HIDUP BERGELIMANG ILMU


Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, 6 September 2024

Assalamu’alaikum wr,wb Bpk2/Ibuk2/Adik2/Anak2/Mhsw2ku dan segenap pembaca terhormat, baik Muslim dan non-Muslim, di mana saja berada. Beberapa hari yang lalu saya ditelpon oleh seseorang yang mengaku dari Tik Tok. Mungkin niatnya baik terkait promosi tulisan saya tiap Jum’at, tetapi sayangnya signal lemah, dan pembicaraan kami terputus, mungkin lain kali ia datang lagi. Pada hari Jum’at ini kita membicarakan Hidup Bergelimang Ilmu. Artinya Hidup Tak Lepas dari berbagai seluk beluk Ilmu dan aktifitas keilmuan. Kuliah, bekerja, berniaga, beribadah, berolah raga, seni, bersemedi, santet, rukyat, bekam dan bercinta semuanya arena bergelimang ilmu. Bergelimang mirip dengan berlumuran lumpur sekujur badan. Bila anda pergi berobat ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit dan disuruh tes labor, cek darah, urine, maka pada saat itu sebetulnya anda berurusan dengan sesuatu yang ilmiah. Bila anda benarkan hasil2 tes labor, artinya anda berpikiran ilmiah. Namun bila anda pergi ke dukun kampung dan disuruhnya mencari daun2 tertentu, kemenyan dan bunga2 tertentu, maka pada saat itu anda BUKAN sedang berurusan dengan sesuatu yang ilmiah. Bila anda benarkan ulah si dukun, artinya anda berpikir magis. Di kuliah, anak2 muda kita diajak berpikir ilmiah, mengoreksi kebenaran pemikiran, bukan meragukan keimanan. Mereka diajak berbeda dengan ibu, ayah, saudara2nya dan dengan orang umum atas cara melihat kebenaran. Ibarat ilmu itu ‘lumpur yang lengket/bergelimang di badan’, anak2 kita bukan diajak membersihkan lumpur tetapi mempertanyakan setiap lapisan lumpur yang melengket. Itulah yang dimaksud dengan berpikir ilmiah di sini.

Tetapi apakah ilmu itu? Apakah semua ilmu sama? Bagaimana sikap seorang Muslim dalam bergelimang ilmu? Orang tua biasanya bangga mengatakan bahwa anaknya telah kuliah di kedokteran, lantas kedokteran itu termasuk cabang ilmu apa? Dimana kuliah dik? Di Sospol,jawab anak muda. Lantas Sospol itu cabang ilmu apa? Lain halnya dengan Kepala Negara, Presiden Jokowi nampaknya sering di hari Rabu bila mengadakan suatu acara penting nasional. Pilpres yang lalu dilaksanakan pada hari Rabu 14 Februari 2024 misalnya, lantas percaya pada hari Rabu itu termasuk ilmu apa? Coba lihat kalender, Pilkada nanti diadakan pada hari apa? Hari Rabu kan? Artinya, cara berpikir Kepala Negarapun kadang2 berdasarkan ilmu tetapi tidak ilmiah. Apa beda antara ilmu dan ilmiah?

Ilmu menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah pengetahuan yang terkait dengan bidang tertentu, ia dibuat secara sistematis. Ilmu (knowledge) adalah informasi yang diketahui/disadari oleh seseorang. Sementara ilmu pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) ialah kumpulan informasi baru yang diperoleh berdasarkan eksperiman dan pengumpulan data. Maka ada ilmu pada tingkatan orang awam dan ada ilmu yang khusus dikuasai oleh mereka yang sudah ahli di bidangnya. Dalam Bahasa Arab kita mengenal adanya al-‘ilm dan al-ma’rifah. Ada ilmu exoteric bagi awam, dan ada pula ilmu esoteric bagi golongan khawash (specialist). Bagi kita yang Muslim ilmu biasanya dipahami sebagai sarana untuk menunaikan apa yang Allah wajibkan atas kita sebagai hambaNya. Imam al-Ghazali dalam kitab al-Ihya’ ulumud Din membagi ilmu kepada ilmu yang fardhu ‘ain (wajib atas perorangan) dan ilmu yang fardhu kifayah (wajib secara bersama, tidak wajib atas perorangan). Apakah semua ilmu itu sama? Tentu tidak. Ilmu telah dikelompokkan pada banyak bidang. Secara garis besar Wilhelm Dilthey telah membagi ilmu kepada dua: Ilmu Sosial (Geisteswissenschaften) dan ilmu Alam (Natuurwissenschaften). Kuliah di Sospol banyak mempelajari ilmu sosial, dan kuliah di kedokteran banyak mempelajari ilmu alam (science). Kuliah di UIN (Universitas Islam Negeri)? Sama dengan kuliah di universitas umum lainnya. Tidak hanya agama Islam yang dipelajari, sudah ada kedokteran di beberapa UIN, ilmu agama, ilmu politik, sastra, ekonomi. Yang belum ada di UIN mungkin ilmu yang mempelajari kesaktian hari Rabu.

Pertanyaannya sekarang ialah apa yang terjadi di saat kita orang Muslim hidup bergelimang ilmu? Ini penting dipahami. Yang terjadi nampaknya ilmu agama Islam di’hadang’ oleh berbagai ilmu lain. Di ‘hadang’ artinya dikelilingi, diplototi, diuji, ditantang oleh ilmu2 lain. Perlu diketahui, ilmu agama Islam (fiqh, ilmu tafsir, ilmu kalam, tasawwuf) semakin ‘terdesak’, semakin ditantang kebenaran isi ajaran dan metodenya. Yang ditantang sebenarnya bukan ilmu agama Islam itu sendiri, tetapi wawasan orang Islam yang mempercayai kebenaran ilmu tersebut, ditantang metode ilmiahnya, ditantang akurasi hasil percobaannya. Seberapa tangguh orang Islam, di mata ilmuwan sekuler, dapat menjelaskan (to explain) bobot kebenaran empiric dan data ilmiah dalam tradisi keilmuan Islam. Sayangnya, tatkala ditantang oleh ilmu2 lain, ceramah ustaz di mesjid2 dan langgar biasanya bersikap apologetic (membela diri), jarang yang mampu to explain scientifically and systematically. Kita kalah tapi tak mau ngaku kalah.

Jawaban yang diberikan oleh beberapa ustaz biasanya berselisih. Ya berselisih: yang dipertanyakan adalah kandungan kebenaran dan metode ilmiahnya, tetapi dijawab dengan ‘aqidah. Biasanya dijawab dengan ‘rasa superioritas’. Misalnya, apa2 saja yang telah dicapai oleh kemajuan ilmu2 sekuler modern biasanya dikatakan bahwa itu semua sudah ada dalam al-Qur’an. Tak mau kalah, dikatakan juga bahwa al-Qur’an sudah lebih dahulu menyebutnya 15 abad yang silam. Cara menjawab seperti itu namanya apologetic (membela diri). Bila datang Covid 19, lantas kita sebut kisah Burung Ababil dalam al-Qur’an. Mana mungkin ilmuwan sekuler dapat menerima penjelasan teologis seperti itu? Ilmuwan umumnya menghendaki suatu jawaban yang empiric, rational dan argumentatif. Kita kalah lagi. Hidup bergelimang ilmu, tetapi teologi kita diplototi dari banyak penjuru. Bukan pembelaan (apology) yang ditunggu ilmuwan tetapi penjelasan (explanasi). Ilmuwan di kampus2 UGM, UI, ITB, Brawijaya, Unand dan lainnya umumnya menunggu penjelasan para ustaz dan kiyai/buya atas penjelasan ilmiah dalam ayat2 atau Hadis.

Lalu apa beda kebenaran ilmiah dengan kebenaran dalam agama? Kebenaran Ilmiah bersifat sementara, kebenarannya akan ditinggalkan orang bilamana ada kebenaran baru yang lebih meyakinkan dan dapat dibuktikan. Sementara kebenaran agama bersifat ‘aqidah absolut, ia tak boleh diyakini buat sementara waktu saja, tetapi harus permanen (dunia akhirat). Konsekwensinya, bilamana kita menyandarkan kebenaran ajaran agama Islam pada temuan kebenaran ilmiah, boleh jadi kebenaran agama Islam nanti akan ‘roboh’ bersama robohnya kebenaran ilmiah yang disandarinya. Seorang sarjana Jepang, Masaru Emoto, telah mengaku mengadakan penelitian ilmiah tentang reaksi beribu-ribu macam air di dunia tatkala air2 tersebut dibacakan doa, mantra, nyanyian di dekatnya. Ternyata hasilnya, katanya, molekul air akan berobah di saat dibacakan sesuatu di dekatnya, atau dicelupkan kertas bertuliskan pesan tertentu, termasuk air zam-zam. Tetapi penelitian serupa kemudian dicoba ulang oleh sarjana Swiss Bernama Ernst Braun, sayang hasilnya tidak terbukti seperti yang dikatakan oleh Emoto. Prof, Karlina Supelli dari ITB juga meragukan kebenaran ilmiah penelitian Emoto. Maka kebenaran keagamaan sebaiknya jangan disandarkan pada temuan ilmiah.

Majlis Tarjih Muhammadiyah, belum lagi seperti Emoto, telah menggunakan pendekatan burhani untuk memahami ayat2 dan Hadis, dan masalahnya kebenaran (truth) masih diobjektivasi. Bobot kebenaran ilmiah atas suatu kandungan ayat dan Hadis tergantung sejauh mana ia terpahami oleh nalar ulama murajjih. Nothing beyond. Raison d’etre dari kebenaran ilmiah burhaniyah di sandarkan pada fakta empiric dan temuan ilmiah yang beralaskan moral Islami (‘irfani), bukan bertolak dari scientific proof di laboratorium yang bebas-nilai (value-free). Fikih Air oleh Muhammadiyah adalah salah satu contohnya. Air tidak dijuji dulu di laborotorium, tidak dianalisa unsur2 ilmiahnya dan kemudian ditarik kesimpulan deduktifnya mirip kerja sarjana Jepang Emoto. Jadi keyakinan empirik yang beralaskan moral (‘rfani) itulah yang menjadi tiang gantungan putusan tarjih. Ibarat berjalan, pendekatan burhaniyah masih menyorot dari belakang, bukan membimbing/membuktikan dari depan. Maka yang terjadi bukan penjelasan (explanasi) tetapi pembenaran. Barangkali salah satu syarat agar fikih Muhammadiyah bisa mengglobal adalah sejauh mana kinerja ulama murajjih dapat menghindari pembenaran atas temuan2 ilmiah yang telah menjadi konsumsi dunia. Ini berat. Tetapi disitulah nampaknya terobosan yang dielu2kan di berbagai universitas Muhammadiyah sekarang agar ke depan universitas mereka berorientasi riset. Harapannya agar High-Tradition di dunia akademik semacam itu dapat membantu Low-Tradition tatkala pembacaan bayani dan burhani diaplikasikan. Inti persoalan dalam pembacaan teks di sini, menurut saya, ialah bagaimana cara ‘membalikkan’ metode pembacaan al-Qur’an yang terwariskan semacam kondisi sekarang kata Muhammad Arkoun. Muhammad Iqbal dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam juga menyoroti warisan metode pembacaan al-Qur’an oleh kita sebagai telah terpengaruh oleh kerangka berpikir Aristotelian. Singkat kata, umat Islam masih hidup bergelimang dengan ilmu pengetahuan ontis.

Sekarang mari kita bertanya lebih lanjut. Kenapa kita kokoh secara ‘aqidah, tetapi di dunia nyata kita menyerah pada dunia ilmiah? Contoh, bila kita sakit kanker, kita baca ayat2 al-Qur’an, tetapi kita terima juga perawatan dan obat2 hasil dunia sains non-Muslim. Bila diserang oleh Covid 19, kita baca ayat2 dan Hadis, tetapi kita pakai masker dan suntik produk dunia medis Barat. Bila isteri kita melahirkan, kita baca ayat suci, tetapi kita serahkan isteri kita pada dokter kandungan menanganinya…entah obat apa yang diberikan, entah alat apa yang digunakan, entah siapa yang ‘memegang’ tubuh isteri kita bertelanjang dalam ruang bersalin? Itu persoalannya. Kita bergelimang ilmu apa?

Maka ke depan generasi muda perlu diarahkan. Bagaimana seharusnya sikap intelektual anak2 kita setelah masuk kuliah? Prof. Emil Salim dalam kunjungannya ke Montreal sekitar tahun 1992 mengatakan bahwa seseorang mahasiswa masuk universitas bukan hanya mencari ijazah untuk cepat dapat pekerjaan, tetapi lebih utama untuk pengembangan bakat intelektualnya. Bagaimana maksudnya? Maksudnya, menurut saya, setelah duduk di bangku kuliah, seorang mahasiswa seharusnya semakin menyadari bakat terpendam dalam dirinya, bakat intelektual yang akan membawanya ke arah pencerahan berpikir ilmiah. Anak2 memang semula umumnya berasal dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan rt, rw dan ‘bergelimang’ dengan ilmu2 yang sifatnya masih ‘knowledge’ (ilmu orang awam). Setelah duduk di bangku kuliah, si anak seharusnya telah mulai merasakan ‘goncangan intelektual’. Ia mulai mempertanyakan tradisi, mempertanyakan apa2 yang selama ini sudah dianggap benar oleh orang2 sekitarnya (taken for granted). Dalam perkembangan intelektualnya seakan terjadi ‘gemercik’ kembang api tatkala sebatang anak korek api (korset) digesekkkan pada belerang di sisi kotak korek api. Api yang memercik itulah perumpamaan geliat intelektual si mahasiswa. Bila ‘adem ayem’ saja setelah sekian tahun duduk di bangku kuliah, atau sudah S1, atau S2 bahkan sudah S3, tak ada nampak geliat intelektualnya, masih belum bisa ‘hijrah’ dari level knowledge kepada scientific, itu namanya sarjana ‘loyo’. Si mahasiswa dituntut bukan hanya banyak menguasai ilmu pengetahuan, dapat nilai kuliah bagus, banyak baca buku, tetapi yang lebih penting perkembangan ‘pola pikir’, ‘dewasa mental’dan sudah berusaha ke arah epistemology (filsafat ilmu pengetahuan). Metode berpikirnya semakin ilmiah, semakin berbeda dari masyarakat asalnya, berbeda dari kebiasaan pengetahuan ibu bapanya, teman2 sejawat, berbeda dari pengetahuan keseharian oleh ustaz, buya, tuo tengganai, mbah, kiyai, kepala suku. Bukan berbeda dalam pengetahuan saja, tetapi berbeda dalam cara melihat pengetahuan yang ada. Itu yang kita inginkan dalam bergelimang ilmu.

Jadi bagaimana lagi sikap kita ke depan? Sudah banyak buku yang membahasnya, sudah banyak para ahli keislaman yang mencarikan solusinya. Kita memang sedang bergelimang ilmu pengetahuan. Tetapi bagi saya solusinya mungkin begini: 1. Hindarilah bersikap apologetic, sebab cara pembelaan semacam itu kurang memberikan jawaban yang jitu, kurang tepat sasaran/meleset. 2. Mungkin teori interkoneksi Prof. Amin Abdullah akan lebih membantu. Bila isteri kita akan melahirkan, jangan hanya berpegang pada isi kitab kuning karangan Imam2 Mazhab, tetapi cobalah lirik juga dunia ilmu kedokteran. Jangan hanya berdalil ‘ad-Dharurat tubih al-Mahzhurat (emergency membolehkan apa2 yang dilarang), tetapi ke depan coba cari penjelasan ilmiah yang lebih bisa diterima oleh dunia ilmu pengetahuan modern. Menurut para ahli, sains modern itu sering ‘pasang kuping’ pada fiksi (cerita khayalan), mengapa kita tidak coba jelaskan juga secara Qur’ani? Bukan terhadap moral a-Qur’an tetapi jadikan ilmuwan modern non-Muslim itu ‘pasang kuping’ pada nalar kita (fiksi kita, bukan fiksi al-Qur’an) sejauh menjelaskan segi ilmiah Qur’ani. Al-Qur’an memang bukan kitab ilmiah, tetapi kita kan boleh ‘mengkhayal’ di bawah ‘langit’ Qur’an. Masalahnya tidak segampang itu pak Amhar, H. B. Yassin telah mencoba menjelaskan al-Qur’an secara keilmuannya tetapi tak diterima, dan seorang ekonom Muslim Indonesia juga telah mencoba membuat rencana pengelolaan zakat secara induktif (riset dari bawah) tetapi ditolak kata Prof. amin Abdullah dengan alasan dia bukan ahli tafsir.

Maka dapat ditarik kesimpulannya bahwa memang kita dikepung dan bergelimang di dalam ilmu pengetahuan, tetapi ada TRADISI keilmuan kita yang seharusnya dipertanyakan. Tradisi itu ibarat kolam, kita hidup bergelimang ‘lumpur’ ilmu pengetahuan di dalamnya, tetapi di sana juga ada ulama, cerdik pandai, buya, ustaz, professor, para otoritas, semua ibarat sedang memegang ‘cambuk’. Biasanya jawaban2 Qur’ani yang dipegang Bersama oleh umat diberikan oleh mereka yang memegang ‘cambuk’ tersebut, maka ilmu pengetahuan menjadi fardhu kifayah, sementara dunia sains modern sangat2 fardhu ‘ain. Ilmu terbukti bergerak maju bila temuan individual dapat didengar terlebih dahulu. Newton, Galilei, Einstein, al-Khuwarizmi, Ibnu Bajah dan al-Biruni semuanya adalah sarjana individual. Kita memang bergelimang ilmu, tetapi rambu2 ‘aqidah lebih utama. Mencari metode yang tepat selanjutnya adalah tugas bersama.

Demikianhlah diskusi kita Jum’at bahagia ini para pembaca. Terimakasih sudah membaca tulisan saya, terimakasih dari hati yang paling dalam. Moon maaf bila ada kekhilafan, pamit, Wassalam.

*Silakan Share