IDEAA.ID – Jakarta. Pemerintah tengah mempertimbangkan kenaikan harga BBM subsidi Pertalite dan Solar. Namun, kebijakan tersebut dinilai belum tepat jika diberlakukan dalam waktu dekat.
Hal tersebut dikatakan Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi. Dia berpendapat bahwa kenaikan tersebut akan berimplikasi negatif terhadap laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Angka inflasi di Indonesia hampir menyentuh 5 persen di Juli 2022 yakni, 4,94 persen secara tahunan (yoy). Naiknya harga inflasi tersebut disebabkan oleh kenaikan harga komoditas global dan tekanan inflasi oleh beberapa daerah.
Sinyal kenaikan harga Pertalite dan Solar sudah diungkapkan mulai dari Presiden Joko Widodo, disusul Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, dilanjutkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Terbaru, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Jokowi mungkin akan mengumumkan kenaikan harga Pertalite dan Solar pada pekan depan.
Menurut Fahmy, beban APBN untuk subsidi energi memang semakin membengkak hingga mencapai Rp 502,4 triliun. Bahkan bisa mencapai di atas Rp 600 triliun jika kuota Pertalite yang ditetapkan sebanyak 23,05 juta kiloliter di tahun ini akhirnya jebol.
“Namun, opsi kenaikan harga BBM subsidi bukanlah pilihan yang tepat saat ini. Alasannya, kenaikkan harga Pertalite dan Solar, yang proporsi jumlah konsumen di atas 70 persen, sudah pasti akan menyulut Inflasi,” katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu (20/8).
Dia menyebutkan jika kenaikan Pertalite mencapai Rp. 10.000 per liter, kontribusi terhadap inflasi diperkirakan mencapai 0.97 persen, sehingga inflasi tahun berjalan bisa mencapai 6,2 persen (year-on-year/yoy).
“Dengan inflasi sebesar itu akan memperburuk daya beli dan konsumsi masyarakat sehingga akan menurunkan pertumbuhan ekonomi yang sudah mencapai 5,4 persen. Agar momentum pencapaian ekonomi itu tidak terganggu. Pemerintah sebaiknya jangan menaikkan harga Pertalite dan Solar pada tahun ini,” jelasnya.
Fahmy melanjutkan, pemerintah sebaiknya fokus pada pembatasan BBM bersubsidi, yang sekitar 60 persen tidak tepat sasaran. Dia juga menilai, MyPertamina tidak akan efektif membatasi BBM, bahkan menimbulkan ketidakadilan dengan penetapan kriteria mobil 1.500 CC ke bawah yang berhak menggunakan BBM subsidi.
“Pembatasan BBM subsidi paling efektif pada saat ini adalah menetapkan kendaraan roda dua dan angkutan umum yang berhak menggunakan Pertalite dan Solar. Di luar sepeda motor dan kendaraan umum, konsumen harus menggunakan Pertamax ke atas,” tuturnya.
Pembatasan itu, menurut Fahmy, selain efektif juga lebih mudah diterapkan di semua SPBU. Sehingga, kriteria sepeda motor dan kendaraan umum yang berhak menggunakan BBM subsidi harus segera diterapkan di Perpres No 191/2014 sebagai dasar hukum.
“Ketimbang hanya melontarkan wacana kenaikkan harga BBM subsidi, pemerintah akan lebih baik segera mengambil keputusan dalam tempo sesingkatnya terkait solusi yang diyakini pemerintah paling tepat tanpa menimbulkan masalah baru,” pungkas dia. (Sumber: kumparan.com)