Dr. RYU HASAN:AHLI BEDAH SARAF ‘INGKAR’ TRADISI


Jambi, 7 Juni 2024

Assalamu’alaikum wr,wb. Bpk2/Ibuk2/Adik2ku/Anak2ku/Mhsw2ku dan segenap pembaca budiman di mana saja berada, baik Muslim maupun non Muslim. Sebagaimana telah dijanjikan pada Jum’at lampau, Jum’at ini kita membicarakan seorang dokter terkenal, ahli bedah saraf dan bahkan cucu seorang pendiri NU, tetapi pemikiran keagamaannya terlihat ‘ingkar’ atas tradisi Islami. Saya sudah sering mengikuti diskusinya pada beberapa Podcast dan Youtube, dan saya melihat ada kecenderungan positivistik pada pemikiran dr. Ryu Hasan tersebut, dan pemikiran semacam itu semakin menjalar di dunia kampus kita di Indonesia, maka tulisan berikut juga akan membicrakan relevansinya dengan pemikiran keagamaan beberapa sarjana Muslim lainnya. Boleh jadi suatu saat anak/saudara anda akan terpapar paham positivistik pula. Positivisme sebenarnya adalah suatu aliran filsafat Auguste Comte tetapi disini positivistik diartikan sebagai cara berpikir yang mengakui kebenaran sains (science) di atas segalanya. Artinya kebenaran keislaman yang nampak tak sesuai dengan sains akan ditolak: Neraka tak bisa dibuktikan oleh sains, maka Neraka tidak ada? Ini mengkhawatirkan, sebab fenomena positivistik telah semakin merebak di dunia kampus2 di Indonesia, mari kita bicarakan dalam beberapa paragraf dengan mengambil data dari berbagai sumber.

Riwayat singkat. Dr. Ryu Hasan alias dr. Roslan Yusni al-Imam Hasan, Sp. BS (Spesialis Bedah Saraf). Dokter ini ahli dalam mendiagnosa dan melakukan pembedahan pada pasien dengan gangguan saraf. Ia dilahirkan sekitar 58 tahun silam di Surabaya, di masa kecil diakuinya mengalami autis, hafal al-Qur’an di usia 7 tahun. Orang tuanya bernama Hasan Wahab. Ia dikatakan sebagai cucu salah seorang pendiri NU (KH Wahab Hasbullah) kiyai besar Ponpes Tambak Beras, Jawa Timur. Ryu Hasan lulusan fakultas kedokteran Unair (Surabaya), terus melanjutkan studinya di Sydney, Australia, terus studi ke Jepang. Dia menguasai banyak bahasa: Arab, Hebrew (Yahudi Israel), Inggeris, Jepang, Parsi. Kebiasaannya minum bir dan kopi hitam. Menguasai bahasa Arab karena waktu kecil lama tinggal di Riyadh (Ibu kota Saudi Arabia) karena ayahnya bertugas sebagai atase di KBRI Riyadh. Sekarang dr. Ryu Hasan diberi tugas memimpin Neuro Center di RS Mayapada, Tanggerang, Jakarta.

Biasanya anak autuis dinggap tidak punya tenggang rasa, kurang sopan. Dia pernah membangkang pada ibunya yang ngajari ngaji: kata ibunya dia harus tahu ngaji dan berbakti pada orang tua. Dia menjawab: anak kok disuruh berbakti? Siapa juga yang pingin punya anak, tanyanya? Harusnya orang tua yang menyenangkan anak2nya, bukan dipaksa anak2 untuk berbakti. Ditempat lain, dia juga mengatakan bahwa tidak ada Nabi yang usianya sampai ribuan tahun: itu cerita bohong katanya. 4 Sehat 5 Sempurna itu tak benar: itu kan tag linenya iklan susu. Buku yang mengubah cara berpikirnya, katanya, ialah buku karangan Daniel Goleman ‘Emotional Intelligence’: Ryu Hasan tertarik pada buku tersebut sewaktu lagi jalan2/ lari pagi di Sydney, katanya, ternyata buku tersebut menjelaskan cara kerja otak. Menurut Daniel Goleman: kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan intelligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya. Sedangkan menghafal, kata dr. Ryu Hasan, akan mudah bila kita bisa mengimajinasikan hal2 yang mungkin, masalahnya sekarang ialah otak kita sudah ‘dikeroyok’ oleh epistemologi. Mengimajinasi hal2 yang tak mungkin: gampang bagi manusia, tetapi mengimajinasi hal2 yang betul2/real..sulit bagi manusia.

Karena dr. Ryu Hasan adalah ahli saraf, sekarang kita simak pula pendapatnya tentang IQ (Intelligence Quotient). IQ ialah kemampuan seseorang untuk menalar, memecahkan masalah, belajar, memahami gagasan, berpikir, dan merencanakan sesuatu. Kata Dr. Ryu Hasan, normal IQ kita antara 90-110 atau 111 -120. Bila IQ di bawah 90=bodoh. IQ rata2 orang Indonesia 85-115 (dibawah rata2 IQ penduduk dunia: banyak bodohnya?). Istimewa score IQ Habibie 200, Newton 190, Galileo Galilei 165.Einstein 160. Mr. Bean 178. Yang terkenal punya IQ tertinggi adalah dokter/ilmuwan Amerika bernama Willim James Sidis (1898-1944), punya IQ 250-300, sedangkan Adragon de Mello punya IQ 400. Usia 3 tahun, Sidis sudah bisa membaca dengan lancar. Usia 6 tahun Sidis sudah menguasai banyak bahasa. Kata dr. Ryu Hasan, IQ itu bukan taqdir dari Tuhan, orang punya IQ tinggi kadang2 gagal, sementara yang punya IQ sedang malah sukses dalam hidup. Sidis ternyata gagal, ia pemurung, menarik diri dari tengah masyarakat dan menjadi staf pegawai tata usaha tingkat rendah, pada hal ia dulu dikenal dunia paling brilian di Harvard. Usia 49 tahun dia menderita stroke dan meninggal. IQ kata dr. Ryu Hasan tidak bisa dinaikkan melebihi 20 point. IQ di bawah 90 sulit menghafal. Maka Emotional Intterligence (EI) lebih penting dari pada IQ (Intellectual Intelligence). Berapa IQ anda sendiri?

Berikut beberapa kutipan pendek pemikiran dr. Ryu Hasan. Manusia itu, katanya, masuk dalam kelompok binatang (mamalia) ordo prima, divisi vertebrata. Otak itu tidak pernah dirancang untuk membedakan benar dan salah. Sebab ‘benar’ dan ‘tidak benar’ lebih banyak ditentukan oleh tradisi. LGBT (komunitas gay) bukan penyakit katanya. Aristoteles itu bodoh, mengkhayal: masak jumlah gigi laki2 menurut Aristoteles lebih banyak dari pada jumlah gigi perempuan mengutip dr. Ryu Hasan. Ilmu jiwa Sigmund Freud telah roboh, orang malah beranjak pada psikologi Jung. Sekarang dr. Ryu lebih cenderung pada Charles Darwin. The survival of the fittest itu memang benar adanya katanya. Orang jadi kaya bukan karena berdoa, tetapi karena dapat harta. Peluang untuk bahagia bagi seseorang, tergantung atas seberapa besar kemampuan otak untuk melupakan hal2 yang tidak menyenangkan. Dalam biologi, ruh itu tidak ada. Membahas Qadha dan Qadar: bagi sains itu tidak peduli. Dalam ‘kehidupan’ sesungguhnya tidak ada nilai baik-buruk, yang ada advantage dan disadvantage. Nilai (value) itu datang belakangan: contoh babi haram dalam Islam, sapi dihormati di India (Hindu). Sendawa seusai makan dinilai buruk di Jawa, tetapi dipuji di Sumatera Utara sebagai tanda ‘enaknya’ hidangan bikinan tuan rumah. Otak kita suka rythme. Rythme akrab dengan detak jantung. Nada2 minor bikin kita jadi sedih, sementara nada mayor..bikin kita jadi senang. Manusia suka bohong setiap hari: untuk bekerjasama perlu bohong. Contoh, pegawai benci pada bos, tetapi pura2 baik, ini contoh sikap manipulatif demi kerjasa sama. Pemikiran keagamaan kita sekarang banyak karena pengaruh Plato katanya. Misalnya ajaran Plato bahwa dalam tubuh manusia ada 2 entitas: ada tubuh yang punah dan ruh yang kekal. Di dunia ini yang ada kata Plato hanya ide. Tugas sains yaitu mempertanyakan apa2 yang sudah mapan. Sains terbuka atas semua koreksi. Demikian kutipan2 singkat saya ambil dari beberapa sumber, semoga pembaca berinisiatif mencari kelengkapan informasinya pada sumber2 lain.

Sekarang, apa relevansi sikap ilmiah dr. Ryu Hasan dengan para ilmuwan dan dosen2 muda di kampus2 di Indonesia? Orang semacam dr. Ryu Hasan nampaknya akan semakin banyak jumlahnya. Adik saya tamatan IPB (S3) pernah mengatakan baginya apa2 yang benar oleh sains itulah yang diyakini benar. Saya kaget. Saya bilang: itu namanya terjangkit paham positivistik. Saya pun bertanya, bilamana sorga dan neraka tidak bisa dibuktikan oleh sains, maka sorga dan neraka apakah tidak ada? Dia terdiam. Artinya, dunia kampus umumnya diprediksi sudah terpapar paham positivistik, mayoritas dari dosen2 jebolan dari universitas luar negeri. Bagi mereka arti agama, lebih dipahami sebagai buah tradisi, cara2 berpikir warisan masa lampau yang sekarang perlu diuji kebenarannya dengan sains. Sementara sains itu sifatnya positivistik: apa2 yang dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, ya bisa diterima akal sehat, dan kebenaran sains akan tetap diterima hingga adanya sanggahan baru yang membatalkannya.

Lain halnya dengan mereka yng pernah mengenyam pendidikan Islamic Studies di Barat. Bermula dengan kritik Prof. Dr. H. M. Rasyidi atas pemikiran Prof. Harun Nasution dan kemudian atas Nurcholish Majid, masyarakat agak kurang apresiatif atas jebolan Islamic Studies di universitas2 di Barat. Sepulang dari McGill di Canada (1995), saya pernah dicekik leher oleh Rektor IAIN di Gedung Pascasarjana, Telanaipura, Jambi, waktu itu kami berdua berbeda pendapat tentang kepintaran Nabi Muhammad. Saya bilang pada Rektor: Nabi Muhammd saw pandai kok berhitung, bukan buta huruf: itu kan tradisi saja yang bilang. Buktinya, dia meminjam modal pada Khadijah, dan Khadijah senang pada pemuda bernama Muhammad: artinya Muhammad itu orang yang pandai menghitung berapa modal, berapa hutang pada Janda Kaya tersebut, berapa harus dijual barang dagangan, berapa uang kembalian yang harus diberikan pada setiap pembeli di saat berjualan di pasar di negeri Syam (Sirya). Yang jelas, uang yang beredar pada usia Nabi yang masih muda tersebut adalah dirham dan dinar (bukan uang orang Arab, tetapi uang Romawi dan Persia). Nah, ini memerlukan pengetahuan ekonomi khusus, sebab bahan koinnya terbuat dari emas (dinar) dan perak (dirham). Keduanya adalah uang luar negeri, mata uang asing. Orang Arab baru memiliki uang koin pertama di masa Khalifah Abdul Malik (Khalifah IV Dinasti Umayyah), jauh setelah Nabi wafat. Artinya, kalkulasi yang digunakan oleh pemuda bernama Muhammad tersebut adalah kalkulkasi ekonomi berilmu tinggi. Hanya kemudian tatkala dia sudah resmi diangkat menjadi Rasul oleh Allah, beliau menunjuk Arqam bin Abi Arqam sebagai tenaga ahli penimbang bobot emas pada dinar. Maka bagi saya kebenaran dalam tradisi juga dipertanyakan.

Demikian pula, teman saya, mantan Rektor UIN, pada saat berdiskusi empat mata, sempat mengatakan baginya solat itu cukup dengan ‘merenung’ saja (mungkin ‘eling’istilahnya), tak usah rukuk, sujud, seperti tradisi Islami mengajarkannya. Saya jawab: saya tak berani segitunya. Saya masih yakin praktek solat itu harus dikerjakan meniru Nabi :Shollu kama roaitumuni ushalli (Solatlah kamu seperti apa saya solat). Dia diam saja, tak merespon saya. Begitulah, kebenaran dalam tradisi semakin dipertanyakan oleh para sarjana. Mereka yang tamatan universitas sekuler (tidak studi keislaman) di universitas Barat, setelah pulang cenderung positivistik. Sementara mereka yang tamatan Islamic Studies mulai mempertanyakan kebenaran dalam tradisi Islami, boleh jadi ia dulunya alumni pesantren NU yang sangat ketat pada pendapat Imam mazhab dalam kitab2 kuning. Masyarakat akhirnya menjadi bingung: diikuti cara berpikir tradisonal dikatakan salah, kalau tidak diikuti cara berpikir demikian, lantas kemana mau bertanya?

Dari diskusi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sosok pribadi dr. Ryu Hasan adalah salah satu contoh bagaimana kemapanan tradisi selalu dipertanyakan orang. Apa itu tradisi? Tradisi ialah cara berpikir kita yang diwariskan oleh ulama2 terdahulu, yang sudah mapan, yang selalu dianggap benar oleh masyarakat, karena dibayangi dengan sorga dan neraka, diulang2i terus dalam khotbah, ceramah, tawsiyah, pengajian, dan lainnya. Dalam filsafat pemahaman ulama2, tokoh intelektual agama, tokoh2 NU, tokoh Muhammadiyah, atas kebenaran dalam tradisi Islami semacam itu disebut Verstehen Ontis (pemahaman yang mengunyah ulang pemahaman2 terdahulu) akibatnya tradisi jadi lestari. Karena takut mempertanyakan tradisi, masyarakat biasanya yakin segala sesuatu dari Islam sudah dianggap benar/final, pada hal tradisi Islami penuh dengan perbedaan pendapat oleh para Imam sejak dulu. Membukukan pendapat para Imam akhirnya membuat tradisi menjadi kaku. Apakah sekarang akan kita cap sosok dr. Ryu Hasan sebagai kafir, atheis? Menurut saya, dr. Ryu Hasan bukan ingkar pada Islam, tetapi ingkar pada Verstehen Ontis, karena dia ahli di bidang saraf. Cobalah anda pikir2 sendiri, anda sekarang pada posisi yang mana? Silahkan dikomentari/dikritik bila anda punya waktu.

Sekian dulu pembaca budiman, terimakasih telah membaca. Pamit. Amhar Rasyid, Jambi

*Silakan Share