S1,S2,S3


Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, 24 01 …….(2025)

Assalamu’alaikum wr,wb
Tanggal hari ini kebetulan bertepatan dengan nomor HP seseorang yang bernomor 0812-24 01…..Alhamdulillah, Allahu yubarik ‘alayya. Hari ini kita juga membicarakan dunia sarjana, karena banyak para orang tua yang bertanya pada saya. Apa arti menjadi sarjana? Apa itu S1, S2 dan S3? Senang hati kita telah banyak anak2, cucu, saudara2, teman2 generasi muda yang telah menjadi sarjana. Indonesia semakin maju, Sumber Daya Manusia (SDM) semakin berkualitas. Memang susah Pemerintah membangun negara ini, tetapi pembangunan SDM adalah beban Pemerintah yang sudah tertuang dalam UUD: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Bahkan sekarang ditambah pula dengan Makanan Bergizi.

Selesai kuliah biasanya mendapat gelar akademik. Gelar akademik itu menurut UU No. 20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ada sarjana S1, magister S2 dan doctor S3 bahkan ada pula doctoral S4. Lalu apa itu gelar professor? tanya banyak orang pada saya. Profesor itu adalah Guru Besar, nanti kita jelaskan di bawah ini. Yang jadi masalah setelah meraih S1, S2 dan S3 adalah bagaimana meningkatkan wawasan keilmuan kesarjanaan dan mempertahankan integritas kepribadian. Banyak orang menyangka bahwa cepat2 meraih gelar sarjana S1, S2 dan S3 demi untuk melamar kerja,mencari pekerjaan (PNS), mendapat gaji tinggi dan akhirnya hidup senang, jadi pejabat, jadi orang terkenal (beken), bisa beli mobil bagus, rumah bagus, hidup enak di alam modern. ‘La Vie est belle’ kata orang Perancis (Hidup itu indah). Ukuran kesuksesan bila ia menjabat. Itu cara pandang yang perlu dipikir ulang.

Sikap dan pandangan umum semacam itu boleh2 saja, tetapi bagaimana sebaiknya watak dan kepribadian kita setelah menjadi S1, S2 atau S3? Ternyata ada pula S1 dan S2 yang belum/tidak diangkat menjadi PNS malah seakan hidup pasif di rumahnya, jauh di pelosok kampung, ilmu2 dari bangku kuliahnya menjadi ‘mutung’, jauh dari buku2, jurnal, dan terisolir dari ilmu pengetahuan. Berikut ini adalah pembahasan saya utamanya dari segi keilmuan dan keagamaan. Ini penting bagi semua kita yang telah menyandang gelar S1, S2 dan S3, baik yang hidup di kota atau yang di desa, dan agar jelas duduk perkaranya bagi para orang tua yang telah ‘habis2an’, menjual harta benda untuk membiayai kuliah anak2nya.

Pertama, apa itu S1, S2 dan S3? Terlepas dari defenisi dan kriteria yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan, S1, menyimak kuliah Prof. Bambang Sugiharto (guru besar filsafat di Universitas Pasundan, Bandung, lihat Filsafat Ilmu 02 You Tube) secara formal adalah seseorang yang telah menulis skripsi, mempunyai wawasan keilmuan yang telah jauh meluas di bidang jurusannya dibandingkan setamat dari SLA dulu. Luas pengetahuannya meluas secara umum, general, tetapi spesialisasinya semakin mendalam, katakanlah, di bidang kedokteran, pertambangan, ekonomi, perbankan, computer, politik, seni, dan agama, tergantung fakultas apa yang dimasukinya. Menurut saya, sarjana S1 adalah orang yang banyak tahu judul buku2, artikel secara umum di bidangnya. Dia semakin berpikir ilmiah. Semakin ilmiah artinya semakin rational, cara berpikirnya bertumpu pada pengetahuan akademik, bukan lagi pada takhayul, mistik, pedukunan, hoax. Ibarat keahlian di bidang otomotif, S1 sudah pandai nyetir sendiri, tahu rambu2 lalu lintas, tahu merawat mesin mobil secara umum dan lainnya.

Sementara S2 lebih tinggi lagi dari S1. S2, kata guru besar Unpas tersebut, adalah lanjutan dari S1, ia adalah seseorang yang telah menulis tesis, menguasai ketrampilan teknis memasukkan teori2 dan metode2 yang berlaku dalam kajiannya, mengetahui kekuatan teori yang satu dibandingkan dengan teori lainnya, semangat kritis keilmuannya semakin tinggi dan cara berpikirnya semakin ilmiah. Ibarat nyetir mobil, S2 sudah lebih tahu tentang perawatan mobil, tahu berbagai tipe mobil, kelebihan mobil produk ini dan kelemahannya. Pokoknya ilmunya bukan hanya sebatas pandai nyetir saja.

Bagaimana pula dengan S3? S3 jauh lebih tinggi lagi kata Prof. Bambang tersebut. S3 adalah jenjang akademik, lanjutan S2, gelar Doktor (Ph.D, Philosophy Doctor) biasanya diberikan oleh Rektor setelah mengikuti kuliah sekian semester, melengkapi semua persyaratan administratif dan menulis disertasi. Bila seseorang tidak terdaftar secara resmi di suatu perguruan tinggi namun diberi gelar doktor, namanya Doctor Honoris Causa (Doktor Kehormatan). S3, kata Prof. Bambang, adalah sarjana yang telah menguasai bidang keilmuan secara heuristic. Dia mengetahui persoalan keilmuan secara mendalam. Level filosofisnya bisa dikatakan telah mencapai ‘state of the art’, S3 mampu menghasilkan terobosan baru dan mendialogkan terobosannya dengan kebutuhan konteks dunia modern.

Lebih jauh S3 melihat ‘pohon ilmu’ secara satu kesatuan, mulai dari pucuk hingga akar pohon, utuh, dan tahu di mana posisi bidang keilmuan yang dikajinya. S3 tahu perkembangan ilmu pengetahuan di tingkat global, tahu sejarah dan perkembangannya. Idealnya, bagi saya, S3 minimal harus mengetahui sudut pandang keilmuan positivisme Auguste Comte, tahu epistemology Descartes dan Immanuel Kant serta hubungannya dengan bidang keahliannya sendiri. Dalam pohon ilmu keislaman, S3 harus tahu sejarah keilmuan Sunni, keluar bagaimana kontribusi ilmuan Muslim ke Eropa, ke dalam bagaimana perdebatan antara para filosuf Muslim dan ulama, khususnya al-Ghazali versus Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan dampaknya hingga kini, dan bagaimana peta perkembangan pemikiran keilmuan di dunia Islam modern. S3, bukan hanya menguasai teori2, tetapi harus mampu menemukan sesuatu yang baru di bidang kajiannya. Disertasi S3 harus memuat ‘Novum’ (kebaruan) dalam bidang keilmuan yang dikajinya yang tertulis dalam disertasinya. Ini beban berat bagi S3 agar para ibu bapa mereka mengetahui.

Bagi saya ditambah lagi, beban S1, S2 dan S3 juga punya beban moral, beban dalam kehidupan bermasyarakat, bukan hanya beban keilmuan (di kepala), di kampus, tetapi beban prilaku antar sesama manusia dan alam sekitar. S3 sarjana Indonesia, menurut saya, bukan hanya pintar ilmunya, mirip sarjana2 di Barat, tetapi juga bijak dengan masyarakat sekitar: bertegur sapa, berbaur, dan memang ada gunanya bagi orang sekeliling. Umpamanya, bila S3 terkait penguasaan otomotif mobil, selain bijak dengan warga sekitar, dia telah menyumbangkan ide baru yang bisa berguna bagi perkembangan teknologi di tingkat global. Misalnya temuan B.J.HABIBIE, kalau temuannya itu kita anggap sebagai ‘novum’. Temuan Habibie terkenal dengan nama Crack Progression Theory yang telah diaplikasikan pada pembuatan pesawat Dornier DO-31 di Jerman, sebelumnya tidak ada. Ada kebaruan yang disumbangkannya dalam dunia ilmu pengetahuan. Lantas apa novum disertasi anda dan saya? Dan seberapa besar arti/makna novum disertasi kita bagi dunia ilmu pengetahuan? Koreksi diri sendiri!

Bagaimana pula dengan professor? Profesor, sebagaimana telah dikatakan di atas, adalah guru besar, biasanya gelar tersebut diberikan oleh Pemerintah biasanya setelah meraih gelar S3, dan di dalam sistem kepangkatan dosen di perguruan tinggi dia memiliki pangkat IV/a dan IV/b, gajinya kini berkisar antara Rp 11.900.000 hingga Rp 37.900.000/bulan biasanya, ditambah dengan penghasilan2 lain yang sah menurut peraturan yang berlaku, apalagi bila sang prof. aktif melakukan penelitian di dalam dan di luar negeri. Tunjangan profesornya, dikatakan, bisa hilang bila dia tidak mengeluarkan tulisan ilmiah di suatu jurnal Scopus selama masa tertentu. Profesor adalah sarjana yang sangat luas ilmunya, seminar di mana2 di seluruh pelosok dunia, biasanya menguasai beberapa bahasa asing, menulis buku, artikel, membuat penelitian. Professor saya di Canada, seorang orientalis non-Muslim, tetapi menguasai bahasa Arab, Inggeris, kadang bahasa Jerman, Urdu dan Persia. Seorang professor kemana saja diundang berbicara ilmiah, selalu saja bidang keahliannya tersebut yang diulangi. Ibarat seorang penemu obat sakit kepala, kemana saja dia diundang berbicara, dia selalu membicarakan obat sakit kepala hasil temuannya, hingga dipatahkan oleh temuan baru. Maka professor sering diundang untuk acara2 ilmiah di universitas2 di dunia, ada juga yang dipakai sebagai tenaga ahli oleh pemerintah, gajinya besar dan tunjangannya sampai puluhan juta bahkan ada yang ratusan juta rupiah perbulan. Tetapi ada bisik2 juga bahwa untuk mendapat gelar professor itu biar cepat di negeri kita ‘harus melalui team penilai dan meja2’. Entahlah saya bukan professor.

Professor adalah orang yang bergulat dengan ilmu pengetahuan, dipandang sebagai otoritas di kampus. Saya pernah dengar professor saya di McGill kerjanya membaca, dan membaca, mengajar di kampus, tetapi bila terdengar ada suatu temuan baru yang terkait dengan bidang keahliannya, peninggalan kuno misalnya di Israel, atau di Palestina, atau di Mesir, langsung dia cepat2 terbang kesana dari Canada, ikut ramai2 meneliti dan mencari data, kemudian mempresentasikan temuannya dalam seminar internasional dan membahasnya dalam jurnal2 ilmiah, sehingga menghasilkan teori baru. Jadi dunia mereka dunia ide, dunia otak, dunia intelektual, maka ia dinamai professor. Kerjanya jualan ide, pemikiran, teori. Teorinya akan tetap dianggap benar, diakui banyak orang, dipakai oleh berbagai pabrik dan perusahaan, selama belum ada temuan baru yang mampu merobohkan teorinya, bila dilihat dari falsifikasi Karl Popper. Artinya ketangguhan terorinya tergantung sanggahan di belakangnya. Sungguh berat menjadi professor. Berat keilmuannya, berat tanggung jawab morilnya tetapi berat pula ‘isi kantongnya’. Mudah2an anda yang sedang membaca tulisan saya ini nanti menjadi professor pula. Amiiin.

Kembali kepada masalah disertasi. Apa sebetulnya disertasi itu? Kata Prof. Bambang Sugiharto, disertasi adalah uraian panjang tentang peta keilmuan seseorang, dimana tergambar cara berpikir, cara berargumentasi, ke arah mana kecenderungan sikapnya sebagai sarjana. Sebab kedalaman ilmu seseorang tak bisa hanya dilukiskan dengan kata-kata, tetapi harus dituliskan. Dari dalam disertasinya akan terlihat cara dia membangun argumentasi, dan di mana posisi ‘novum’nya dalam perkembangan ilmu pengetahuan global, selama ia betul-betul original, bukan disertasi yang dibuatkan oleh orang lain, diplagiasi, dijiplak, atau diupahkan. Bagi Prof. Amin Abdullah yang sangat ditunggunya adalah hasil penelitian yang dapat menyumbangkan a fundamental value khusus bagi studi kemuhammadiyahan.

Ketiga, tinjauan epistemologis. S3 sangat diharapkan mempunyai kedalaman ilmu pengetahuan di bidangnya. Yang belum banyak disadari nampaknya ialah dikotomi penelitian antara kajian ilmu alam (Natuurwissenschaften) dan ilmu2 kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Pada penelitian ilmu2 alam, seperti barang tambang, binatang, tumbuhan, teknologi, metode pencarian kebenaran padanya bersifat Erklaren (menerangkan pada dataran cognitif). Pada ilmu alam, sarjana mencari hukum keteraturan pada setiap kasus particularistic, sehingga nanti secara induktif akan didapat suatu generalisasi yang bersifat universal. Lain halnya pada penelitian ilmu2 kemanusiaan, sejarah, hukum, kebudayaan, sosiologi, antropologi, seni, dan agama, metode pencarian kebenaran padanya bersifat Verstehen (Understanding): peneliti harus bisa berempati pada objek yang diteliti, bukan hanya memahami dari kulit luar saja. Peneliti harus ikut mengalami rasa ‘menyarungkan kakinya sendiri pada sandal orang lain’. Maka seorang orientalis tak akan dapat mengetahui kebenaran Islami selama ia hanya meneliti ‘kulit luar’nya saja. ‘Kulit luar’ maksudnya hanya yang nampak saja secara fenomenologis, misalnya melihat gelombang jema’ah haji, praktek puasa Ramadhan, sejarah Nabi, revolusi Iran, dan sebagainya. Ia tidak mengalami rasa kedalaman beragama orang Islam dari ‘Iman hingga Ihsan’. Oleh sebab itu untuk memahami kebenaran dalam adat Jawa harus ditanyakan pada orang Jawa. Dan untuk memahami kebenaran dalam adat Minangkabau harus ditanyakan pada orang Minang itu sendiri, tidak cukup dengan menilai tradisi materilinialnya atau rumah bagonjongnya.

Nah ini harus dipahami oleh S3 secara epistemologik, sementara penulisan skripsi, tesis dan disertasi di kampus2 nampak bagi saya masih terjebak pada Cartesianisme dan para pembimbing masih ada yang belum menyadarinya. Cartesianisme menggunakan metode penelitian yang membuat jarak subjek-objek, dimana kebenaran (Truth) dalam diri objek diyakini dapat dipahami secara objektif mirip ilmu alam. Maka untuk menggali Truth dalam ilmu2 humaniora para filosuf modern semakin melirik kepada hermeneutic. Mengapa hermeneutic? Sebab pengetahuan manusia tidak bisa dilepaskan dari Sejarah Pengaruh (Effective History). Misalnya, di zaman Pak Harto menjabat Presiden, hanya sedikit orang yang vocal mengeritiknya, misalnya Amin Rais dan Munir (disitu ada Sejarah Pengaruh dari Pemerintah yang otoriter). Bilamana ada orang yang vocal di zaman kini mengeritik Prabowo, hal itu sudah dianggap biasa. Demikian pula mahasiswa Indonesia yang pernah kuliah di Saudi Arabia, system monarki (kerajaan) baginya lebih baik dari Republik, Pemilu tidak penting. Saya yakin tidak ada disertasi di sana yang membela demokrasi. (ada Sejarah Pengaruh tetapi tak disadari). Maka menyelami kebenaran di dalam semua teks2 yang ditulis pada zaman tersebut tidak tepat dengan metode Cartesianisme, bagaimana merobahnya perlu kajian mendalam, mengingat jurnal2 terindeks Scopus dan lainnya kini telah terdokumentasi dalam tradisi Cartesianisme. Pikirkanlah hermeneutic. Di situ ada Sejarah Pengaruh, bukan Pengaruh Sejarah.

Maka distingsi epistemologik semacam di atas, bagi yang studi keislaman, lebih jauh akan berdampak pada pola pikir kesarjanaannya. Dampak pertama akan terlihat pada sikapnya yang semakin ilmiah, rational, argumentative, sehingga akan berkurang sifat fanatiknya, sikap fundamentalis, dan menghilangkan cara berpikir normative dan apologeticnya. Apa itu berpikir normative dan apologetic? Berpikir normative artinya berpikir menurut alur pikiran yang sudah tercetak sejak zaman dulu, hitam-putih, memahami ayat suci seperti yang tertulis saja, tidak suka berdialektika dengan pendapat orang lain yang berbeda. Pola pikir keislamannya terkunci. Apa itu apologetic? Ini adalah sikap membela diri (truth claim), selalu kebenaran sepihak. Pembacaan ayat dan Hadis selalu berdasarkan metode bayani yang rigid, di mana otoritas teks dan otoritas Salaf selalu dominan.
Kalau begitu, bagaimana sebaiknya bagi S3 keislaman? Nah, ini yang penting. UIN semakin menggerakkan para sarjananya agar berpikiran luwes, pluralistic, tidak normative kecuali bidang aqidah dan ibadah, tidak apologetic, terbuka, ilmiah, demokratis dalam berbeda pendapat, berorientasi pada kemajuan global, melek teknologi, tanggap atas lingkungan, mendukung kesetaraan gender, dan menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia dan keilmuannya bertegur sapa dengan bidang keilmuan lainnya (integrasi-interkoneksi). Setiap sarjana idealnya berpikir dalam kerangka itu. Ini cara berpikir S3 yang nampaknya ingin diusung oleh UIN.

Kesimpulan. Perkembangan kesarjanaan di Indonesia telah semakin pesat. Gerak maju pendidikan, kata Prof. Bambang Sugiharto, nampak dimulai sejak zaman Orde Baru. Artinya perkembangan keilmuan bangsa kita masih relative muda dibandingkan dengan bangsa2 di Eropa, Mesir, China dan Amerika. Wajar kesadaran ilmiah belum begitu mendalam, kursi jabatan menjadi incaran, budaya priyayi dianggap istimewa, karena selama ini terjadi peng’anak tiri’an oleh kolonialis dalam pendidikan antara priyayi dan santri. Tetapi yang jauh lebih penting ialah sudahkah S1, S2 dan S3 menampakkan pola pikir keilmuan yang juga berkontribusi membimbing orang2 disekitar? Bahkan aneh rasanya mempunyai gelar S1, S2 dan S3 tetapi tak pernah solat berjamaah ke masjid/langgar, walaupun azan ‘Hayya ‘alas sholah’ (Ayoklah solat!) telah melengking ke pintu rumahnya. Apakah begitu harapan ibu bapa kita dulu sewaktu menjual harta bendanya untuk biaya kuliah kita? Penghargaan masyarakat pada kita bukan hanya pada isi kepala saja, pada gelar mentereng saja, tetapi pada wujud nyata kebersamaan di lingkungan sosial dimana sekarang kita berada. Sebab masyarakat itu punya hati nurani, terasa ….tetapi tak terkatakan olehnya.

Sekian dulu para pembaca budiman, terimakasih telah membaca. Mohon maaf bila ada kata2 yang salah, pamit, wassalam, Amhar Rasyid

*Silakan Share