terkenal. Silahkan tulis disertasi anda dengan Gadamer…mudah2an mendapat Summa Cum Laude.
Sekian dulu pembaca setia, sudah terlalu panjang. Terimakasih sudah membaca tulisan saya, maaf bila ada kata2 yang salah, pamit, wassalam.SOLAT DI ATAS DUA KAPAL BESAR
Oleh: Amhar Rasyid
Jambi,…….2024
Assalamu’alaikum wr,wb, Bpk2/Ibuk2/Adik2ku/Anak2ku/ Mhasw2ku dan segenap pembaca budiman di mana saja berada baik Muslim maupun non-Muslim. Judul di atas adalah kiasan untuk hidup beragama di Indonesia. Dua Kapal Besar maksudnya NU dan Muhammadiyah. Anda dan saya beserta jutaan bangsa Indonesia Muslim dan bahkan non-Muslim ikut menumpang di atas salah satu Kapal tersebut. Sementara kata ‘solat’ maksudnya ‘hidup beragama secara Islami’ tetapi dipagari oleh dinding2 kapal, oleh ideologi Pancasila dan UUD 1945. Jadi maksud judul diatas adalah bagaimana cara kita hidup secara Islami tetapi dalam bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Fasilitas apa dalam kedua kapal tersebut yang akan bermanfaat bagi kita? Apa masalahnya? Bagaimana sikap ‘bijak’ kita sebagai penumpang kapal?
Sejarah dan tujuan semula pembuatan Dua Kapal. Kapal Muhammadiyah dibuat di Yogyakarta tahun 1912 dirancang pertama kali oleh KH Ahmad Dahlan dan penumpangnya disebut warga Muhammadiyah. Sedangkan kapal NU dibuat di Surabaya tahun 1926, perancangnya adalah KH Hasyim Asy’ari dan penumpangnya disebut Nahdliyyin. Tujuan dibuat kapal Muhamamdiyah di antaranya ialah untuk ‘menggembirakan kehidupan beragama’. Dan tujuan dibuat kapal NU, diantaranya menurut Rumusan tahun 1927, ialah untuk memperkuat kesetiaan Islam kepada salah satu dari 4 Mazhab dan melaksakan kegiatan yang bermanfaat untuk para anggota NU menurut ajaran Islam.
Fasilitas apa yang ada dalam kedua kapal NU dan Muhammadiyah? Fasilitas artinya sesuatu yang akan bisa digunakan, yang akan memudahkan kita dalam membantu memecahkan persoalan2 kehidupan. Di antara fasilitas yang ada dalam kapal Muhammadiyah ialah adanya ..Rumah Sakit, Panti Asuhan Anak yatim, Sekolah2 dan Universitas, Organisasi2 Pemuda (IMM, IPM, Tapak Suci, Hizbul Wathan) dan Organisasi Wanita (Aysyiyah), selain ingin akan mendirikan Bank Syar’iah sendiri, juga dikatakan telah memiliki 10 BPRS (Bank Perekonomian Rakyat Syari’ah). Beda kapal Muhamamdiyah dan NU ialah Muhamamdiyah tidak ikut berpolitik praktis dalam NKRI, sementara NU menyatakan dengan tegas ikut berpolitik praktis. Dan diantara fasilitas yang ada dalam kapal NU ialah ada juga banyak rumah sakit, sekolah2 dan perguruan tinggi, perbankan, diantaranya bank BNU Syari’ah dan bank Nusumma hasil MoU NU dengan Bank Summa, dan sejumlah organisasi kepemudaan diantaranya yang terkenal adalah GP Ansor. Sekali lagi, fasilitas artinya sarana atau prasarana (sesuatu) yang akan membantu memudahkan kita berurusan.
Alhamdulillah dari sekian banyak sarana kedua kapal, apa masalahnya bila anda menjadi penumpang kapal? Ini sulit dijawab bagi saya kerena kurang berpengalaman menumpang pada kedua kapal, kecuali Din Syamsuddin (tokoh Muhammadiyah) yang pernah dulu bersekolah di sekolah NU katanya. Menurut Kiyai Said Aqil Siroj (tokoh NU), kelemahan NU diantaranya terkait metode dan manajemen dakwah. Dikatakan bahwa materi dakwah ulama NU biasa2 saja. Selain itu katanya, memang sudah ada Wakil Presiden berasal dari NU dan beberapa Menteri, gubernur, bupati, tetapi ada saja prilaku mereka yang belum mencerminkankan watak luhur NU. Bukan dengan menggunakan symbol NU katanya, tetapi lemah dari segi pola pikir, tata prilaku, cara berpolitik ala NU kata Kiyai tersebut. Dan apa pula kelemahan (kapal) Muhammadiyah? Dikatakan Muhammadiyah cenderung birokratis. Lebih mengutamakan amaliyah (segi praktek). AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) meskpiun kuantitasnya banyak, kualitasnya masih dinilai kurang. Kurang memiliki daya saing, kurang inovatif kata media massa. Ada juga yang melihat bahwa Muhammadiyah kurang menyentuh grass-root, kurang menyentuh mereka yang dikatakan mengalami marginalisasi, seperti kaum buruh, nelayan, petani, sehingga dikatakan bahwa Gerakan Muhamamdiyah hanya berkisar pada lapisan perkotaan saja. Memang kedua kapal besar tersebut tak lepas dari pepatah: Tak ada Gading yang Tak Retak. Tetapi bagi saya pribadi, yang penting, jangan ‘diplintir’ Tak Ada KAPAL yang tak Retak.
Nah, ini yang lebih penting, bagaimana sikap bijak kita ke depan? Sudah saya katakan bahwa posisi kita sebagai warga NU dan warga Muhammadiyah ibarat penumpang kapal. Keduanya berlayar, bukan menuju IKN tetapi menuju NKRI. Keduanya membaca al-Qur’an dan Hadis tetapi juga harus membaca Pancasila dan UUD 45. Izin berlayarnya harus mengikuti aturan tersebut. Bilamana anda menyadari diri anda sebagai penumpang biasa, ya tetaplah di kelas anda sekarang. Jangan coba2 turun kapal, nati kecebur ke laut. Tetapi bila anda merasa sebagai penumpang VIP (Very Important Person): orang penting, berijazah sarjana S1, S2, S3, Guru Besar, Praktisi Hukum, Militer, Bisnisman, Dokter Spesialis, Teknolog, Ekonom, Politikus, saya mengajak anda, bila sudah sampai di dermaga, ayoklah turun kapal, marilah tegak di dermaga, coba lihat kedua kapal tersebut dengan pikiran tenang, pikiran jernih, tatap dengan bobot intelektualitas yang tinggi, tanyai diri anda: Saya naik kapal itu dulu disuruh orang/ikut2an orang, atau terlahir sudah nasib di atas sana, atau perlukah sekarang saya bertanya pada diri sendiri, kata orang Betawi: Siapa juga yang nyuruh lu naik kapal NU atau Muhammadiyah?
Bila kita yang cendekia sudah turun kapal dan berdiri di dermaga akan kelihatan ‘kelemahan’ kedua kapal. Coba lihat ke kapal, mungkin ada catnya yang sudah kusam, mungkin ada managemen di dalamnya yang terasa kurang pas, mungkin ACnya kurang dingin, atau mungkin ‘menu’ makanannya kurang bergizi. Itu terlihat dan bisa dipikir bila anda sudah turun ke dermaga. Anda sarjana kan? Seorang sarjana, harapan Almamater, agar anda terbiasa bebas berpikir, jangan terikat dengan tradisi yang kaku, melihat segala sesuatu dengan ilmu pengetahuan dan Iman, contohnya Prof. Quraysh Shihab dan lainnya. Kira2 anda sekarang tergolong penumpang biasa atau VIP? Wallahu a’lam.
Bagi pak Amhar? Saya sudah meneliti Kapal Muhammadiyah di ‘laboratorium’ UIN Sunan Kalijaga. Hasilnya? Ditemukan ada kelemahan dari segi metodologi yang diterapkan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah. Apa itu? Ayat dan Hadis, ibarat dua bola bilyar yang sedang menggelinding di atas meja bilyar, dipegang, ditahan dengan tongkat oleh ulama2 yang bertarjih, tidak dibiarkan bergulir dengan sendirinya. Setelah bola itu berhenti, stop, ulama Muhamamdiyah mengatakan bahwa bentuk bolanya seperti yang mereka lihat, warnanya seperti yang mereka saksikan, artinya ayat dan matan Hadis diobjektivasi, kandungan dan makna ayat dan Hadis ditundukkan menurut kadar pengetahuan mereka. Sementara pengetahuan manusia sifatnya limited (terbatas) dan dipengaruhi oleh ‘sejarah’ semasa hidupnya (misalnya oleh Pancasila dan UUD45). Kemudian saya pinjam ‘microscope’ filosuf Jerman bernama Hans-Georg Gadamer. Eeee… rupanya, bola bilyard itu jangan ditahan, jangan di stop kata Gadamer, tetapi biarkan ia bergulir leluasa di atas meja bilyard, ia nanti akan menyingkapkan banyak warna, banyak segi, banyak permukaan, banyak sudut yang semula tak terduga oleh kita. Bila perlu ia ditiup..dan ditiup terus agar semakin menampakkan banyak celah. Jangan distop, ala ulama Muhamamdiyah bahkan jangan pula diikuti saja laporan ‘berantai’ dari orang yang pernah dulu melihat bola bilyard bergulir, ala ulama2 NU.
Bagaimana hasil ‘telescope’ Gadamer? Ini khusus bagi penumpang VIP. Agak berat, agak filosofis menjelaskannya. Begini. Pernahkan anda mengatakan pada isteri anda:” Saya tadi siang sibuk sekali di kantor, ….betul2 sibuk”. Kalimat seperti itu, menyimak Gadamer, masih menyembunyikan banyak hal yang tak terkatakan. Memang laporan anda sibuk pada isteri, tetapi kan sempat baca WA beberapa kali, sempat makan, solat, ngobrol dengan tamu/teman, jajan ke kantin, ngopi, merokok mungkin, ke WC, itu hal2 yang tak sempat terkatakan, padahal ia ada, sungguh terjadi, DIALAMI tetapi semua ter’tutup’ oleh kata2 ‘saya sibuk’. Demikian pula ayat dan Hadis (khusus mu’amalat), bila satu ayat mengatakan begini, atau ditafsirkan begini, itu baru satu permukaan bola bilyard, masih banyak hal2 yang tak terkatakan, masih banyak hal2 di masa lampau yang terselimut dalam kebenaran Hadis dan ayat2 mu’amalat. Misalnya Hadis: Uthlubul ‘ilma walau bish Shin (Tuntutlah ilmu hingga negeri China), bukanhkah waktu itu sudah ada India, Persia dan Romawi? Jadi, tidak terkatakan semuanya. Maka kebenarannya ‘terselimut’ bukan pada zahir ayat/Hadis, tetapi terselimut pada unsur pengalaman (Erlebnis: Jermannya) Nabi yang mengamalkannya. Dalam Bahasa Jerman ayat dan Hadis itu juga mempunyai Sitz im Leben (masa hidupnya dulu sebelum menjadi dituliskan berbentuk nash/matan Hadis). Masa hidup semacam itu mengandung unsur pengalaman. Pengalaman Nabi itu ada di bagian terdalam matan Hadis, sebab tidak ada Hadis mu’amalat yang timbul se-konyong2/tanpa sebab di lapangan, maka janganlah ia distop tatkala ia bergulir. Ia belum sempat membukakan banyak wajah permukaannya, belum sempat menceritakan ‘pengalaman Rasul saw’, lalu ia mendadak distop bergulir oleh ulama Muhammadiyah dan diberi penafsiran setelah mendengarkan dan memahami banyak dalil dan pertimbangan lain. Isi penafsiran tersebut kemudian dibukukan, diumumkan kepada semua penumpang kapal, diberinama dengan HPT (Himpunan Putusan Tarjih) dan akhirnya diperintahkan untuk diberlakukan/ditanfizkan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah (sebagai Nakhoda Kapal), dan isinya mengikat pada semua penumpang kapal Muhammadiyah agar mematuhi dan mengamalkannya, begitu cara ‘Solat di atas kapal Muhammadiyah’.
Demikianlah kira2 hasil teropong ‘microscope’ Gadamer setelah saya pinjam di laboratorium UIN Yogya. Apakah anda tertarik dan ingin lebih jelas lagi? Mari kita diskusi di mana saya diundang. Saya siap hadir insyaallah walau sampai ke Malaysia, Yogya dan Surabaya. Lalu bagaimana ‘microscope’ Gadamer bila digunakan untuk kapal NU? Silahkan anda sendiri uji di labor. Bila ulama Muhammadiyah hanya melihat dua bola: ayat dan Hadis, ulama NU boleh jadi melihat puluhan bahkan ratusan bola bilyard di atas meja, sebab mereka mengikuti banyak pendapat para Imam2 dan ulama2 terkenal. Silahkan tulis disertasi anda dengan Gadamer…mudah2an mendapat Summa Cum Laude.
Jadi kesimpulannya kita naik kpl agar sampai di pelabuhan tujuan, lalu turun, utk menggapai cita2 yg lebih tinggi. Hanya penumpang kpl awam yg takut turun…mau pergi kemana? Anda penumpang kelas VlP atau kelas deck?
Sekian dulu pembaca setia, sudah terlalu panjang. Terimakasih sudah membaca tulisan saya, maaf bila ada kata2 yang salah, pamit, wassalam.