Gubernur Jambi Al Haris Klaim Sudah Bisa Tahan Laju Inflasi

JAMBIONE.COM, JAMBI- Naiknya kembali inflasi di Provinsi Jambi ke angka 8 persen mendapat sorotan banyak pihak. Kinerja pemerintah dinilai kurang maksimal. Sehingga inflasi yang sempat turun di bulan Agustus, naik lagi 0,61 persen, menjadi 8,09 persen pada bulan September.

Meski masih di angka 8,09 persen, Gubernur Jambi Al Haris mengklaim Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi sudah mampu menekan angka inflasi. Menurut dia, Pemprov sudah mampu menekan beberapa harga komoditas yang sebelumnya menjadi penyumbang inflasi. Seperti cabai dan bawang.

“Bungo saat ini diperingkat 8 dan Kota Jambi diperingkat 12. Pemerintah sudah bisa menahan laju inflasi ini,” katanya, (4/10).
Haris menyebutkan, saat ini penyumbang inflasi di Jambi salah satunya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

“Tapi hari ini masih ada euforia kenaikan BBM. Sehingga hari ini penyumbang inflasi terbesar kita adalah transportasi, bahan bakar dan kebutuhan pangan lain,” jelasnya.

Jambi, Senin 3 Oktober 2022, secara yer on year atau perbandingan dari bulan September tahun 2021 lalu, inflasi Provinsi Jambi di bulan September tahun ini adalah 8,09 persen. Sementara, dari bulan lalu inflasi di Jambi mengalami kenaikan hingga 0,61 persen.

Dari bulan lalu, inflasi di Kota Jambi mengalami kenaikan sebesar 0,55 persen dan secara year on year adalah 8,04 persen. Sementara Kabupaten Bungo mengalami inflasi sebesar 1,10 persen dan secara year on year adalah sebesar 8,51 persen. Komoditi penyumbang inflasi terbesar adalah Bensin, Solar (BBM) , kenaikan tarif angkutan dan beras.

Untuk menekan angka inflasi di Jambi, menurut Haris, Pemprov Jambi melakukan beberapa langkah strategis. Salah satunya dengan mewajibkan ASN membeli beras lokal.
“Pagi besok (hari ini, Rabu) kita launching pembelian beras lokal,” katanya.

Haris mengatakan, beras premium merupakan salah satu komoditi penyumbang inflasi di Provinsi Jambi. Sehingga pihaknya melakukan upaya untuk mengurangi hal tersebut. “Kita berusaha agar Bupati Walikota mewajibkan bagi ASN beli beras local. Sehingga tidak banyak beras premium yang kita konsumsi pada akhirnya harga melambung tinggi,” jelasnya.

Agar gerakan membeli beras local ini efektif, lanjut Haris, pihaknya sudah memberikan surat edaran kepada kabupaten kota. Pembelian beras lokal bagi ASN direncanakan akan mulai dilakukan hari ini.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Jambi, Dr. Noviardi Ferzi menilai kondisi Inflasi di Jambi makin dalam dan parah. ‘’Kenapa saya katakan lebih dalam parah? Karena sekarang sudah merambat ke jenis pangan lain yakni beras,’’katanya.

Menurut Noviardi, kondisi ini sangat berbahaya. Karena Pengaruh Beras terhadap kemiskinan hingga 23 persen di desa dan 19 persen di kota. Sebelumnya, untuk menekan laju inflasi cabe saja, pemerintah sudah melakukan intervensi harga dengan Operasi pasar yang menghabiskan dana besar untuk membeli cabe lalu menjualnya dengan harga yang murah.

‘’Ketika beras yang mengalami inflasi, maka dampaknya bagi daya tahan pangan masyarakat akan makin mengkhawatirkan. Karena tidak seperti cabe, beras adalah makanan pokok,’’ jelasnya.

Lalu, efektifkah strategi menggerakkan PNS membeli beras lokal untuk menekan harga? Menurut Noviardi langkah itu tidak akan efektif. Karena konsumsi beras masyarakat jauh lebih besar dari daya serap PNS.

‘’Lalu, beras mana yang akan dibeli PNS? Jawabannya pasti beras di pasar. Karena sesungguhnya produksi beras Jambi hanya beredar dalam jumlah terbatas di daerah penghasil,’’ kata Dosen Ekonomi STIE Jambi ini.

Noviardi menilai kinerja pengendalian inflasi pemerintah Provinsi Jambi kurang baik. Pemerintah tak biasa memitigasi fluktuasi ekonomi karena BBM dan gangguan produksi dan distribusi. Sehingga, bila dilihat dari sumbernya, pengendalian inflasi masih menyisakan masalah.

Muaranya, fluktuasi harga pangan. Harga pangan yang stabil tinggi dan inflasi akan menekan daya beli konsumen. Bagi rakyat, terutama yang miskin, inflasi akan menggerogoti daya beli mereka. Inflasi akibat harga pangan akan mengekspose warga miskin pada posisi rentan.

Karena itu para ekonom menyebut inflasi ‘perampok uang rakyat’. Jumlah warga miskin tidak kunjung turun secara signifikan satu dekade terakhir, karena instabilitas harga pangan, dan harga pangan yang tinggi masih menjadi rutinitas berulang.

Oleh karena itu, lanjut dia, bisa dipahami presiden di era pemerintahan manapun, termasuk Presiden Jokowi, berupaya mengendalikan harga pangan. Diinisiasi sejak 2016, tahun ini pemerintah lewat Permendag No. 58/2018 mengatur harga acuan pembelian 8 komoditas di tingkat produsen dan penjualan di konsumen. Yakni jagung, kedelai, gula, minyak goreng, bawang merah, daging beku dan daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras.

Sebelumnya, Noviardi juga sudah mengingatkan pemerintah akan ancaman inflasi tinggi terhadap kemiskinan. Menurut dia, setiap kenaikan 1 persen inflasi dapat meningkatkan angka kemiskinan sekitar 0,2 hingga 0,8 persen di Provinsi Jambi. Perhitungan tersebut mempertimbangkan kerentanan golongan masyarakat hampir miskin menuju masyarakat miskin.

” Pergerakannya sekitar 0,8 persen-1,2 persen dari inflasi. Jadi kalau ada prediksi jika kenaikan harga pangan bisa membuat jumlah penduduk hampir miskin menjadi miskin itu betul. Ini yang harus jadi perhatian pak Gubernur, ” katanya.

Dengan kondisi inflasi yang tinggi ini, Noviardi menilai sulit bagi pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan. Pasalnya, ada tekanan inflasi cukup tinggi yang menyulitkan untuk memperbesar proporsi penurunan kemiskinan di Provinsi Jambi.

Proyeksinya tersebut sejalan dengan Laporan Food Price Watch yang dipublikasikan Bank Dunia, tentang kenaikan indeks harga pangan sebesar 15 persen sejak perang Rusia vs Ukraina. Tren kenaikan harga komoditas itu diperkirakan telah menjerumuskan 44 juta jiwa penduduk ke dalam jurang kemiskinan.

Karenanya, lanjut Noviardi, pemerintah perlu mengantisipasi dengan menerapkan berbagai kebijakan yang diyakini efektif menekan laju inflasi. Dia menilai selama ini program-program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah kurang optimal dalam menekan angka kemiskinan.

Untuk itu, Noviardi menyarankan agar pemerintah fokus pada mendorong pertumbuhan di sektor pertanian dan industri yang terbukti efektif dalam menyerap tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan. Menurut perhitungannya kedua sektor usaha tersebut memiliki kemampuan mengentaskan kemiskinan sebanyak 6,5 kali lipat dibandingkan pertumbuhan di sektor non-tradeble.

Kemampuan industri dan pertanian itu cukup powerful dalam menekan angka kemiskinan. Setiap pertumbuhan 1 persen pertanian, berpotensi menurunkan 0,027 persen kemiskinan. Sedangkan 1 persen industri bisa menurunkan 0,034 persen kemiskinan. Bandingkan dengan non tradeble yang setiap 1 persen hanya mampu menurunkan kemiskinan 0,01 persen, katanya.(ist/*)

*Silakan Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *