KESENANGAN KUANTITATIF & KUALITATIF

Oleh : Ahmad Rasyid

Jum’at 19 Januari 2024
Semoga sehat2 selalu! Ada suatu kisah hidup menyentuh di hati saya. Waktu kecil sebelum SD,saya sering datang meminjam sapu lidi dan parang ke pondok/gubuk kecil milik Mbah Jawa dekat sawah saya di Payakumbuh, Sumatra Barat. Gubuknya terbuat dari rumput hilalang kering, ukurannya sekitar 4×5 m2, atapnya juga rumput hilalang kuning, tiangnya bambu2, lantai gubuk dan pekarangannya hanya tanah merah, kering, bersih, dikelilingi oleh kebun2 ubi. Dalam gubuk terdapat 1 dipan tidur rendah mungil terbuat dari bambu dan beralaskan tikar pandan plus dua buah bantal (Mbah lanang Mbah wedok), dekat tungku api tersusun beberapa potong kayu api kering, disitu tidur seekor anjing kesayangannya. Tidak ada radio apalagi TV. Tidak ada listrik dan air kran. Mbah wedok sudah bongkok sering terlihat menyapu tiap hari, ramah dan senyum, dalam alam kebun yang teratur, rapi, dan sunyi. Setelah 60 tahun berlalu, rinduuuu sekali saya ingin melihatnya lagi kini, tetapi 2 Mbah telah berpulang ke Ilahi Rabbi.

Kisah hidup di atas adalah potret kesenangan hidup KUALITATIF dan kerinduan padanya dalam filsafat disebut ciri Romanticisme. Bagaimana kisah hidup KUANTITATIF? Misalkan ada seorang pejabat daerah, rumahnya gedung besar menjulang tinggi, berpagar kawat berduri, berteralis besi, 4 mobil mewah dalam garasi, anak2nya kuliah di perguruan tinggi, isterinya cantik, mewah dengan perhiasan, baju, sepatu dan tas branded. Mereka pagi2 buru2 pergi kerja dan kuliah, semua pulang sore, kecuali si isteri entah kemana. Senang hati kita melihat kehidupannya tapi jangan iri hati. Mereka juga orang2 baik dan berbudi. Menurut saya itu potret kesenangan kuantitatif.

Dua potret kesenangan hidup kualitatif (bukan Res Cogitans dalam filsafat Kant) dan kuantitatif (Res Extensa) di atas jelas berbeda. Apa bedanya? Kualitatif menurut saya tidak bisa dihitung, ia hanya bisa dirasakan oleh yang bersangkutan. Ciri2nya bahagia, tenang, damai, soleh, menerima apa adanya (tawdhdhu’). Sementara kuantitatif bisa dihitung, jelas taksirannya, punya nilai ekonomi dan penghargaan sosial apalagi kebutuhan hidup serba terpenuhi. Kesenangan kuantitatif tentu juga mengandung kualitatif, tetapi ia penampakan luar saja (eksternal). Kira2 anda dan saya cenderung kemana ya? Mari kita diskusikan agak 3 alenia + 8 lagi biar ceritanya nyampe. Yang penting anda senang bacanya dan sudi beri komentar nanti.

Dalam kehidupan sosial hari ini nampaknya kesenangan kuantitatif jelas menjadi primadona, sangat dikejar, baik di kota maupun di desa. Mayoritas kita PNS dan Non PNS sama2 berselera pada kesenangan kuantitatif, tetapi pasti juga ada yang berorientasi kesenangan kualitatif. Tetapi bukankah kesenangan kuantitatif itu CARA untuk masuk kepada kesenangan kualitatif? Ini yang kurang dihayati oleh sebagian orang, baginya kuantitatif alfa-omega (dari A-Z). Kadang salah menilai, hidup yang jauh dari kuantitatif dikira tidak bahagia. Pada hal kuantitatif itu means (cara) bukan end (tujuan). Saya katakan CARA, sebab gemerlap kehidupan duniawi lebih bijak dirasakan pada kebahagiaan hidup yang kualitatif. Apa guna gedung/rumah mewah dibuat? Untuk tempat hunian dengan keluarga sekaligus prestasi sosial (tenang hati/bahagia). Untuk apa mobil berderet di garasi? Untuk alat transportasi dan prestasi sosial (senang hati). Untuk apa anak2 kuliah? Untuk menyongsong hidup masa depan dan prestasi sosial (senang hati). Untuk apa istri berhias diri? Ya untuk kesenagan hati dan sekaligus prestasi sosial. Semuanya pernak-pernik kehidupan fenomenal yang terlihat pretisius. Semua yang kuantitatif, kata kiyai, kelak akan menjadi ‘agenda’ malaikat untuk menginterrogasi pemiliknya. Anehnya pemilik kesenangan kualitatif bakal ‘bebas’ dari antrian interview di akhirat. Malaikat tidak akan bertanya:”Bahagiakah kamu hidup di gubuk tanpa berlangganan PLN dan PDAM?”

Jadi, kesenangan kuantitatif itu bisa diukur, dilihat orang, ditaksir nilainya dan bisa menjadi kebanggan prestasi sosial duniawi, sekaligus tanggung jawab ukhrowi. Ibu saya punya pepatah Minang: Kain pendinding miang (gatal kena kulit padi), Emas pendinding malu (sama orang lain). Bila Mak2 orang Minang pergi pesta di kampung tidak bergelantungan ringgit emas di leher plus gelang dan cincin emas di tangannya, ya sedikit malu/minder. Mungkin suku Bugis juga begitu. Maka punya title DR, Prof, dr, Pengacara, Notaris, Hakim, Ustad, Developer, Kontraktor, Kolonel, Bupati, dll, semuanya bagus sebagai barometer kesenangan kuantitatif, kesuksesan perjuangan hidup, tetapi itu semua berakhir pada kesenangan kualitatif yang masih dipertanyakan. Kenapa ia dipertanyakan? Who knows?

Sebab Buya Hamka mengatakan dalam bukunya Tasawuf Modern bahwa BAHAGIA ITU DALAM HATI, bukan pada kuantitas harta/pangkat/penilaian sosial. Tanyai isi perasaan anda sendiri: apakah saya ini bahagia? Bila iya, berarti bagus, bila tidak berarti semu. Dikatakan semu, sebab kesenangan kuantitatif anda hanya pada bentuk luar, kadang2 pada penilaian sebagian orang, sementara perasaan sendiri kacau, rumah tangga dak tenang, kaya materi miskin rohani. Ajaran Hamka ini lalu ditopang lagi oleh ajaran Imam al-Ghazali. Beyond (diseberang) kesenangan kuantitatif sangat diperlukan apa yang dinamainya dengan tawqify. Apa itu tawqify? Tawqify adalah fondasi tempat tegaknya kesenangan kuantitatif tersebut haruslah sesuai dengan ketentuan hukum dan norma Ilahi. Bila menyandang gelar Profesor, ya janganlah hasil dari joki. Seandainya di ruang tertentu ada orang bisik2, lantas kita minder sendiri, karena gelar guru besar kita tidak berdasar tawqify. Bila punya rumah atau mobil, ya janganlah dari sumber yang illegal. Bila berbunyi HP lalu perasaan gak tenang seakan ada intel yang tanya2, karena dasar tawqifynya gak jelas. Bila ada banyak harta orang di tangan kita, suatu saat dia nelpon, lantas kita merasa dia seakan nagiiih hutang terus. Bila ada orang mempertanyakan keabsahan ijazah, Jokowi terganggu. Makanya beyod kuantitatif harus ada tawqify. Itulah gabungan Hamka dan Imam al-Ghazali dengan contoh2 kontemporer oleh saya.

Lebih jauh, mari kita tanya tetangga luar negeri dengan contoh sosiologis. Saya pernah di stop pakai ibu jari kanan dalam perjalanan nyetir mobil pribadi Jakarta-Jambi oleh seorang pemuda Swiss yang sedang berjalan kaki sendirian di panas terik, saya tumpangi dan saya ajak dia nginap di rumah saya di Jambi dan kami bercerita pagi hari dalam b. Perancis sambil nyantap le petit dejeuner/breakfast. Kamu punya mobil di Swiss? Avez vous la voiture en Suisse? Dia bilang Non/tidak. Pourquoi/Why? Sebab Bpk dan Ibunya guru/PNS meski tinggal di kampung tetapi kendaraan umum/public transport sangat lancar: bus kota, kereta api, dsb. Lagi pula mobil perlu biaya banyak, dan biaya parkir mahal di mana2 katanya. Tetapi jelas sekali di Swiss tidak ada tetangga dan sanak famili yang usil dan peduli dengan ada/tdk ada mobil kita di garasi. Artinya perusahaan leasing/kredit otomotif lebih laris di negara kita bahkan di Malaysia, kata adik saya yang tinggal di Johor, dari pada di Swiss karena sebagian didorong oleh kebutuhan prestasi sosial. Maka hati2lah dengan kredit otomotif baru, boleh jadi kredit anda belum lunas, mobil listrik sudah merajalela. Mobil anda bakal ketinggalan zaman, dan kesenangan kualitatif melayang-layang utopis.

Memangnya ada orang yang mampu secara ekonomi tetapi kurang mementingkan kesenangan kuantitatif? Ada. Prof. Simuh, mantan Rektor IAIN Yogya, dikatakan tetap bersepeda ke kampus (mungkin kesenangan kualitatif beliau), sewajarnya naik mobil dinas (terlihat kuantitatif). Prof. Haroen Nasution (Guru Besar di IAIN Jakarta) dikatakan di akhir umurnya sering mengunjungi padepokan tentu untuk mencari ketenangan kualitatif, mustahil dia pergi kesana untuk kesenangan kuantitatif. Dua guru besar tersebut mengingatkan kita pada pembagian Socrates tentang 3 ciri kecenderungan manusia: pertama, orang yang cenderung mementingkan hanya bagian bawah badan (dari pusat/udel ke bawah) makan, minum, harta, sex (tahta, harta, wanita). Kedua, ada orang yang cenderung mementingkan dari pusat hingga leher: ini golongan kesatria, tentera, pahlawan (bela negara). Dan ketiga, ada orang yang jauh lebih mementingkan isi kepala dari pada pertengahan perut dan bagian bawah perut yaitu golongan filosuf. Anggaplah arti filosuf di sini orang yang mementingkan kesenangan kualitatif. Ia merasa puas/legowo dengan yang kuantitatif yang ada (tawadhdhu’). Anda setuju dengan Socrates? Boleh iya, boleh tidak. Saya incline pada kecenderungan yang mana ya?

Selain Socrates filosuf Yunani itu, Imam al-Ghazali juga banyak menjelaskan ketenangan kualitatif dalam kitabnya al-Munkiz min al-Dhalal. Tetangga saya Ustad Landong Rangkuti sangat paham itu, tamatan pesantren Purba Tapanuli Selatan. AA Gym juga berdakwah dengan Manajemen Qalbu (Kualitatif). Mereka ulama2 besar yang telah berjasa dalam hidup kita. Tulisan ini juga sealur seirama dengan dakwah mereka tetapi memakai langgam filosofis. Fokus saya lebih mempersoalkan kesadaran: bagaimana anda tahu bahwa kesenangan kuantitatif sudah ‘mengendap’ kualitatif? Sebab banyak adik2 PNS yang baru berumah tangga, baru dapat SK, tertanggung kredit rumah, mobil, motor dan lainnya. Ada prestasi sosial yang sangat digenjot, boleh jadi overloaded. Teman2 sekerja dan tetangga mungkin menilai kuantitas hartanya, sanak saudara dari kampung datang pula menilai, boleh jadi kesenangan kuantitatif tidak sampai kepada kesenangan kualitatif (resah dalam hidup karena banyak tanggungan). Keresahan hati (emotional stress), was was dengan tanggal jatuh tempo, boleh jadi akan mempercepat merontokkan atom2 tubuh, sebab pengaruh luar badan akan mempercepat proses di dalam tubuh, mudah2an tidak terjadi. Saya hanya empiric saja melihat nasib 2 tahanan KPK. Itu isi tesis tulisan saya Jumat kemaren masih saya pertahankan walaupun sudah dikomentari oleh beberapa Professor yang lebih ahli. Terimakasih pada Prof. Budyawan dan Prof. Choirul Muslim. Ternyata Falsifikasi Popper belum terlihat. hehe

Demikian pula para Calon yang gambarnya berjejer di baleho2 sekarang ini. Apakah ada jaminan kesenangan kualitatif pasti bakal di dapat setelah tercapai kesenangan kuantitatif (terpilih) nanti? Seandainya kalah nanti, gerak atom2 dalam organ tubuh, bisa jadi berdampak negatif pada kesehatan. Bukan kursi di gedung perwakilan yang didapat, tetapi ‘ketawa sendiri’ di Rumah Sakit Jiwa. Dimana kesenangan kualitatif yang dicari? Mereka akan menjadi korban calon legislatif, sebagai efek samping proses perwujudan Trias Politica di negeri ini. Dalam keadaan sosial yang galau semacam itulah saya mengajak anda semua merenung, terutama generasi muda,…ya merenungkan betapa bedanya kesenangan kehidupan kualitatif dan kuantitatif. Ya mustahil pula kita mau hidup di gubuk mirip punya Mbah yang saya rindukan di atas. Dunia modern sering diukur dengan kuantitatif sebagai logika zaman. Punya harta dipuja, gak punya harta dihina…maka bernyanyilah Panbers: Di dunia ini …aneh rupanya…..,

Kesimpulannya, pandai2lah menggiring kesenangan kuantitatif kepada kesenangan kualitatif, sesuai Tasawuf Modern Buya Hamka. Bila gagal menggiringnya, kasihan. Kasihan diri anda, apalagi sampai berurusan dengan jaksa dan KPK karena tergiur tumpukan atom2 Res Extensa. Hidup di dunia ibarat pohon di hutan, ada yang tinggi ada yang rendah dan posisi kita yang mana? Mau lebih hebat dari tetangga? Itu sih belum seberapa, di Jakarta banyak yang jauh lebih kaya, bahkan di Hollywood, orang jauh pula lebih kaya dari pada yang di Jakarta. Elon Musk, Mark Zuckerberg, dan Bill Gate: kesenangan kuantitatif mereka jelas tak tertandingi, tetapi anda dan saya bisa bertanding dengan mereka pada kesenangan kualitatif. Ya kualitatif dalam dada. Tanyai ketenangan batin anda! Kita ke atas dunia bukan untuk mengurus kuantitatif saja, iya kan?. Ujung2nya ingat kata Nabi: Khoirul amal awshathuha (Sebaik-baik pekerjaan adalah sedang2 saja). Sekian dulu pembaca budiman, mohon maaf bila ada kata2 yang salah, tulisan ini tulus ditulis tanpa ‘reward’ kuantitatif sesama kita. Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share