Oleh: Aset*)
Hari ini, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) kembali berulang tahun. Usianya 64 tahun — sebuah angka yang tidak lagi remaja, bukan pula usia lanjut, tetapi cukup matang untuk merenungi siapa diri dan hendak ke mana akan melangkah. Di tengah sorak euforia dan hiasan seremonial yang bersahaja, ada gema yang menggema lebih keras di balik dinding Gedung Dakwah Muhammadiyah Jambi: gema tentang jati diri, tentang melati, dan tentang makna sebuah pengabdian yang terus diuji zaman.*Melati yang (Harusnya) Tak Layu*IPM bukan sekadar organisasi pelajar.
Ia adalah ortom (organisasi otonom) yang dirancang sebagai _madrasah ideologis_ bagi para pelajar untuk belajar menjadi pemimpin, da’i, dan pemikir yang tak sekadar fasih berorasi, tetapi juga ikhlas menapak jejak dakwah dalam senyap. Di usianya yang ke-64, IPM seharusnya tidak lagi sibuk mencari jati diri, tapi sudah menyiapkan diri menjadi penopang masa depan Persyarikatan Muhammadiyah.Logo melati di dada bukan sekadar ornamen.
Ia simbol kesucian, perjuangan, dan kesetiaan yang mesti dijaga. Namun, sering kali melati itu justru dilupakan, tergantikan oleh gelora selfie, gegap lomba, dan potret-potret “keberhasilan” yang lebih sibuk diunggah ketimbang dimaknai.
*Jambi: Panggung Kecil, Makna Besar*
PW IPM Jambi memilih merayakan Milad ini secara sederhana. Tapi jangan salah: dalam kesederhanaan, justru makna sering bertumbuh lebih dalam. Ketua PW IPM Jambi, Ade Tisna, dalam sambutannya, menegaskan bahwa _substansi harus lebih bergema daripada gemerlap_.
Bahwa IPM hari ini harus kembali menjadi ruang belajar, bukan sekadar ruang berkegiatan.Acara yang berlangsung di Gedung Dakwah Muhammadiyah Jambi juga dihadiri oleh beberapa tokoh penting dari PWM Jambi. Agus Setiyono (Sekretaris PWM) dan Nasroel Yasier (Wakil Ketua PWM sekaligus Korwil IPM Wilayah Jambi) memberikan suntikan refleksi yang jernih dan tegas.
Dalam pesan singkat namun bernas, Nasroel Yasier menekankan pentingnya IPM untuk terus _belajar dan memahami Muhammadiyah_, agar tidak menjadi pelajar yang hanya hafal jargon, tetapi lupa akan ruh perjuangan. “Jangan jadikan melati hanya tempelan logo; pahami ia sebagai nilai yang hidup,” ucapnya.Turut hadir juga Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Jambi, Ibu Dirmanida, yang mengingatkan bahwa IPM bukan hanya milik pelajar laki-laki. Perempuan pelajar juga punya hak yang sama untuk menjadi pelopor, pelangsung, dan penyempurna dakwah.
*Antara Nostalgia dan Masa Depan*
Sejarah memang penting untuk dikenang, tapi tak kalah penting untuk dijaga dan diteruskan. IPM hari ini mewarisi semangat para pelajar terdahulu yang pernah menuliskan sejarah dengan tinta pengorbanan dan keringat perjuangan. Namun apakah generasi hari ini masih menyadari itu? Atau sudah terjebak dalam sekadar _event organizer_ dakwah dan kompetisi formalitas?Milad, dalam hakikatnya, bukan sekadar ulang tahun. Ia seharusnya menjadi momentum tafakur: tentang apa yang telah dilakukan, apa yang sedang dilalaikan, dan apa yang harus diperjuangkan. Di usia 64 tahun, IPM tidak boleh hanya menjadi bendera yang dikibarkan saat butuh nama, lalu dilipat kembali setelah seremonial usai.
*Catatan untuk Para Pelajar: Jangan Jadi Pewaris Tanpa Warisan*
IPM tidak membutuhkan anggota yang banyak jika hanya menjadi pelengkap daftar hadir. IPM butuh pelajar yang mampu menghidupkan nilai, bukan sekadar menghafal AD/ART. Butuh kader yang tak sekadar tampil keren saat milad, tapi siap memikul beban dakwah dalam sepi.Karena jika tidak, IPM akan menjadi seperti melati yang layu — masih harum tapi perlahan kehilangan makna.Selamat Milad IPM ke-64. Semoga engkau tidak hanya panjang usia, tapi juga panjang akal, panjang cita, dan panjang amal.
_*) Pegiat dakwah Online Jambi_