SENANG BERMUHAMMADIYAH…BAHAGIA BER NU


Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, 13 September 2024

Assalamu’alaikum wr,wb Bpk2/Ibuk2/Adik2/Anak2/ mahsw2ku dan segenap pembaca setia, baik Muslim maupun non-Muslim di mana saja berada. Tulisan berikut bertujuan untuk mempererat rasa kedekatan emosional simpatisan Muhammadiyah dan NU terutama bagi adik2 dan generasi muda umumnya. Kata Mahfud MD, NU dan Muhammadiyah bagaikan sepasang sepatu, tidak bisa dipakai hanya sebelah saja. Pernyataan semacam itu barangkali ada motif politiknya, tetapi yang lebih empirik ialah NU dan Muhammadiyah bagaikan dua ‘kapal besar’ yang sebaiknya anda tumpangi di bumi Nusantara untuk menuju, bukan ke IKN, tetapi ke NKRI. Maka pendekatan dalam tulisan ini lebih bersifat sosio-kultural tetapi mengerucut pada aspek intelektualitas dan filosofis.

Ber Muhammadiyah dan ber NU itu bisa dilihat sebagai memiliki identitas. Secara sosiologis, identitas adalah konsep diri seseorang yang terbentuk akibat hubungannya dengan kelompok siosial tertentu. Identitas diproduksi dan tertanam kuat dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Konsep identitas diri dalam sosiologi mencakup bagaimana seseorang merasa terhubung dengan kelompok sosial dan bagaimana kemudian hal ini berdampak pada sikapnya dan persepsinya baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Memang Muhammadiyah dan NU tersebut bersifat keislaman tetapi simpatisannya boleh jadi warga non-Muslim juga. Di Indonesia bagian Timur dan di luar negeri banyak warga non-Muslim yang ikut berMuhammadiyah. Identitas diri ber NU dan berMuhammadiyah semacam itu bukan jaminan untuk masuk sorga, tetapi hanya jaminan berorganisasi keagamaan yang menuntun kepada jalan ke sorga dalam hidup bernegara, itu ‘tesis’ saya.

Muhammadiyah, sebagaimana sudah kita ketahui, adalah organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan tahun 1912 di Yogyakarta. Bendera organisasi ini berwarna hijau, ada gambar matahari dan bertuliskan Muhammad di tengahnya dengan huruf Arab. Muhammadiyah secara resmi menyatakan bahwa ia tidak ikut berpolitik praktis. Sementara NU adalah singkatan Nahdhatul Ulama didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari tahun 1926 di Surabaya, Jawa Timur. Bendera organisasi ini juga berwarna hijau bertuliskan Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) dengan huruf Arab. NU ikut secara resmi berpolitik praktis dalam kehidupan bernegara.

Tidak ikut Muhammadiyah dan tidak ikut NU juga tidak apa2. Tetapi masyarakat mulai dari desa hingga kota banyak yang sudah ‘nyaman’ ikut menggabungkan diri pada salah satu organisasi tersebut. Faktor2 apa yang menggiring seseorang untuk bergabung? Di kalangan orang awam, barangkali faktor2 sosial keagamaan menjadi pemicu untuk ikut berMuhammadiyah atau berNU, misalnya saat awal mulai Puasa Ramadhan, pilihan Hari Raya karena memperimbangkan ‘mudik’, acara2 keagamaan di tingkat desa, acara saat kematian, hari masuk puasa, festival keagamaan dan pilihan lokasi mesjid untuk melaksanakan solat Jum’at dan solat ‘Ied. Biasanya moment2 seperti itulah yang kontributif bagi menguatnya identitas diri seseorang. Kalau di kalangan PNS, tradisi di kantor atau di lingkungan tempat kerja juga ikut menjadi pertimbangan. Mungkin pertimbangan pragmatic lebih banyak dijumpai: ibarat ‘kutu loncat’, bergeser ke posisi mana yang lebih menguntungkan. Yang perlu disadari, ikut NU atau ikut Muhammadiyah juga tidak akan ditanyai oleh Malaikat dalam kubur nanti. Prof. Quraysh Shihab dan alm. Prof. Minhaji sering mangatakan dirinya hanya sebagai Muslim saja.

Berbeda dengan Mahfud MD, bagi saya berMuhammadiyah atau berNU itu mirip naik dua buah kapal laut besar yang berangkat dari kota anda menuju Jakarta (Tanjung Priok). Anda silahkan pilih kapalnya, tetapi sebaiknya tahu alasan2 untuk memilihnya. Ikut Muhammadiyah, apa baiknya? Ikut NU apa baiknya? Sekarang saya ingin bertanya, anda menjadi NU atau Muhammadiyah, karena WARISAN atau karena PIKIR2? Karena warisan maksudnya menerima/mengikut saja apa adanya kebiasaan dari orang tua, dari sekolah, dari masyarakat. Sebaiknya, sebagai seorang yang dewasa dan terpelajar, PIKIR2 adalah sikap yang lebih bijak untuk masyarakat modern perkotaan yang serba sibuk dan hemat waktu. PIKIR2 mau jadi warga NU atau jadi warga Muhammadiyah? Untuk bisa PIKIR2, anda harus buka Google, baca buku, baca majalah. Setelah tahu beda keduanya lalu jatuhkan pilihan anda. Dalam tulisan ini saya tidak ‘merayu’ anda untuk menjatuhkan pilihan kepada salah satu ormas, tetapi hanya menunjukkan arah jalan, nanti saya ‘berdosa’ pergaulan?

Apa kira2 hal yang akan ‘melonggarkan’ kehidupan berorganisasi semacam itu? Melonggarkan artinya meyebabkan orang semakin tak acuh/kurang terikat. Menurut saya ada dua faktor: Rationalitas dan Kesibukan dunia modern. Pertama, Rationalitas artinya cara berpikir yang semakin kritis, mempertanyakan ‘keabsahan’ sesuatu yang sudah mapan. Di perkotaan, banyak warga terdidik mulai dari tamatan SLP/SLA dan jebolan perguruan tinggi. Cara berpikir kritis mereka di bangku Pendidikan, mungkin anda sendiri ikut mengalaminya, ‘tersandung’ dengan cara berpikir tradisi keagamaan. Filsafat teks dan hermeneutic sangat ‘revolusioner’ pada tradisi kitab kuning. Pendekatan normative dan historisitas dalam studi keagamaan sangat mempertanyakan tradisi keimuan di atas. Ceramah2 ustaz, kiyai, pengajian dan kuliah tujuh menit, semuanya semakin ditanggapi dengan tradisi berpikir kritis ala kampus. Maka ‘longgarlah’ rasa keterikatan pada salah satu tradisi keagamaan tertentu. Sudah banyak tokoh2 intelektual NU yang mempertanyakan tradisi keilmuan organisasinya. Apalagi sekarang pola berpikir kritis semakin dipertajam dengan sendirinya oleh Dunia Maya, WA, TikTok, YouTube, Instagram, dan lainnya. Ini semua, menurut saya, kontroibutif bagi menurunnya/meningkatnya rasa keterikatan pada salah satu organisasi sosial keagamaan.

Sementara faktor kedua adalah kesibukan dunia modern. Semakin terdidik/maju bisnis seseorang, semakin sibuk bekerja, semakin sempit waktu luang, maka orang semakin ‘longgar’ datang ke acara2 rutinitas keagamaan. Dosen2 muda dan PNS sekarang dibebani oleh Pemerintah dengan banyak tugas, bekerja sampai larut malam, membuat laporan, menulis artikel untuk naik pangkat, ini boleh jadi penyebab orang semakin ‘longgar’ untuk menghadiri acara2 keagamaan di langgar. Bila diundang menghadiri acara2 keagamaan oleh masyarakat sekitar misalnya acara Yasinan, Tahlilan Kematian, Sekaten, Maulid Nabi, dalam hatinya seakan berkata, ah…aku sibuk, banyak tugas…malas hadir, lagi pula itu kan tradisi (kebiasaan), bukan kewajiban, bukan wajib bukan pula sunat, tidak pula On Time (tidak tepat waktu) tambah lagi banyak asap rokok di sana, berbahaya bagi paru2. Kata pak Amhar, acara2 tersebut tidak akan ditanyai nanti oleh Malaikat dalam kubur. Alm. Yasser Arafat (Pemimpin besar Palestina) juga tidak ikut NU dan tidak pula Muhammadiyah, bahkan isterinya beragama Kristen. Ternyata Din Syamsuddin, tokoh Muhammadiyah, katanya dulu pernah nyantri di Pesantren NU dan kemudian beristeri III dengan salah seorang cucu pendiri Pondok Pesantren Gontor.

Nampaknya di beberapa kawasan, Muhammadiyah lebih mengikat lapisan sosial perkotaan, lingkungan bisnis dan berwatak reformis dan cenderung berpikir kritis rational. Disamping berdakwah (lisan) dan dengan amal usaha (ihsan), Muhammadiyah memiliki sejumlah Rumah Sakit, Panti Asuhan, Sekolah2 dan di Perguruan2 Tinggi, Muhammadiyah lebih mengikat warganya dengan buku (tulisan) yang disebut HPT (Himpunan Putusan Tarjih). Buku ini tebal, telah dicetak berulang kali, dan isinya mengandung berbagai keputusan Muhammadiyah tentang berbagai masalah keagamaan. Isi HPT disebut dengan Fikih Muhammadiyah. Fikih tersebut harus diamalkan oleh seluruh warga Muhammadiyah baik di dalam negeri maupun di luar negeri, ia mengikat segera setelah ditanfidzkan oleh Ketua PP Muhammadiyah. Di samping HPT, Muhammadiyah juga menerbitkan buku Tanya Jawab Keagamaan dan majalah Suara Muhammadiyah.

Sementara NU nampaknya lebih mengakar ke lapisan bawah (grass-root), ajarannya lebih hidup di tengah masyarakat pedesaan sehingga mudah berkembang, diajarkan di banyak pesantren, di sekolah2 NU, dan dalam acara2 keagamaan menurut tradisi NU. Terlihat ajarannya lebih membumi sebab ia bersifat praxis di lapisan strata sosial bawah. Masyarakat pedesaan merasa dekat dengan NU karena terbiasa nyaman dengan hidup tenang/kurang kritis terhadap tradisi. Itu menurut analisa saya, barangkali juga salah. Alm. Prof. Z. Azwan (guru besar UIN Jambi, tokoh NU) pernah menasehati saya sekitar tahun 1995, setelah membaca tulisan saya yang agak kritis, bahwa kita beragama, katanya, karena ingin hidup tenang.

Tetapi secara empirik, faktor lingkungan nampaknya sangat dominan mempengaruhi kuantitas pengikut kedua organisasi tersebut. Di Sumatera Barat, Makasar dan Yogya khususnya, pengaruh Muhammadiyah nampak sangat kuat mulai dari lapisan atas (perkantoran, kampus), menengah (bisnis, usahawan) bahkan hingga lapisan bawah (petani). Di lingkungan sosial di sana, solat warga sekitarnya terbiasa tidak membaca qunut subuh, tidak ada Yasinan dan Tahlilan kematian, tidak ada ziarah kubur dan tidak ada acara menabur bunga di kuburan khusus sebelum masuk bulan Ramadhan. Rasa keMuhammadiyahan bisa semakin menguat karena pengaruh massa. Sementara pengaruh NU banyak dijumpai di Jambi, Riau, apalagi di basisnya di Jawa Timur. Faktor lingkungan memang sangat berpengaruh. Banyak warga yang degelari MUNU (Muhammadiyah-NU) yaitu segelintir warga Muhammadiyah yang praktek solatnya sudah bercampur baur dengan cara2 NU, mereka ikut membaca qunut solat subuh, tahlilan, yasinan, bila tidak ikut acara2 tersebut dianggap kurang bersosialisasi dan ini, katanya, berdampak psikologis. Kakak saya di Karawang/Jawa Barat bernama Nurlis pernah tersinggung setelah suaminya (asal Sukabumi) meninggal karena ditanyai di warung oleh ibu2 tetangganya: Kapan acara tahlilannya Nur? Apa mau dibiarkan mati kayak anjing saja?

Demikian pula di lingkungan perkantoran/kampus, sebagaimana telah dikatakan di atas, ada ‘bisik2’ di antara pejabat/karyawan kantor dan internal kampus untuk menutupi identitas organisasi keagamaannya. Di kampus UIN Jambi sejak dulu yang fenomenal dalam beberapa hal nampaknya aktifitas organisasi kemahasiswaan HMI dan PMII (saya sendiri ‘buta’ politik kampus). Lain halnya di suatu kantor, seorang PNS pindahan dari daerah lain tetapi telah berafiliasi sebelumnya dengan Muhammadiyah. Di kantor barunya, dia berusaha bisik2 agar jangan ketahuan afiliasi ormasnya. Artinya, pertimbangan ekonomi/himpitan hidup, bagi segelintir orang, lebih diutamakan orang dari pada keteguhan hati untuk berMuhammadiyah atau berNU, sebab ia memang tidak akan ditanyai oleh Malaikat nanti, tetapi akan ditanyai/beresiko secara implisit oleh boss/pimpinan kantor tempat bekerja. Ini memang terbukti. Nah..ketahuan lho..kata orang Betawi. Yang penting janganlah rasa takut berNU atau berMuhammadiyah melebihi rasa takut anda masuk neraka. Wal akhiratu khayrun wa abqa (Q.S. al-A’la 17). (Akhirat itu lebih baik dan lebih kekal).

Sekarang mari kita lihat lebih jauh. Berbeda dengan pola pikir orang awam, cara berpikir filosofis aliran Post-Modernisme nampak lebih bijak. Bukan hebatnya NU atau hebatnya Muhammadiyah yang diutamakan, tetapi apa yang dapat dibuat bersama bagi kemajuan Islam dan peradaban bangsa. Bukan NU yang lebih hebat, bukan Muhamamdiyah yang lebih hebat. Bukan ini modern, itu tradisional, tetapi APA YANG BISA KITA BUAT BERSAMA? Itu yang lebih penting untuk dipikirkan. Tokoh2 besar Post modernisme di tingkat global seperti Jean Francois Lyotard, Jean Baudrillard, Jacques Derrida menginginkan kehidupan yang mengutamakan Kerja Sama untuk membangun peradaban dunia, bukan Persaingan. Kesadaran filosofis semacam itu timbul kata orang setelah menyaksikan dahsyatnya korban Perang Dunia I dan II terutama karena ulah Hitler. Sebelumnya aliran Modernisme mengganggap ilmu pengetahuan itu bersifat mutlak dan objektif. Modernisme dianut oleh Hitler dan kekuasaannya berpengaruh kepada zaman sesudahnya. Lyotard dalam bukunya The Post modern Condition mengatakan bahwa zaman pascamodern adalah zaman yang telah kehilangan semua ‘metanarasi’ yang dianggap agung dan totalitas. Maka apalah artinya merasa hebat di zaman modern bila akibatnya kehancuran? Demikian pula apalah artinya merasa hebat berNU dan berMuhammadiyah bila kehidupan sosial keagamaan di Nusantara ini tidak harmonis, tidak berkemajuan, tidak menyumbang nilai tambah bagi peradaban dunia? Bila mencuat sentiment identitas di lingkungan/kerja anda, itu boleh jadi ada kepentingan segelintir orang saja. Maka yang penting ke depan, bukan sikut2an sesama warga NU dan warga Muhammadiyah, tetapi ‘berbimbingan tangan’ dengan mesra. Sekarang bila anda bertanya pada saya, mana yang lebih baik bagi kami anak muda ikut berMuhammadiyah atau ikut berNU pak Amhar? Jawaban saya, karena anda umumnya kawula muda seumpama ‘baru bangun tidur semalaman’ masih ‘gelap’ di pagi subuh, maka saya hanya bisa mengantar anda ke persimpangan jalan, nanti setelah sampai di persimpangan anda akan bisa menentukan pilihan sendiri, berkat Matahari bersinar.

Terakhir, NU itu memerlukan Muhammadiyah, kata Gus Dur. Dan Muhammadiyah juga memerlukan NU untuk berjuang dalam kehidupan bernegara. Muhammadiyah itu ‘abangnya’ NU sebab ia dilahirkan lebih dahulu pada tahun 1912, dan setelah 14 tahun Muhammadiyah menjadi remaja, maka kemudian lahirlah adiknya bernama NU di Surabaya. Maka perkecillah perbedaan Adik-Abang, perbesar persamaan Abang-Adik. Senyummu adalah sedeqah bagi saudaramu. Begitulah hidup penuh toleransi. Sekianlah diskusi kita pagi Jum’at ini, semoga pembaca2 non-Muslim juga ikut memahaminya sebagaimana saudara2 kita non-Muslim di Papua dan Ambon yang memang lebih dahulu melihat Matahari.

Terimakasih sudah sempat membaca tulisan saya. Mohon maaf bila ada kata2 yang salah. Pamit. Wassalam.

*Silakan Share