Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, Jum’at 30 may 2025
Assalamu’alaikum wr,wb Bapak2/ibuk2/ Adik2 pembaca setia di mana saja berada. Mari kita lupakan sejenak polemic ijazah Jokowi…biarlah mereka berdebat terus. Bagi kita sebagai pengamat sudah nampak persimpangan jalan kereta api di Cirebon: Jalur Utara ingin bukti2 ilmiah ditegakkan, sementara Jalur Selatan tak mau bukti2 ilmiah dibuktikan sehingga Ijazah terus disembunyikan, ya kapan ketemunya Understanding? Sementara Gadamer mengatakan agar kita dapat bersepaham atas suatu persoalan, ya dasar pijakannya harus sama, jangan ada Jalur Utara dan Jalur Selatan. Sekarang mari kita alihkan pembicaraan kita kepada hal yang lebih bermakna. Sebab umur kita dalam hidup ini singkat.
Sebagaimana diketahui ada dua organisasi keislaman yang dipandang besar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah: mungkin anda termasuk pengikut setia dari salah satunya. BerMuhammadiyah atau berNU atau berorganisasi keagamaan lainnya pada prinsipnya ingin sama2 menuju ke sorga. Entah bagaimana cara menafsirkan ajaran keagamaan oleh masing2 pihak, yang penting umat ditunjuki ke arah jalan yang benar. Ada sebuah buku petunjuk jalan ke sorga oleh Muhammadiyah yang menarik untuk dikaji berjudul HPT (Himpunan Putusan Tarjih). Di dalamnya anda ditunjuki bagaimana cara2 jitu agar hidup berbahagia di dunia ini dan kelak nanti sampai ke akhirat. Tetapi karena yang menunjuki itu manusia, ya kadang2 cara berpikir mereka dari aspek perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat perlu dipertanyakan juga. Muhammadiyah ingin agar umat mengamalkan ajaran Islam semurni mungkin seperti yang dipraktekkan oleh Rasul saw dulu (purifikasi) dan ingin pula pemahaman keagamaan dimodernisir (tajdid), namun filsafat mengatakan bahwa setiap kali manusia memahami sesuatu, subjektifitasnya tak bisa lepas dari dirinya…ini yang jadi masalah, sehingga purifikasi itu di mata siapa? Bagaimana cara mereka mencari yang objektif murni itu? Apa kelebihan dan kekurangannya bila dilihat dari filsafat? Dalam tulisan ini saya akan mengajak pembaca semua, jika tidak sibuk, untuk menelusuri cara2 orang Muhammadiyah menghasilkan Fikih untuk bahagia hidup di dunia dan juga menunjuki anda jalan ke sorga. Mari kita mulai!
Sebenarnya di dalam organisasi Muhammadiyah tersebut ada suatu badan (think-tank) dimana ulama2 Muhammadiyah (utusan Pusat dan daerah) berkumpul bersama, bekerja, berijtihad dalam masa yang ditentukan yang dinamai dengan Majelis Tarjih (MT). MT inilah yang diserahi tugas untuk menggali spirit hukum2 Qur’ani dan Sunnah Nabi agar sesuai dengan cita2 organisatoris yang kemudian dinamai dengan Putusan Tarjih atau Fikih Muhammadiyah yang sekarang sebagian besar sudah dimuat dalam buku tebal sejumlah 684 halaman yang disebut dengan Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah. Point kita dalam diskusi ini ialah bagaimana cara kerja metode tarjih yang mereka gunakan dan unsur2 apa yang diduga telah ‘nongkrong’ dalam setiap penggunaan metode tarjih tersebut. Ini yang perlu disorot agar apa yang dinamai ‘murni’ oleh Muhammadiyah itu semakin ‘jernih’ dan yang ‘jernih’ itu semakin ‘bening’.
Apakah purifikasi Muhammadiyah itu betul2 jernih, murni, bening, ibarat air mineral dalam botol kemasan? Menurut Bertrand Russell, bila kita melihat sesuatu, yang kita lihat bukanlah fisik benda tersebut, tetapi effek/pantulan dari benda tersebut. Artinya, bila ulama Muhammadiyah melihat ayat dan Hadis, maka yang terlihat bukan ayat dan bukan pula Hadis tetapi effek/pantulan dari pada ayat dan Hadis. Bahkan bila ditarik kepada pandangan Immanuel Kant, yang terlihat sebagai ayat al-Qur’an oleh ulama Muhammadiyah pada hakekatnya hanyalah fenomena dari pada numena yang kita yakini berada di Luh Mahfudz.
Mari kita lihat konsep purifikasi Muhammadiyah dengan kaca mata Gadamer, yaitu dengan salah satu konsep filsafatnya bernama Prasangka (Vorurteil). Prasangka di sini tidak sama artinya dengan dugaan (syu’uz zhann/husnuz zhann), tetapi bagi Gadamer ia berarti unsur2 yang harus ada sebelum seseorang mencoba memahami sesuatu. Misalnya, dalam kasus polemik ijazah Jokowi, tatkala Roy Suryo menuduh ijazah Jokowi palsu, tentunya Roy sudah mengantongi sejumlah prasangka yang ada dalam tradisi akademik (khususnya UGM). Misalnya, sesuatu ijazah dikatakan asli seharusnya ada bukti2 pendukung sebelum memperoleh ijazah: misalnya transkrip nilai, skripsi, tanda tangan pembimbing dalam skripsi, tempat KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan lainnya. Ini semua, dari perspektif Gadamer, diperlukan untuk melangkah kepada step berikutnya yaitu understanding: tanpa unsur2 tersebut ya tidak akan tercapai pemahaman. Demikian pula ulama Muhammadiyah, tanpa adanya unsur2 pra pemahaman mustahil mereka akan sampai pada understanding.
Bagaimana struktur berpikir ulama Tarjih dalam melahirkan produk Tarjih? Mereka, kata Prof. Syamsul Anwar sebagai Ketua Majelis Tarjih sekarang, bekerja dengan apa yang dinamai dengan Struktur Berjenjang. Apa itu? Struktur Berjenjang maksudnya ialah suatu konsep alur berpikir di mana al-Asas al-‘Ammah (Prinsip2 Umum) menjadi landasan utama. Dari landasan utama tersebut secara terstruktur akan menaungi struktur yang di bawahnya yaitu al-Ushul al-Kulliyah (Kaedah2 Umum). Dan akhirnya dari Kaedah2 Umum tersebut akan menaungi lagi struktur di bawahnya pula yaitu al-Ahkam al-Far’iyah (Hukum Rinci). Hukum Rinci inilah yang telah berwujud Fikih Muhammadiyah sekarang, misalnya Fikih Informasi, Fikih Air, Fikih Kebencanaan, Fikih anti Korupsi dan lainnya. Di sini nampak alur berpikir Ushul Fiqh klasik yang sekarang diwarisi oleh Muhammadiyah. Bila NU mewarisi pendapat2 para Imam2 Mazhab terdahulu yang sudah berbentuk particulars (juz’iyyat), Muhammadiyah malah mewarisi Ushul Fiqh (Kulliyyat) dari ulama2 terdahulu. Dengan kata lain, bila NU mewarisi tumpukan ‘ikan’ yang siap untuk dikonsumsi, Muhammadiyah malah mewarisi ‘pancing ikan’. Maka unsur2 Prasangka yang disebut oleh Gadamer di atas nampak, bukan pada al-Asas al-‘Ammah yang masih bersifat universal, tetapi pada al-Ahkam al-Far’iyyah yang sudah particular. Selanjutnya mari kita bahas pula Fikih anti korupsi oleh Muhammadiyah.
Dari hati yang jujur, kedua organisasi NU dan Muhammadiyah ingin agar semua kadernya selalu terjaga dari perbuatan tercela yaitu korupsi, tetapi sejarah berkata lain. Sayang, ada saja di antara kader kedua organisasi tersebut yang tercemar, di dalam Muhammadiyah misalnya kader muda yang terkait kasus Dana Kemah sementara kader2 NU lebih banyak jumlahnya dalam berbagai kasus: mudah2an Allah akan selalu menjaga marwah kedua organisasi keislaman ini.
Bagaimana Fikih Anti Korupsi dalam HPT? HPT 3 setebal 684 halaman membicarakan Korupsi pada bab lll dari halaman 107-125. Korupsi menurut Muhammadiyah ialah menyalahgunakan kewenangan, jabatan, dan amanah secara melawan hukum untuk memperoleh keuntungan atau manfaat pribadi atau kelompok tertenetu yang dapat merugikan kepentingan umum. (HPT 3, p.109). kemudian disebutkan adanya 2 motif korupsi: intrinsic dan ekstrinsik. Motivasi intrinsic berupa dorongan dari dalam pribadi seseorang untuk mendapatkan kepuasa. Sementara motivasi ekstrinsik ialah dorongan dari luar diri pelakukorupsi, misalnya ambisi untuk mendapat jabatan atau posisi structural.Kemudian disebutkan juga jenis2 korupsi dalam tradisi Islam, misalnya Ghulul (secara historis berarti penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan) , Risywah (penyuapan), Akl Suht (Makan Hasil atau Barang Haram). Konsep2 di atas disebutkan di dalam HPT diiringi dengan penjelasan ayat dan Hadis tetapi mungkin ‘tercecer’ mengingat bahwa di dalam teks2 suci semacam itu dulunya ada unsur pengalaman Nabi.
Bagaimana strategi Muhammadiyah untuk menanggulangi korupsi? Pertama disebutkan bahwa Nabi Muhammad dikatakan bahwa di zamannya beliau tak melakukan kriminalisasi perbuatan korupsi. Nabi, dikatakan, lebih cenderung kepada pembinaan moral, dan memperingatkan akan azab akhirat. Tetapi Muhammadiyah meyakini, pelaku korupsi bukan berarti tidak bisa dipidana: mereka bisa saja diberikan hukuman ta’zir. Tetapi Nabi katanya pernah mengadakan pengecekan laporan hasil kekayaan purna tugas seperti yang dilakukan Nabi pada Ibn al-‘Atbiyah (mantan colektor zakat distrik Bani Sulaim).
Bila ditanyakan mana Fikih Muhammadiyah tentang pemberantasan korupsi? Nampaknya Fikih ini hanya bersifat mencegah, bukan menghukum mirip hukum pidana. Pertama, disdebutkan adanya langkah strategis jalur kultural: mengikis budaya permisif, hedonistic, materialistic, mengikis budaya kultus dan paternalistic, memberantas budaya instan. Kedua, melalui jalur pendidikan, merumuskan dan mensosialisasikan pelajaran civic education, mengkis habis budaya pungutan di sekolah2, pendidikan keluarga yang menekankan budaya menabung dan produktif. Ada juga melalui jalur keagamaan, pendekatan hukum dan politik, pemilihan calon pemimpin yang bersih, dan lainnya. Jadi Fikih Muhammadiyah tidak lagi berbicara halal-haram, tetapi telah berobah bentuk. Maka al-Ahkam al-Far’iyah (hukum Rinci) di sini berupa non pidana dan lebih eksistensial nampaknya.
Demikian pula apa yang dinamakan dengan Fikih Informasi oleh Muhammadiyah. Di dalam Fikih tersebut, Muhammadiyah juga tidak lagi membicarakan aspek halal-haram seperti fikih klasik (Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah), tetapi mereka mengantongi sejumlah Prasangka dalam tradisi modern, misalnya apa arti dan bahaya hoax, bagaimana sikap umat Islam hendaknya setelah membaca fikih informasi, apa contoh Hadis Nabi yang akan dijadikan sebagai landasan moralnya. Semuanya telah ‘nongkrong’ dalam kepala ulama Tarjih. Maka dalam tulisan kita kali ini, pertanyaan filosofisnya ialah apakah unsur2 Prasangka yang telah ada ‘nongkrong’ dalam diri ulama murajjih sekarang untuk membawa umat kepada fikih informasi, agar bisa dicap murni, telah sesuai dengan unsur2 Prasangka yang ada dalam diri Nabi saw dulu? Apa jaminannnya? Apa indakator yang digunakan sebagai penunjuk kepada pemurnian? Bukankah ulama Tarjih sekarang dikungkung oleh ideologi Pancasila dan sadar diri akan side-effect dari teknologi informasi di dunia maya? Bisa diduga Fikih Informasi adalah untuk perekat persatuan umat dalam rangka membantu Pemerintah menjaga ketentraman public. Bila ini benar, maka ajaran moral Nabi yang bersifat Rahmatan lil ‘alamin sekarang seakan telah direduksi kepada wilayah NKRI saja. Penciutan semacam itu memang tidak bisa disalahkan sebagai historisitas ulama Tarjih tetapi sekurangnya mengindikasikan adanya kelemahan pada slogan Muhammadiyah ‘al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah al-Maqbulah’. Sebab kata al-Ruju’ di sana sudah mengandung sejumlah unsur2 Prasangka dalam Tradisi keislaman di Indonesia. Dengan bahasa yang agak kurang lembut: motif ulama Tarjih yang berbau politis di balik penyusunan Fikih Informasi dan anti korupsi jelas berbeda dengan motif Nabi yang bersifat ‘murni’ transcendental. Maka yang tak terselami oleh ulama Muhammdiyah, bila dilihat dari filsafat Gadamer, ialah unsur pengalaman Nabi sejauh terkait anti korupsi dan penyebaran informasi.
Kesimpulan. Ini kajian akademik. Penulis memang mempersoalkan Fikih Muhammadiyah tetapi ‘cermin’ pantulannya dapat juga mengena kepada NU dan ormas keislaman lainnya. Maka istilah purifikasi dalam Muhammadiyah sebenarnya, bila dilihat dari filsafat Kant, usaha tulus-ikhlas ulama Muhammadiyah dalam membimbing umat, khususnya warga Muhammadiyah, sesuai dengan bisikan qalbu yang selalu yakin dibimbing di bawah naungan Ilahi. Yang terlupakan barangkali menyadari adanya perbedaan motif dalam menjaga tersebarnya informasi bohong di kalangan umat.
Significance of Issue (Hikmah). Mungkinkah kita letakkan Living Sunnah Nabi (dalam bentuknya yang ideal) ke dalam konteks Theory of Forms oleh Plato? Sebab al-Hukm al-Far’iyah yang berwujud Fikih Muhammadiyah sekarang dapat dilihat sebagai particular (juz’iy) atau fenomena dari al-Asas al-‘Ammah yang ada dalam pikiran ulama Tarjih sebelum dan di saat mereka mentarjih. Yang menggelitik untuk dipertanyakan bagi Amhar adalah mengapa ada cara berpikir Platonic semacam itu dahulu oleh para Fuqaha Muslim? Artinya Ushul Fiqh sebagai warisan intelektual tidak perlu dipersoalkan lagi sekarang bilamana ia dikembangkan dengan hermeneutika modern karena akar2 filosofisnya memang sejak ‘formative period’ datang dari luar Islam. Sedikit guyon: tetapi jangan sampai pula ijazah yang disembunyikan oleh Jokowi sekarang, jika memang ada, dianggap sebagai numena untuk membatalkan fenomena ijazah copyan yang bertebaran sekarang ini.
Sekian dulu Bapak2/Ibuk2 dan Adik2 terhormat. Maaf bila ada kata2 yang salah. Wassalam, pamit, Amhar Rasyid, Jambi.