GADAMER…GADAMER: VERSTEHEN ONTIS dan EKSISTENSIAL

Jambi, Jumat 02 Agustus 2024Assalamu’alaikum wr,wb Bpk2/Ibuk2/Adik2ku/Anak2ku/Mhsw2ku dan segenap pembaca setia baik Muslim maupun non-Muslim di mana saja berada. Rupanya tulisan Jum’at kemaren tentang isi konsep Pemahaman oleh Gadamer banyak yang tertarik membacanya, saya senang, dan bahkan ada yang usul agar pembahasannya dilanjutkan. Seorang adik yunior bernama Ari (mahasiswa doctoral di UIN Yogya) mengaku ‘kesetrum’ dengan tulisan2 saya. Memang dalam hidup ini kita selalu mencoba MEMAHAMI sesuatu. Memahami isteri/suami, memahami teman kuliah, memahami isi WA, memahami berita di TV, memahami buku, memahami ayat dan Hadis, kita baca ayat dan kemudian kita tafsirkan lalu kita dapat pemahaman. Tetapi rupanya cara kita memahami seperti itu DITOLAK oleh Heidegger. Kenapa DITOLAK? Sebab menurut Heidegger, itu namanya Verstehen Ontis (pemahaman atas ilmu2 yang sudah dirumuskan oleh orang2 terdahulu), maka ada Pemahaman jenis lain yang lebih metafisis katanya, ia bernama Verstehen Existensial. Apa maksudnya? Apa hubungannya dengan memahami ayat dan Hadis, dan bagaimana pula dengan mata kuliah yang diajarkan pada mahasiswa? Boleh jadi isi kuliah anda sekarang, di mata Heidegger, berisi verstehen ontis yang sudah kadaluarsa, ilmu2 yang sudah usang, ketinggalan zaman. Kalau begitu apa itu Verstehen?Verstehen adalah bahasa Jerman yang berarti Understanding (Pemahaman/Fiqh: akar bahasa Arabnya faqqaha, yufaqqihu, tafaqquh…maka ada istilah ‘tafaqquh fid din’ (pemahaman tentang agama). Ini pemahaman yang telah diproduksi oleh sejarah. Untuk menjelaskan Verstehen, mari kita pahami terlebih dahulu apa arti ‘realita’ dalam sosiologi. Realita dikonstruk, ditafsirkan dan dipahami oleh masyarakat yang memiliki realita tersebut. Bila kita wisata ke Bali, terlihat pohon2 ada yang dibungkus dengan kain batik, dibalut batangnya dengan kain petak2 hitam putih. Ini realita. Apa maknanya? Ya tanyakan pada mereka. Jangan kencing di dekat tempat peribadatan mereka, sebab ada nilai2 yang hidup dan dihormati dalam Tradisi mereka. Singkat kata, Vestehen diperlukan untuk memahami realita. Maka dari cara memahami realita terdapat Vestehen Ontis dan Verstehen eksistensial. Verstehen ontis, sebagaimana telah dijelaskan di atas, yaitu pemahaman yang sudah dirumuskan oleh orang2 terdahulu, sudah mapan/established. Contohnya ilmu2/pemahaman2 yang sekarang kita miliki. Bila anda sudah paham ilmu fikih, itu kan fikihnya syafiiyah, yang sudah dikonstruk, disusun terlebih dahulu oleh Imam Syafi’i dan murid2nya jauh di zaman lampau. Bila anda sekarang menyusun skripsi, tesis, disertasi, itu kan membicarakan ilmu pengetahuan yang sudah lebih dahulu di’kunyah’ oleh orang2 terdahulu. Bila anda berceramah di masjid, di langgar, itu kan yang anda ceramahkan adalah ilmu2 pengetahuan ‘warisan’ penafsiran ulama2 terdahulu. Kalau begitu, anda dan saya sebenarnya hanya mengunyah/memamah biak, sebagaimana dikatakan oleh alm. Buya Syafi’i Ma’arif. Itulah contoh2 Verstehen Ontis. F. Budi Hardiman (professor ilmu filsafat pada Universitas Pelita Harapan, Jakarta) menggolongkan ilmu2 semacam itu kepada ‘cogito’, artinya pengetahuan pasca reflektif (pengetahuan sebagai hasil apa yang telah dipikirkan).Bila demikian, apakah ada ilmu pengetahuan yang PRA (sebelum) reflektif/sebelum dipikirkan/sebelum dirumuskan? Ya, ada kata Heidegger. Itulah objek kajian filsafat Heidegger, mencari pemahaman pra-pemahaman ontis: ia seakan ingin menggali ke ‘hulu’ sungai. Di hulu sungai itu dia yakin ada sesuatu yang bernama BEING (Ada), tetapi Being yang belum bernama. Being bukan benda fisik. Filosuf2, kata Budi Hardiman, banyak yang meyakini adanya Zat Pencipta sebagai Being (belum bernama/antah barantah kata urang awak)Tetapi apa yang dinamai sebagai Allah, Zeus, Yesus, itu bagi filosuf2 sudah dinamakan Ontis. Itu adalah Zat Pencipta yang sudah berbeda2 nama, sudah menyejarah katanya. Bila sudah bernama, maka ia Ontis, bila ia belum bernama, itulah eksistensial (keberadaan). Sesuatu yang ekisistensial, menurut saya, mirip masih jabang bayi (dalam perut ibu hamil), ia belum dilahirkan, belum di azankan, belum dibaptis kata orang Kristen. Apakah memang ada pemahaman yang seperti itu? Itulah salah satu objek kajian filsafat, jujur….saya juga baru tahu. Terimakasih Heidegger.Bagi F. Budi Hardiman contoh pemahaman eksistensial adalah pelukis Bali yang mahir, trampil memahat karya seni, tak pernah baca buku panduan sebelum berkarya, tidak lagi menghafal cara2, metode, kisi2 memahat, tetapi ia sudah trampil, sudah ‘menyatu’, sudah ‘tenggelam’, asyik dengan pekerjaannya. Tak ada lagi pemisah antara dirinya dan pekerjaan memahat. Ia betul2 menjiwainya…..ia bagaikan dibawa menjulang tinggi ke udara oleh asap api unggun yang ada di depannya. Naik, naik, membumbung tinggi ke udara, lepas semua kesadaran disekelilingnya. Menyatu…. Itulah eksistensial. Kalau begitu ya mirip juga dengan Ronaldo main bola kaki. Bila dia sudah main di tengah lapangan, lupa badannya sendiri, lupa membaca buku pelajaran main bola kaki, lupa anak isteri, dia asyik, sudah menyatu dengan permainan..itulah pemahaman main bola kaki yang eksistensial. Kalau begitu, di saat anda sedang nyontek ujian, intip buku, intip catatan, intip dosen/pengawas ujian apakah bisa dikatakan eksistensial? Ya dak lah. Anda sedang ‘gila ontis’ namanya. Nah, bila anda pahami matan Hadis, anda lihat perawinya Bukhari Muslim, dan yakin pemahaman anda sudah benar: apakah di saat itu pemahaman anda eksistensial (mencoba memahami Nabi seperti pengalaman Nabi sendiri): rasanya mustahil. Inilah problema pembacaan teks2 Islami yang disedihkan oleh Muhammad Arkoun. Umat Islam terperangkap oleh Ontis warisan masa silam. Banyak umat Islam mengaku paham Hadis, tetapi tak mengalami apa yang dialami oleh Nabi. Banyak penonton pintar mengomentari sepak bola Ronaldo, seakan sudah persis seperti maksud Ronaldo, tetapi tak mengalami apa yang dialami oleh Ronaldo. Apakah anda ingin mengalami pemahaman permainan bola kaki Ronaldo? Maka jangan hanya pintar berkomentar, tetapi cobalah mengalaminya pula secara eksistensial. Verstehen eksistensial mirip dengan ‘mencoba menyarungkan kaki kita pada sepatu orang lain, tujuannya agar kita dapat pula merasakan/memahami rasa bersepatu dari perspektif mereka’.Bila anda telah setuju dengan paham eksistensial Heidegger tersebut, maka anda dikatakan oleh Heidegger sebagai Dasein, bukan lagi sebagai das Man. Dasein adalah manusia orisinil, manusia yang sadar akan arti keberadaannya di dunia. Ia terlempar ke dunia, cemas dan lalu sadar. Sedangkan Das Man adalah manusia tidak orisinil, tak tahu cemas, takt ahu jati dirinya sendiri. Hanyut membaca isi HP yang tak berguna, sibuk baca berita murahan dalam WA, Tik Tok, Facebook, habis umur untuk yang ontis, ontis…ngobrol tak karuan, hanyut bagaikan daun di tengah sungai….terombang-ambing, tak tahu nasib. Untuk bersikap bijak, Heidegger mengatakan: Suatu pernyataan akan bernilai, sejauh mana ia bernilai bagi kita juga. Diulangi,….sejauh ia bermanfaat bagi kita juga. Ini ciri sifat Dasein yang harus ditiru oleh das Man. Maka tiap Jumat saya ajak anda ikut nasehat Socrates: jangan membicarakan orang (gossip), jangan membicarakan pekerjaan orang (usil), tetapi bicarakanlah apa yang dipikirkan orang (bijak). Apakah anda termasuk das Man? Kalau sekarang sudah sadar…ya KELUARLAH dari level das Man! Menyeberanglah ke Dasein!Jadi Dasein adalah manusia yang tahu diri, yang ingin mengejar orisinalitas, yang kritis atas semua pengetahuan ontis yang sudah diketahuinya, mempertanyakan pengetahuan2 yang mudah ditemui di tengah masyarakat, mempertanyakan semua penafsiran2 ustaz, ulama, pastor, uskup, penceramah, dosen, professor, tuo tengganai, mbah2, datuk2, cerita wayang, cerita2 rakyat, legenda2, cerita mistik, khurafat, Keputusan Pemerintah, fatwa MUI, Putusan Tarjih Muhammadiyah, Putusan Bahtsul Masail NU, karena itu semuanya ONTIS. Yang tidak boleh dipertanyakan ialah IMAN/AQIDAH, selain itu perlu dipikir ulang. Boleh jadi ilmu pengetahuan yang diajarkan dosen2 anda, apalagi dosen2 baru tamat S2, jam terbangnya masih kurang, boleh jadi Verstehen Ontis yang diajarkannya sudah kadaluarsa, sudah usang, sudah tak diajarkan lagi di universitas2 terkemuka di dunia. Yang sedihnya lagi, diktat/buku yang disuruhnya mungkin beli berisi Verstehen Ontis usang. Kok pak Amhar menghasut/memprovokasi? Iya….sengaja..karena filsafat itu memang kritis. Biar ‘nyetrum’ kepada das Man. Sebab saya sayang pada anda. Bagaimana memahami ayat dan Hadis secara eksistensial? Cara memahaminya bukan dibaca lalu ditafsirkan ayat demi ayat, Hadis demi Hadis seperti ceramah2 agama yang ada sekarang..bukan begitu. Itu namanya mengobjektivasi kebenaran dari dalam teks, menundukkan maksud ayat dan Hadis menurut pengetahuan kita, sementara pengetahuan Allah jelas melebihi pengetahuan kita. Wawasan al-Qur’an yang sangat luas, kita tundukkan menurut wawasan kita yang sempit. Ibarat sinar matahari masuk lobang dinding kamar. Sinar mata hari yang luas, kita yakini hanya seluas lobang2 dinding di kamar kita. Ini kelemahan menafsirkan ayat dengan verstehen ontis. Sedangkan cara yang eksistensial ialah tatkala kita membaca dan memahami ayat dan Hadis, biarkan ayat2dan Hadis2 itu ‘menyapa’ kita, ‘menegur’ kita, biarkan ayat2 dan Hadis bercerita masa lalu, bagaimana pengalaman Nabi dahulu di saat melaksanakan perintah2 Allah. Kita dengar dengan lapang dada. Buat dialog dengan ayat, tanyai ayat2, bukan menafsirkan satu potongan ayat, tetapi dialog berdua tentang suatu persoalan dari sekian ribu ayat dan Hadis. Ya satu persoalan saja..persoalan ini dinamai oleh Gadamer dengan die Sache. Die Sache seolah mirip dengan sebuah titik pusaran air di tengah sungai yang berputar kencang, menurut saya. Sementara ayat2 yang 30 juzz dalam al-Qur’an itu, ribuan ayat dan Hadis, mirip dengan air sungai yang sedang mengalir tapi perlahan. Jadi fokus kita dalam menafsir hanya kepada satu titik pusaran air saja. Misalnya persoalan riba, atau persoalan pembagian zakat. Di dalam persoalan itu ada tersembunyi pengalaman Rasul dalam menangani masalah riba, dalam masalah pembagian zakat. Pengalaman Nabi itulah yang kita dengar dari cerita ribuan ayat2 dan Hadis. Semua ayat al-Qur’an dan Hadis2 itu bagaikan ‘tamu’ yang datang dari masa silam. Tamu yang bercerita tentang pesan, pesan dari masa lampau. Sebab dari ribuan ayat2 itu ada ayat2 tertulis, tetapi kan ada ayat2 yang tak tertulis….ada yang dipahami tersurat, dan ada yang dipahami tersirat…bahkan kata alm. Prof. Amir Syarifuddin (mantan Rektor IAIN Imam Bonjol, Padang), ada yang ‘tersuruk’: tersembunyi jauh nun di dalam. Maka aneh bagi Heidegger, bila kita baca 1 Hadis lalu kita katakan..itulah maksud Nabi yang sebenarnya. Bila kita baca kitab kuning, lalu kita katakan… itulah maksud Imam Mazhab yang sebenarnya….kata siapa? Heidegger geleng2 kepala. Sebenarnya sebelum Heidegger, ada filosuf bernama Schleiermacher (1768-1834) berpendapat lain bahwa dalam menafsirkan teks, yang perlu dicari adalah maksud pengarang. Maksud pengarang tersebut bisa kita selami dari dalam teks, bahkan kita bisa lebih paham/lebih baik dari apa yang dipahami oleh pengarang itu sendiri katanya. Artinya, ada kebenaran objektif yang diyakini tersembunyi di dalam teks. Sekarang saya bertanya, bila kita baca tafsir Jalalayn di pesantren2 Nahdhatul Ulama (NU), apakah kita mengikuti Heidegger atau mengikuti Schleiermacher? Bila Muhammadiyah ingin mencari kemurnian ajaran Islam dari dalam al-Qur’an dan Hadis, kira2 cara berpikir filosuf yang mana yang ditempuhnya? Bila anda mengajar kuliah dan menerangkan isi buku kepada mahasiswa, apakah di saat itu anda ikut Scheiermacher atau Heidegger? Bila ada anak kecil tercebur masuk kolam, anda langsung melompat ke dalam kolam untuk menyelamatkannya tanpa baca buku petunjuk lebih dahulu, apakah di saat itu anda mememahami secara ontis atau eksistensial? Nah…terakhir saya ingin bertanya, bila anda di’boleh’kan oleh al-AQur’an: ‘ fa’ tu hartsakum anna nsyi’tum’…(al-Baqarah 223), maaf saya tak menerjemahkan ayat ini..lihat Google bagi yang tak tahu, lalu anda praktekkan se merdeka/se nikmat mungkin berdua, di saat-saat semacam itu apakah anda sedang ontis atau eksistensial? Jangan senyum!Lantas bagaimana lagi sikap kita ke depan pak Amhar? Sikap kita..ya memang kita tak bisa lepas total dari Verstehen Ontis, tetapi dari situlah kita bergerak, menyadarkan diri, menyeberang ke Dasein, bila kita belum mampu masuk ke ranah eksistensial. Memang eksistensial Heidegger terlalu metafisis…sulit…..seakan jauh di planet Mars menurut saya.Dapat disimpulkan bahwa memang ada rupanya Pemahaman eksistensial ya, tetapi sulit diwujudkan pada dataran axiologis. Maka dalam hal ini Gadamer lebih logis, lebih praktis dari pada gurunya Heidegger. Gadamer lebih membumi, lebih dekat, lebih riel, dalam cara mengajari kita untuk memahami teks. Gadamer seolah berdiri dipinggir sungai yang sedang mengalir, dia hanya menyuruh kita ‘berenang’ menyelami air sungai yang ADA di depan mata, cuma menyeberangi sungai, bukan menyuruh kita menyelam hingga ke hulu sungai: iya Heidegger terlalu metafisis dalam mencari Pemahaman kata Gadamer. Heidegger seolah Elon Musk yang ingin kehidupan kita dari bumi pindah ke Mars. Gadamer, berbeda dengan gurunya ini, memang ia tetap ontologis ala Heidegger, tetapi dia tidak menyuruh kita pindah ke Mars, tetapi mulailah melalui proses apa yang dia sebut Peleburan Cakrawala2 (Horizonvermeltzung bahasa Jermannya). Wah menarik juga, apa itu? Jumat depan kita sambung lagi ya. Sudah terlalu panjang diskusi kita. Khoirul amal awshothuha (sedang2 saja).Sekian dulu pembaca budiman, terimakasih sudah membaca tulisan ini, saya senang sekali, mudah2an ada faedah epistemologisnya bagi kita bersama. Mohon pamit, mohon maaf bila ada kata2 yang salah, Wassalamu’alaikum, Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share