“MENANGKAL BARA API PERPECAHAN ATAS NAMA AGAMA”

Oleh : Indra Mustika

Pada Jumat (23/2022) di Masjid Baiturahman pada sholat jumat ustadz Rinaldi sebagai khatib menyampaikan “Musuh Kita Sudah Nyata, yaitu Nasrani dan Yahudi”. Dengan lebih sekita 500 jamaah memadati masjid Baiturahman. Suasana spiritual saya saat ucapan itu dilontarkan oleh khatib seketika terganggu dan terusik. Mengusik pikiran, apa yang sebenarnya yang dipahami oleh orang tentang Islam, kenapa begitu mudah memberikan pernyataan yang justru akan membakar lahan sosial kemanusiaan yang telah memiliki akar kedamaian bangsa hari ini.

Sebuah peristiwa ini menyirat tentang sentimensi agama masih melekat di kalangan kaum konservatif, memahami peperangan yang masih membekas dalam sejarah saat Islam di persekusi pada perang salib, banyak muslim terbunuh dalam agresi kaum salib. Persoalan ini sebenarnya adalah dosa sejarah yang tidak ada dasar yang shahih tentang kaum nasrasi menjadi musuh, ini hanya sebuah peristiwa perang yang sebenarnya juga tidak bisa dibenarkan. Namun, tidak ada dalil yang menyebutkan bahwa nasrasi dan yahudi musuh Islam. Jika memang ada, kita bisa membanyangkan dunia ini dalam  kekacauan dan bertumpah darah di bumi yang penuh kubangan mayat atas nama agama.

Islam telah menegaskan bahwa Islam adalah agama rahmat sekalian semesta. Ini memberi penegasan tentang kebaikan agama Islam untuk kesemestaan tanpa terkecuali. Menjadi paradoks jika Islam dihadapkan dalam “perang” agama dengan yang lainnya. Dimana rahmatan lil’alamin (QS Al Anbiya ayat 107), jika hal yang mengandung sentimensi dan bahkan “provokasi” emosi umat untuk digiring memusuhi agama lain, jelas sebuah penghianatan terhadap subtansi beragama itu sendiri.

Menurut Dr. Sukidi alumni Harvard University AS (2022), bahwa Islam adalah agama inklusif dan setara, kedekatan Muhammad kepada Musa dan sekaligus Isa merefleksikan pesan profetik yang setara bahwa  para Nabi adalah saudara dekat. Ibu mereka berbeda-beda, tetapi agama mereka satu. Secara spesifik, umat beragama dalam tiga tradisi besar monoteisme, dari yahudi, Kristen, sampai Islam, diikat oleh hakekat kemanusiaan yang satu dan setara dalam berpuasa agar mereka mencapai derajat ketakwaan ke pada Tuhan.

Islam telah memberi pesan dalam agama bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, dan bahwa agama “kita” adalah agama kita dan agama “mereka” adalah agama mereka. Karenanya secara prinsip tidak ada hak mempersekusi dan bahkan memusuhi, sebuah ironi sang penghutbah mengujar “justifikasi moral beragama”. Tidak ada sama sekali pesan pemaksaan bahkan (untuk) memusuhi agama sesama yang turun dari langit (samawi). Perdamaian adalah keniscayaan, sebagai pesan moral universal untuk memakmurkan bumi, tanpa ada persekusi atasnama agama. Tidak boleh ada dominasi keyakinan yang membangun “tirani” terhadap kaum minoritas atasnama apapun.

Kota Sungai Penuh memiliki keragaman keagamaan; ada agama khatolik, protestan,  hindu, dan buda (Sumber; Kementerian Agama Kota Sungai Penuh, 2019). Keharmonisan beragama dilandasi pada keterbukaan dan kesetaraan dalam hidup berwarga negara. Tidak ada intervensi pada keyakinan seseorang, membujuk umat untuk bermusuhan dengan umat lain adalah penghianatan terhadap esensi agama itu sendiri. Ini sebuah problem dikalangan mubaligh yang tidak mendalami hakekat Islam dan keindonesiaan. Indonesia bagian dari ikhtiar ulama yang mewakafkan diri untuk kepentingan Indonesia bukan hanya untuk umat Islam saja namun manifestasi dari spirit “rahmat sekalian alam” keindonesiaan yang merengkuh perbedaan bahkan yang tanpa keyakinan, agar terjamin hajat kemanusiaannya.

Epistimologi beragama bahkan bisa kita ambil makna dari puasa yang digambarkan oleh sukidi, bagaimana puasa dipertegas oleh perintah Allah dalam Alqur’an (2;183). Sebuah penegasan sebelum (kamu) Umat Muhammad di wajibkan puasa adalah umat musa dan isa yang telah diwajibkan berpuasa. Apakah ini menunjukan bahwa keterhubungan secara keyakinan pada yang sebelumnya. Ini bagian dari agama historis yang menghubungkan rantai kebenaran pada kebenaran yang “disempurnakan”.

Sebuah keragaman keagamaan membutuhkan sikap inklusif, toleran dan pemakluman. Dia, tidak berhenti disitu, tidak sebatas mengakui keberagaman, tidak sebatas mentolerir perbedaan, tetapi harus bersikap aktif menegakkan kebhinekaan  dalam ketunggal ika-an yang sebagai falsafah negara Indonesia. Memperjuangkan kemanusiaan tanpa melihat iman, suku dan bahasa adalah kunci menegakkan kerukunan agama di Kota Sungai Penuh Jambi, Indonesia.

Membumikan Islam dalam kerangka keindonesiaan, membutuhkan pemahaman sejarah bagaimana api Islam mengakulturasi dalam keindonesiaan. Subtansi nilai-nilai universal Islam telah berdialog dengan Indonesia sehingga tegak dengan keadilan, kesetaraan dan kepersemakmuran bangsa atas nama Indonesia raya. 18 Agustus 1945 setelah satu hari proklami kemerderkaan Republik Indonesia demi persatuan maka para pendiri bangsa termasuk ulama dan tokoh agama-agama bersepakat merubah tujuh kata dalam Pancasila. Ini menunjukan kecerdasan iman dan Islam dalam menangkap api ajaran Islam itu sendiri. Umat selain Islam juga ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, peristiwa sumpah pemuda, 1 Juni 1945 pidato Soekarno; Kita hendak mendirikan bangsa dari semua untuk semua, 18 Agustus 1945. Peristiwa sejarah ini membekas dalam benak pembaca dan bangsa Indonesia. Karena, sebuah landasan berbangsa yang begitu “sakral” menjadi fundamentalisme dalam merawat persatuan ditengah multi-culturalisme dan multi-monoteisme.

Islam yang ramah, memberi kebermanfaatan pada umat lain adalah bagian dari penegasan Islam yang memberi manfaat pada alam semesta. Kedamaian dan kerukunan ditengah perbedaan, membutuhkan sikap berislam yang dalam dan memahami keuniversalitasan agama. Semua dalam suasana yang ruwet ditengah “kesulitan’’ masyarakat berurusan dengan zaman modern, tetapi ada saja ustadz yang memprovokasi dan mengeksploitasi emosi umat untuk merobek persatuan di dalam kebhinekaan atas nama agama. Sungguh ironi dan menabur percikan api ditengah ilalang yang kering. Potensial akan membakar sosial kebangsaan yang telah dibangun dengan bersusah payah oleh ulama dan pendiri bangsa. Memperjuangkan Indonesia dengan penuh toleran, inklusif dan setara adalah perjuangan berislam yang esensial.

Keharmonisan dalam perbedaan di Kota Sungai Penuh harus terus dirawat, tidak boleh ada diskriminasi, dan mempersekusi keyakinan yang berbeda. Semua orang berhak hidup di Kota Sungai Penuh dengan damai tanpa ada yang merasa di usik, dan terancam atas keyakinan beribadah. Mengancam keyakinan yang berbeda adalah penghianatan terhadap falsafah bangsa itu sendiri. Semua punya hak yang sama atas keyakinan dan cara beribadah. Sebuah Indonesia tanpa diskriminasi, sebuah kota tanpa persekusi, sebuah masyarakat tanpa intervensi teologi, dan sebuah bangunan sosial kemanusiaan universal tanpa tirani superioritas atas nama mayoritas.

Memahami kemajemukan tidak mudah, butuh kemampuan melihat perbedaan, dan sikap lues yang terbuka dan toleran. Tidak merasa benar sembari menunjuk kesalahan orang. Tidak menghakimi moral yang lain atas nama kebenaran, karena ini bertentangan dengan kerelatifitasan yang melekat dengan manusia itu sendiri. Kesalahan dan kekhilafan adalah ruang yang sangat berpotensi terjadi pada manusia.

*Silakan Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *