Kejahatan Politik Uang Dalam Pilkada

Oleh :
Dr. Hamka Hendra Noer
, M.Si

Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta

Banyak pakar menyebut, bahwa bukan hanya rakyat (konstituen) yang menentukan citra pilkada, tetapi siapapun yang mempengaruhi rakyat guna mendapatkan dukungan akanberpengaruh terhadap citra demokrasi. Salah satu penyakit politik dan penyimpangan hukum yang menodai citra pilkada adalah politik uang (money politics).

Sudah saatnya setiap anggota masyarakat tidak menggadaikan demokrasi dengan politik uang, karena politik uang hanya akan membuat masa depan negara menjadi makin terpuruk tanpa etika. Politik uang dapat dikategorikan sebagai praktik suap-menyuap atau perbuatan terlarang merusak bangunan (konstruksi) pemerintahan.

Adagium Duncan (1997), “jika seseorang memiliki satu sen uang, maka dia berkuasa sejauh satu sen atas manusia”, ini ditujukan sebagai kritik keras terhadap setiap orang yang punya kekuasaan dan menjadikan uang sebagai alat utamanya. Duncan sangat geram terhadap orang yang menggunakan uang sebagai senjata utama untuk memenangkan pertarungan dalam kekuasaan. Cara ini bukan hanya akan menutup kran persaingan yang sehat, cerdas, dan transparan, tetapi mampu mendegradasi kredibilitas manusia di bawah kekuasaan uang.

Uang dan politik ibarat makanan (nasi) dan lauk, keduanya harus selalu seiring dan sejalan.Begitupun terjun dalam dunia politik praktis tanpa mempunyai uang hanya akan membuat imajinasi kekuasaan semakin menjauh. Bagi yang ingin terjun dalam dunia politik, harus mempunyai uang sebagai faktor determinan untuk bisa maju dalam kancah politik.

Pilkada langsung mempunyai nilai signifikan dalam pembangunan demokrasi yang sehat dan dinamis. Demokrasi yang sehat dan dinamis harus dipahami sebagai sebuah proses menuju masyarakat yang lebih cerdas, mandiri dan bermartabat. Pilkada adalah momentum untuk membangun kesadaran guna melahirkan pemimpinyang berjiwa rasional, jujur, anti KKN (kolusi, korupsi, nepotisme), bertanggung jawab, dan tidak melakukan berbagai bentuk penipuan terhadap rakyat dalam bentuk apapun.Namun, pilkadatidak selamanya akan melahirkan pemimpin yang paripurna bisa jadi penuh dengan berbagai kecurangan dan rekayasa manipulatif.

Pelaksanaan pesta demokrasi lokal banyak menuai persoalan diberbagai daerah. Fenomena politik uang mewarnai berbagai pilkada di tanah air. Hal ini tentu menjadi gambaran bahwa tingkat kecurangan dalam pilkada sangat tinggi. Namun untuk mengurai benang kusut tersebut, masyarakat perlu mendapatkan informasi yang akurat tentang praktik politik uang serta perangkat peraturannya.

Dan permasalahan yang menjadi perhatian penulis adalah persoalan kejahatan politik uang dalam pilkada yang dilakukan oleh elit politik guna membeli suara rakyat.

Praktek Politik Uang Oleh Elit

Sebagian besar rakyat telah terbiasa dengan praktik (politik uang) dalam proses politik pilkada langsung, baik untuk memilih gubernur, bupati/walikota.Padahal salah satu pertimbangan dilakukannya pemilihan langsung agar praktik politik uang bisa diminimalisir. Bahkan dalam demokrasi langsung sebagaimana yang terjadi selama ini, praktik politik uang menjadi semakin tidak terkendali. Berbagai peraturan perundang-undangan yang melarang praktik haram ini, seolah dibuat hanya untuk melanggar.

Praktik politik disetiap perhelatan politik yang kemudian menyebabkan masyarakat tidak bisa membedakan antara penyelenggaraan mekanisme politik dengan politik uang. Singkatnya, terbangun pandangan umum di masyarakat bahwa politik uang dalam setiap kompetisi politik adalah sebuah keharusan.

