Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, 3 Januari 2024 ..eh 2025
Assalamu’alaikum wr,wb
Tahun berganti, waktu berlalu….umur kita semakin pendek, namun fenomena akademik dari IAIN ke UIN nampak tidak seimbang. Di bidang pengajaran nampak semakin meningkat baik, berkualitas, sertifikasi, tetapi di bidang administrasi masih kental berbudaya lokal, sekurangnya di UIN Jambi.
Bagaimana ceritanya? Tulisan berikut bersifat umum membicarakan IAIN dan UIN, tetapi contoh kasusnya lebih pada institusi saya di Jambi. Ia ditulis untuk bahan introspeksi kita semua. Izinkan saya menceritakannya!
Bagaimana sejarah, cikal bakal lahirnya IAIN? Menurut alm. Prof. Minhaji (Mantan Rektor UIN Yogyakarta, yang wafat 17 Agustus 2021), bahwa ide, keinginan agar umat Islam mempunyai perguruan tinggi mencuat pertama kali sebagai agenda Kongres Islam II dalam konferensi MIAI (Majlis A’la Islam Indonesia) tahun 1939 oleh Dr. Satiman, maka didirikanlah buat pertamakali IMS (Islamische Medelbare School) di Solo.
Kemudian setelah sekian lama dan bergonta ganti nama maka berdirilah PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) pertama di Yogyakarta tahun 1951, tujuannya untuk mencetak kader2 ulama, tetapi PTAIN tersebut masih merupakan salah satu cabang dari UII (Universitas Islam Indonesia) di Yogyakarta.
Di lain pihak dirasakan pula oleh Pemerintah adanya kesenjangan di bidang administrasi urusan keagamaan, tamatan PTAIN (kader2 ulama) dinilai kurang mampu mengelola administrasi perkantoran, maka didirikan pula ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) di Jakarta tahun 1957, tetapi akhirnya keduanya dilebur. Peleburan PTAIN (Yogya) dan ADIA (Jakarta) itulah kemudian yang melahirkan IAIN (lihat buku Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: SUKA-Press, 2013), halaman 51-53. Implisit di dalamnya teori Clifford Geertz bahwa santri dan priyayi memang beda keahlian, memang ada akarnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
IAIN adalah singkatan dari Institut Agama Islam Negeri, sementara UIN adalah singkatan dari Universitas Islam Negeri. IAIN, sebagaimana pernah saya jelaskan pada mahasiswa2 saya sebagai sebuah institut. Institut itu, kata saya, mirip dengan sebatang pohon pinang. Batangnya lurus ke atas, tidak punya cabang (termasuk jenis tumbuhan monocotil). Maksudnya di IAIN hanya dikaji ilmu-ilmu keislaman saja, tidak ada ekonomi, computer, kedokteran, dan lainnya. Demikian pula di institut2 yang lain, misalnya IPDN (Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri), IPB (Institut Pertanian Bogor).
Lain halnya UIN (Universitas). Sebagai layaknya sebuah universitas, ia telah berkembang bagaikan sebatang pohon jambu: punya banyak cabang (termasuk jenis tumbuhan bicotil). UIN sekarang memiliki fakultas kedokteran, fakultas sains dan teknologi, fakultas ekonomi, dan lainnya. UIN semakin memiliki bidang kajian keilmuan, dan semakin ‘mendunia’. Mendunia artinya, orang tua mahasiswa tidak bisa terlalu berharap nanti, setelah anak2 mereka memperoleh ijazah UIN, akan mau menjadi kiyai, ustaz, da’i atau orang yang mendalami ilmu agama Islam semata. Jebolan UIN boleh jadi akan menjadi konglomerat, politisi, militer, dan sudah tentu juga akan menambah pengangguran. Artinya, perobahan yang semula berbentuk batang pinang kepada bentuk batang jambu akan berusaha merebut pasar industry pendidikan, siap bersaing lokal atau nasional, sementara warisan cap pada IAIN sebagai institusi pencetak sarjana yang memahami ilmu2 keislaman semakin menciut.
Mungkin pangsa pasar industry pendidikan akan bergeser kepada pesantren2. Sebab bagi masyarakat Muslim Indonesia umumnya, al-Azhar, Mesir (level internasional) dan IAIN (level nasional) merupakan ‘sumur tua’ yang masih disayangi dan diidolakan akan mengeluarkan mata air jernih bagi ilmu2 keislaman. Yang terjadi sekarang politik pendidikan kita, dengan adanya UIN, telah menggerus sisi psikologis masyarakat semacam itu.
Peralihan nama dari IAIN ke UIN tersebut mengandung banyak konsekwensi. Sekurangnya ada konsekwensi sosiologis, administrative-politis, dan epistemologis. Secara sosiologis, masyarakat agak susah menerima perobahan nama tersebut, terutama di Jambi, sebab nama IAIN sudah sejak lama bagi mereka berkonotasi religius. Mereka menyerahkan anak-anaknya ke IAIN dengan harapan akan dididik menjadi orang yang bukan hanya berorientasi duniawi saja tetapi juga ukhrawi.
Harapan orang tua, selain akan bisa anaknya memberangkatkan ibu-bapanya ke Mekah nanti, juga menjadi anak soleh yang taat beragama. Itu cita2 dan harapan orang tua mahasiswa katanya. Sementara nama UIN bagi kebanyakan warga sekitar, terutama di daerah, masih agak asing, apalagi bila saya tanyakan pada teman2 saya Tiong Hoa non Muslim, mereka seakan aneh mendengar nama sebuah perguruan tinggi bernama UIN.
Secara administrative politis, nampaknya perobahan dari IAIN ke UIN berimplikasi perlunya sentralisasi dalam meningkatkan budaya civitas academika. Tanpa sentralisasi nampaknya sulit bergerak. Budaya ‘top-down management’ masih melekat. Hanya perangkat lunak dan perangkat keras yang termodernisasi di dalam kampus, tetapi budaya kerja staf UIN perlu ditingkatkan. Masih jauh UIN, khususnya di Jambi, dari slogan ‘The right man in the right place’. Belum nampak efisiensi dalam tatakelola administrasi.
Beban kerja nampak belum dibagi dalam waktu dan tempat yang terbatas. Prinsip2 managemen institusi pendidikan modern perlu lebih ditingkatkan. Masih terasa di beberapa UIN dikotomi konsepsional ‘putera daerah’ dan ‘luar daerah’ terutama dalam politisasi jabatan structural, di mana saya pribadi a priori. Dan secara epistemologis (keilmuan) bagi semua UIN umumnya, perobahan nama tersebut, kata Minhaji, bermakna perobahan pandangan dan pengajaran dari normative kepada historis-empiris. Normative artinya apa yang dibaca, dipahami dari ayat dan Hadis dipercayai sudah pas-sesuai dengan maksud Tuhan, padahal kita ini manusia. Sementara historis-empiris artinya bercermin kepada masa lampau untuk memperbaiki masa sekarang dan memproyeksi masa depan dalam batas2 nalar keislaman. Perobahan IAIN ke UIN utamanya berkisar dalam ruang gerak semacam itu.
Tak disangkal bahwa perpindahan nama dari IAIN ke UIN telah banyak membawa perobahan positif dan negative di tengah masyarakat. Dulu IAIN di mata masyarakat lokal dipandang sebagai ‘pencetak da’i, pencetak ulama, dan pencetak anak yang soleh misalkan namanya Sayuti Una’, sekarang ada UIN yang memiliki tenaga ahli sebagai ‘pencetak uang palsu’ bernama Syahruna. Dulu dosen IAIN, (sekitar tahun 1990an) memberikan materi kuliah, ada yang pakai sarung, mirip dakwah di luar kampus. Bila mereka pulang dari berdakwah, langsung saja materi dakwahnya tersebut, disadari atau tak disadari, yang diulangi kembali di dalam ruangan kuliah, mahasiswanya ‘bengong’, sekarang dosen2 sibuk membuat tugas menulis karya ilmiah. Akibatnya, budaya ilmiah semakin membumi, pendekatan normative semakin bergeser kepada historis-empiris. Historis-empiris dapat mempertajam nalar intelektualitas yang kritis ta’aqquli, tetapi kurang membudayakan sikap rutinitas ta’abbudi. Maka orang pernah bilang: intelektualitas benci rutinitas. Apakah anda merasakannya? Tanyai diri sendiri!
Dulu staf IAIN mengetik surat dengan mesin tik, kertas karbon hitam, tipp Ex, sekarang komputerisasi. Dulu gedung2 IAIN masih satu tingkat, sekarang menjulang tinggi beberapa tingkat, ada ac, lift, cctv, dan security dari fakultas2 hingga rektorat. Dulu gaji dan honor dosen serta staf dibayarkan tunai oleh bendaharawan, sekarang uang tunai telah diganti dengan angka2 yang muncul secara otomat. Yang masih belum berobah, bahkan mungkin lebih parah setelah saya tanya2, ialah kebutuhan mereka pada kredit bank. Level SK (Surat Keputusan) = mencerminkan besarnya kucuran kredit. Jadi di UIN ada fenomena budaya ilmiah historis-empirisis diikuti perobahan prilaku gaya hidup.
Apa latar belakang penyebab peralihan nama dari IAIN ke UIN? Tentu banyak pertimbangan oleh Pemerintah. Bagi saya, yang nampak ialah perobahan semacam itu terinspirasi dari McGill University di Canada. Sebab dikatakan oleh banyak ahli bahwa ide perobahan IAIN ke UIN berasal dari inisiatif Prof. Harun Nasution (mantan Rektor UIN Jakarta) dan barangkali juga dari beberapa tokoh lainnya. (Lihat buku IAIN: Modernisasi Islam di Indonesia, Fuad Jabali, Jamhari, eds. Jakarta: Logos, 2002). Di Universitas McGill yang mirip batang jambu punya banyak cabang, Islamic Studies memang hanyalah salah satu bagian kecil dari kesatuan universitas McGill dari sekian banyak fakultas. Sebelum Prof. Harun Nasution kuliah di McGill, telah lebih dahulu kuliah di sana Prof. Mukti Ali. Kemudian datang pula mengajar di McGill Prof. Nurcholish Madjid, Prof. Syafi’i Ma’arif, Prof. Taufik Abdullah dan lainnya. Artinya, telah banyak tokoh2 pemikir yang memahami sendiri konsep dan managemen pendidikan di institusi McGill, kemudian mereka berjasa telah ikut memprakarsai perobahan nama dari IAIN ke UIN. Is UIN McGill’s ‘blue-print’ in Indonesia?
Apa yang terjadi kemudian ialah ‘penciutan’ kajian Islam di UIN, dari semula focus hanya mengkaji ilmu2 keislaman, namun sekarang setelah menjadi UIN, fakultas kajian keislaman ‘diperkecil/menciut’ meniru McGill. Dalam bahasa saya, IAIN telah disekularisasi dalam bentuk UIN, bukan sekuler dalam defenisi Cak Nur. Sekuler artinya dipisahkan antara kajian2 keagamaan dengan ilmu2 duniawi (kedokteran, computer, ekonomi, politik dan lainnya). Karena orang Indonesia dikatakan berbudaya koruptif, boleh jadi suatu masa nanti jebolan UIN, satu almamater, akan duduk berdampingan di suatu forum: yang satu kiyai, memakai sarung dan serban, biasanya menerima amplop di masjid, sementara yang satu lagi politikus, ekonom, yang punya pundi2 trilyunan tetapi diincar oleh KPK. Buktinya di UIN Makasar sudah ada oknumnya yang mencetak trilyunan uang palsu: ini bukti bahwa susah diharapkan lagi dari UIN akan lahir kiyai2 tradisional, kharismatik ala alumni pesantren. Malaikat Raqib dan Atid nampaknya akan harus membawa ‘kalkulator khusus’ untuk mencatat dosa dan pahala orang2 UIN. Apakah ini juga dilihat sebagai ‘dosa’ Harun Nasution oleh orang2 yang sepaham dengan Hartono Ahmad Jaiz? Janganlah berpikiran begitu! Menurut hemat saya, banyak ilmu2 keIslaman di UIN hanya diajarkan, dieksternalisir, bukan dibudidayakan, diinternalisir.
Siapa Hartono? Hartono Ahmad Jaiz adalah salah seorang penulis buku yang dulu sangat ‘jengkel’ dengan alumni Barat dan kajian keislaman yang beralih dari normative ke historis-empiris di IAIN. Bukunya, yang berisi pola pikir normative-ekstrimis, telah diterbitkan dengan judul “Ada Pemurtadan di IAIN” (Jakarta: Al-Kautsar, 2005). Banyak sekali kritik yang dilontarkannya di dalam buku tersebut. Mulai dari mengeritik pengajaran ilmu2 keislaman yang sudah sesat katanya, hingga menyebut nama beberapa dosen IAIN yang dianggapnya punya pemikiran keislaman yang ‘nyeleneh’, di antaranya Nurcholish Madjid, Zainun Kamal, Amin Abdullah, bahkan Menteri Agama sekarang Nasaruddin Umar, dan banyak tokoh lainnya.
Nurcholish dibencinya karena telah menelorkan ide sekularisasi. Zainun Kamal (Abang saya di Al-Azhar Mesir tetapi tak pernah kuliah di Barat, dia dibenci Jaiz karena telah menikahkan You Tuber, mentalis, pesulap Deddy Corbuzier (non-Muslim) dengan Kalina (Muslimah). Amin Abdullah dibenci karena berpendapat bahwa tafsir2 klasik al-Quran (seperti tafsir Jalalain, tafsir al-Qurthubi,dll) tidak lagi dapat memberi makna yang jelas dalam kehidupan umat hari ini. Sementara Nasaruddin Umar dibenci karena pro feminis dan liberal. Sedemikian marahnya, sampai2 Jaiz mengajak umat Islam yang sepaham dengannya agar ‘melenyapkan’ keberadaan IAIN dan UIN di berbagai pelosok tanah air. Jaiz sudah marah, dia menyerukan untuk ‘membunuh tikus dengan cara membakar dapur’. Seru juga.
Dari diskusi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sesepuh kita (Harus Nasution dan tokoh lainnya) telah mampu merobah nomenklatur dari IAIN ke UIN beserta tradisi intelektualnya. Keberhasilan UIN Malang oleh Imam Suprayogo menjadi ‘icon’ kesuksesan bagi Minhaji (hal.5). Selanjutnya dari mana hendak diusahakan untuk meningkatkannya oleh Prof. Sahiron (Dirbinperta yang baru)..entahlah. Di mana posisi UIN kita sekarang? Banyak ditemui dosen2 yang masih potensial untuk mengajar, masih sehat jasmani dan rohani, berpengalaman, ‘jam terbang’nya sudah banyak, otomatis mereka dipensiunkan Pemerintah atas nama Peraturan demi prinsip pemerataan keadilan. Yang rugi UIN juga. Lalau bagaimana cara mengintensifkan aplikasi pengajaran Integrasi-Interkoneksi? Atau perlukah issu lama diungkit kembali? Yaitu issu untuk mendatangkan Rektor katalisator. NTU (Nanyang Technological University) di Singapore sudah berorientasi riset, dan berani menyewa rector katalisatornya dari luar negeri (Prof. Bertil Andersson, Swedia) walaupun ide menyewa rector luar semacam itu untuk di Indonesia pernah dikritik oleh Hikmahanto Juwana. NTU juga telah mempunyai seorang professor penerima Nobel bernama Konstantin Novoselov, kenapa di UIN kita yang ditemui adalah pencetak uang palsu?
Apa yang salah dengan UIN? Miris rasanya. Bukan salah Ibu mengandung, tetapi kalah Ibu Pertiwi menanggung. Betapa perobahan IAIN ke UIN memerlukan keseriusan. Tahun berlalu, pimpinan berganti, kampus semakin cantik, gedung2 menjulang tinggi, lift turun naik, ac dingin, cctv terpajang, tetapi masih ada saja gelas2 kopi dan puntung rokok bertebaran di atas meja2 kantor UIN yang bagus tersebut. Mungkin ini hanya ada di UIN Jambi. Menyadari cerita saya di atas, orang tua mahasiswa mungkin akan berbisik: IAIN = Ingin Anakku Islami Nasionalis tetapi apa boleh buat menjadi UIN = Ulama Indonesia (zaman) Now.
Demikianlah pembaca budiman, mohon maaf bila ada kata2 yang kurang pantas, pamit, Selamat Tahun Baru 2025. Wassalam, Amhar Rasyid.