LEBARAN


Jakarta/Serpong, Jum’at 12 April 2024

Assalamu’alaikum wr.wb Yth Bpk2/Ibuk2/Adik2ku/Anak2ku/Mhsw2ku di mana saja berada dan segenap pembaca budiman baik Muslim maupun non-Muslim. Kita semua bersaudara dalam ikatan keagamaan dan kemanusiaan. Selamat Lebaran 1445 H, ma’af lahir dan bathin. Menarik bila mengingat implikasi Lebaran secara sosiologis. Sekali ia disyari’atkan oleh Nabi Muhammad saw sebagai hari untuk bermaaf-maafan, ternyata fenomena ‘MUDIK’ berdampak siginifikan bagi umatnya terutama di Indonesia. Bukan fenomena tersebut yang perlu dipikirkan tetapi internalisir pada individu dalam komunitas atas suatu ajaran oleh otoritas. Bagaimana bila ia dilihat oleh seorang sosiolog seperti Peter L. Berger yang pernah bincang2 dengan saya di LIPI Jakarta sekitar tahun 1997? Di penghujung tulisan ini kita akan singgung sedikit pandangan ahli tersebut, sekarang kita diskusikan arti Lebaran tersebut terlebih dahulu.

Dikatakan bahwa ‘Lebaran’ berasal dari kata ‘lebar’ = lapang (bhs Jawa), lapang dada, sifat terbuka untuk berlapang dada untuk ma’af mema’afkan. Dan apa arti ‘iedul Fitri? Ia disebut ‘Iedul Fitri berasal dari kata ‘Ied=kembali, berulang. Artinya tiap tahun berulang kali kita kembali kepada fitrah. Lalu apa arti Fitri? Fitri atau fitrah yaitu keadaan semula tanpa dosa, masih suci dari perut ibu, mirip ‘tabula rasa’ John Lock. Jadi ‘Iedul Fitri=kembali kepada keadaan semula, bersih tanpa dosa setelah sebulan penuh berpuasa Ramadhan. Sebab Ramadhan itu sendiri artinya ‘pembakaran’ (dosa2). Man shoba Ramadhana imanan wah tisaban ghufira lahu maa taqaddama min zanbih (Siapa yang berpuasa Ramadhan penuh dengan keimanan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu).
Lantas apa arti Minal ‘aidin wal faizin? Min=dari. ‘Aidayn=dua hari kembali, wa= dan al-faizin=orang2 yang menang. Menurut penjelasan banyak ustaz, kata Minal ‘aidain wal faizin artinya, bukan maaf lahir dan bathin, tetapi kembali (dengan menang) dari dua perjuangan yang berat. Maka di hari raya ini jangan salah menafsirkan ucapan minal ‘aidain wal faizin pada siapa saja.

Bila dipikir dalam2 memang maha hebat Rasulullah. Coba pikir. Diajarkannya kita ‘iedul Fitri’, bermaaf-maafan, maka dampaknya sangat besar. Karena kita hidup sudah saling berjauhan, merantau, maka dampak dari anjuran Nabi untuk bermaaf2an terjadilah ‘mudik lebaran’, ramai jalan raya, macet, naik ongkos transport laut, udara dan darat. Jadi bukan hanya kita kembali kepada fitrah, tetapi juga kembali kepada ‘kosong rekening/keuangan’ bagi sebagian besar kita. Bukan hanya individu yang terdampak tetapi juga negara. Banyak infrastruktur transportasi desediakan, direhabilitasi, diperbanyak jumlahnya. Banyak aparat keamanan bekerja di jalan raya dan seberapa banyak keuangan negara digelontorkan untuk THR bagi PNS dan Pensiunan.

Selain itu, dampak dianjurkannya ‘iedul fitri oleh Nabi ialah ditandai diulangnya kembali siklus kehidupan, dari bergelimang dosa/kesalahan, sekarang kembali kepada ‘keadaan kosong/bersih, suatu siklus kehidupan material dan rohaniyah. Siklus pergantian isi perut yang saban hari dimuat dengan berbagai jenis makanan/kudapan/cemilan, sebulan penuh disuruh berpuasa Ramadhan, sehingga latihan berpuasa makan dan minum berdampak pada kesehatan rohaniyah. Maka kita harus sadar lagi bahwa ‘hidup ini bukan untuk makan, tetapi ‘makan untuk hidup’. Berbuka puasa dan sahur selama Ramadhan sebenarnya hanya untuk bertahan hidup saja, di saat2 roh dan jiwa kita sedang dalam keadaan mendekatkan dirinya pada sang penciptanya. Maka akan salah paham bila kita makan berat dan tidur kekenyangan sehabis berbuka puasa, sebab kehidupan jasmani kita hanya sebagai alat/perangkat untuk roh/jiwa menghadap Il;ahi Rabbi. Demikian yang bisa saya jelaskan sekitar arti Lebaran.

Barangkali perlu dipikirkan juga oleh pembaca intelektual, terkait tradisi Lebaran, yaitu tentang konsep NOMOS oleh Peter L. Berger. Nomos adalah hal2 yang sudah dianggap benar secara objektif, (taken for granted) oleh kelompok masyarakat tertentu dan ia ingin agar diinternalisir oleh individu2. Misalnya, bagi sebagian masyarakat, secara sosial dari sudut pandangan Berger, makan pakai sendok (sudu/Aceh) sudah dianggap bagus, tetapi bagi sebagian masyarakat yang lain, makan pakai tangan (jaroe/Aceh) juga sudah dianggap bagus, dan makan pakai tangan tersebutlah yang dicarikan landasan argumentasi religinya agar ia diinternalisir oleh para individu dalam masyarakatnya, sementara individu juga tidak punya nyali untuk ‘mengelak’ dari Nomos tersebut.

Nah, apa contoh Nomos yang lain di Indonesia, pak Amhar? Menurut saya contohnya bacaan takbir. Tidak pernah terdengar bacaan takbir dikumandangkan oleh suara muslimah, sementara di saat Musabaqah Tilawatil Qur’an sangat lantang terdengar suara wanita muslim Indonesia. Ini contoh Nomos menurut saya. Di Timur Tengah suara wanita tidak pernah terdengar keras mengumandangkan ayat2 suci, tetapi di Asia Tenggara biasa2 saja. Mengapa suatu kelompok masyarakat Muslim menganggapnya benar dan kelompok yang lain menganggapnya tidak benar? Mengapa ia kemudian diinternalisir kepada individu2? Karena Nomos adalah salah suatu konsep dalam teori Berger yang disebut The Sacred Canopy, dan Berger banyak terinspirasi oleh Marx dan Durkheim, aspek internalisir kepada individu tersebut yang mengundang daya curiositas kita. Terdapat perbedaan sudut pandang pada target. Bagi otoritas agama nampaknya kandungan dakwah ditujukan agar berdampak massive secara kuantitatif dan kualitatif, sementara bagi Berger, upaya internalisir pada individu atas sesuatu pandangan objektivitas oleh otoritas barangkali dianggap sebagai contra kebebasan. Artinya dalam kehidupan bernegara, ia melanggengkan disparitas antara ‘developed’ dan ‘under developed’ countries, maka konsep Nomos oleh Berger akan membantu menunjukkan faktor2 penyebab ketertinggalan suatu negara. Boleh jadi saya salah. Maaf para guru besar.

Sekian dulu pembaca budiman yang telah meluangkan waktunya di sela2 lebaran. Sekali lagi SELAMAT LEBARAN mohon maaf lahir dan bathin. Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share