Oleh: Amhar Rasyid
Jakarta, 29 Nov 2024
Assalamu’alaikum wr,wb
Saya akan senang bila anda sudi membaca tulisan kecil, lucu2 ini usai Pilkada. Diskusi kita pagi Jum’at ini bukan soal politik, tetapi ‘anehnya pemikiran’ manusia dari masa ke masa. Sebagian dari pemikiran tersebut ‘menggelikan’, artinya membuat kita tertawa, lucu, aneh. Gunanya dibicarakan bagi kita untuk menoleh ke belakang betapa lucunya cara berpikir lama sangat ketinggalan dibanding cara berpikir di zaman sekarang, dan betapa lucunya pula cara berpikir ‘zaman now’ bila dilihat nanti dengan masa katakanlah 50 tahun ke depan. Sebagaimana biasa, ending tulisan saya tetap mengarah pada penyegaran pemahaman beragama.
Nampaknya secara teoritis ada kaitan antara cara berpikir manusia dan nilai (value) yang dihormati bersama dalam suatu masyarakat. Nilai itu kadang2 nampak lucu, menertawakan. Clifford Geertz (guru besar antropologi di Amerika) mengatakan bahwa masyarakat merajut nilai/value bagi kelompok mereka sendiri2, dibuat diantaranya oleh sesepuh/pemimpin agama, tokoh adat mereka, sementara masyarakat awam hidup turun temurun dalam nilai2 yang dirajut tersebut. Artinya kita hidup mirip dalam sarang burung di atas pohon, di dalamnya kita ditetaskan, diberi makan, dibesarkan, diberi ajaran2 (kita dikurung oleh mereka). Siapa yang berani melompat keluar dari ‘sarang’ nanti akan dimarahi oleh Mbah, Datuk, dan kiyai. Bagi kita orang Islam, agama Allah itu ditafsirkan oleh manusia, akhirnya sebagian dari penafsiran tersebut terasa aneh. Dulu pernah MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengharamkan Pluralisme (haram mengakui keberadaan agama2 lain): pemikiran semacam itu ditertawakan orang sekarang, aneh. Di situ mari kita bertafakkur, Yaa Allah betapa lemahnya hambaMu ini memahami pesan2Mu. Berikut beberapa pikiran yang menggelikan (menurut saya), semoga anda tidak ‘ketawa sendirian’.
Pertama, dikatakan bahwa orang Arab Jahiliyah di Jazirah Arab pada abad ke 7 Masehi menguburkan hidup2 bayi perempuannya yang baru lahir karena dianggap memalukan. Sejarah mencatat bahwa perempuan selalu dinomor duakan dari pada laki-laki. Sekarang, setelah 1400 tahun berlalu sesudah Nabi Muhammad saw, bayi perempuan masih juga ‘tak berharga’ terutama bagi dunia Monarki termasuk Jepang modern. Kaisar Jepang sangat mendambakan keturunan laki2 tapi tak berhasil. Miris rasanya mengapa nasib sebagian manusia kok jadi perempuan? Mengapa ditakdirkan jadi perempuan? Siapa suruh jadi perempuan? Tuhan memang menciptakan perempuan dengan segala kerahasianNya tetapi ‘perlakuan manusia’ di bumi terhadap perempuan yang bermasalah. Padahal nenek kita perempuan, ibu kita perempuan, saudari kandung kita perempuan, putri kita perempuan, cucu kita juga perempuan, dan yang pasti istri kita bukannya bukan perempuan.
Kedua, dikatakan bahwa di zaman awal Renaissance, Kereta Uap baru saja selesai diciptakan. Kereta uap tersebut dibawa keliling kota, sementara orang2 di Bavaria/Eropa (Jerman) pada heran melihatnya di waktu itu, diduga pasti ada makhluk halus yang menggerakkannya, kata F. Budi Hardiman (Guru Besar Filsafat Universitas Pelita Harapan, Jakarta). Kini keadaan sudah jauh berobah. Jakarta-Bandung dihubungkan oleh kereta super cepat bernama Whoosh dengan kecepatan 350km/jam, tetapi tidak ada lagi orang yang meyakini kereta tersebut digerakkan oleh makhluk halus. Whoosh sekarang digerakkan oleh transaksi/angka2 halus di balik layar HP. Whoosh adalah singkatan dari Waktu Hemat, Operasi Optimal, dan Sistem Handal. Bila anda ingin naik Whoosh sekarang dari Jakarta ke Bandung, cukup baca Bismillahi majreha….tidak usah baca lagi mantra.
Ketiga, di awal abad ke 20 ini, kaum Muslimin Indonesia masih ada juga yang meyakini bahwa radio mengeluarkan suara manusia karena ulah makhluk halus, sebab terdengar suara dari kotak tetapi orangnya tak kelihatan kata K. H. Mas Mansyur (Ketua Majelis Tarjih I, Muhammadiyah). Dia juga mengatakan bahwa masih banyak pola pikir kaum Muslimin di masanya yang hidup dengan TBC. Apa itu TBC? (Tachayul, Bid’ah dan Churafat). Takhayul adalah cerita yang diyakini benar oleh sebagian orang awam, tetapi bertentangan dengan akal sehat, karena diyakini aktornya adalah makhluk halus. Bid’ah ialah membuat-buat sesuatu ajaran baru dalam beragama yang tidak ada sandaran ayat/Hadisnya. Churafat adalah meyakini benda mistik punya kekuatan ghaib, misalnya jimat,batu cincin, keris, kuburan, yang diyakini sebagai akibat ‘campur tangan’ jin/setan.
Penyakit TBC itulah yang dihadapi oleh Muhammadiyah sekitar tahun 1927, namun hingga kini belum juga terkikis habis. Di masa berkuasa, Mantan Presiden Jokowi masih memukulkan kendi bersisi air bunga ke kepala mobil truk sebelum melepas ekspor ke luar negeri. Keyakinan macam apa itu? Anak cucu kita mungkin 100 tahun mendatang akan ‘geli’ mengetahui kakek-neneknya dulu (generasi kita ini) masih percaya pada jimat, dan minta bantuan pada makhluk halus. Yang lebih menggelikan, masih ada terdengar sekarang beberapa calon kepala daerah mencari guru spirituil ke Jawa yang diyakininya akan dapat membantu memenangkan Pilkada. Bilamana anda baru saja menyoblos (bebas, rahasia) pada Pilkada 2 hari yang lalu, apakah anda yakin, sewaktu menyoblos, bahwa diri anda telah diguna-guna hingga terpengaruh oleh mantra guru2 spirituil dari Jawa? Bila anda tidak yakin kena guna2 waktu menyoblos Pilkada kemaren, artinya anda bukan ‘segoblok’ calon pemimpin daerah anda. Goblok itu bodoh, tolol, stupid, bengak (bhs Jambi), pandia (bhs Minang), Bangai ‘alaihissalam (kloe priet) bhs Aceh atau Belegug bahasa Sundanya.
Kelima, dikatakan orang bahwa suku Badui di Banten masih menjaga tradisi nenek moyang mereka. Dikatakan ada Badui Luar dan Badui Dalam. Badui Luar sudah agak lebih maju, dibolehkan naik sepeda motor, bersekolah, dan lainnya. Tetapi Badui Dalam tetap dilarang keras naik motor, pakai HP, dilarang menikah dengan selain Badui. Siapa yang melarang? Ya sesepuh/pemuka adat mereka.
Keenam, di zaman modern ini terjadi pergantian budaya dengan majunya media online. Biasanya seorang yang kebingungan mencari alamat boleh jadi akan bertanya pada Mbah, pak Rt atau pemilik warung. Misalnya seseorang bertanya: ‘Di mana jalan Merpati, Mbah?’. Tetapi sekarang orang sudah tak perlu lagi bertanya pada sesepuh semacam itu, Mbah Google lebih bisa dipercaya: In a few minutes, turn right! Kata Google. Kata2 bijak, informasi dan nasehat dari Mbah, Datuk, Nenek sudah kurang dihiraukan.
Ketujuh, dahulu pada waktu saya kecil umur 6 tahun, malam2 hari saya disuruh pergi oleh Ibu/Bapak untuk mengaji al-Qur’an ke langgar, surau, mesjid kecil yang jauh dari rumah, dan bila kebetulan bertemu sobekan kertas al-Qur’an jatuh di lantai, saya disuruh membakar sobekan kertas al-Qur’an tersebut dan abunya disuruh makan oleh guru ngaji. Memang benar saya makan…asin rasanya. Dasar saya masih goblok. Sekarang ayat2 al-Qur’an dibawa orang masuk WC …di dalam HP. Bagaimana jika Hp itu jatuh masuk lobang WC? Apakah si guru ngaji akan menyuruh juga minum ‘kotoran’ WC?
Kedelapan, waktu kuliah di Mesir saya berteman dengan mahasiswa dari Sudan (Afrika hitam). Di pipi mereka, kiri kanan, selalu saya lihat ada tanda garis2 hitam memanjang, ada yang 2 garis, 3 garis, bahkan 4 garis lurus. Saya tanya, apa artinya garis2 tersebut? Katanya itu diberi cap waktu mereka masih bayi ditempeli dengan besi panas sebagai symbol dan status dalam suku/marga, kasta. Coba bandingkan, bila orang modern menghabiskan puluhan/ratusan juta untuk 1x masuk salon demi memuluskan pipi, orang Sudan semacam di atas malah menilai orang modern itu bodoh, menghamburkan uang. Memang aneh2 cara berpikir manusia di dunia ini.
Ada lagi yang kesembilan, masih ada saja terdengar seorang ustaz mengatakan bahwa Amerika bohong. Mana ada orang bisa pergi ke bulan? katanya. Artinya, berita bahwa astronot telah sampai menginjak bulan adalah diluar nalar/akal sehatnya. Mungkin baginya, bulan itu bukan salah satu planet, tetapi bagian dari alam akhirat, sudah merupakan arah ‘pulang kampung’ ke alam baqa. Dan ada pula seseorang berkata kepada saya di Jambi, bahwa akal licik Jokowi memang dahsyat. Premium ditukarnya dengan Pertalite, kemudian Pertalite diberinya sedikit warna biru dan dinamai Pertamax, sehingga harga BBM bisa dinaikkan oleh Pemerintah. Jadi Pertamax sebenarnya adalah Pertalite yang dirobah sedikit menjadi warna biru untuk mengelabui rakyat katanya.
Bahkan ada lagi cerita lucu yang kesepuluh, pernah seseorang datang ke Jakarta dari desa ingin membeli mobil baru, duitnya disembunyikan dalam buah kelapa dijinjing dengan tangan turun naik bis kota, takut ditodong. Ketika hendak membayar mobilnya di dealer, kelapa dibelah dan duit jutaan rupiah dikeluarkan dari dalamnya, sehingga pegawai2 dealer mobil tercengang. Kisah serupa juga dialami oleh perantau dari Malaysia. Sepulang ke Jambi, badannya gemuk, bajunya tebal, rupanya uang ringgit rezkinya bekerja di Malaysia sudah ditukarkannya semuanya dengan rupiah sewaktu di Malaysia. Untuk mengelabui petugas Pelabuhan, atau orang2 nakal di kapal, uang rupiah tersebut diikatkan ke sebatang tubuhnya, dilapisi dengan baju tebal. Apakah tidak panas ya? Setelah sampai di kampungnya, uang tersebut langsung digunakannya untuk membeli lahan sawit, dan pekerja imigran tersebut kini menjadi orang kaya raya di kampungnya.
Dari beberapa contoh di atas terlihat bahwa pola pikir manusia jauh lebih lambat berkembang dibandingkan dengan perkembangan teknologi. Artinya transaksi (mu’amalat) antar manusia dan nilai/value (hal yang sangat dihormati) di tengah masyarakat perlu dipikir ulang. Bila demikian halnya, semua pola pikir manusia (terkait dengan ayat2 mu’amalat) dalam al-Qur’an perlu ditinjau ulang.
Untuk lebih jelasnya mari kita simak ayat al-Qur’an surah al-Hajj ayat 27: Wa azzin fin nasi bil hajji ya’tuuka rijaalan wa ‘ala dhomirin ya’tina min kulli fajjin ‘amiqin (Wahai Ibrahim, serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji, mereka akan datang berjalan kaki dan naik onta kurus dari berbagai pelosok yang jauh). Kata2 berjalan kaki dan naik onta kurus sekarang telah berganti naik pesawat. Ada pesawat Boeing super jumbo yang dapat membawa jama’ah haji 600 orang sekaligus, sebagai ganti ‘onta kurus’. Anehnya orang Islam yang sangat literal (mengikuti bunyi ayat apa adanya) sekarang juga ikut2an naik pesawat pergi Naik Haji, seharusnya mereka konsisten naik ‘onta kurus’ ke Mekah.
Maka sekarang pertanyaannya ialah apa yang tidak berobah pada sebagian calon jama’ah haji? Yang tidak berobah ialah kebiasaan acara selamatan, makan2, tangis2an, rangkul2an sebelum berangkat ke Mekah. Di situ nampak terlambat berkembang cara berpikir kita, pada hal zaman cepat berobah, waktu cepat berlalu, pikiran manusia mandeg. Coba lihat, sudah ada pesawat terbang yang baru saja berangkat tadi malam, sekarang sudah parkir pula di bandara tanah air kembali dari Jeddah mengantar calon jama’ah haji. Seandainya pesawat itu manusia, tentu dia akan heran melihat kenapa manusia menangisi sahabatnya pergi ke Mekah?…dekat cuma.
Secara sosiologi agama, ada lagi cerita lucu terkait haji. Saya diberitahu oleh seorang teman Bugis di Jambi. Ada kebiasaan bagi sebagian orang Bugis di pedalaman Jambi, bilamana sekembali dari Naik Haji, selama satu minggu dia dipingit dalam rumah, tidak boleh kemana2, tempat duduknya disediakan khusus, agak ditinggikan dari lantai rumah, didekor, pakaiannya pun dihiasi sambil duduk di atas bantal, mirip penganten di suatu ruangan rumah. Bila tamu2 datang mereka bersalaman dan mengucapkan Haji mabrur. Tetapi setelah satu minggu berlalu, si haji tersebut ada yang kembali lagi ke ‘habitat’nya semula, kembali pada kebiasaan lama (tak terpuji) sebelum pergi haji, namun di tengah pergaulan dia tetap dipanggil ‘Haji, Haji’ sementara kopiah putih tetap menempel di pundaknya.
Semua cerita di atas adalah gambaran bagaimana pola pikir manusia lambat berkembang. Sangat lambat karena terkurung dalam pagar tradisi. Bila tidak dibantu oleh kemajuan teknologi nampaknya pola pikir manusia masih banyak yang primitif. Bila dibuat susunan bertingkat, yg berbeda dg positivis August Compte. maka posisi pola pikir (paling bawah), teknologi (menengah) dan agama (paling atas). Arti agama disini bukan sebagaimana bunyi ayat, tetapi pikiran Tuhan. Ia berbeda. Pikiran Tuhan memang dipahami manusia dari dalam ayat, tetapi Pikiran Tuhan jauh melebihi dari pada ayat yang tertulis tersebut. Jauh melebihi (diluar/beyond) penafsiran manusia. Maka ternyata sekarang kita hidup beragama, ‘terkurung’ dalam pemahaman manusia yang serba terbatas wawasannya. Pikiran Tuhan yang hakiki sebenarnya kini masih dicari-cari. Ini perlu dipahami bagi generasi muda.
Coba bayangkan, bagaimana lucunya bila Menteri Agama yang mondar mandir Jakarta-Mekah itu mengerjakan pula apa yang dikerjakan oleh calon jama’ah haji. Setiap hendak berangkat, Menteri Agama menangis dulu pamit dengan Presiden, makan2 dulu, rangkulan2 dulu dengan jajarannya di Kemenag. Hari ini berangkat ke Jeddah, besok/lusa sudah tiba lagi di Jakarta, nangis lagi, makan2 lagi, rangkulan lagi. Aduh menggelikan sekali Pak Menteri. Jadi sekarang, bila anda makan2 bersama, berangkulan, tangis2an, sebelum berangkat ke Mekah seperti apa yang dilakukan oleh calon jama’ah haji sekarang berarti anda telah ‘dikurung’ oleh pemahaman keagamaan orang2 sekitar anda. Pemahaman keagamaan akibat wawasan mereka yang terbatas. Tidak seperti wawasan Menteri Agama. Singkat kata, agama Islam tidak mengurung anda, yang mengurung itu adalah ‘pemahaman keagamaan’ yang dibuat oleh orang2 sekitar anda: oleh pemimpin adat, ulama, tua tengganai, sesepuh. Sadarlah! Sadarlah hai para sarjana S1, S2, S3. Teruslah bertangis-tangisan dan rangkullah orang2 sebelum berangkat naik haji biar ditertawakan oleh anak cucumu di kemudian hari.
Maka dari sekarang sadarilah bahwa kehidupan anda dan saya ‘dikurung’ dalam satu ruangan yang mirip kamar, ada dinding, ada plafon di atas, ada lantai. Pola pikir kita bergerak dalam kamar semacam itu, kamar yang dibuat oleh para pemuka agama, kita berputar2 dalam kamar itu hingga akhir hayat. Pemuka agama berdalih: boleh jadi apa yang dikatakannya adalah sama dengan maksud Tuhan. Kita dikurung selama hidup dalam apa2 yang dikatakannya ‘telah sama’ itu. Mungkin kita perlu berpikir lebih dalam. Dalam acara nikah, yang disuruh Tuhan intinya adalah ijab qabul dengan menyebut nama Allah, tetapi meluas hingga pesta 3 hari 3 malam, dangdut/berjoget hingga larut malam.
Demikian pula, bila disuruh Tuhan naik haji, intinya hadir/wuquf di ‘Arafah, tetapi menjelang keberangkatannya habis untuk makan2 jutaan rupiah. Kita dikurung dengan tradisi ‘hidup beragama’ semacam itu oleh pemuka agama, bukan oleh Tuhan. Inilah contoh praktek keagamaan kita yang mungkin nanti 50-100 tahun mendatang akan ditertawakan oleh anak cucu kita. Mari kita pikir ulang Tradisi keagamaan kita. Bukan meragukan agama Islam, tetapi meragukan cara berpikir orang Islam. Saya pernah berangkat haji langsung nyelinap ke belakang rumah berjalan sendirian, isteri sayapun heran. Tidak ada selamatan, tidak diantar, tidak diberitahu pada orang sekampung. Naik haji itu kan pergi beribadah, mirip pergi solat Jum’at kata saya dalam hati. Mungkin pikiran itu timbul karena saya sudah 6x ke Mekah karena saya mahasiswa Timur Tengah sehingga dapat ‘mengoreksi’ tradisi. Beranikah anda berbeda dengan tradisi?
Sekian dulu pembaca budiman. Terimakasih telah membaca, mohon pamit. Maaf bila ada kata2 lucu yang kurang pantas. Maaf beribu maaf. Wassalam. Amhar Rasyid.