MENGARANG: MEMBAHASAKAN PEMIKIRAN DAN PERASAAN


Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, 30 Agustus 2024

Assalamu’alaikum wr,wb. Yth Bpk2/Ibuk2/Adik2/Anak2 dan segenap pembaca tulisan ini, baik Muslim maupun non-Muslim, Jum’at ini akan menarik bila kita bahas tentang mengarang/ menulis. Saya yakin anda adalah orang pintar dan berpengetahuan luas, tetapi mungkin terasa sulit untuk menuangkan isi kepala anda menjadi karangan. Ustaz pintar berdakwah, tetapi mungkin sulit menulis. Mahasiswa dituntut menulis, dosen2 dan guru besar wajib menulis karena tanpa menulis remunerasi tak akan dibayar dan tunjangan GB? Bila ada karya ilmiah sarjana hari ini yang masih diupahkan pada orang lain untuk menulisnya, tentu itu sesuatu yang memalukan dan memilukan. Memalukan bagi peradaban dunia dan memilukan bagi income rumah tangga. Umumnya kita sering menulis WA di HP, tetapi cenderung meneruskan saja cuplikan dari tulisan orang lain. Semua kita bisa menulis, tetapi menulis apa? Memang semua kita bisa mengetik di WA, tetapi mengetik apa? Itulah persoalan kita bersama.

Menulis itu RUMIT kata sebagian orang, kepala jadi panas, badan jadi lemas, dan pantat juga duduk lama di kursi jadi malas. Tujuan saya disini bukan untuk mengajarkan metode menulis, tetapi sekedar berbagi pengalaman menulis. Mengapa orang2 merasa susah menulis? Apa yang harus dipertimbangkan di saat menulis? Dimana beda antara ceramah agama dan menulis? Sasaran apa yang hendak dikejar? Sekarang izinkan saya menceritakan pengalaman menulis dari Jum’at dinihari ke Jum’at pagi hari lewat WhatsApp2 selama ini! Sekali lagi, ini bukan metode menulis. Saya akan senang bila anda mau membacanya meskipun sibuk terutama buat adik2/anak2 kawula muda.

Menulis itu RUMIT bagi sebagian orang karena banyak kesibukan/rutinitas. Ada yang mengajar ke kelas, ada yang rapat kesana kemari, ada yang sibuk berdakwah jadi ustaz, ada yang dipanggil dan disuruh oleh atasan, ada yang sibuk bisnis dan berpolitik terutama menjelang Pilkada sementara netralitas PNS tetap dijaga, ada yang bentrok suami-isteri, kacau rumah tangga, anak bermasalah, ada yang lagi bingung karena kredit..pusing banyak hutang, bahkan ada juga yang lagi Falling in Love….tambah bingung mau nulis apa? Wajah si doi selalu terbayang….abang sayang..adik sayang..mengarang jadi menerawang. Akhirnya laptop tak kunjung hidup untuk mengarang apalagi laptop telah hilang.

Menulis itu RUMIT. Kenapa? Sebab isi kepala harus dituangkan menjadi rangkaian kalimat. Diketik, disusun, diformat sesuai standar ilmiah, dijaga agar jangan menyakiti hati orang lain, agar jangan memecah persahabatan, dijaga agar jangan melanggar hukum, jangan bernuansa sara dan politik praktis, jangan menghasut, memecah belah..diarahkan agar berbobot pengetahuan yang akan berguna bagi pembaca. Audiens harus dipikirkan level horizonnya. Terlampau tinggi dan filosofis banyak yang malas baca. Terlalu rendah..dibuang oleh guru besar dan kaum terpelajar, dilecehkan, dipandang dengan ‘sebelah mata’. Mungkin tulisan kita belum pasti benar, sebab kebenarannya berbeda dengan haqqul yaqin, maka yang bisa diharapkan ialah kesepahaman bersama dengan memperluas wawasan bersama dalam memahami kebenaran dalam tradisi kita masing2 mengutip filosuf Jerman Gadamer. Apa yang dianggap benar oleh orang Jawa mungkin berbeda bagi orang Sunda. Maka janganlah kita ‘ngotot’ mengatakan bahwa 4 itu hanyalah 2+ 2, sebab boleh jadi orang lain mengatakan 8-4 juga 4. Rumitnya membahas pemahaman keagamaan dalam tulisan itu di sini: kita punya pendirian tetapi cara berpikir orang lain juga harus dipahami.

Pada waktu sekolah menengah PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) di Yogyakarta tahun 1975-1977 (Selatan UGM), saya diserahi tugas oleh guru untuk mengkoordinir penerbitan Majalah Dinding (MADING) yang saya tempel di Papan Berkaca, hasil berbagai tulisan teman2 internal sekolah termasuk tulisan Mahfud MD. Hingga kini saya masih diejeknya, …hei MADING katanya..bila kami berjumpa. Maka hingga kini tetap saya kirimi dia tulisan tiap Jumat dan nampaknya dibacanya. Pengalaman menulis di bangku SLA tak kalah pentingnya dengan ‘masa2 indah di sekolah’ dalam lagu Chrisye. Bersahabat dengan tulisan2 ilmiah di masa remaja nampaknya juga ikut membentuk kepribadian. Mungkin anda juga sering menulis waktu di SLA?

Pada tahun 1983, pendiri koran Suara Merdeka di Semarang, alm. Bapak Hetami, berkunjung ke Cairo termasuk satu rombongan dengan mantan Ketua MUI K. H. Hasan Basri dan sempat berbincang dengan saya (sebagai mahasiswa al-Azhar) sambil makan bersama di pinggir Sungai Nil. Dalam perbincangan itu, saya akhirnya disuruhnya menulis karangan tentang Timur Tengah dan disuruhnya juga mengumpulkan semua jenis Surat Kabar terbitan Timur Tengah (Arab dan Israel) dan mengirimkan pada beliau di Semarang, honornya lumayan besar yang beliau kirim langsung pada ibu saya di Payakumbuh. Tetapi dalam pikiran saya saat itu: apa yang akan ditulis? Bagaimana cara menulis? Pertimbangan2 apa yang harus dipikirkan? Karena belum tahu teknik menulis, akhirnya saya batal menulis tetapi pesanan aneka koran tetap saya kirimkan ke Semarang.

Barulah pada masa Pembibitan di Denpasar, Bali, pra keberangkatan ke McGill, Canada (1991), seorang guru bule bernama Steve Cass betul2 berjasa mengajari metode menulis karya ilmiah sebagai persiapan akan menulis tesis nantinya. Banyak jasa Steve pada kami seangkatan.

Setelah puluhan tahun berlalu, terasa menulis itu bagaikan mengumpulkan bunga2 di taman. Ada banyak bunga warna warni: kuning, merah, hijau, putih dan ungu…semuanya indah menawan. Tetapi bila bunga2 itu dipetik, ditaruh dalam vas bunga, nampaknya tidak langsung ia memberikan seni dan aura yang indah. Perlu kepiawaian kita, perlu bisikan hati, perlu sentuhan empati, untuk meramunya agar bunga2 jadi indah dilihat orang. Artinya, ada banyak hal yang bisa ditulis, tetapi tidak semua hal akan menjadi menarik bila ditulis. Ada banyak ide muncul dalam kepala, tetapi tidak semua ide bagus dibicarakan pada orang lain. Ada banyak kalimat yang bisa ditulis di WA, tetapi tidak semua kalimat akan membuat orang senang membacanya. Ada banyak berita bisa digossipkan di WA, tetapi tidak semua berita gossip membuat teman gembira membacanya. Hanya tangan2 yang cekatan yang mampu membuat rangkaian bunga yang indah dipandang mata. Mungkin anda adalah salah seorang ahlinya. Ajari dong kita!

Menulis itu, bagi saya, menjalin pemikiran dan persahabatan. Pemikiran diintrodusir, tetapi persahabatan diperkokoh. Di bawah lapisan teks/tulisan tiap Jum’at saya berusaha menjalin persahabatan: saya jalin, saya jauhkan sikap berat sebelah, tidak membela satu pihak, tidak menyalahkan yang lain, biarlah anda yang memutuskan, bila ingin mengeritik ya dengan cara halus, dengan sindiran. Kritik saya seringkali untuk memperbaiki pemikiran keagamaan yang terasa kaku, bukan memperbaiki AGAMA, tetapi memperbaiki cara berpikir orang yang beragama. Ya cara berpikirnya agar hidup beragama semakin indah, toleran, inklusif dan pluralis.

Menulis bagi saya juga mirip main piano. Bagaimana caranya agar nada suaranya merdu dan menggelitik kuping pendengarnya. Bagaimana memikirkan ‘piano’ di kepala pembaca dengan ‘piano’ di kepala penulis agar sama2 melantunkan nada indah. Memang kalimat2 yang disusun, tetapi sesungguhnya di lapisan bawah kalimat adalah pemikiran2 dan perasaan yang saling tersambung. Pemikiran penulis dan pemikiran pembaca dibuat saling terhubung, dengan tujuan akhir adalah perluasan cakrawala bersama dan terjalinnya hubungan persahabatan intelektualitas. Tulisan harus mengandung bobot ilmu pengetahuan yang diseret kepada pemahaman keagamaan. Yang perlu dijaga ialah bagaimana caranya agar rangkaian tulisan tidak membuat pembaca akan marah dan ribut. Maka yang perlu selalu diwaspadai adalah ‘tau dek ujuang kato sampai’ (efek dipenghujung kata).

Menulis itu perlu inspiratif. Di saat menulis ada2 saja kadang2 yang terlintas dalam pikiran. Boleh jadi terlintas di kepala kata2 bijak, lelucon, sindiran halus, pepatah, puisi, ayat, Hadis, atau lirik lagu seorang artis. Contoh: nyanyi Ebiet..’tanya pada rumput yang bergoyang’, atau nyanyi Chrisye: ‘malu pada semut yang beriring’ Yang jauh lebih penting dalam menulis itu ialah memikirkan dampak psikologis pembaca. Ada dampak jauh yang harus dipikirkan. Misalnya, apakah nantinya pembaca tak akan protes, atau kesal, atau berbuntut polemik berpanjangan…kalau sudah begitu, bukan teman yang akan didapat nanti tetapi musuh. Dihindari juga pernyataan yang mau menang sendiri, merasa benar sendiri, jangan pembaca ditundukkan dengan potongan ayat, atau dengan Hadis atau dengan jargon politik, sehingga pembaca akan kurang bersimpati pada penulis. Ini pertimbangan2 yang betul2 sulit. Contoh pada tulisan yang lampau: Kepala BPIP melarang menggunakan hijab bagi Paskibraka putri di saat upacara 17 Agustus 2024 berlangsung di IKN, maka susah juga saya mencari kalimat yang dirasa bijak untuk menyindir hal tersebut. Sebab di satu pihak Kepala BPIP adalah mantan Rektor saya, kakak kelas di McGill, di pihak lain masyarakat protes, MUI unjuk gigi. Lantas bagaimana cara membuat kalimatnya?

Perlu juga disinggung, apa beda menulis ilmiah dengan ceramah agama?Tulisan ilmiah dan ceramah agama oleh ustaz2 sebenarnya saling bahu membahu, hanya beda cara. Tulisan ilmiah berisi ilmu pengetahuan untuk menjalin persahabatan kepada semua pembaca seagama dan juga yang tidak seagama (inklusif). Ceramah ustaz biasanya hanya untuk memperkuat iman umat seagama saja (eksklusif). Ceramah agama tak boleh dibantah, tak boleh dipertanyakan, apalagi khutbah Jum’at, angguk2 saja (taken for granted). Tulisan ilmiah boleh dibantah, boleh diperdebatkan, boleh geleng2 kepala…tulisan ilmiah mendidik kita lapang berpikir disaat berbeda pemikiran dengan orang lain. Ceramah agama membakar iman di dada, tulisan ilmiah membakar isi otak di kepala. Beragama lebih lapang bila isi otak terang benderang. Beragama jadi sempit, bila isi otak gelap gulita. Bila ceramah agama menggelorakan iman di dada, dan tulisan ilmiah menggelitik isi kepala, sementara isi WA dan Tik Tok yang di share cenderung kemana?

Ceramah agama bersifat normatif, metafisis biasanya suara ceramah itu menggebu-gebu. Ia bertolak dari keyakinan ke keyakinan. Keyakinan/iman itu yang diperkokohnya, akar tunggangnya masuk ke bumi. Artinya agama sering bicara dengan lantang tentang ‘Alam Sana’, janji2 Tuhan yang harus diimani, ditunggu masa berlakunya, harus…harus… sementara tulisan ilmiah disampaikan dengan nada lembut berdasarkan kejadian hari ini, masa lampau (data empiric) dan prediksi masa yang akan datang dilihat dari perspektif keislaman…dalam dunia sains ia bertolak dari keraguan ke kekeyakinan dan dikeragui lagi. Keraguan itulah yang hendak dihapuskannya, sebab filosofi yang melatarbelakanginya positivistik ilmiah. Tulisan keagamaan terpengaruh oleh semangat ilmiah semacam itu. Yang lebih sulit lagi, bahasa agama, kata Paul Tillich, penuh dengan simbol2. Sementara wahyu itu sendiri adalah Bahasa Tuhan yang harus dipahami oleh manusia, tetapi manusia, menurut saya, tidak pernah bersekolah khusus untuk memahami bahasa Tuhan yang simbolik. Memang Wahyu diturunkan dalam bahasa Arab, ya untuk memahami wahyu Ilahi kita harus masuk lebih dahulu kepada bahasa Arab dan alam pikiran Arab teringat dengan intelektual Muslim Abou Zaid. Alam pikiran Arab yang mana? Ya pikiran Arab di zaman Nabi bukan pikiran Arab di zaman petro dollar sekarang. Karena bahasa wahyu itu simbolik, maka ia kemudian melahirkan teologi2 Asy’ariyah, Mu’tazilah, Syi’ah, Maturidiyah dan lainnya. Teologi adalah pemahaman keagamaan yang berbeda-beda. Masuk ke Indonesia, Islam mayoritas berwajah NU dan Muhammadiyah. Salah satu sulitnya menulis hal2 keislaman itu di sini. Ia bagaikan bunga2 cantik untuk dipetik, tetapi harus pakai ‘tangan suci’.

Apa tanda2 tulisan yang dirasa berhasil? Ia banyak dibaca orang, banyak dikutip, banyak dikomentari, ibarat banyak orang melirik ke ‘bunga’ kita. Banyak yang acung jempol. Apa tanda tulisan kita jelek? Tak dibaca orang, tak dikomentari, tidak dikutip, tak bermutu, dianggap angin lalu. Apalagi sekedar meneruskan cuplikan tulisan orang lain yang jelas punya motif tersendiri. Maka mengarang itu, sekali lagi, mirip dengan merangkai bunga. Banyak bunga2 bertebaran di taman untuk dipetik, tetapi apakah pandai kita merangkainya menjadi sekuntum bunga yang cantik? Banyak berita2 di dunia maya, tetapi apakah berita tersebut layak kita tulis, kita bahas? Kepiawaian menulis terletak disitu. Sebelum menulis tentu perlu banyak membaca.

Tetapi bagaimana kiat membaca? Memang benar para ulama Muhammadiyah yang mengatakan bahwa memahami tulisan/teks tidak hanya bayani tetapi juga perlu ‘irfani. Tasyaquq ma’nawi kata Din Syamsuddin. Masalahnya tidak semua pengetahuan yang sudah kita anggap benar itu PASTI benar. Orang lain mungkin punya cara pandang yang lebih luas dari kita. Maka Wittgenstein mengatakan bahwa kita perlu memahami ‘language game’ oleh kelompok lain, sebab setiap kelompok manusia menggunakan bahasa dalam pemahaman yang berbeda-beda pula, maka kebenaran pemahaman (Verstehen bukan Verstandnis) harus ditanyakan pada orang yang mengucapkan bahasa tersebut. Kata Wittgenstein, sebuah kata atau sebuah kalimat akan mempunyai makna hanya sebagai hasil dari ‘aturan’ dari ‘permainan’ yang dimainkan oleh orang yang menggunakan bahasa tersebut. Contoh, bila dikatakan bahwa system matrilineal Minangkabau itu tak sejalan dengan hukum waris Islam, sementara orang Minang mengatakan: adat ba sandi syara’. Rumitnya mengarang itu juga di sini.

Demikianlah sekelumit pengalaman menulis setiap pagi Jum’at dinihari oleh saya, mudah2an bermanfaat dan inspiratif bagi adik2/anak2 dan mahasiswa saya yang tercinta yang memang suka atau yang terpaksa menulis, serta semua pembaca yang rela membaca. Mohon maaf bila ada kesalahan, pamit, wassalam.

*Silakan Share