MATINYA INTELEKTUALISME?

Foto: Menghadiri Komunitas Kajian Intelektual Negerui (KANTIN) di Koto Baru pada hari Minggu 11 September 2022, Jam; 16.30-19.00 Wib.

PROLOG
Ungkapan yang dimunculkan oleh pemikir modern Tom Nichos adalah; Matinya kepakaran. Kesadaran pengetahuan dalam spesialisasi ditengah era diskruptif memang Regresif. Mengalami kejumudan berpikir, maka kerja intelektual sering mengalami pemberhentian karena kecendrungan instan dan bahkan terdomestifikasi “kemewahan” dunia hari ini. Ibarat bis mewah ditumpangi oleh manusia kemudian dia menikmati dengan segala fasilitas yang memanjakan namun keironisannya saat manusia tidak tahu arah kemana bis menuju.

Menurut saya, tidak hanya matinya kepakaran tetapi adalah kondisi dimana manusia “malas berpikir”. Karena masuk didalam kekacauan teknologi informasi sehingga hanya mampu menikmati fitur singkat yang mengubah ruang manusia pada se-efesiensi mungkin. Sehingga sejumlah tulisan panjang yang berbasis pada metodologis dan bermuatan ilmu pengetahuan cendrung dihindari. Karenanya, kecendrungan pada “Kedangkalan”, melihat sepotong informasi, dan status manusia lainnya, sebagai bagian seolah “tahu informasi dan menginvestigasi” status yang terkadang privasi.

KANTIN KAMPUS ARTERNATIF
Menjalar ke kampus, kesadaran Komunitas Kajian Intelektual Negerui (KANTIN) menyadari persoalan “tandusnya forum berpikir” di kalangan komunitas mahasiswa. Kesadaran ini menurut saya, sebuah langkah awal yang memiliki spektrum besar bagi intelektualisme mahasiswa. Kantin harus menjadi “oase” di tengah ketandusan intelektual hari-hari ini. Menjadi penyejuk dan ruang tempat dahaga pikiran didapatkan.

Matinya intelektualisme bisa dilihat dari kemandulan berpikir inklusif dan progresif. Tidak kita temukan Organisasi Mahasiswa kampus dan non kampus melakukan “tradisi keilmuan”. Bahkan organisasi mahasiswa telah mengalami pengungkungan cara berpikir yang ekslusif, dengan hanya untuk kelompok dan bahkan di inherenkan dengan pengidentitaskan pemikiran.

Kemudian dalam dunia akademis mestinya organisasi mahasiswa bisa menjadi tempat dimana semua pemikiran bisa di olah menjadi “kantin” Ilmu Pengetahuan yang dilahap oleh semua kalangan. Persoalan intelektual aktivis dan kelompok pemuda, telah mengalami “sindrom” komunalisme. Keterjebakan pada fanatisme berpikir ideologis. Padahal dunia intelektual adalah dunia kebebasan yang menginklusi segala sumber pengetahuan dan menerima keberbedaan.

REINTELEKTUALISME

Menghidupkan intelektualisme kalangan mahasiswa dan organisasi kepemudaan adalah ikhtiar yang mulia. Membangun dialog Lintas kajian, membangun sistem yang terintegrasi pada maksud yang universal. Memperbanyak kajian tentang banyak hal, sehingga pendekatan kemenyeluruhan menjadi bagian dari kesadaran inklusif, dan kebebasan berpikir.

Dunia intelektual adalah dunia pengetahuan dan kebebasan. Pengetahuan adalah keniscayaan, tidak bisa ditawar dalam dunia kampus atau komunita sayang mendeklarasikan dirinya sebagai kaum akademisi. Kehilangan esensialitas dalam kerbermaksudan komunitas itu, berakibat pada kerugian mahasiswa, pemuda yang menghabiskan waktu dalam organisasi tersebut, bahkan jauh dari “kualitas” yang terbangunkan.

Ditengah ketandusan, kemorosotan intelektual, dan kegelapan, maka KANTIN menjadi cahaya kecil di ujung lorong, yang akan menjadi spektrum pencerahan dan percikan pikiran pada ruang gelap terkecil sekalipun dari kehidupan komunitas mahasiswa dan kepemudaan. Kantin harus menyediakan “menu” intelektual yang segar dan memiliki “cita rasa” yang membuat semua orang bisa menikmati “diskursif”. Melahap “makanan” dikantin adalah bagian dari “kerakusan” yang diperbolehkan. Hindari fanatisme dan ekslusifitas. Bangun kesetaraan dan kebebasan berpikir,.hingga sebuah “keinginan tahuan” menjiwai setiap insan akademisi.

ETIKA

Kajian perdana yang dilaksanakan oleh KANTIN tentang etika, sebuah pandangan filsafat Aristoteles kita ketengahkan menjadi basis Epistimologis dan Antologis melihat etika secara benar. Sering etika disebut beretika/etis hanya lahir dari justifikasi subjektifitas; individual dan komunal.

Etika adalah maksud manusia pada nilai-nilai akhir dari manusia terbaik, manusia utama dan insan Kamil. Tetapi itu semua adalah impact/aksioma. Dalam filsafat etika Aristoteles dalam buku Etika Nichomachia.

Dijelaskan dalam pemaparan Prof. Romo Franc Magnis Suseno dalam kajian selira tentang Etika dalam Filsafat Yunani dan Buku Franc Magnis Suseno tentang Berlajar Menjadi Manusia dari Aristoteles. Aristoteles memberi pertanyaan mendasar tentang keutamaan manusia, apa tujuan etika,? Ini akan kita bahas dalam teleologis, ilmu tentang telos. Dalam pandangan Aristoteles tujuan akhir menjadi manusia utama adalah bahagia. Maka untuk mengembangkan etika untuk mengantarkan manusia pada bahagia ada tiga;
Pertama, melakukan perbuatan yang menuju nikmat. Kedua, berpikir, nurani yang berakal. Ketiga, bersosial, berpolitik dalam arti yang luas.

Tigahal itu pada antologi adalah tentang pengembangan diri yang terus menerus dalam perbuatan, kelakuan dan berpikiran manusia, sehingga bahagia itu adalah akibat dari perbuatan etis manusia. Lahir dari nurani yang berakal, bukan lahir dari norma komunal dan identitas meta-dunia.

Kebahagiaan itu dari kualitas dan frestasi manusia itu sendiri dari proses dan hasil dari pengembangan diri. Kebebasan nurani dan akal, kebermanfaatan, atau mengahdirkan diri dalam realitas sosial sebagai orang yang bermanfaat, beretis yang berbasis pada suara hati.

Disini, signifikansi etika menjadi berharga dan sangat mewah. Tepi kata mewah, bukan telos namun dia lahir dengan sendirinya jika perbuatan dan melakukan manusia terintegrasi pada tiga yang dimaksudkan oleh Aristoteles di atas.

Oleh: Indra

*Silakan Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *