Jum’at ini kita bercerita tentang PENSIUN, tentang orang yang telah bebas tugas negara, yang menikmati hari tua di tengah kerumunan cucu dan anak serta menantu, itu jika ada. Karena segmen pembaca tulisan saya tiap Jum’at ini aneka ragam, maka corak tulisan inipun bervariasi, kadang2 filsafat, akademik, sejarah, tetapi kali ini tentang PENSIUN, namun semuanya dibungkus dengan pendekatan filosofis dan religius. Mungkin orang sering bertanya apa dan bagaimana situasi di saat seseorang setelah pensiun, apa kecendrungan social seorang pensiunan dan apa suka duka yang mungkin umumnya dialami oleh banyak orang pensiun. Bahkan yang paling penting ialah apa hikmah yang patut dicontoh dan dipikirkan oleh anda2 yang nantinya juga akan mengalami masa pensiun. Mari kita mulai.
Apa arti pensiun? Pensiun menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ialah orang yang tidak bekerja lagi karena masa tugasnya telah selesai, umumnya setelah berusia antara 59-65 tahun bagi PNS. Pensiun adalah orang purna tugas karena usia sudah lanjut, baik diberhentikan karena peraturan yang berlaku atau atas permintaan sendiri (Pensiun muda). Biasanya batas usia pensiun terbaru diatur dalam pasal 55 UU no. 20 tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Setelah pensiun banyak cerita bahagia dan duka. Bahagia antara lain karena badan bagi sebagian pensiunan masih terasa sehat, uang pensiun masuk rekening rutin di awal setiap bulan. Namun duka terasa tatkala teman2 lama sudah mulai hilang satu persatu, teman lama telah berganti dengan layar HP: usap atas usap bawah, kirim WA sambil bercerita dalam nostalgia. Duka bertambah merana tatkala penyakit stroke umumnya banyak yang menimpa pensiunan, kekuatan fisik mulai semakin loyo, kekuatan non fisik siapa tahu? Silahkan anda tanyakan langsung pada Bapak2 dan Ibuk2 kita yang telah pensiun. Umumnya mereka senang didatangi, diajak bercerita, diajak bernostalgia, diajak mengenang jasa2 yang pernah beliau perbuat tatkala bertugas. Mungkin di situ tali persahabatan bisa kita pererat dengan mereka. Sayangnya tidak terdengar kata2 bijak di negeri ini: ‘Bersahabatlah dengan orang pensiun agar pengalamannya dapat ditimba’. Sudah jarang orang ‘menoleh’ kepada orang pensiun, bahkan Sri Mulyani (Mantan Menteri Keuangan) pernah mengatakan bahwa pensiunan itu BEBAN negara. Jika bukan beban negara, kampus dan kantor tempat kami mengabdi puluhan tahun juga LUPA sebelum Hari Raya. Lupa atau Lupa-Lupaan?
Apa kecenderungan social orang pensiun? Pertama, masyarakat/komunitas kantor yang biasanya banyak jumpa setiap hari sekarang berobah menciut kecil menjadi komunitas Rt, komunitas tetangga komplek, komunitas arisan, pengajian, hobbi-hobbian, MOGE (motor Gde) bagi yang berduit, tetapi umumnya banyak yang suka berkebun, mancing ikan dan berburu. Di saat komunitas menciut kecil, dunia terasa sepi, tersisih, maka penyakit stroke mulai mengganggu. Kedua, tidak jarang pensiunan mulai melirik kepada HARTA WARISAN di kampung. Dulu di saat aktif bertugas banyak proyek, banyak uang ser-seran, tetapi setelah pensiun itu semua hilang, dan biasanya setelah pensiun harta di kampung mulai diurus. Tempat penyimpanan Sertipikat tanah mulai ditanyakan. Mulai sering terdengar pembicaraan tentang pembagian harta warisan orang tua untuk semua anak kandung dengan ‘tameng’: nanti jika tidak diselesaikan pembagian harta waris tersebut maka anak2 cucu dikhawatirkan akan kisruh. Ketiga, ada kecenderungan semakin rajin ke rumah ibadah, ke masjid, ke langgar, ke gereja, dan lainnya. Batuk orang tua saling bersahut-sahutan di langgar yang mana selama ini langgar sepi dari batuk. Mulai nampak sering memegang kartu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan untuk pergi berobat ke Puskesmas, ke Rumah Sakit dan ke Optik untuk mengganti kaca mata. Masa pensiun adalah masa hari tua. Masa pensiun adalah masa nostalgia, masa bahagia karena anak2 pada sudah dewasa dan bekerja. Tetapi masa pensiun mungkin juga masa ‘menyesal’ diri: Kenapa dulu ..tidak begini? Kenapa dulu saya begini? Kenapa dulu tidak beli ini? Kenapa dulu seharusnya jangan beli ini..ini? Apa boleh buat, Nasi Sudah jadi Bubur.
Pensiun itu penuh dengan PENGALAMAN HIDUP. Orang pensiun umumnya punya kisah 1001 Malam di hari tuanya. Dikatakan 1001 malam sebab dunia masa lalu ditumpuknya dalam kepala, diurainya dengan cerita, dikisahkannya kadang2 dengan linangan air mata, dan kita mendengarnya dengan iba dan terpesona. Kenapa terpesona? Sebab kisah2 ceritanya dipilihnya, disortir, dipresentasikan kepada kita yang mendengarnya hingga ‘ terhipnotis’ oleh kisah 1001 malamnya. Kita tidak punya pengalaman mereka, tetapi sknario ceritanya enak didengar di telinga. Itulah hari tua orang pensiun: kisah 1001 malamnya bukan di Arabia tetapi di Indonesia. Ceritanya beda dengan di Arabia sebab pensiunan di Indonesia adalah orang2 yang pernah dulu di himpit oleh tekanan Rupiah. Rupiah dalam tekanan dollar Amerika, dengan rupiah rumah tangga dibina, biaya hidup dihematkan, anak2 dikuliahkan, kredit bank dicicil, kredit mobil dicicil, ‘gali lobang timbun lobang’ kata Rhoma Irama, maka tak ada pensiunan PNS yang tak kenal derita RUPIAH, bahkan juga ada yang pernah ‘disekolahkan’ di balik jeruji penjara…juga karena Rupiah…tetapi dalam reka ulang 1001 Malamnya, kisah jeruji penjaranya mungkin disensor.
Di samping nilai rupiah yang terus melemah, institusi perkreditan juga ikut membuat pensiunan PNS semakin lemah. Banyak pensiunan PNS yang masih terjerat kredit jangka panjang, bahkan bertahun-tahun di masa pensiun. Ini persoalan. Persoalan bagi pensiunan sebab hidup di hari tua masih juga dihimpit hutang. Ia juga persoalan bagi Negara, mengapa kucuran kredit masih dipermudah oleh institusi keuangan. Seharusnya demi menjaga kesejahteraan calon pensiunan, Negara membuat aturan perkreditan: aturan jangka waktu dan batas nominal kredit. Maka bagi adik2 yang akan menjalani masa pensiunan dalam beberapa tahun ke depan, sebaiknya minimal 3 (tiga) tahun sebelum pensiun semua kredit sudah hampir lunas dan jangan mau ‘dirayu’ lagi oleh bank untuk membuka kredit baru. Dan bagi adik2 calon pensiunan yang terbiasa selama ini ‘terlena’ di kantor dari pagi hingga sore, maka sebaiknya mulailah kenal dengan ‘usaha sampingan’ di luar kantor agar jangan ‘kaget’ setelah pensiun. Kaget yang membawa derita pada beban kantong dan beban psikologis, yang bisa menamatkan kisah 1001 malam anda dalam SATU malam.
Kesimpulan. Kenapa cepat2 ‘jumping into conclusion’ pak Amhar? Itu karena anda yang minta artikelnya pendek saja, dan mungkin anda ikut terpesona dengan kisah 1001 Malam pensiunan Indonesia. Saya juga sudah pensiun dari PNS sebagai dosen UIN Jambi yang aktif dari tahun 1988-2022. Cerita di atas adalah hasil olahan sknario saya yang juga sudah di pilih2 karena faktor subjektivitas saya sebagai Subjektivus Geneticus (Anak Zaman) kata Gadamer. Bias tentu ada tetapi masih dalam taraf kewajaran sebab tulisan saya selalu ingin menjalin tali persahabatan antara kita. Pensiun zaman kami mungkin patut disebut pensiun di bawah himpitan rupiah. Melemahnya rupiah karena banyak faktor: korupsi, Menteri Agamapun korupsi, juga karena pengaruh dollar Amerika, dan hukum negara kita yang masih tumpul ke atas. Kami pesiun mengalami derita itu, derita ekonomi, politik, hukum dan pengaruh global di saat mana kemajuan teknologi informasi mulai unjuk gigi. Pensiunan PNS di zaman kami mungkin akan jauh berbeda dengan di zaman anda nanti.
Significance of Issue (Hikmah). Mungkin tidak bijak bila kita memaksa anak2 dan cucu kita dididik khusus agar mereka mewarisi ilmu praktis kita yang kini sudah pensiun. Tidak bijak, sebab ilmu praktis keahlian kita hanya cocok buat masa kita dulu. Bila kita meyakini ilmu/mata pencarian kita sukses dalam hidup dulu, mungkin ilmu/keahlian semacam itu tidak akan cocok buat anak2 kita sekarang. Buang sajalah kepandaian praktis itu! Contoh, sekarang saya di Semarang, saya lihat bekas mesin2 cetak koran SUARA MERDEKA pimpinan Hetami tinggal kenangan saja, jadi besi tua. Alm. Pak Hetami dulu pernah jumpa dengan saya di Cairo, Mesir 1983. Dia contoh orang sukses jurnalistik di masanya, hingga sekarang meninggalkan asset berharga Gedung Megah bertingkat di tengah kota Semarang, tetapi seandainya anak2nya dulu dipaksanya untuk menekuni ilmu bisnis percetakan koran, ternyata dunia berobah, dunia medsos, orang tidak lagi baca koran kertas: buat apa mengajari anak2 menekuni ilmu kesusksesan kita? Saya juga pergi ke Jepara, ternyata usaha ukir jati Jepara juga sudah merosot, sepi pembeli, lalu apa gunanya kita dulu memaksa keras anak2 kita belajar mengukir jati? Di zaman kita dulu memang berguna, tetapi di zaman anak2 sekarang ilmu praktis kita kadaluarsa. Anak2 sekarang tidak bisa bertahan hidup dengan pola ilmu/keahlian kita dulu. Tukang cincin janganlah memaksa anak2nya belajar mengasah cincin. Tukang batu janganlah memaksa anak2nya belajar jadi tukang batu. Tukang batik, janganlah memaksa anak2nya belajar membatik. Sebab batik2 produk China telah mengungguli batik2 kita. Alm. Munawir Syadzali (Mantan Menteri Agama) banyak meninggalkan buku2 keislaman katanya di rumahnya di Klaten, tetapi anak2nya tak hobby membacanya. Demikian pula anda, apakah buku2 anda disenangi membacanya oleh anak2 anda? Saya yakin tidak.
Kalau begitu apa yang seyogyanya diajarkan oleh orang2 tua yang belum/sudah pensiun? Ajarilah anak2 kita sifat2 dasar melekat yang tak boleh hilang dari diri seseorang. Misalnya sifat JUJUR, RAJIN, HEMAT, TAAT BERIBADAT, BERPIKIR POSITIF, MELEK TEKNOLOGI dan KUASAI BAHASA INGGERIS DAN MANDARIN. Bagaimana dengan belajar Bahasa Arab dalam Kitab Kuning? Saya rasa teknologi A I (Artificial Intelligence) akan mengalahkan cara2 tradisional kita mengajar ala pesantren untuk masa datang. Untuk apa kita memaksakan cara2 belajar dulu, cara2 belajar ala kiyai dulu, sementara di masa datang bukan cara2 seperti itu yang harus mereka kuasai. Kitab kuningnya sama, tetapi cara belajarnya akan kuno. Itu saja, maka janganlah memaksa mengajarkan ilmu2 praktis keahlian kita, sebab dunia kita dan dunia anak SUNGGUH AKAN JAUH BERBEDA. Hai, Anak2 muda: Tak Usah pelajari ilmu praktis keahlian orang2 tuamu! Mengulangi SUKSES dalam jenis Pengalaman yang sama itu Mustahil. Soekarno sukses dan monumental membacakan teks Proklamasi di masanya, di masa peralihan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia, tetapi teks Proklamasi yang sama dibacakan oleh Megawati tak monumental? Biasa2 saja. Kenapa ya?