Petani Sawit di Jambi Mempertanyakan Janji Gubernur

IDEAA.ID, JAMBI – Harga Tandan Buah Segar (TBS) Sawit yang ditetapkan Pemprov Jambi terus mengalami kenaikan. Bahkan harga untuk periode 9-15 September sudah tembus Rp 2.413 per kilogram untuk sawit usia tanam 10-20 tahun. Angka ini naik Rp 150 per kilogram, dari Rp 2.363.

Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Agusrizal mengatakan, penetapan harga tersebut merupakan hasil rapat Dinas Perkebunan Provinsi Jambi bersama pengusaha serta perwakilan asosiasi petani sawit di Provinsi Jambi. Menurut dia, kenaikan harga rata-rata TBS menurut umur tanaman sebesar Rp 44,77 kilogram.

Berikut rinciannya, TBS usia tanam 3 tahun Rp 1.896 per kilogram, usia tanam 4 tahun Rp 2.012 per kilogram, usia tanam 5 tahun Rp 2.106 per kilogram, usia tanam 6 tahun Rp 2.195 per kilogram dan usia tanam 7 tahun Rp 2.250 per kilogram. Kemudian usia tanam 8 tahun Rp 2.297 per kilogram, usia tanam 9 tahun Rp 2.343 per kilogram, usia tanam 10 sampai 20 tahun Rp 2.413 per kilogram, usia 21 hingga 24 tahun Rp 2.338 per kilogram dan di atas 25 tahun Rp 2.228 per kilogram.

Sementara harga rata-rata minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) turun Rp 237 per kilogram dari Rp 10.943 menjadi Rp 10.606 per kilogram. Sedangkan untuk harga Inti sawit naik Rp 532 dengan indeks K 91,14 persen, dari harga Rp 5.688 jadi Rp 6.220 per kilogram.

“Kita terus memantau dan berkoordinasi dengan pihak terkait mengenai harga TBS ini agar dapat diterapkan pabrik sawit yang ada di daerah,” kata Agusrizal. Menurut dia, harga ini juga berlaku untuk petani sawit yang telah bermitra dengan pabrik sawit.

Sayangnya, harga yang ditetapkan Pemprov Jambi ini tidak diterapkan di lapangan. Dari informasi yang dikumpulkan Jambi One, sampai Minggu (11/9/2022) kemarin, masih banyak Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang membeli sawit petani di bahwah Rp 2.000 per kilogram.

Pabrik Kelapa Sawit PT Angso Duo Sawit (ADS) di Kecamatan Mestong, Muarojambi misalnya. Berdasarkan data yang diperoleh Jambi One, Minggu, 22 Agustus 2022 kemarin membeli TBS petani di harga Rp 1.915 per kilogram.

‘’ Sudah lah dak ado guno hargo yang ditetapkan pemerintah tuh. Dak diikuti pabrik dak. Sampai hari ini (Minggu 11/9/2022), pabrik masih beli di bawah Rp 2.000. Di Pabrik ADS misalnya. Hari ini hargo Rp 1.915,’’ kata Yanto, salah satu petani sawit di Kecamatan Mestong Muaro Jambi.

Begitu juga dengan PKS lain yang tersebar di sejumlah kabupaten di Provinsi Jambi. Belum ada yang membeli TBS di atas Rp 2.000. Padahal Gubernur Jambi Al Haris sudah mewanti wanti agar PKS membeli TBS di atas Rp 2.000 per Kg. Bahkan gubernur pernah mengingatkan, jika ada PKS yang membeli TBS di bawah Rp 2.000 akan ditindak tegas.

Tapi, sampai sekarang belum ada tindakan dari gubernur terhadap PKS yang tidak mengikuti instruksinya itu. Gubernur seperti tak berdaya menghadapi PKS. Padahal, sebelumnya Pemprov Jambi melalui Dinas Perkebunan sudah mengumpulkan para pengusaha pengelola PKS. Gubernur mengeluarkan isntruksi dalam rapat bersama para pengusaha tersebut.

‘’ Mano janji gubernur tu. Katonyo nak nindak pabrik yang beli di bawah Rp 2.000. Mano ado, dak ado kito dengar pabrik yang ditindak. Jadi lebih baik dak usahlah pemerintah netapkan hargo. Bikin pening petani bae,’’ tambah Yanto.

Lalu apa yang menjadi factor penyebab harga TBS sawit di Jambi masih dibawah Rp 2.000 perkilo? Akademis dan pengamat ekonomi dari STIE Jambi, Dr Noviardi Verzi mengatakan, masalah harga sawit yang masih di bawah 2000 ribu, sebenarnya lebih pada masalah supply and demand.

Menurut dia, patokan dasar harga CPO itu adalah permintaan di pasar dunia. Sedangkan pasokan (supply) hari ini masih dikuasai Malaysia yang melakukan kontrak jangka panjang (long term) dengan pembeli India, China maupun Eropa.

Kenapa bisa demikian? ‘’Karena saat Indonesia menghentikan eksport CPO dan turunannya beberapa waktu lalu, Malaysia langsung memainkan kebijakan menghapus segala pajak eksport. Hal ini membuat mereka bisa melakukan kontrak dengan negara konsumen secara besar,’’ jelasnya.

Masalah tak sampai disitu, saat Gubernur menetapkan harga di periode 26 Agustus -1 September, Rp 2.283 per Kg (naik 15,83 per Kg) untuk usia tanam 10-20 tahun, tidak terlalu efektif mengatrol harga. ‘’ Kenapa? Karena ini kebijakan harga pembelian TBS ini sesungguhnya di bawah payung kemitraan, dalam payung inti-plasma.

Sehingga, petani swadaya kesulitan memperoleh akses kepada perlindungan harga,’’ katanya.
Menurut dia, hal tersebut tentu bertentangan dengan kenyataan berkembangnya petani swadaya dan adanya regulasi yang mewajibkan perusahaan perkebunan untuk membeli TBS petani swadaya.

Lalu, apakah Gubernur bisa menindak pabrik yang membeli TBS di bawah Rp 2.000 ? Menurut Noviardi, hal ini tidak bisa serta merta dilakukan Gubernur. Karena, walau bagaimanapun perusahaan memiliki otoritas ekonomi untuk membeli atau tidak TBS masyarakat.

Kata dia, yang bisa dilakukan Gubernur adalah mendorong petani membentuk kerjasama dengan pabrik di luar skema inti plasma. Dengan kerjasama ini ada kesepakatan harga yang lebih baik dibanding tidak kerjasama antara petani dan pabrik.

‘’ Masalah janji menindak PKS itu saya menilai pak Gubernur dijerumuskan oleh OPD yang mengurusi perkebunan. Situasi tata niaga sudah berubah, sementara mekanisme penetapan yang direkomendasi ke Gubernur masih pola lama,’’ kata dosen Ekonomi STIE Jambi ini.

Sementara itu, di mata petani, pabrik kelapa sawit dibagi menjadi tiga criteria. Yakni pabrik kelapa sawit yang baik, pabrik kelapa sawit nakal, dan sangat nakal. Inisiator sekaligus pimpinan Jaringan Petani Sawit Nasional (JPSN), Soaduon Sitorus mengatakan, pabrik kelapa sawit yang baik tentu saja pabrik kelapa sawit yang membeli buah sawit petani dengan harga tertinggi sesuai penetapan Disbun.

Sementara pabrik kelapa sawit nakal ialah pabrik yang membeli TBS petani sawit di bawah harga rata-rata penetapan harga dari Disbun setempat. Lalu pabrik sawit yang sangat nakal yakni PKS yang membeli TBS petani sawit JPSN di bawah harga terendah penetapan harga dari Disbun setempat.

Sejauh ini, kata pemilik dua gelar akademis ini, mayoritas PKS di Indonesia masuk dalam kriteria nakal dan sangat nakal. “Mereka membeli harga TBS di bawah ketentuan Disbun. Mereka berhasil memperbudak petani sawit swadaya,” tegas Soaduon Sitorus, dikutip dari InfoSAWIT, belum lama ini. (Sumber: jambione.com)

*Silakan Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *