KUE LEBARAN’ UNTUK MAHASISWA ku


Oleh: Amhar Rasyid
Payakumbuh, Jum’at 11 April 2025

Assalamu’alaikum wr,wb
Yang terhormat Bapak2/Ibuk2/Adik2 semua, khususnya Mahasiswa UIN, di mana saja berada. Negara ini menghadapi banyak sekali tugas demi kemajuan bangsa Indonesia. Salah satu diantaranya pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia). SDM agak terhambat berkembang sekurangnya karena 3 hal: bakat dan minat tidak ‘matching’ dengan jurusan kuliah mahasiswa, kuatnya dominasi literalisme dan mahasiswa kurang mengaca diri. Saya akan membahas rintangan semacam itu secara pendek, yang saya namai dengan ‘Kue Lebaran’. Berikut penjelasannya dengan tujuan untuk membantu menjelaskan duduk perkaranya. Tips ini saya olah dari pengalaman mengajar selama lebih kurang 35 tahun di UIN Jambi. Walaupun dalam tulisan ini saya banyak menyebut mahasiswa UIN Jambi, tetapi yang saya maksud adalah mencakup semua mahasiswa bukan hanya mahasiswa yang belajar ilmu agama saja. Mudah2an ‘Kuenya’ enak dan bermanfaat bagi adik2 generasi muda yang mau menikmatinya: membaca dan memikirkannya. Saya akan mendiskusikannya dari pendekatan filosofis. Mari kita mulai.

Pertama, Prof. Emil Salim, sebagaimana pernah saya katakan, dalam kunjungannnya ke Montreal sekitar tahun 1995 mengatakan bahwa seorang mahasiswa memasuki perguruan tinggi boleh jadi karena salah satu dari dua alasan: 1. Ingin memperoleh gelar sarjana, dapat ijazah, cari kerja atau 2. Ingin mengembangkan bakat intelektualnya. Bakat intelektual yang masih terpendam itu ibarat intan ia masih perlu diasah agar bersinar. Kepandaian untuk mengasah bakat dan minat dengan segala rintangannya akan membuat mahasiswa ‘matang berpengalaman’ dalam meniti karir. Di negara kita, terjun ke dunia politik adalah salah satu pilihan karir cemerlang. Sukses meniti karir bisa menjadi orang ‘beken’ (ternama), namun bila tidak sukses bisa masuk penjara. Saya sendiri tidak berbakat dan tidak berminat menjadi politikus, padahal teman sekelas saya (Prof. Mahfud MD) waktu kunjungannya ke Jambi bersama Khofifah Indar Parawangsa di Novotel sekitar tahun 1999 telah menawarkan bantuan kepada saya untuk mau menjadi calon Pimpinan Partai PAN wilayah Jambi dan dia telah mengangkat HPnya untuk menghubungi Amien Rais, langsung saya tolak, saya ucapkan terimakasih, karena memang saya pribadi tidak berbakat dan tidak berminat terjun ke dunia politik. Akibatnya karir saya berputar di dunia kampus saja. Apa hendak dikata, kata orang Malaysia, bakat dan minat memang berbeda-beda pada setiap individu karena ‘hukum biologis adalah ketidak samaan’.

Dalam NSD.co.id dijelaskan bahwa BAKAT dan MINAT adalah dua konsep yang berbeda. Bakat adalah potensi yang dimiliki seseorang sejak ia dilahirkan (inherent). Sementara minat adalah proses pengembangan dalam mengkombinasikan semua kemampuan yang ada guna mengarahkan individu kepada suatu bidang yang diminatinya. Mahasiswa secara individual harus menanyai hatinya sendiri, apakah kuliah di perguruan tinggi yang dilaluinya merupakan pengembangan minat atau pengembangan bakat, atau atas keterpaksaan karena disuruh oleh orang tua? Prof. Emil Salim mungkin lupa menyebut tipe mahasiswa yang terakhir ini. Anda pada posisi yang mana? Aneka pilihan karir seyogyanya dibantu oleh negara agar mahasiswa lebih banyak tampil di luar birokrasi menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil).

Kedua, ketahuilah bahwa semua ilmu pengetahuan keislaman yang anda pelajari mulai dari TK, SD, SLP, SLA, Pesantren, adalah paket ilmu2 pengetahuan yang telah ‘dirumuskan’ dan kemudian ‘diwariskan’ oleh para pendahulu kita. Ilmu pengetahuan keislaman yang ada dalam kepala anda sekarang adalah hasil dari kepingan2 pengetahuan keislaman yang telah mengendap dalam tradisi keilmuan Islam selama beberapa abad. Ia berbeda dengan ilmu pengetahuan tentang temuan hasil teknologi mutakhir, misalnya temuan baru sebuah vaccine di laboratorium. Maka Ilmu2 fiqih, ilmu tafsir, ilmu kalam, ilmu tasawwuf, ilmu sastra Arab boleh dikatakan sebagai produk ilmu2 klasik, sudah tua, sudah sering ‘dikunyah’ oleh kakek nenek kita (ulama, ustaz, Imam mazhab) pada zaman dahulu. Karena ia sudah sering ‘dikunyah’ maka tugas baru menunggu di hadapan anda yatitu ‘Reinterpretasi’ (penafsiran ulang).

Mengapa perlu reinterpretasi, sebab teks/tulisan muncul karena situasi. Contoh, koran dan majalah banyak memuat nama Jokowi di masa dia memerintah, sekarang banyak teks berobah kepada menulis nama Prabowo. Itu bukti bahwa teks milik situasi. Ya tidak semua teks. Teks mengenai nama Allah dan Hari Akhirat tentu wajib dipahami secara permanen. Yang saya bicarakan adalah teks2 yang terkait kehidupan sosial. Epistemology di bidang filsafat teks keagamaan masih banyak yang belum berkembang di dunia pendidikan menengah ke bawah nampaknya, terutama di pedesaan. Maka tidak heran di dunia pendidikan keislaman di pedesaan masih kuat literalisme. Bila tiba saatnya, jebolan dunia pendidikan di pedesaan akhirnya masuk kota dan melamar di UIN. Setelah kuliah di UIN mahasiswa mulai diperkenalkan dengan konsep Prof. Amin Abdullah Integrasi-Interkoneksi, mahasiswa merasa heran, sementara dosen pengampu ‘keteteran’. Ini salah satu tugas Pemerintah juga dalam peningkatan SDM. Kebijakan Pemerintah belakangan ini untuk mengharuskan para da’i dan penceramah bersertipikat adalah bukti sampingan menghadapi kuatnya pengaruh literalisme. Maka setelah menjadi mahasiswa UIN, isi kitab2 kuning yang telah anda hafal dan pahami, seyogyanya dipikir ulang, dibongkar, diberi makna baru walaupun teksnya masih seperti yang dulu, agar kehidupan beragama di Indonesia ini cepat maju. Contoh, bila Imam Syafi’i dalam kitabnya mengajarkan bahwa jual beli harus ‘yadan bi yadin’ (tunai secara fisik, ada duit ada barang), maka situasi transaksi modern telah memaksanya berobah, buktinya adanya jual beli Online, ATM dan Vending Machine, apalagi bitcoin dan crypto.

Maka kosa kata dan konsep2 lama yang telah dirumuskan dalam kitab kuning memerlukan ‘pemahaman baru’. Sebab bila tidak dilakukan peninjauan ulang, wawasan pengetahuan anda di masa kini akan ‘berputar2’ sekitar wawasan pengetahuan kakek nenek kita di zaman hidup mereka dulu. Mengapa begitu? Sebab Gadamer mengatakan bahwa semakin canggih kosa kata yang diketahui oleh seseorang, menunjukkan semakin tinggi wawasan pengetahuan seseorang. Dengan kata lain, kosa kata mendahului pengetahuan kita. Contoh, dulu kita tak pernah mendengar istilah medis Covid 19, setelah ia mewabah dan kita menderita karenanya, barulah kita tahu arti Covid 19. Saya sebagai dosen UIN yang sudah lama mengajar, baru2 ini juga heran mendengar seorang tokoh yang sedang diwawancarai di TV yang menyinggung nama PWC (Price Water House Cooper). Dan saya lebih tercengang lagi tatkala Prof. Bambang Sugiharto menjelaskan filsafat Alfred North Whitehead bahwa yang lebih memukau pikiran filosuf besar tersebut dalam dunia materi adalah konsep ‘DANCE’ bukan ‘DANCER’. Whitehead lebih terpukau melihat ‘gerak’ bukan ‘apa yang bergerak’ dalam komposisi benda yang terkecil (atom). Dengan kata lain, barometer pengetahuan kita banyak dinampakkan oleh kosa kata dan konsep yang kita pahami. Masalahnya, kebanyakan mahasiswa yang kuliah demi mendapatkan ijazah, ingin cepat lulus dan dapat pekerjaan, hanya mencukupkan dirinya dengan bahan2 kuliah yang dibagikan dan diajarkan oleh dosen, dia tidak berminat untuk mencari dan menggali lebih dalam dari berbagai referensi (kamus, ensiklopedia, Google dan lainnya) karena tidak adanya pengembangan bakat dan minat intelektualnya. Sekali lagi saya bertanya, anda pada posisi yang mana?

Ketiga, sering dikatakan bahwa guru dan dosen adalah wakil orang tua anda di kampus. Itu memang sudah normative dalam tradisi kita. Tetapi tahukan anda bahwa guru, dosen, tutor, kiyai, ustaz, hanya bisa mengantar anda ke ‘pintu gerbang PANDAI’, tetapi mereka tidak mengantarkan anda pada tahap PANDAI-PANDAI. Apa maksudnya? Pandai adalah batas gerbang pengetahuan di mana anda banyak menguasai informasi ilmu pengetahuan sebagai hasil kerja keras guru, dosen dan kesediaan mahasiswa menimba ilmu dari guru. Lain halnya pandai-pandai. Pandai-pandai adalah sikap pribadi seorang mahasiswa dalam hal kepiawaiannya mempraktekkan hasil ilmu pengetahuannya ke tengah masyarakat, ke dunia nyata. Seorang mahasiswa yang berbakat politik, dia akan berusaha pandai-pandai’ terjun ke dunia politik sehingga ia boleh jadi akan menjadi orang sukses dalam penilaian orang banyak, meskipun kesuksesannya tak terlepas dari pro dan kontra, seperti tokoh politik yang dinilai sebagai ‘kutu loncat’. Tetapi harus ingat, pandai-pandai, kadang2 terasa bertentangan dengan nilai2 luhur yang diajarkan oleh guru, ustaz, dan lainnya. Sebab sebagaimana diketahui di dunia politik dan dunia peradilan, kadang2 bukan apa yang benar yang dilakukan tetapi ‘pembenaran’ dari setiap kata, taktik, siasat, demi kelompok, oraganisasi, idelogi dan sebagainya. Guru dosen kiyai, ustaz telah mengajarkan anda sesuatu yang ‘benar’ secara a priori, tetapi di dunia nyata, yang sering terjadi adalah ‘pembenaran’ secara a posteriori. Ini menuntut sikap ‘pandai-pandai’ yang memang tidak diajarkan oleh guru dan dosen, maka anda harus belajar berorganisasi dalam kampus dan di tengah masyarakat sebelum meningkat ke level yang lebih tinggi. Biasanya mahasiswa yang telah berpengalaman menjadi pengurus organisasi lebih menjanjikan sukses terjun ke dunia politik usai/tidak usai kuliah. Ibarat main bola kaki, guru dan dosen hanya mengajari anda main bola sesuai aturan sebatas tengah lapangan, namun siasat selanjutnya hingga gol, itu memerlukan kiat ‘pandai-pandai’ yang tak diajarkan oleh guru dan dosen. Bilamana anda menarik baju kaos lawan ke belakang agar bola tidak bisa gol dan tidak kelihatan oleh wasit, itu namanya ‘pandai-pandai’. Bilamana mahasiswanya sukses menjadi politikus terkenal, sang guru dan dosen tentu ikut bangga. Mereka bangga pada hasil (ends) tetapi belum tentu guru/dosen bangga pada kiat ‘pandai-pandai’ (means). Mengingat batas antara ‘means dan ends’ terasa kabur, maka di sini saya ingin bertanya pada ustaz: terkait hal ini, di mana kira2 batas yang jelas ’ilmun yantafa’un bih (ilmu yang bermanfaat) yang dikatakan oleh Nabi dapat mengalirkan pahala dari bekas muridnya ke dalam kubur sang guru/dosennya yang telah meninggal?

Terakhir, bertolak dari konsep filsafat Gadamer ‘Fusion of Horizons’ (Peleburan Cakrawala), nampaknya Study Tour sangat perlu dilakukan. Study Tour itu bukan sekedar jalan2, tamasya, tetapi demi terjadinya Peleburan Cakrawala antara mahasiswa yang berbaur dari berbagai kampus yang berbeda. Umpamanya, mahasiswa UIN Jambi mengadakan Study Tour ke UIN Jakarta dan UIN Yogya. Karena kedua UIN Jakarta dan Yogya tersebut sebagai Center of Excellence, maka diharapkan mahasiswa UIN Jambi diberikan peluang untuk ber’tamu’, ikut menghadiri kuliah beberapa mata pelajaran, ikut membaur dalam kelas, melihat langsung system perkuliahan yang berbeda dengan yang ada di kampusnya, melihat cara dosen2 muda pria dan wanita, para professor memberikan mata kuliah dan melihat system administrasi kampus serta berbagai aktifitas internal kampus. Peleburan Cakrawala akan terjadi antara mahasiswa dan saya rasa akan menyumbang bagi kedewasaan mental sang mahasiswa untuk berjuang ‘pandai-pandai’ setelah tamat nanti.

Nilai filosofis yang lebih dalam dari konsep Fusion of Horizons perlu dipahami dari konsep I-Thou (Saya- Kamu). Saya (I) sebagai subjek, dan Thou (Kamu) juga sebagai subjek (bukan sebagai objek). Thou itu adalah pihak lawan bicara, mitra diskusi, mitra mengembangkan cakrawala bersama (cakrawala I dan cakrawala Thou). Thou harus didengarkan cara berpikirnya dalam keberlainannya. Thou tidak ditundukkan oleh I, tetapi dibiarkan membukakan dirinya sendiri, menceritakan alur argumentasinya, betapapun terasa aneh bagi I. Demikian kira2 penjelasannya dari perspektif Gadamer. Lalu bagaimana kaitannya dengan Fusion of Horizonsnya mahasiswa yang Study Tour? Mahasiswa tamu bukan mengikuti kuliah di UIN Jakarta dan Yogya untuk mendapatkan nilai, bukan pula untuk membandingkan mana yang bagus dan yang kurang bagus, tetapi untuk memahami Thou (UIN Yogya dan Jakarta) dalam segala keberlaianannya. Ditanya: apa yang berbeda? Ditanya lagi: Mengapa ia berbeda? Ditanya lagi: Bila perbedaan tersebut didasari oleh keyakinan atau kebenaran, lantas bagaimana kebenaran semacam itu akhirnya membudaya dalam pola sikap dan prilaku Thou. Itulah kira2 yang perlu ditanyai oleh I (mahasiswa tamu).

Kenapa masih samar penjelasan pak Amhar? Begini konkritnya. Seandainya mahasiswa tamu (dari UIN Jambi) sempat bertemu muka dulu dengan alm. Prof. Harun Nasution di UIN Jakarta, maka mahasiswa mungkin akan kaget. Prof. Harun Nst dikatakan oleh Fathurrahman Jamil (bekas mahasiswanya) pernah memiliki seeokor anjing hitam besar di dalam rumahnya, di ruang tamu, sehingga mahasiswanya ketakutan untuk masuk menemui Prof. Harun. Takut karena pikirannya dikurung oleh ajaran Syafi’iyah. Dan Syafi’iyah itu baginya adalah Islam yang sebenar-benarnya untuk masuk sorga. Mahasiswa tamu akan bertanya dalam hati: kenapa Profesor ternama itu memelihara anjing? Bila dijawab bahwa Profesor tersebut mengikuti ajaran mazhab Malikiyah yang membolehkan memelihara seekor anjing. Ditanya lagi: Bila memelihara anjing itu didasari oleh keyakinan atau kebenaran, lantas bagaimana ia akhirnya membudaya? Semua jawaban atas keberlainan semacam itu tidak diseret kepada benar/ salah, diobjektivasi, tetapi ia tetap didengar dalam segala keberlaianannya. Dengarkan Prof. tersebut beragumentasi hingga tersingkap cara dia menemukan kebenaran. Ingat kebenaran iman/aqidah berbeda dengan kebenaran pengetahuan. Ini namanya Peleburan Cakrawala. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa ‘Kue Lebaran’ untuk mahasiswa ini menghidangkan bumbu2 pluralisme, akademis, ilmiah, dan menganjurkan untuk memahami batas2 antara ‘pandai’ dan ‘pandai-pandai’.

Sya’ir nasehat orang tua:
Bila anak pergi merantau…pandai-pandai di negeri orang,
Berkata bawah2, menyauk air di hilir2,
Induk Semang (majikan) cari lebih dulu!

Significance of Issue: dalam diskusi di atas, saya tidak mengajak mahasiswa UIN untuk mengobjektivasi (membenarkan/menyalahkan) Salafiyah. Sebab sikap mengobjektivasi tersebut tidak mencerminkan Fusion of Horizons oleh Gadamer, di mana the Other (Salafiyah) harus kita pahami dengan segala keberlainannya. Ia harus dijadikan ‘cermin’ untuk kita berkaca diri, bukan untuk diobjektivasi sebagaimana banyak kita dengar dari berbagai sumber. Jadi Fusion of Horizons adalah salah satu pintu masuk bagi berkembangnya pluralisme di Indonesia. UIN seyogyanya mempraktekkannya dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Mungkin bagi sebagian Guru Besar, ‘Kue Lebaran’ saya ini terasa usang, tetapi karena ia berasal dari hati yang tulus mengajar selama 35 tahun di UIN Jambi, justru yang ‘usang’ itu mungkin mengandung kenikmatan tersendiri.

Demikianlah sekelumit ‘unsur2’ yang ada dalam ‘Kue Lebaran’ saya untuk pembaca budiman di mana saja berada. Terimakasih telah menikmatinya, maaf lahir bathin. Sekian, mohon maaf bila ada kata2 yang salah, wassalam, pamit, Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share