Gandeng Asing Perangi Stunting? Paradoks di Negeri Berlimpah Pangan dan Energi

Oleh: Linda Wijayanti, S.Pd.

“Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman” (Koes Plus)

Tentu kita tidak asing lagi dengan penggalan lirik lagu “Kolam Susu” di atas, bukan? Lagu yang dipopulerkan oleh Koes Plus tersebut mengingatkan kita akan kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah di negeri ini. Mulai dari kekayaan laut, pegunungan, bahkan kekayaan energi. Sejatinya, jika saja kekayaan sumber daya alam tersebut dioalah dengan baik, pastilah sejahtera rakyatnya.

Tidak akan ada lagi yang namanya stunting, apalagi menggandeng asing untuk memeranginya.
Baru-baru ini, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menggandeng sejumlah mitra swasta dan asing untuk memperkuat penanganan prevalensi stunting. (Antara News, 23/09/2022). Hal itu ditempuh guna menekan presentasi angka stunting yang masih berada di angka 24,4%. Dengan demikian, hampir seperempat balita di negeri ini mengalami stunting. Yakni, sekitar tujuh juta anak dan 180 ribu di antaranya terancam meninggal akibat stunting. (Kementerian Kesehatan 2021).

Pemerintah pun menargetkan prevalensi stunting di Indonesia turun menjadi 14% pada 2024. Untuk mencapai target tersebut, salah satunya, BKKBN bekerjasama dengan National Food Agency (NFA) menyelenggarakan kegiatan “Gerakan Makan Telur Bersama” di Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah. (Republika, 25/09/2022). Sebanyak 15.077 butir telur yang dimakan bersama dengan masyarakat Kendal ini dianggap menjadi ide yang inovatif dan luar biasa. Namun, efektifkah?

Paradoks Stunting Negeri Berlimpah SDA

Sebagai informasi, stunting adalah kondisi anak memiliki tinggi di bawah standar usianya. Stunting merupakan salah satu indikator gagal tumbuh balita akibat kekurangan asupan gizi kronis pada periode 1.000 hari pertama kehidupannya. Sungguh, hal ini merupakan paradoks problem anak di negeri berlimpah kekayaan sumber pangan dan energi.
Hal ini merupakan imbas dari diterapkannya sistem kapitalisme.

Sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini sangat menjujung tinggi hak asasi manusia. Hingga dapat menerabas kepemilikan umum dapat diprivatisasi. Akibatnya, SDA ini menjadi bancakan kaum kapitalis, sedangkan rakyat hanya bisa meringis. Yang tersisa hanyalah penderitaan dan kemiskinan.

Guru Besar Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Purwiyatno Haryadi, M.Sc. pernah mengatakan, “Dari sisi kesehatan, bagaimana bisa mengatasi stunting melalui bidang keamanan pangan, seperti kurangnya infrastruktur air bersih? Produksi pangan yang tidak sesuai kaidah cara produksi pangan yang baik (CPBB) menjadi tantangan keamanan pangan di Indonesia.” (Republika).

Selain itu, pemerintah juga tidak memastikan perlindungan kesehatan publik dengan membenahi standar keamanan pangan nasional. Padahal, butuh keterlibatan banyak kementerian, bukan hanya kementerian kesehatan dan pangan. Hal itu sangat penting, sebab prediksi output sumber daya manusia di masa mendatang negeri ini bisa dilihat dari kondisi status anak balita saat ini.

Tidak Ada Makan Siang Gratis

Jika kita tellisik lebih dalam, akan kita dapati bahwa di negeri ini, setiap urusan rakyat tidak lepas dari kerja sama dengan para kapitalis. Pemerintah menganggap tidak akan mampu untuk bekerja sendiri tanpa dukungan kapitalis guna menjalankan setiap kebijakan yang membutuhkan dana yang pastinya tidak sedikit. Terlebih Indonesia akan menghadapi bonus demografi tahun 2045 mendatang. Untuk menyambut itu, upaya memerangi stunting pun semakin gencar. Sebab stunting akan berdampak pada kesehatan dan pendidikan.

Hal itu dapat kita lihat dengan digandengnya sejumlah pihak swasta dan asing dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani oleh BKKBN bersama Tanoto Foundation, Yayasan Bakti Barito, dan PT Bank Central Asia, Tbk., PT Amman Mineral Nusa Tenggara, serta United States Agency for International Development (USAID) dari Amerika Serikat. (Antara News, 23/09/2022).

*Silakan Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *