RM PADANG ‘Tambuah Ciek’


Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, Jum’at 20 September 2024

Assalamu’alaikum wr,wb Bpk2/Ibuk2/Adik2/Anak2ku/Mhsw2ku dan segenap pembaca setia di mana saja berada baik Muslim maupun non-Muslim. Kita semua tentu mengenal RM Padang, kenal cita rasa masakannya, kenal harganya, dan kenal senyum dan keramahannya. Tetapi apakah anda mengenal bahwa RM Padang sebenarnya adalah RM Minangkabau, sebab kata Padang lebih berkonotasi nama suatu kota di Sumatera Barat, sementara yang memiliki RM Padang, terutama di rantau, adalah umumnya semua orang Minang. Maka pertanyaannya apakah sebenarnya maksud nama RM Padang? Apakah ada beda cita rasa antara masakan berbagai daerah asal Sumbar? Apa saja tips yang perlu anda perhatikan bila makan di RM Padang? Dan bagaimana persoalan hukum Fikih Islami terkait muamalat RM Padang? Mari kita diskusikan.

Sebelum mendiskusikan RM Padang, ada baiknya anda mengenal lebih dahulu klasifikasi geografis alam Minangkabau yang nantinya akan berkorelasi dengan diskusi tentang RM Padang. Bilamana orang menyebut istilah ‘Padang’ tentu yang dimaksud adalah Minangkabau. RM Padang sebetulnya RM milik dan menjual masakan orang Minangkabau dengan resep rempah2 warisan nenek moyang spesifik Minangkabau. Sebetulnya alam Minangkabau secara sub-kultural terbagi atas: Minang Darat dan Minang Rantau. Minang Darat biasa disebut dengan Kawasan/Luhak 3 Koto: Kabupaten Agam ibu kotanya Bukit Tinggi, Kabupaten Tanah Datar ibu kotanya Batu Sangkar termasuk kota Padang Panjang dan kota Solok sekitarnya, dan terakhir adalah Kabupaten Lima Puluh Kota ibu kotanya Payakumbuh. Sementara Minang Rantau biasanya dipahami sebagai Kawasan/ranah Padang Pariaman, Pesisir Selatan/Painan, dan Pasaman. Disebut Minang Darat karena letaknya agak ke pedalaman alam Minangkabau, dan disebut Minang Rantau sebab kawasannya terletak jauh dari pusat Kerajaan Minangkabau di Batu Sangkar dimana Raja Adityawarman semula menganut agama Hindu dan belakangan memeluk agama Islam dibandingkan dengan Minang Rantau, yang lebih dahulu secara historis menerima kedatangan Islam dari Aceh. Oleh sebab itu terkenal istilah oleh orang Minang: Syara’ mendaki, Adat menurun (Agama naik gunung dari laut, sementara adat menurun dari ketinggian Kawasan istana Pagaruyung ke pantai barat Sumatera). Implisit dalam istilah tersebut bahwa orang Minang Rantau seyogyanya lebih alim dan lebih dalam ilmu agama Islamnya meskipun kenyataannya banyak yang menjadi saudagar/importir terkenal di Jakarta, dan Elly Kasim adalah penyanyi terkenal dari Minang Rantau, dibandingkan dengan orang Minang Darat yang seharusnya lebih kental dan lebih ketat adat istiadatnya, walaupun Buya Hamka dan Buya Syafi’i Ma’arif termasuk orang Minang Darat. Atas klasifikasi topografis semacam itulah diskusi kita tentang RM Padang di bawah ini akan diperdalam.

Apakah ada pengaruh klasifikasi topografis semacam di atas pada cita rasa masakan Padang? Bilamana anda makan di RM Padang, di luar alam Miangkabau seperti di Palembang, Jakarta, Yogya, Surabaya, tentu akan susah membedakan klassifikasi RM Padang asal Minang Rantau atau Minang Darat. Yang dapat dikatakan di sini hanyalah bilamana anda berwisata kuliner di Kawasan 3 Luhak khususnya, sangat terasa kompetisi cita rasa antar rumah makan. Sebab bilamana terbukti masakannya ‘meradang di lidah’ konsumen sekitarnya, RM tersebut bakal sepi dari pengunjung dalam waktu dekat. Konsumen sekitar sangat piawai dalam cita rasa: kualitas pedas, kualitas santan, kualitas daging yang dimasak, berbagai bumbu2 resep (jahe, kunyit, laos, serai, ketumbar, kapulaga, kemiri, daun salam, daun jeruk, asam kandis, buah pala, bunga pala, merica, semuanya mampu di’pilah dan dipilih, dicicip’ oleh lidah orang Minang yang memang jago masak. Kok pak Amhar tahu banyak resep? Ya sebab sejak kecil saya sendiri dipaksa ibu saya membantunya memasak di dapur, maka tahu banyak jenis bumbu, dan piawai memasak/menggoreng/membuat rendang, maka kini saya ‘berani tanding’ dengan anda, jangankan dengan isteri, dengan chef masakan Minang sekalipun……’NANTANG NI YEEEE? Mas Budy di Kuantan Malaysia katanya pernah berguru bikin rendang dengan saya sewaktu kuliah di Canada.

Ada keistimewaan cita rasa RM Padang di bumi Minang sendiri. Di dalam ‘negeri’ (Native) Minangkabau: Kota Padang, Painan, Pariaman, Solok, Padang Panjang, Bukit Tinggi, Payakumbuh, Batu Sangkar memang tidak akan ada dijumpai RM Padang, tetapi di kota2 tersebut cita rasa lebih diutamakan. Kualitas dagingnya istimewa, santan kelapa pilihan, juru masak sudah berpengalaman puluhan tahun, dan nama baik sudah tertanam dalam memory penduduk sekitar. Semalam Suntuk (All Night Long) adalah salah satu contoh RM Padang yang sangat ramai dikunjungi orang di tengah kota Padang pada masa lampau. Namanya bergulir dari mulut ke mulut, entah apa resep masakannya sehingga melegenda walaupun tidak se masyhur Malin Kundang. Mau tahu enaknya? Dikatakan pernah ada konsumen yang sampai minta 10 x ‘tambuah nasi’ untuk seorang diri, tetapi ukuran nasi tambuahnya ya juga lebih besar sedikit dari telor bebek. Bahkan kini RM Padang sudah ada yang dimiliki oleh orang keturunan Tiong Hoa. Di Payakumbuh saya lihat ada rumah makan terkenal, ramai dikunjungi karena lezat sopnya, tetapi juru masaknya adalah penduduk pribumi dan masyarakat sudah kenal lama dengan si pemilik berkulit putih dan bermata sipit tetapi fasih berbahasa Minang. Ini akulturasi budaya namanya.

Ada cerita lucu. Alm. Prof. Minhaji (mantan Rektor UIN Yogya asal Madura) sekeluarga pernah makan di RM Padang katanya pada saya. Tatkala melihat hidangan yang aneka ragam lauk, gulai, rendang, sop, ikan bakar, dendeng, pepes ikan maka terbitlah seleranya, lalu dicicipinya semuanya total seisi meja, tetapi tidak habis. Tatkala membayar tagihan/bill, dia terperanjat, mahal sekali ratusan ribu, dan makanan banyak tersisa katanya. Oooo rupanya tidak semua harus dimakan, katanya nyesal. Saya berkata dalam hati, ‘Dasar ‘Arek’ Madura baru kali ini ketahuan makan di RM Padang, orang baru kaya (dahulu di saat SLA, satu bangku dengan saya serba sederhana, sekarang setelah menjabat Rektor, kantong tebal). Itu sekedar cerita melepas kerinduan pada teman karib yang telah tiada.

Secara historis barangkali negeri Siam/Thailand mungkin asal muasal bumbu2 masakan RM Padang. Sebab saya jumpai di Bangkok cita rasa dan rempah2 yang digunakan di sana mirip di Minangkabau. Namun secara sosio-religius, RM Padang mungkin akan sangat cepat sepi bila di dalamnya terlihat Tanda Salib atau Patung Brahma, itu menandakan telah hilangnya sifat utama Orang Minang yang taat beragama. Jadi RM Padang selalu identic dengan makanan halal (Islami).

Sekarang mari kita bercerita tentang rendang. Mungkin anda perlu tahu beda cita rasa antara rendang yang dimasak dengan kayu bakar dan yang dimasak dengan kompor. Rendang yang dimasak dengan kayu bakar agak terasa lebih harum, warnanya lebih gelap kehitaman, dan dedak rendangnya lebih garing. Sementara rendang hasil masak dengan kompor biasanya kurang harum, dedak rendangnya kurang garing/agak lengket2, dan warnanya agak lebih kuning. Dan sebaiknya anda juga tahu beda antara rendang yang terbuat dari daging yang sudah di simpan dalam lemaris es, dan rendang yang terbuat dari daging as (murni). Rendang yang terbuat dari daging es, biasanya agak lembut, serat dagingnya agak kenyal bila diurai dengan garpu. Sementara rendang yang terbuat dari daging as murni, biasanya daging rendangnya agak keras, serat dagingnya padat, agak berbunyi ..’duk’..bila dijatuhkan di atas piring makan. Kok pak Amhar tahu?

Ada beberapa tips dari saya. Bila makan di RM Padang, minumlah sebaiknya air mineral, kurangi minum langsung air putih dalam gelas terutama bila anda naik bis dan mampir makan-istirahat dalam perjalanan. Kenapa begitu pak Amhar? Saya pernah melihat di beberapa rumah makan Padang, air mendidih di tungku api terlihat ditambah langsung dengan beberapa ember air mentah yang ditimba dari dalam sumur tatkala banyak penumpang pada turun dari bis, lalu air tersebut yang dihidangkan. Menurut guru saya di SLP dulu, air sumur boleh jadi berisi kuman/bakteria yang belum mati karena tidak diberi kaporit. Kaporit yang disebut juga dengan kalsium hipoklorit adalah senyawa untuk disinfektan dan pemutih air.

Di samping enak dan terkenal RM Padang, ada juga unsur mistiknya. Beberapa RM Padang milik orang Pariaman khususnya sering nampak terpajang foto Angku Saliah (1887-1974) di belakang meja kasir. Foto itu menandakan, menurut saya, keterikatan emosional dan spiritual dengan seorang tokoh ulama yang dikatakan di saat hidupnya pernah ‘keramat’, dapat Meraga Sukma (berada pada dua tempat dalam waktu yang sama), pernah keluar masuk penjara se bebasnya tanpa dibukakan/dikunci pintu penjaranya oleh Belanda, pernah juga menyelamatkan orang2 kampung sekitarnya yang ketakutan dengan serangan bom/martir Belanda. Bukalah Google! Sekarang anda dapat melirik ke belakang meja kasir beberapa RM Padang dan bila terlihat ada foto Angku Saliah, semoga anda paham maksudnya…..ya tentunya terselip harapan memohon murah rezki dan ‘keberkahan’. Sementara ada Hadis Nabi Idza ma tabnu Adam, inqatha’a amaluh illa min tsalatsin:……(Bila telah mati manusia, putuslah semua amalnya kecuali ada 3 hal:….). Angku Saliah bagaimana?

Kira2 apa filosofinya maka banyak orang Minang di perantauan yang memiliki rumah makan Padang? Filosofi punya RM Padang barangkali sambil menyediakan nasi dan lauk pauk bagi anak dan suami, isteri juga bisa membantu ekonomi rumah tangga. Sebab setiap mulut perlu makan, dan setiap perut akan keroncongan, maka akan lebih strategis ‘sambil menyelam minum air, sekali mendayung biduk, dua tiga pulau terlampau’: sambil menyediakan masakan, terjual atau tak terjual, toh konsumsi rumah tangga juga aman. Maka bertebaranlah RM Padang di berbagai tempat, sampai2 orang lain juga buka RM Padang tetapi bukan menu Minang yang dihidangkan dihidangkan. Kenapa ada dijumpai Pindang Pegagan (Palembang) di RM Padang? Kenapa sekarang ada dijumpai ‘sayur lodeh’ Jawa di RM Padang? Ya mereka nampaknya berjuang demi keberlangsungan hidup. Rupanya filosofi Darwinisme menemui pembenaran juga di sini: The Survival of the Fittest.

Tentu anda sering membaca tulisan Kapau, Ampera dan Sederhana. Apa itu? RM Padang (Native) ada yang bernama Kapau. Kapau adalah suatu negeri kecil di pinggir kota Bukit Tinggi, tetapi masakannya spesifik di bandingkan dengan masakan Minangkabau lainnya. Ia lebih gurih, lebih nikmat, apalagi gulai usus dan babatnya. Nasinya putih dan harum. Porsi bungkus nasinya jumbo dan tanpa diminta selalu diisi penuh dengan aneka ragam unsur cabe goreng, dedak rendang, kuah gulai, kendatipun lauknya hanya sepotong saja. Sementara Ampera adalah singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat, artinya rumah makan Serba Murah. Mungkin istilah Ampera terlahir di zaman Bung Karno dulu, di saat rakyat menderita kelaparan (1960an). Jadi bila anda melihat RM Padang AMPERA, maka ketahuilah ia tergolong rumah makan ‘kantong bersahabat’, tarifnya antara Rp 10.000 – Rp 12.000 tetapi tidak ada kaitannya dengan jembatan Ampera kota Palembang. Lain halnya dengan RM Padang SEDERHANA, kadangkala nama tidak mencerminkan jenis menu hidangan yang sederhana, dan tarif harga makanpun di RM tersebut mungkin agak mahal bagi sebagian orang yang memahami arti ‘sederhana’. RM Sederhana adalah a high class restaurant dan tarifnya puluhan hingga ratusan ribu rupiah sekali makan. Anda pilih yang mana? Bila ragu sendirian ke RM Sederhana, ajaklah saya

Dalam perkembangan mutakhir, RM Padang nampaknya kalah bersaing dengan Pecel Lele (asal Jawa) di sore hari yang menghidangkan menu serba hangat. Bila anda mampir makan malam di RM Padang, biasanya hidangannya sudah dingin, hanya nasi putih yang masih hangat. Tetapi bila anda mampir di warung pecel lele di emperan, hidangannya serba hangat, instant, istilah Betawinya ‘dadakan’.

Pernahkah anda minta kopi setengah? Di RM Padang sudah biasa sehabis makan, nasabah biasanya minta dibuatkan kopi setengah (gelas). Mungkin ini karena mengingat harga, atau terlalu banyak air bila gelas kopinya penuh. Jangan malu minta ‘Kopi Satangah ciek Da!’ usai makan. Itu sudah tradisi.

Anda boleh juga tukar nasi tambah yang telah terhidang di atas meja yang terasa dingin dengan nasi yang nampak lebih panas baru dibawa petugas dari dapur. Sebab asap nasinya masih ngepul, wanginyapun tercium dan selera makan menjadi tinggi. Jangan malu meminta tukar nasi bila ternyata nasi putih di meja anda terasa dingin. Yang lebih nikmat makan di RM Padang bilamana anda menggunakan tangan bukan sendok garpu. Alm. H. Agus Salim (Pahlawan Nasional) di PBB pernah bergurau dengan orang Barat, katanya dalam sebuah buku, lebih baik makan pakai tangan dari pada pakai ‘fork and spoon’. Argumen yang disodorkannya ialah bahwa tangannya dicuci 5 x sehari/semalam sebelum berwudhu’. Kendatipun demikian mencucinya, anda tak boleh ‘cuci tangan’ bila bersalah dan koruptor tak boleh ‘cuci uang’ di RM Padang.

Di pedalaman negeri Minangkabau, biasanya didapati warung2 tradisional terbuat dari kayu dan beratap seng. Di belakangnya mengepul asap..disitulah menikmati makan nasi secara tradisional, pelanggan bukan duduk di meja/kursi tetapi bersila di atas tikar pandan, dan yang lebih nikmat lagi karena lokasinya dipinggir jalan raya kampung, atau di sekitarnya sawah2 hamparan luas. Rumah makan type ini termasuk menganut aliran Romanticisme dalam filsafat, menurut saya. Maksudnya RM dan konsumennya mengidolakan kembali ke zaman lampau. Raden Saleh dan Affandi Koesoema dari Yogya adalah dua orang pelukis terkenal beraliran Romanticisme kata Google, tetapi keduanya bukan pencandu RM Padang barangkali. Bahkan kedua maestro tersebut belum sempat ‘mencicipi’ beda cita rasa masakan RM Padang di perantauan dengan yang berasal dari Minang Rantau/Darat.

Apa keistimewaan RM Padang yang ada di Sumatra Barat dibandingkan dengan yang ada di luar provinsi? Pertama kualitas nasi. Cita rasa nasinya memang pilihan biasanya dimasak dari beras kelas I seperti beras Solok, Sijunjuang, Mundam, Suntiang, Sokan, Anak Daro, semua ini jenis beras mahal di kalangan rakyat. Bila anda sempat mencicipinya, hmmmmmm, tak perlu pakai laukpun nasinya terasa enak dilidah. Indak nampak mintuo lalu (Tak kelihatan mertua lewat di depan mata) kata Elly Kasim dalam nyanyinya. Cita rasa nasinya agak lengket di lidah, wangi, sempat memancing nafsu selera makan yang luar biasa. Sedangkan umumnya di RM Padang di perantauan (Jakarta, Bandung, Palembang dan kota lainnya) nampaknya persoalan cita rasa nasi tidak dipedulikan. RM Padang di Jambi umumnya nampaknya menghidangkan nasi berkualitas menengah barangkali beras merek Ikan Belido. Pernah saya dibelikan nasi bungkus dari salah satu RM Padang via Grab di Kawasan BSD Serpong oleh putra saya yang bekerja di Jakarta, aduh…rasa nasinya ambar, keras, tidak wangi, lembut sedikit dari beras mentah, mungkin RM Padang tersebut sengaja memasak nasi dalam kuantitas banyak kemudian disimpan dalam freezer. Bilamana ada order/pesanan, nasi tinggal dipanaskan sejenak (dadakan), sehingga Grab tak perlu lama menunggu antri. Ini yang tidak akan anda temui di RM Padang khusus di ranah Minang.

Kedua, RM Padang yang bersaing bisnis di dalam provinsi Sumbar nampaknya menggunakan santan, bahan daging mentah yang berkualitas tinggi dan ikan2 segar yang dipanen dari kolam ikan yang sirkulasi airnya senantiasa berganti. Kualitas air kolam semacam ini sangat berpengaruh pada cita rasa daging ikan, lezat, agak manis. Demikian pula ikan hasil tangkapan nelayan. Ikan2 yang dimasak di RM Padang di kawasan Sumbar biasanya berasal dari ikan laut yang masih segar, langsung dari pantai, bukan ikan yang telah disimpan dalam peti es (freezer) beberapa malam. Semua ini sangat berpengaruh pada rasa daging ikan. Jadi bila anda berwisata kuliner di daerah Sumbar, sempatkanlah mencicipi beda cita rasa makan di beberapa RM yang memang tidak lagi memakai nama RM Padang. Mereka bersaing cita rasa, bersaing harga, selalu mengumbar senyum kepada para langganan, bahkan mereka juga bersaing berwaqaf untuk menuju ke sorga.

Bagaimana tradisi muamalat RM Padang bila ditinjau dari hukum Islam? Dalam konsep Ushul Fikih Islam dikenal istilah‘Urf. ‘Urf adalah Adat/tradisi. Di RM Padang sudah menjadi tradisi makan dulu, bayar kemudian. Kenyang perut, tagihanpun datang. Para ulama memandang tradisi mu’amalat ini tergolong Halal, walaupun belum terjadi lafazh ijab qabul antara pembeli dan penjual…bila sudah terhidang..santap saja! Ulama Muhammadiyah menjadikan ‘Urf, bukan sebagai Sumber Hukum Islam, tetapi sebagai salah satu sumber Parateks (Pendamping teks al-Qur’an dan Hadis). Mungkin yang dipertanyakan adalah tatkala saat menghitung tagihan, boleh jadi tidak ada unsur ‘an taradhin (rela sama rela) persetujuan atas tarif yang dikenakan. Konsumen hanya menyerah saja pada pihak rumah makan, sebab selain perut sudah kenyang, juga tidak tahu rahasia bumbu2 masakannya. Persetujuan atas tarif menu pada beberapa RM Padang, terutama dalam perjalanan, seakan pembenaran sepihak. Managemen rumah makan menghitung semua piring kosong bekas lauk pauk, ditambah harga nasi putih, ditambah PPN (Pajak daerah). Boleh jadi saat menghitung terjadi ‘human error’ terhitung dua kali, sengaja atau tidak disengaja, sebab proses pencatatannya sangat cepat di atas secarik kertas kecil dan juru catatnya kadangkala masih anak muda. Tarif menunya tidak diketahui konsumen, boleh jadi saat konsumen membayar bon makan di kasir, sikap diam lebih bijak baginya dari pada bertanya: as sukutu ‘alamatur ridho (diam berarti setuju): maka unsur ‘an tarodhin dalam kasus ini, sejauh yang saya ketahui, belum pernah dipertanyakan oleh ulama Sumbar. Pernahkah anda membayar makan sambil ngomel di RM Padang?

Demikianlah sedikit berbagi cerita nikmat/tips makan di RM Padang dengan anda pembaca setia, semoga bermanfaat. Ucapkanlah pada Kasir pada saat anda membayar bill: Ondeee…Lamak Banaaa, indak nampak mintuo lalu! Kasir akan tersenyum. Pada beberapa RM Padang tertulis kata2 bijak di dalam ruangan makan: ‘Bila anda puas beritahu orang lain, bila anda kurang puas beritahu kami’. Ya begitulah indahnya bahasa. Tetapi saya teringat TOEFL. Ada kiat bisnis untuk mempercepat konsumen keluar atau untuk membuat lama bertahan di dalam ruangan. Di Mall atau Super Market, kata TOEFL, biasanya anda dihibur dengan senandung lemah lembut, santai, agar lama2 berjalan keliling Mall, akhiurnya tak sadar rupanya keranjang/kereta dorong anda penuh sendiri dan bayar semua di kasir. Tetapi di restaurant yang ingin konsumennya cepat2 pergi, karena duduk di kursi bergantian, yang antri banyak di luar menunggu, maka music keras dan energetic perlu diputar. RM Padang yang banyak pengunjungnya masuk kategori yang mana ya?

Terakhir jika anda bertanya pada saya, apa yang tidak boleh dilakukan di RM Padang pak Amhar? Yang paling tidak boleh ialah, jangan ‘cuci tangan’…. bila bersalah, jangan hanya makan nasi putih pakai kuah saja, sebab Malaikat di kiri kanan akan ‘geleng2 kepala’, dan akhirnya anda malu nampak MINTUO LALU. Sekian dulu pembaca, maaf bila ada kata2 saya yang salah, mohon pamit, selamat makan di RM Padang, wasssalam, TAMBUAH CIEK!

*Silakan Share