Kerinci di Persimpangan: Hutan Lindung Dibabat, Masyarakat Terjepit, TNKS Diam?

Afif Iman Rohim (Kabid Lingkungan Hidup IMM Kerinci)

Kabupaten Kerinci, yang dikenal sebagai lumbung padi di Provinsi Jambi, kini menghadapi masalah serius dengan semakin menyempitnya lahan produktif. Faktor utama penyempitan ini adalah alih fungsi lahan menjadi kawasan perumahan, pembangunan infrastruktur, serta eksploitasi wilayah untuk kepentingan komersial. Dalam kondisi ini, sebagian masyarakat mulai menjadikan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, termasuk dengan membabat hutan lindung.

Namun, persoalan ini menimbulkan dilema besar. Di satu sisi, masyarakat berjuang mempertahankan hidup di tengah keterbatasan lahan. Di sisi lain, aktivitas pembukaan hutan di kawasan TNKS melanggar Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ironisnya, hingga saat ini, pihak pengelola TNKS tampak kurang tegas dalam memberikan sanksi atau menegakkan aturan terhadap pelaku perusakan hutan lindung.

Masalah ini dapat dianalisis menggunakan teori konflik dalam pengelolaan sumber daya alam. Menurut Simon Fisher m konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki sasaran tidak sejalan. Dalam teori ini, konflik muncul akibat perebutan sumber daya yang terbatas antara berbagai pihak, yakni masyarakat lokal dan pemerintah/pengelola kawasan konservasi. Masyarakat merasa bahwa lahan produktif untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka semakin menyusut, sementara pihak TNKS memiliki kewajiban menjaga ekosistem hutan lindung demi kepentingan jangka panjang.

Salah satu kebijakan yang diambil oleh pihak TNKS adalah program penjualan emisi karbon. Secara teori, program ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global dengan cara melindungi kawasan hutan sebagai penyerap karbon. Namun, pertanyaannya: apakah hasil dari program ini benar-benar memberikan manfaat langsung kepada masyarakat lokal?

Pada hasilnya, sebagian besar keuntungan dari penjualan karbon cenderung dinikmati oleh pihak pengelola atau mitra internasional, tanpa memberikan kompensasi yang layak bagi masyarakat sekitar. Hal ini menciptakan ketimpangan yang memperparah ketidakpuasan masyarakat lokal. Mereka merasa tidak mendapatkan solusi konkret untuk mengatasi masalah penyempitan lahan produktif yang menjadi kebutuhan dasar mereka.

Istilah “peradangan karbon” menggambarkan situasi di mana kebijakan terkait perubahan iklim dan penjualan karbon justru memicu konflik baru di tingkat lokal. Dalam konteks TNKS, masyarakat lokal hanya menjadi penonton dari program yang dijalankan, sementara mereka terus menghadapi kesulitan ekonomi dan sosial akibat penyempitan lahan. Alih-alih memberikan manfaat langsung, program ini justru menambah tekanan dengan mempersempit akses masyarakat terhadap sumber daya alam.

Pemberdayaan Masyarakat Lokal
Pihak TNKS harus melibatkan masyarakat lokal dalam program konservasi dengan memberikan alternatif penghidupan, seperti agroforestri, ekowisata, atau pelatihan keterampilan berbasis lingkungan.

Penguatan Penegakan Hukum
Penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan lindung harus diperketat, tetapi dengan pendekatan yang humanis. Misalnya, memberikan sanksi sosial atau kompensasi yang mendidik daripada semata-mata menghukum.

Transparansi dalam Program Penjualan Karbon
Pihak TNKS perlu memastikan bahwa sebagian hasil dari penjualan emisi karbon dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, misalnya dalam bentuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau subsidi pertanian.

Penyempitan lahan produktif di Kabupaten Kerinci dan pembukaan kawasan TNKS adalah masalah kompleks yang membutuhkan solusi holistik. Pihak TNKS perlu lebih proaktif dalam menegakkan aturan, namun juga harus menyediakan solusi nyata bagi masyarakat untuk bertahan hidup. Program penjualan karbon yang ada saat ini harus dioptimalkan untuk memberikan manfaat langsung kepada masyarakat lokal, sehingga tidak hanya menjadi proyek global yang mengabaikan kebutuhan mendesak di tingkat lokal. Keseimbangan antara kepentingan konservasi dan kesejahteraan masyarakat harus menjadi prioritas bersama.

*Silakan Share