FENOMENOLOGI: (SEPIRING BERDUA)


Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, 31 Januari 2025

Assalamu’alaikum wr,wb
Hari Jum’at ini kita membicarakan Pemahaman (Understanding). Umumnya kita memahami sesuatu berdasarkan kata orang, kata buku, kata koran, kata WA, kata You Tube, kata Google.. ternyata ini semua bukan pemahaman fenomenologis. Lantas apa itu fenomenologi? Kata fenomenon dalam bahasa Yunani disebut phainestai artinya ‘menampakkan diri’. Sementara kata ‘logi’ artinya ‘ilmu’, ia berasal dari kata Yunani ‘logos’ (diskursus). Maka fenomenologi artinya ‘pendekatan untuk mendeskripsikan hal-hal sebagaimana kita mengalami atau menghayatinya, tetapi jauh sebelum hal-hal itu kita rumuskan dalam pikiran kita’. Lihat buku Prof. F. Budi Hardiman, SENI MEMAHAMI (Yogyakarta: Kanisius, 2015), hal. 103, 105. Jadi fenomenologi itu menunjuk kepada sesuatu pemahaman yang belum dirumuskan oleh orang (Ia pra-reflektif, pra-cognitif): pemahaman yang paling awal, belum dipikirkan. Apa ada?

Contoh bagi saya, misalnya anda belum pernah pergi ke Mekah, belum pernah melihat dan memegang Ka’bah. Maka tunggu dulu membenarkan apa kata buku, kata guru, kata ustaz, kata seorang jama’ah haji tentang bentuk Ka’bah. Suatu saat anda berangkatlah ke Mekah, pergi sendiri ke dekat Ka’bah itu, kelilingi, kemudian hayati sisi-sisinya, tengok ke atas, tengok ke sudut2nya, tengok ke sekeliling, …PEGANG batunya….usap kiswah (kain penutupnya), CIUM Hajar Aswad, sehingga anda betul2 ‘menghayati’ kondisi Ka’bah sebenarnya, rasakan bagaimana Ka’bah itu seakan ‘menceritakan dirinya sendiri’ pada anda. Cara memahami Ka’bah seperti itu namanya pendekatan fenomenologis.

Sebenarnya fenomenologi, dalam kajian akademik, mempunyai banyak tingakatan mulai dari fenomenologi Schleiermacher, hingga Wilhem Dilthey dan sampai kepada yang sangat metafisis yaitu fenomenologi Martin Heidegger. Maka dalam tulisan ini, agar mudah dipahami bagi audience, saya batasi diskusi kita pada penjelasan fenomenologi yang mudah saja agar anda senang membaca tulisan saya. Sebagaimana biasa diskusi kita ujungnya mengerucut pada filsafat dan agama. Mari kita mulai!

Pertama, Pagar Laut. Tangguhkan dulu membenarkan kata orang, kata medsos, kata tv, lalu pergi sendiri dan ceburkan diri ke laut dekat Pagar Bambu di Tanggerang tersebut mirip yang dilakukan oleh Dr. Said Didu. Lihat, pegang dan coba cabut bambu itu dengan tangan sendiri…rasakan bedanya. Beda antara yang diberitakan di tv dengan yang anda alami sendiri. Pasang mata, pasang kuping apa yang terjadi di tengah masyarakat sekitar. Mengapa dibuat pagar bambu? Siapa dalangnya? Di situ akan ada penyingkapan kebenaran yang anda alami sehingga anda paham. Itu namanya pemahaman fenomenologis.

Kedua, kebakaran di Los Angeles (LA). Tangguhkan dulu membenarkan berita di tv, berita di You Tube, berita di Face Book, apalagi Hoax, lalu pergilah ke LA, ke tempat kebakaran tersebut, lihat, rasakan suhu panas sekitar, pandang sekeliling, tatap matahari, injak tanah LA, maka ‘alam sekitar Los Angeles’ akan membisikkan sesuatu kepada anda: Oooo ini rupanya Los Angeles, kenapa terjadi kebakaran di sini? Jadi pemahaman2 fenomenologis itu bersifat induktif. Induktif artinya, dari bukti2 yang kecil2 lalu ditarik kepada kesimpulan umum yang lebih luas.

Dari kedua contoh fenomenologis di atas, ternyata memang ADA jenis pemahaman yang berbeda dari cara kita memahami seperti biasanya. Pemahaman fenomenologis berbeda dengan cara memahami kitab al-Qur’an, kitab Hadis, kitab2 kuning yang selama ini diajarkan di pesantren, di IAIN, di UIN, yang dilakukan oleh MUI (Majlis Ulama Indonesia), oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah, oleh Bahtsul Masail NU, oleh para praktisi hukum di ruang Pengadilan, oleh dosen2 dan lainnya. Bedanya: bagi fenomenolog, pemahaman adalah hasil penyingkapan diri oleh si objek. Ibarat bunga, biarkan ia mekar, menyingkapkan kelopaknya dengan sendirinya. Sementara bagi kita selama ini pemahaman didatangkan, diberikan, dituangkan dari atas kepala kita kepada objek yang akan dipahami. Ya objeknya menyerah, tunduk, pasrah. Maka pemahaman kita adalah hasil menundukkan apa2 yang ingin dipahami. Contoh, bunga perbankan dikatakan HARAM dengan tegas sekarang oleh Muhammadiyah, pada hal dulu di masa kepemimpinan Muhammadiyah oleh KH. Mas Mansyur pernah dikatakan bunga perbankan ‘diperbolehkan’. Praktek riba perbankan modern diyakini telah memenuhi unsur2 keharaman yang ada di zaman Nabi. Ayat dan Hadis ditundukkan, kebenaran di dalamnya diobjektivasi. Ini perlu kajian fenomenologis agar ayat dan Hadis jangan sampai ditundukkan, mengingat pengetahuan manusia itu nisbi dan terbatas.

Demikian pula kasus Pagar Laut. Bagi Pemerintah sekarang, pagar laut itu illegal, laut tidak boleh dipagari, dimiliki oleh swasta, menghambat nelayan, Oligarki. Bagi pemerintah yang dulu, kasus pagar laut itu tak tahu menahu, katanya entah siapa dulu yang mengeluarkan izinnya, lepas tangan, walaupun nama dan tanda tangan di sertipikatnya jelas terbaca, mungkin itu nama ‘Hantu’. Sementara bagi si pemilik ‘Siluman’ yang masih sembunyi di balik layar, Pagar Laut itu sah, sudah ada HGBnya walaupun disadari nenek moyangnya tidak lahir di sini, dulunya empang bukan laut katanya, bahkan sudah dibayar. Maka sekarang eloklah kita tanya ombak yang bergoyang! Sebab ombak menyaksikan bagaimana dulu pagar2 bambu itu ditancapkan. Memang perlu fenomenologi.

Bila diseret kasus Pagar Laut ke Pengadilan, para ahli hukumnya akan membela nasabahnya dengan undang2 dan pasal sekian, pasal sekian. Mereka saling bertengkar di Pengadilan dengan pihak Pemerintah, saling beradu argumentasi, pasal ini ditundukkan, pasal itu ditundukkan ..diseret kemana maunya si pembela selama nasabah masih kuat bayar….Pihak Pemerintah nanti juga akan demikian. Undang2 dan pasal2 akan ditundukkan oleh pengacaranya sesuai dengan pemahaman mereka diseret ke arah mana si empunya Pagar Laut bisa kalah. Capek deh kata undang2 dan pasal2. Kejadiannya di laut hijau, berdebatnya di meja hijau.

Bagaimana pula pemahaman keilmuan dosen yang diajarkan kepada mahasiswa? Biasanya dosen memberi kuliah setelah baca buku, jurnal, setelah mengutip pendapat pengarang, dan akhirnya mahasiswa diberi nilai benar dan lulus usai ujian apabila telah sesuai dengan pemahamannya, pada hal pemahaman sang dosen tidak fenomenologis, a priori. Coba lihat kuliah Pendidikan Anti-Korupsi di UIN. Mahasiswa diajarkan agar menjauhi korupsi, tetapi apa yang terjadi setelah mereka lulus? Mereka mulai bekerja di sebuah kantor, ‘mulanya biasa saja’….kata nyanyi Pance Pondang. Eh lama kelamaan, datang bendahara menyuruh tanda tangan, dapat sedikit uang bensin, untuk jajan, lama kelamaan makin terasa enak, akhirnya terbiasa. Setelah jadi pimpinan boleh jadi malah lebih ‘menggila’. Pelajaran kuliah telah lupa, korupsi berjamaah lebih membudaya. Maka pemahaman anti-korupsi itu harus di budidayakan di lapangan secara fenomenologis, bukan diajarkan di bangku kuliah saja.

Maka pertanyaannya sekarang ialah, bagaimana dengan isi ceramah2 kita di langgar dan masjid? Ini yang lebih penting. Umumya bila ustaz berceramah, setiap argumentasinya selalu dikunci diujungnya dengan ayat dan Hadis, padahal argumentasinya belum diuji ke lapangan. Maka yang terjadi ayat dan Hadis ditundukkan dan jama’ah menundukkan….(kepala). Pemahaman ustaz belum fenomenologis. Mungkin karena tidak fenomenologis itulah sebabnya banyak isi ceramah agama bagi jama’ah hanya ‘masuk telinga kiri keluar telinga kanan’.

Sementara kelebihan Nabi adalah sifat pemahamannya yang sangat fenomenologis. Mau contoh? Dulu seorang perempuan, jauh dari tempat Nabi, mengaku kepada sahabat di sekitar tempat tinggalnya bahwa dia telah berbuat zina, lantas ditahan, diikat oleh sahabat. Rupanya dia takut, sadar akan mati dirajam, dia lepas dan melarikan diri (kabur). Maka perempuan itu dikejar ramai2, dapat, ditangkap, diikat kembali dan akhirnya dirajam (mengikuti norma yang dipahami), dan perempuan itu mati. Seusai pelaksanaan rajam, sahabat tersebut pergi menjumpai Nabi dan melaporkan kasus tersebut sesuai dengan pemahamannya. Apa jawab Nabi? Yaaaaa, kalau perempuan itu sudah tobat, sudahlaaaaah! Nah terbukti akhlkaq Nabi lebih fenomenologis dari pada norma yang kita pahami. Bila demikian halnya, pantas Allah menyuruh Muhammad saw untuk membaca Iqra’ di Gua Hira’. Iqra’! (Bacalah!). Rasul lalu menjawab tidak tahu apa yang harus dibaca, rupanya beliau diperintahkan Allah untuk membaca situasi Mekkah secara fenomenologis, keluarlah dari Gua Hira’, dan Rasulpun pulang ke rumah Khadijah tidur berselimut ketakutan. Ternyata Iqra’ disusul lagi dengan turunnya ayat Yaa ayyuhal muddatsir. Qum fa anzir! (Hai orang yang berselimut, bangunlah, berilah peringatan!) Nampak sekali dalam wahyu tersebut bahwa untuk memamahi persoalan umat itu harus turun lapangan secara fenomenologis.

Akhirnya kita terpaksa mempertanyakan urgensi pengalaman makan ‘sepiring berdua’ antara para Ulama dan Nabi untuk memahami persoalan keagamaan secara fenomenologis. Menurut para ahli, ayat dan Hadis, terutama bidang mu’amalat, adalah bukti rekaman jejak peristiwa yang pernah dialami oleh Rasul. Karena Rasul itu memang manusia juga, maka unsur pengalaman Rasul tersebut dapat dihidupkan kembali oleh para ulama di zaman kini. Dalam unsur pengalaman Nabi, yang perlu dilirik ialah ‘maksud semula’ (the Initial Intent menurut istilah Dr. Arsul Sani, S3 Univ. Glasgow Inggeris, Hakim Mahkamah Konstitusi sekarang). Maksud semula itu mendahului apa yang dipikirkan. Bila anda bermaksud hendak makan, maka kemudian otak berpikir cuci tangan dulu, siapkan air minum dulu, dst.

Kiasannya mirip dengan naik pesawat. Bila anda telah turun pesawat di bandara, coba baca kembali tulisan yang tertera di tiket anda. Tertulis misalnya: Asal: Jambi, tujuan: Jakarta. Setelah membaca tiket di Cengkareng, ternyata anda bukan mengulangi lagi terbang sebagaimana yang tertulis di tiket (Jambi-Jakarta), tetapi lebih mementingkan ‘apa maksud semula’ anda membeli tiket, yaitu ingin sampai ke tujuan. Tujuan anda semula bukan sebagaimana yang tertera di tiket, tetapi masih harus melanjutkan naik mobil lagi dari bandara. Demikian pula Hadis mu’amalat khususnya. Matan Hadis itu bukan destinasi akhir, tetapi ‘rambu2’ oleh Nabi untuk kita agar sampai ke alamat. Maka cobalah gali maksud semula Nabi dalam Hadis, agar anda jangan sampai membaca Hadis mirip membaca tiket pesawat, duduk seumur hidup di Cengkareng, lupa melanjutkan perjalanan sesuai maksud semula sebelum membeli tiket pesawat.

Maka fenomenologi adalah ilmu yang menawarkan cita rasa Makan Sepiring Berdua (turun ke lapangan, dihayati, berempati). Dalam ceramah2 agama, Ustaz2 zaman now nampaknya belum sempat makan sepiring berdua, tetapi bukan sepiring dengan umat, melainkan sepiring dengan Nabi. Bagaimana caranya sepiring dengan Nabi? Caranya ya melalui hermeneutic, bukan lagi dengan tafsir. Metode pembacaan tafsir yang berlaku sekarang telah disadari oleh Muhammad Arkoun memang mengandung persoalan. Kita selama ini terjebak pada Cartesianisme, baik metode bayani maupun burhani. Cartesianisme membuat pembedaan antara Subjek dan Objek mirip kerja di laboratorium oleh ilmuwan (ini namanya Erklaren dalam bahasa Jerman), padahal cara kerja ulama memahami persoalan umat (disebut Verstehen). Umat adalah manusia yang memiliki rasa empati, berbeda dengan makhluk non-manusia yang diteliti di laboratorium (kimia misalnya). Maka yang terjadi sekarang adalah Objek ditundukkan, dikutip ayat dan Hadis sepotong-sepotong sejauh dirasakan ia akan memperkuat argumentasi orang yang mengutipnya, pada hal ayat atau Hadis tersebut dulunya bukan untuk menopang argumentasi orang tersebut, hanya saja yang mengutip itulah kini yang memanfaatkannya. Cara2 seperti itulah yang kita saksikan hari ini umumnya dalam ceramah2 agama di langgar, di masjid, di medsos. Sementara yang berceramah sudah sangat yakin, bahwa potongan ayat dan Hadis yang dikutipnya telah mengantarkan jama’ah ke ‘destinasi akhir’.

Buktinya, Ulama Muhammadiyah bilang begini, sementara Ulama NU bilang begini pada satu dalil yang sama. Mereka berbeda memahami dalil tertulis, bukan sama2 merujuk kepada Maksud Semula oleh Nabi. Maka yang terjadi ialah pemahaman manusia yang nisbi ditopang oleh kebenaran ayat yang mutlak. Mereka berdakwah kepada umat, mirip dokter dengan pasien: dokter tahu penyakit pasien, tetapi tidak mengalami rasa sakit si pasien, dia hanya pandai memberikan resep sesuai dengan pengetahuannya. Lalu si pasien ‘taqlid’ minum obat, karena pasien salut pada dokternya, salut dalam ‘ketidaktahuan’.

Demikianlah ‘hikmah’ mengetahui apa itu fenomenologi. Jadi maksud semula Nabi bukan sebagaimana yang tertulis dalam matan Hadis, tetapi ‘mendahului’ munculnya Hadis. Dalam Hadis ada MAKSUD SEMULA baik sebelum dikatakan (qawliyah), atau sebelum dikerjakan (fi’liyah), maupun sebelum didiamkan (taqririyah). Imam Bukhari dan Muslim tidak mencatat Maksud Semula Nabi tersebut. Yang dicatatnya adalah rekam jejak dari Maksud Semula tersebut, dan banyak umat Nabi berpegang pada rekam jejak tersebut. Mereka mirip berpegang pada apa yang tertulis di tiket pesawat, dan lupa Maksud Semula sebelum membeli tiket. Significance of Issuenya: syeikh Muhammad Abduh bilang waktu di Paris: di Barat ditemui Islam, di Timur ditemui orang Islam. Memang benar. Negara Selandia Baru dan Finlandia ternyata kini alam dan lingkungannya bernuansa Islami walaupun tidak ada terdengar suara2 ustaz berceramah. Kok bisa ya? Mungkin ada baiknya para ulama kita sesekali melihat langsung Selandia Baru dan Finlandia: menghayati Islam secara fenomenologis, tersirat dari kata2 Syeikh M. Abduh. Sekian dulu pembaca budiman, maaf bila ada kesalahan ucapan, pamit, Wassalam, Amhar Rasyid.

*Silakan Share