Partai politik tidak siap menyediakan kader-kader handal, terkecuali kader PKS telepas pro-kontra yang ada, baik sebagai calon maupun sebagai relawan yang mau bekerja secara militan untuk mensosialisasikan calon yang diajukan oleh partai. Dengan demikian, calon yang maju kemudian melakukan cara-cara instan dan praktis untuk menggerakkan rakyat yang memilikihak suara untuk memberikan hak pilihnya.

Hal ini kemudian menyebabkan kualitas pejabat publik menjadi terabaikan. Sebab,orang dipilih menjadi pejabat politik bukan karena kualitas, kapasitas, dan kompetensinya untuk menempati posisi politik tersebut, tetapi semata-mata karena memberikan uang kepada para pemilih menjelang pemilihan.

Inilah menyebabkan jabatan publik akhirnya ditempati oleh kaum medioker alias mereka yang sesungguhnya tidak memiliki prestasi memadai untuk menjalankan struktur negara. Akibatnya, struktur negara tidak bekerja dengan baik untuk mewujudkan cita-cita negara mewujudkan kebaikan bersama (common goods).

Tidak bisa dipungkiri lagi, dalam ranah politik, uang merupakan faktor yang sangat penting. Uang bisa memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi terbentuknya keseimbangan demokrasi. Namun uang juga bisa menjadi bencana manakala pemanfaatannya tidak didasarkan pada aturan legal-formal untuk mendanai aktivitas ilegal.

Dalam konteks ini, uang menjadi alat membeli suara (money politics) atau sebagai alat jual-beli jabatan untuk mengejar kepentingan politik elit sesaat. Kenyataan menunjukkan bagi elit yang mempunyai uang banyak, seringkali menjadikanpraktek politik untuk mencapai kekuasaan. Sementara bagi mereka yang tidak berduit, akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang.

Rakyat akan mendapatkan sosok pemimpin yang menghalalkan segala cara dalam kapitalisme politik. Rakyat akhirnya semakin menyempitkan makna politik identik dengan kedudukan dan derasnya aliran uang. Rakyat diperangkap dan mengikutipembenaran aborsi pendidikan demokrasi yang digerilya secara massif oleh oportunis politik.

Akibatnya, pada pilkada,rakyat mustahil bisa membaca dengan cerdas dan obyektif kandidat yang hendak dipilih. Nurani rakyat tidak lagi obyektif karena kuatnya hegemoni uang mengaburkan kecerdasannya. Sementara itu, paska terpilih dan menjalankan roda pemerintahan ada gubernur, bupati/walikota yang berurusan dengan hukum karena melakukan korupsi.

Berdasarkan data KPK sejak tahun 2004-2022, sudah 22 gubernur dan 148 bupati/walikota telah ditindak oleh KPK. Bahkan, ICW (2018) mencatat sepanjang tahun 2010-2018 tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum.

Akar masalah praktik rasuah ini salah satunya karena tingginya biaya politik. ICW (2018), mencatat mahalnya biaya politik setidaknya disebabkan dua hal yakni, politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying). Ini diperkuat oleh kajian Litbang Kemendagri tahun 2015, untuk mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati/walikota membutuhkan biaya Rp. 20-100 miliar. Sementara, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode.

Dalam pilkada yang membuat kandidat terpaksa menguras uangnya, ketika berhasil mendapatkan posisi yang diinginkan. Pimpinan ini potensial memanfaatkan kekuasaanya untuk melunasi utang-utang atau menutup pengeluarannya saat pilkada.Ini membuktikan pernyataan Lord Acton, Guru Besar sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19. Adagiumnya,“power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).

Tidak bisa dipungkiri, uang memegang peranan penting dalam proses politik. Bagaimana tidak, elit yang tadinya tidak popular, tidak punya kapasitas, dan kredibilitas bisa dengan mudah menggapai kekuasaan yang diperebutkan banyak orang hanya dengan benda bernama uang. Bagi elit politik yang mempunyai uang, tidak akan terlampau sulit untuk mempengaruhi masyarakat pemilih dengan beragam cara seperti pemanfaatan media (iklan, siaran radio, dan semacamnya) untuk membangun citra diri dan mensosialisasikan visi dan misi mereka.

Pada saat yang sama, bagi yang tidak punya uang, ruang geraknya akan terbatas sehingga kesempatan untuk memenangi pertarungan semakin sulit meskipun tidak ada garansi yang punya uang banyak akan selalu menang dalam perebutan kekuasaan.Politik uang akhirnya menjadi kekuatan yang mampu “mengaborsi” pendidikan demokrasi.

Meskipun tidak bisa dinafikan, produk undang-undang termasuk perangkat sistem pengawasan terhadap praktek “money politics” sudah dibentuk, namun kenyataannyamasih sangat susah untuk dibendung. Agaknya fenomena ini masih tetap menjadi trend yang selalu menghiasi wajah perpolitikan Indonesia baik di tingkat nasional maupun lokal. Kekuatan politik uang seperti “hantu” yang bisa masuk ke berbagai lapisan masyarakat.

Melihat realitas tersebut, politik uang sangat jelas memberikan andil dalam menyuburkan benih kebobrokan moral masyarakat. Memang uang merupakan benda mati, namun uang seperti halnya pisau, tergantung siapa dan untuk apa benda tersebut dipakai. Uang bisa memberikan makna positif manakala digunakan untukaktivitas yang legal dan mempunyai implikasi positif bagi masyarakat. Politik uang membuat demokrasi tidak ubahnya seperti obyek mati yang dimainkan oleh elit politik sesuka hatinya.

Tanpa bermaksud mengamini apa yang digambarkan oleh Aspinall dan Sukmajati (2015), uang semakin menampakkan wujudnya yang buruk ketika dimainkan oleh segelintir elit yang tidak bertanggung jawab untuk tujuan mencapai kekuasaan. Bagi elit yang melakukan praktek kotor melalui “money politics”, secara tidak langsung telah melakukan kejahatan dan pembodohan terhadap masyarakat. Masyarakat yang semestinya sebagai pemegang kedaulatan, akhirnya dikorbankan dalam pembodohan atasnama realitas budaya atau kepentingan temporer.

Dampak ikutan yang paling mengenaskan dari praktik politik uang adalah suksesnya para elit menularkan kebiasaan buruk tersebut. Dikatakan sukses karena praktik sudah mewabah di masyarakat. Dalam derajat tertentu, masyarakat sangat tergantung kepada “makhluk uang” terutama ketika mereka harus ikut berpartisipasi dalam politik. Lebih tragis lagi masyarakat sampai tidak mau memberikan suara kalau mereka tidak diberi uang atau bantuan yang lain.

Perilaku Tercelah Politisi

Praktik politik uang dapat dihindari jika para politisi dan masyarakat menyadari sepenuhnya bahwa pilkada harus berjalan sesuai dengan aturan. Masyarakat harus terlibat secara cerdas dan ikut memantau proses pilkada dengan berpatokan pada ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, persoalan politik uang dalam pilkada semuanya dikembalikan kepada masyarakat dan kejujuran para politisi yang akan berlaga. Disamping itu, penegakan hukum kepada setiap orang yang melanggar tanpa pandang bulu harus menjadi prioritas utama.

Penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran dalam pilkada dipahami sebagai langkah maju dalam membangun daerah yang bersih dan berwibawa. Proses penegakan hukum harus diawali dari kesungguhan pemerintah tidak hanya sebatas jargon saja. Sebab penegakan hukum adalah persoalan keberanian dan nyali. Penegakan hukum harus seperti dua mata pedang yang sama-sama tajam. “Ke atas tajam, dan ke bawah pun tajam, tidak seperti penegakan hukum yang menggunakan logika kapak, ke bawah tajam sedangkan ke atas tumpul”.

Jika politik uang terus terjadi, dapat dipastikan dunia politik akan menjadi semakin rusak. Demokrasi prosedural hanya akan menjadi lahan bagi kaum mediokeruntuk meraih kekuasaan. Bahkan sangat mungkin demokrasi prosedural akan dimanfaatkan oleh elit yang memiliki perilaku tercelah dan rakus untuk menguasai harta kekayaan negara.

Karena itu, segala macam cara elit lakukan untuk memperoleh kekuasaan. Dan kekuasaan nantinya digunakan untuk mengembalikan uang yang terpakai sebelumnya. Bahkan digunakan politisi untuk mendapatkan kekayaan dengan jumlah yang berlipat-lipat. Karena itulah, politik uang harus dianggap sebagai kejahatan besar yang harus dilawan dan dienyahkan secara bersama-sama. Kejahatan politik uang tidak boleh dibiarkan tumbuh subur, kecuali masyarakat di negeri ini merelakan demokrasi ikut terkubur.

Dalam pandangan Haryatmoko (2003) perlawanan praktik politik uang memerlukan para politisi sejati yang benar-benar memahami bahwa politik adalah seni menata negara untuk menciptakan kebaikan bersama agar rakyat lebih sejahtera. Senada dengan Haryatmoko, Thompson (2000), berpendapat politik memerlukan orang-orang baik, yang memiliki keunggulan komparatif, kompetensi, dan sekaligus juga memiliki keunggulan kompetitif.

Sebab, kebaikan dalam politik perlu diperjuangkan untuk kebijakan politik negara. Nilai hanya akan menjadi hidup apabila ia telah terinternalisasi ke dalam praktik kehidupan keseharian. Nilai yang tak tertransformasikan, hanya akan berada di “menara gading”dan tidak akan memberikan pengaruh nyata kepada kehidupan rakyat banyak.

Untuk mengontrol merajalelanya praktik penyelewengan uang dalam dunia politik, harus ada good will dan komitmen semua pihak untuk berusaha keras agar bisa membendung praktek terlarang tersebut. Mengikutsertakan semangat kredibilitas dan akuntabilitas saja tidak cukup, sehingga aspek moral harus ditempatkan di garda terdepan.

Menurut Hamilton (2001), moralitas memberi andil yang cukup besar dalam rangka membendung praktek kotor yang kerap muncul dalam dunia politik. Moralitas merupakan “tameng” yang mampu mencegah kecenderungan melakukan penyimpangan norma yuridis seperti politik uang.

Penyuap itu menggunakan uang, barang, atau lainnya yang kadarnya berharga, yang bisa mempengaruhi keyakinan, ideoiogi, agama, dan ketahanan moral pihak yang disuap. Sementara yang disuap juga berani mempertaruhkan keyakinan, ideologi, agama dan ketahanan moralnya demi menuai keistimewaan atau dimensi privilitas yang diberikan penyuap.

Logis jika agama mengutuk perbuatan itu, karena kesucian moral telah digadaikan, dibarterkan, dan dimatikan oleh kedua belah pihak yang menyepakati lahirnya kepentingan hedonisme politik, kepuasanbiologis, dan arogansi diri atas nilai. Kontrak bermuatan “pembusukan moral” (moral decay), yang kemudian popular disebut money politics, karena salah satu klausulnya menempatkan uang atau yang dinilai dengan uang sebagai kiblat sejatinya.

Terbukti, begitu money politics berlaku dan berjaya, maka idealisme yuridis dan kemapanan moral keagamaan menjadi runtuh dan lenyap ditelan prahara kejahatan berdimensi kekuasaan yang sedang menempati piramida tertingginya.

Kekuatan praktik suap-menyuap, sudah memasuki pori-pori kehidupan masyarakat.Saya khawatir, semoga saja tidak terjadi, karya fenomenal Machiavelli (2008) “Sang Pangeran” bahwa, “seorang pemimpin harus menghalalkan segala cara, termasuk yang licik dan amoral, untuk menggapai tujuan dan stabilitas negara”akan berkembang dengan subur dalam praktek demokrasi kita hari ini. (*)

Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta

*Silakan Share