IMMANUEL KANT: ‘SERULING BERLOBANG 12’


Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, 14 Februari 2025

Assalamu’alaikum wr,wb.

Tulisan ini mungkin agak berat karena sangat filosofis. Ia dengan segala kerendahan hati ditujukan untuk anda yang suka membaca tulisan saya tiap Jumat dan ingin tahu sedikit tentang pemikiran filosuf Jerman bernama Immanuel Kant (1724-1804), maka saya gunakan pendekatan religious-filosofis tetapi menyuguhkan contoh2 keseharian. Pertanyaannya saya mulai sebagai berikut. Benarkah isteri anda atau suami anda sekarang hanyalah PENAMPAKAN dari isteri/suami anda yang TAK kelihatan seutuhnya? Biasanya dengan mendengar suaranya di balik kamar saja anda sudah yakin bahwa itu pasti pasangan anda. Kata Kant: Itu bukan dia yang sebenarnya. Benarkah bila anda melihat dan bersalaman dengan Jokowi adalah Jokowi yang sebenarnya? Kata Kant: Bukan Jokowi yang sebenarnya. Kalau cara berpikir Kant semacam itu ada benarnya, maka saya bertanya lagi, bukan kepada anda, tetapi kepada alm. Immanuel Kant sendiri: apakah al-Qur’an yang dimiliki kaum Muslimin sekarang adalah penampakan dari al-Qur’an yang sebenarnya di Luh Mahfuz? Filosuf Immanuel Kant tak tahu al-Qur’an dan tak kenal Luh Mahfuz, sayang sekali jadi ‘hewan’…yang berpikir.

Kenapa begitu cara berpikir Immanuel Kant? Begini penjelasannya. Prof. Budi Hardiman dalam bukunya Pemikiran Modern (Yogya: Kanisius, 2019) p. 131-137 dan Dr. Fitzerald Sitorus (keduanya tamatan Jerman) dalam kuliahnya di YouTube menjelaskan cara berpikir filosuf besar Immanuel Kant tersebut. Di dunia ini, kata Kant, semua tampilan objek terbagi dua: ada yang bisa kita alami namanya fenomena. Dan ada pula yang tak bisa kita alami namanya numena. Oleh sebab itu menurut Kant, kata F. Hardiman, ‘penampakan objek’ di mata manusia bukanlah ‘objek’ itu sendiri, itu hanyalah gejala dari sesuatu yang sesungguhnya. Artinya, dalam bahasa saya, bila anda melihat Jokowi, itu bukanlah Jokowi itu sendiri. Yang anda lihat itu adalah Jokowi yang sudah anda pahami, Jokowi yang sudah anda serap ke dalam kepala dengan segala macam penilaian anda atasnya. Berbeda kan?

Maka apa yang kita alami, kata Immanuel Kant, selalu merupakan hasil gabungan (sintesis) dari dua faktor: Factor luar dan Factor dalam. Faktor luar berupa apa2 yang kita alami dengan Panca Indera. Faktor dalam adalah unsur2 a priori yang ada dalam kepala sendiri. Factor luar dinamai Kant dengan materia (isi), misalnya sosok Jokowi, kurus, tinggi, sering berbaju putih, sering mengusap rambutnya dengan tangan kiri, senyum, dll. Kenapa bisa terlihat demikian? Sebab ada factor dalam. Faktor dalam dinamainya dengan forma (bentuk), ini adalah unsur2 dalam kepala kita yang samar, tetapi ia sangat diperlukan untuk memfasilitasi factor luar agar bisa mengalami objek. Forma adalah ‘sesuatu yang memungkinkan berbagai penampakan itu tersusun dalam hubungan2 tertentu’ mengutip kalimat F. Budi Hardiman dalam bukunya halaman 136. Ini mungkin mirip sarang madu lebah yang berbentuk kotak2 kecil persegi, tetapi jumlahnya hanya 12 category, kata Kant ia berasal dari bawaan kita sejak lahir.

Bagi saya cara mudah untuk menjelaskan penggabungan (sintesis) Forma dan Materia begini. Ibarat kita punya 2 buah seruling (mirip terompet), ada seruling kecil dan ada seruling besar. Seruling kecil di tangan kanan (dinamai oleh Kant dengan materia) yang bersifat a posteriori (berisi pengalaman) sementara ada satu lagi seruling lebih besar di tangan kiri kita (dinamai oleh Kant dengan forma) yang bersifat a priori (kosong pengalaman) inilah yang mempunyai 12 lobang, lalu keduanya kita sambungkan/sintesakan. Setelah tersambung keduanya maka kita dapat ‘meneropong’ alam sekitar. Tanpa tersambungnya kedua seruling itu mustahil kita memahami isteri kita, Jokowi, pagar laut, kelangkaan gas, ayat al-Qur’an, dan lainnya bila dilihat dari filsafat Kant. Singkat kata forma dan materia harus ‘tersambung’. Walaupun telah tersambung keduanya, namun masih ada satu lagi unsur ‘yang terpisah sendiri’ (tak mampu dilihat, diraba, dicium, dicicip, bahkan didengar oleh siapapun). Kant menamakannya dengan istilah das Ding an Sich (independent di luar pengalaman).

Das Ding an Sich artinya ‘sesuatu pada dirinya’(Thing in It Self): ia tak mampu seutuhnya kita kenali lewat panca indera, tetapi ia pasti ADA. Contoh, coba lihat isteri/suami anda. Apakah setelah melihatnya anda yakin sudah melihat seutuhnya? Bila anda jawab ‘sudah’, itu pandangan orang awam. Sementara filosuf melihat dengan cara yang berbeda. Apa bedanya? Filosuf yakin bahwa isteri/suami anda memiliki keutuhan (totalitas) pada dirinya sendiri: mulai dari ujung rambut hingga ujung kakinya, hingga isi2 perut, jantung, paru2, buah pinggang, otak, tekanan darah, jenis penyakit yang dideritanya, hobbynya, termasuk keseluruhan pembuluh nadi dan saraf2nya bahkan perasaan cintanya pada anda dan cara berpikirnya, dan banyak hal2 lainnya. Kesatuan yang totalitas semacam itu semua, yang tak mampu terpahami oleh kita orang awam, tetapi ia ada dengan sendirinya (di seberang jangkauan Panca Indera anda), itu semua DIBUNGKUS dalam satu paket tersendiri yang disebut dengan das Ding an Sich. Maka das Ding an Sich lepas dari pengalaman kita, tetapi ia ADA. ADA dalam sesuatu yang abstrak. Apakah perumpamaan ini bisa dipahami? Mudah2an saya tidak salah.

Diulangi, Forma yang didalam kepala kita, kata Immanuel Kant, memang memiliki 12 category. Saya lalu mengumpamakannya dengan 12 lobang. Apa itu category? Saya tak akan menjelaskannya sebab rumit, bikin anda puyeng. Anda membaca, menonton di HP, melihat sosok Jokowi, Pagar laut, minum kopi, mengajar di kelas, menyetir mobil, mencuci, memasak di dapur, mengambil duit di ATM dan sebagainya adalah karena berfungsinya kedua seruling tersebut. Itulah gambaran dari saya tentang proses kita memahami segala sesuatu berdasarkan filsafat Kant. Lagi2 Saya tak akan membahas cara berpikir Immanuel Kant ini secara luas karena rumit, nanti anda lari. Yang jauh lebih penting ialah bagaimana kaitan filsafat Kant ini dengan masalah keagamaan kita? Masalah keagamaan bukanlah masalah agama: Masalah keagamaan artinya masalah pemahaman kita lebih terkait hidup bermu’amalat/bukan persoalan aqidah.

Sekarang tibalah saatnya pada pertanyaan yang sangat penting. Bagaimana bila seorang ustaz/kiyai/buya berceramah? Kita biasa mendengar ceramah ustaz Somad, Zainuddin MZ, Mama Dedeh, Dr. Hasbullah di TV Jambi dan lainnya, dan kita terpukau dan mengangguk. Bila dilihat dari filsafat Immanuel Kant, ayat atau Hadis yang diucapkannya bukanlah das Ding an Sich. Sebab das Ding an Sich kata Kant tak mampu berbicara sendiri.Yang dialami oleh si penceramah tersebut adalah fenomena ayat/Hadis bukan pula numenanya. Kebenaran isi ceramah ustaz/dai/buya/kiyai tergantung atas penggabungan unsur2 Forma dalam kepalanya dan unsur2 Materia yang dipahaminya. Hasil penafsirannya yang sangat ‘merdu’ tergantung atas kombinasi dua ‘seruling’ yang tersambung.

Maka sekarang kita sebagai jama’ah pantas bertanya dalam hati. Bukankah isi kitab2 klasik (tafsir, kitab kuning, dll) adalah hasil/produk dari ketersambungan Forma si penulis atas Materia yang dialaminya di zamannya dulu? Kemudian tulisannya menjadi beku, sudah permanen, karena tulisan tak merobah dirinya sendiri. Huruf alif tetap alif sejak dulu. Banyak isi kitab/diktat kuliah sekarang merupakan hasil sintesa Forma dan Materia para dosen penulis diktat di zaman kita kuliah dulu. Banyak isi KUHP merupakan cerminan sintesa Forma dan Materia perumusnya di zaman Kolonialis dulu. Banyak kondisi negara ini hasil sintesa dari Forma dan Materia Jokowi di masa berkuasa, sekarang ia terlihat sebagai fenomena Pagar Laut, IKN dan suksesnya Gibran sebagai Wapres. Bila anda setuju dengan cara berpikir semacam ini, maka pertanyaannya ialah apakah yang perlu direhabilitasi itu unsur2 Forma (a priori dalam kepala) atau unsur2 Materia (a posteriori di alam nyata)? Bagi anda PNS yang dapat menjawabnya silahkan terima gaji ke 13 dan 14 nanti.

Setelah mendiskusikan unsur2 tersebut di atas, maka wajar kita berucap Allu a’lam (Allah yang lebih mengetahui) usai menjelaskan/memahami segala sesuatu. Ini namanya jama’ah cerdas. Kita menghargai isi ceramah beserta dalil2 yang dikutip oleh ustaz/penceramah tersebut tetapi kita juga yakin bahwa ada totalitas das Ding an Sich (di seberang sana) yang tak akan terjangkau oleh sang penceramah sebab lagi2 dia manusia. Manusia hanya dapat menangkap/memahami alam nyata (fenomena). Makanya ketika mendengar ceramah/fatwa/khutbah atau tatkala membaca isi kitab kuning/tafsir/ seyogyanya kita berbisik dalam hati: seberapa akurat unsur2 Forma menfasilitasi unsur2 Materia si pembicara ini? Dengan bertanya begitu anda telah berbeda posisi dari orang awam. La yastawil lazina ya’lamun wal lazina la ya’lamun (tidak sama derajat orang yang berilmu dengan orang yang tak berilmu) kata ayat. Maka super hebatnya Tuhan terletak di situ: Ia Maha Mengetahui hingga das Ding an Sich sekalipun. Immanuel Kant mungkin geleng2 kepala membaca cara berpikir saya ini, sebab sifat transcendental Luh Mahfuz itu di luar (beyond) dari transendentnya filsafat Kant. Dengan kata lain, Luh Mahfuz itu memang das Ding an Sich tetapi ia bukan terkait a priori Forma versi filsafat Kant tetapi terkait a posteriori credo.

Maka filsafat itu penting. Prof. Taufik Abdullah, sejarawan terkenal, mengatakan bahwa pandangan orang asing akan berguna bagi kita untuk ‘memperhalus’ pandangan keagamaan kita. Sekedar ‘memperhalus’, bukan mengganggu iman kita tetapi mempercantik cara2 kita memahami persoalan keagamaan. Bukan bertanya soal aqidah kepada mereka, tetapi menyimak cara berpikir mereka, kira2 bagaimana bila cara berpikir mereka tersebut kita import/gunakan pula untuk mencoba memahami berbagai persoalan keislaman kita. Kita pinjam sebentar ‘kaca mata’ mereka, karena kita sama2 manusia walau beda keyakinan. Misalnya untuk melihat/memahami persoalan pendidikan Tarbiyah Islamiyah, ekonomi Islam, managemen keormasan, hidup berpolitik, wawasan lingkungan, pengaruh IT atas kehidupan keagamaan, cross-cultural studies, dll. Maka tafsiran atas konsep Asnaf 8, Riba, Polygami, Anak Yatim, syura dalam al-Qur’an yang kita dengar sekarang dari para ustaz/penceramah sebenarnya sudah bercampur dengan unsur2 Forma mereka. Yang murni (lepas dari pemahaman manusia) jelas tak mampu kita dapati. Yaa Allah Ihdinas shiratal Mustaqiiiim (Tunjukilah kami jalan yang lurus). Pastinya ‘Jalan’ yang mendekati das Ding an Sich.

Terakhir, saya yakin banyak pembaca di sini yang lebih ahli dari pada saya tentang filsafat, tetapi mungkin mereka sibuk, sehingga tak punya waktu untuk menjelaskannya pada pembaca, maka saya mencoba membantu mereka lewat tulisan ini dengan bahasa dan contoh2 keseharian yang saya kira mudah dipahami, sekaligus membantu ustaz2 yang berceramah. Tulisan saya ini sebenarnya satu tujuan dengan ceramah2 para ustaz hanya lewat jalur filsafat. Enak berfilsafat. Berfilsafat itu berpikir serius, mendasar hingga ke akar2nya. Berfilsafat itu bagaikan menghidupkan ‘lampu’ untuk orang yang sedang solat kegelapan. Mudah2an berkat ‘lampu terang’, Allah sebagai das Ding an Sich semakin ditawhidkannya.

Kesimpulan: Filsafat Immanuel Kant itu dapat juga digunakan untuk menolong kita menjelaskan duduk perkara pemahaman keagamaan bila kita mau menerimanya. Pengalaman kita atas berbagai hal dalam kehidupan sehari2 perlu dipikir ulang, sebab kata Kant, ‘penglihatan subjek atas objek’ bukanlah ‘objek’ itu sendiri. Penglihatan kita atas duit, bukanlah duit itu sendiri, tetapi penglihatan yang telah dipengaruhi oleh macam2. Pemahaman kita atas ayat bukanlah ayat itu sendiri, tetapi telah dipengaruhi oleh macam2. Penglihatan ulama Muhamamadiyah atas ayat dan Hadis bukanlah murni ayat atau Hadis itu sendiri tetapi telah dipengaruhi oleh macam2. Penglihatan ulama2 NU atas pendapat Imam2 Mazhab bukanlah murni pendapat Imam Mazhab itu sendiri, tetapi telah dipengaruhi oleh macam2. Maka kini sepatutnya pula persoalan mu’amalat dalam al-Qur’an dan Hadis itu dilihat dengan unsur2 Forma ke kinian oleh kita, karena al-Qur’an itu Hudan (petunjuk). Kata Hudan dalam al-Qur’an itu masih bersifat a priori (non-empirical) maka yang sepatutnya lebih ditingkatkan ialah kualitas unsur2 Forma (dalam kepala kita yang punya 12 category). Al-Qur’an itu disebut Hudan (dalam bentuk nakirah/indefinite article) barangkali yang dimaksudnya adalah Hudan a priori agar dicerap oleh unsur2 Forma si pembaca. Mungkin ini yang sangat susah/ filosofis untuk dipahami. Maka Hudan/Petunjuk itu untuk siapa? Ya petunjuk untuk orang Islam yang masih HIDUP hari ini, bukan untuk orang Islam almarhum. Orang Islam yang aktif menggabungkan unsur2 Seruling berlobang 12.

Hikmah (Significance of Issue). Mulai sekarang, setiap isi ceramah/khutbah/pengajian/fatwa/kuliah seyogyanya kita pahami sebagai HASIL SINTESIS/GABUNGAN unsur2 Forma dan Materia oleh si penceramah/khotib/da’i/mufti/dosen. Jangan manut saja, tetapi tanggapi dengan kritis. Jangan taqlid saja tetapi ittiba’. Last but not least, penentuan awal Ramadhan oleh Muhammadiyah dan NU, di mata Immanuel Kant, jelas tidak menyentuh das Ding an Sich awal Ramadhan itu sendiri!

Demikianlah pembaca budiman, maaf bila ada kata2 yang salah, pamit, wassalam, Amhar Rasyid.

*Silakan Share