Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, 7 Februari 2025
Assalamu’alaikum wr,wb
Suatu kali saya melirik sebuah buku filsafat di Perpustakaan UI (Universitas Indonesia) Depok, Jakarta. Buku tebal yang sangat inspiratif, menjelaskan pola pikir Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer hasil karangan Robert J. Dostal. Judulnya The Cambridge Companion to Gadamer (London: Cambridge University Press, 2002). Setelah lama membacanya di perpustakaan, lalu saya teringat kebiasaan kita yang paradoks tatkala membaca kartu undangan, SK, Kitab Kuning, ayat dan Hadis Nabi. Dari suasana semacam itulah tulisan ini ‘reinkarnasi’ ke layar HP anda ini. Tujuannya agar mempertanyakan tradisi dan kesarjanaan kita.
Lalu apa yang dimaksud dengan Die Sache? Untuk apa membicarakannya? Apa relevansinya dengan budaya keseharian kita, dan bagaimana realisasinya bila ia terkait dengan pembacaan teks klasik? Untuk mediskusikannya pendekatan yang saya gunakan ialah religious-filosofis dengan contoh2 up to date. Fa’tabiru ya ulil albab! Here we go!
Die Sache dalam bahasa Jerman, menurut Google, artinya ‘subject-matter’ (inti masalah, pokok persoalan). Sedangkan ‘Die Sache selbs’ artinya ‘Tema Persoalan Yang Sedang Dibahas’. Die Sache itu, bagi saya, seumpama pusaran air di tengah sungai. Bila anda berdiri di pinggir sungai yang sedang mengalir deras, lalu nampak pusaran air berputar2 melingkar di tengah sungai, itulah kiasan dari die Sache. Dalam kitab2 klasik berbahasa apapun, die Sache ‘berputar2’ dalam jutaan rangkaian teks di tengah untaian kalimat2, paragraph2, bab2 dan keseluruhan isi kitab. Misalnya dalam al-Qur’an ada die Sache Asnaf 8, Riba, Polygami, dll. Bila die Sache dikaitkan dengan sikap keseharian kita dan metode pembacaan teks, akan nampak beberapa persoalan berikut, kadang2 menggelikan.
Pertama, coba bayangkan bilamana anda menerima sebuah kartu undangan Resepsi Pernikahan dan kemudian membacanya. Apa point yang anda baca? Tentu mata dan pikiran anda tertuju pada: Siapa yg nikah? Dimana? Kapan? Siapa yang mengundang? Itu sja. Kalimat2 yang lain dianggap kurang penting dan tidak dibaca. Itulah die Sache dalam kartu undangan tersebut, perhatian kita tertuju pada ‘inti’ dari Kartu Undangan. Sebab bilamana gagal memahaminya bisa jadi nanti ‘ngawur’ dalam perjalanan ke lokasi pesta tersebut. Saya yakin anda dan saya sama2 sepakat dalam contoh sederhana di atas.
Kedua, sebagai PNS anda tentu senang bila menerima SK (Surat Keputusan) tentang kenaikan pangkat yang baru saja tiba dari Jakarta. Maka mata anda akan tertuju pada point2: naik ke golongan berapa? Terhitung sejak kapan? Berapa nominal Rupiahnya setelah kenaikan pangkat? Siapa yang menanda tangani? Benarkan begitu sikap anda? Apalagi yang menerima SK Guru Besar. Ini contoh lain dari die Sache. Adapun konsiderannya dalam SK tersebut: misalnya kalimat mengingat…mengingat, menimbang….menimbang…ah itu kurang penting bagi anda, dilewati saja, tidak dibaca. Ini biasanya sikap pribadi PNS, termasuk saya, yang telah terbiasa dengan SK dosen kecil: bersikap pragmatis, rational, efisien, to the point.
Ketiga, bagaimana dengan kelangkaan gas 3kg elpiji bersubsidi? Beberapa hari yang lampau masyarakat ribut, marah, banyak yang lempar tabung gas, saling bertengkar di antri, ngamuk pada agen, karena sulitnya mendapatkan gas 3elpiji kg. Akhirnya Presiden Prabowo ‘bersuara’ setelah dinasehati oleh Jusuf Kalla di Istana dan kemudian Presiden ‘menjewer’ kuping Menteri ESDM Bahlil Lahadalia karena nampak tak becus mengurusi distribusi gas elpiji 3kg kepada rakyat. Mana die Sachenya? Bila persoalan kelangkaan gas elpiji 3kg tersebut dilihat dari hermeneutic Prof. Amin Abdullah, maka Kelangkaan Gas dpandang sebagai Teks. Sementara Bahlil sebagai Authornya dan Readernya adalah rakyat (Text, Author, dan Reader). Author Bahlil …keliru menulis teks: dikira Bahlil die Sachenya adalah kelakuan para pengecer liar maka mereka harus ditertibkan agar mendaftarkan diri menjadi sub-agen gas 3kg, rupanya Bahlil salah tulis. Singkat kata, Die Sache: pengecer, kuping Bahlil dijewer.
Sayangnya ketiga contoh2 die Sache di atas rupanya tidak berbanding lurus dengan kultur pidato kita pada berbagai acara. Biasanya bila kita berpidato di hadapan tamu undangan resmi akan menyebut urutan pangkat/jabatan structural para tamu elite yang hadir. Contoh Yth Bpk …….Yth Bpk…..Yth Bpk……(atau yang mewakilinya). Penyebutan semacam itu harus terstruktur mulai dari yang jabatan/posisi yang tertinggi hingga yang terendah semampu yang bisa disebutkan. Hal itu terjadi hampir dimana2 bahkan di Hari HUT NU ke 102 semalam di Istora Senayan oleh Rais ‘Am yang lama menyebut Yth…Yth…Yth…dan para tamu asing yang hadir nampak ‘bengong’.What’s the point? tanya mereka (saya duga).
Mana penyebutan die Sachenya? Ya lama disebut sesudah itu, berbelit2 dulu, beruntai dan menyanjung, jauh berbeda dengan sikap anda ketika membaca SK, atau kartu undangan di atas. Begitulah sikap budaya kita. Budaya komunal yang melilit cara berpikir dan cara bertindak (way of thinking). Budaya pidato semacam itu tidak langsung to the point terhadap ‘die Sache’. Ia sudah dianggap sebagai etika yang mengandung kebenaran. Etika semacam itu kita junjung bersama dan bahkan kita wariskan pula kepada generasi muda secara tidak sadar. ‘It takes long time’ hingga mencapai ‘subject-matter’. Ibarat pesawat mau landing, ia lama berputar2 dulu di udara. ‘Foreplay’nya lamaaa ……bisik2 penganten baru.
Tanpa mengurangi rasa hormat pada etika semacam itu, bagaimana bila ia dibandingkan dengan sikap President Donald Trump seusai disumpah di Gedung Putih. Akan nampak jauh sekali beda budaya kita dengan budaya Amerika. Usai disumpah, Trump langsung berjalan ke podium, langsung berpidato tanpa Assalamua’alaikum, tanpa menyebut urutan nama2 pejabat tinggi yang hadir di sekitarnya. Usai disumpah, Trump langsung pula menanda tangani surat2 penting antara lain: usir semua imigran gelap, perketat tapal batas Amerika dengan Mexico. Itulah di atas contoh2 perbedaan budaya yang terkait die Sache. Budaya kita memang beda. Hampir satu bulan kasus Pagar Laut mengudara, pelaku utamanya masih ‘dihormati, tidak disebutkan namanya mungkin takut kualat’. Lambatnya pengukapan nama tokoh di balik kasus Pagar Laut, mirip budaya berpidato kita di atas.
Berpidato dengan ‘muqaddimah’ panjang semacam itu terselip budaya ‘ewuh pakewuh’. ‘Ewuh’ adalah bahasa Sangskerta, artinya repot, sungkan, segan. Pakewuh artinya tak enak perasaan kata Mbah Google. Bila demikian cara kita berbudaya, lantas bagaimana pula budaya kita dalam pembacaan teks klasik (tafsir Qur’an, kitab Hadis, kitab kuning, dsb). Ini yang penting dibicarakan sekarang. Bagi Muhammadiyah, sesuai dengan Fatwa Tarjih no. 27 tahun 2008 kata Dr. Syakir Jamaluddin dalam bukunya Metode Kritik Hadis Mukhtalif Fih (Yogyakarta: UMY Press, 2023), dalam membaca dan memahami Hadis yang dipentingkan Muhammadiyah adalah Sanad. Jadi bukanlah die Sache tetapi kesahihan Sanad (personality of the transmitter). Sanad adalah orang yang meriwayatkan lafaz atau teks Hadis kata Syaikh Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah. Bila Sanad dalam suatu Hadis diketahui kurang terpuji akhlaqnya, maka Hadis yang diriwayatkannya boleh jadi gugur untuk dijadikan hujjah oleh Muhammadiyah. Tetapi perlu kita ingat bahwa saat Mu’az bin Jabal hendak diutus ke Yaman oleh Nabi, Mu’az rasanya tak menyinggung nama Sanad, sebab Kitab Hadis dan al-Qur’an belum ditulis. Kenapa Muhammadiyah kini lebih mementingkan Sanad ya? Kenapa Sanad menjadi barometer kebenaran? Padahal Muhammadiyah katanya mencari purifikasi (pemurnian). Apa yang terjadi antara sejarah dan Muhammadiyah, sehingga die Sache terabaikan? Kenapa Muhammadiyah luput memperhatikan ‘pusaran air’ di tengah sungai?
Bila dilihat dari perspektif Gadamer, sikap ulama Muhammadiyah yang lebih mementingkan Sanad Hadis semacam itu perlu disadari dengan konsep Effective History (Sejarah Pengaruh) bukan Pengaruh Sejarah. Ya cukup disadari saja, kata Gadamer, agar sadar diri bahwa pemahaman kita telah dipengaruhi oleh Sejarah Pengaruh (Wirkungsgeschichte). Cobalah pikir, si Sanad misalnya diyakini memikul beban ‘cacat akhlaq’, lalu Hadis yang diriwayatkannya tidak diterima. Cacat menurut siapa? Ya cacat berdasarkan penilaian ulama2 ahli2 Hadis pada suatu masa tertentu di masa silam. Pandangan yang terbentuk (dalam sejarah) semacam itulah yang telah mempengaruhi cara berpikir kita hari ini. Dan pandangan itu sekarang dianggap sebagai kebenaran. Ibarat membaca SK, ulama Muhammadiyah lebih memprioritaskan bukan die Sache dan bukan pula nama pejabat yang menanda tangani SK, tetapi (maaf)…. mungkin si tukang konsep SK. Ya, orang tukang konsep, sebab susunan kata dalam SK berasal dari dia. Susunan kata dalam matan Hadis berasal dari penuturan si Sanad secara berantai. Singkat kata, kebenaran diyakini berada di dalam teks dan teks ‘cacat’ karena ada nama seseorang (menurut Sejarah). ‘Taqlid’ pada Sejarah rupanya Muhammadiyah.
Demikian pula sikap ulama2 NU dalam membaca Kitab Kuning. Menurut disertasi alm, Prof. Rifyal Ka’bah (mantan Hakim Agung RI) di UI tahun 1998, yang lebih dipentingkan dalam pembacaan teks klasik oleh ulama NU bukan die Sache tetapi nama pengarangnya, judul kitabnya. Misalnya kitab tafsir Jalalain, yang lebih penting adalah nama besar dua Imam Jalal: Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthy. Kebenaran diyakini NU sudah mereka tentukan, kita tinggal mengikuti saja lagi hari ini. Ibarat membaca SK, beda NU dengan Muhammadiyah, NU lebih mempercayai ‘pejabat’ yang menanda tanganinya. Artinya, NU lebih mengutamakan ulama yang mengarang kitab. Berbeda dengan Muhammadiyah, NU meyakini bahwa kebenaran ada pada pengarang teks. Tidak dikenal oleh NU istilah Author is Dead mengutip Roland Barthes. Artinya, kebenaran baru bisa diterima oleh ulama NU bila ia disandarkan kepada nama ulama besar yang ‘menjamin kebenaran’ dalam suatu kitab, bukan kepada die Sache. Ibarat berdiri di pinggir sungai, pandangan NU bukan tertuju pada ‘pusaran airnya’. Seumpama membaca SK, mata NU malah tertuju pada pejabat yang menanda tanganinya. Artinya baik NU maupun Muhammadiyah masih percaya pada Otoritas Salaf (Sulthath al-Salaf) meniru Prof. Amin Abdullah. Bila demikian, anda sendiri kini percaya pada siapa? Ingat saat membaca SK dulu, anda LEBIH focus pada die Sache: kenaikan pangkat, jumlah rupiahnya dan terhitung sejak kapan, bukan kepada konseptor dan bukan pula pada siapa yang menanda tanganinya. Ingat..Ingat!
Dari uraian2 di atas terlihat selisih cara berpikir yang paradoksal. Paradoks artinya, menurut kamus, masing2 punya kebenaran tetapi nampak saling bertabrakan. Tatkala membaca SK dan undangan, mata tertuju pada die Sache (memang ada benarnya). Tetapi ketika menghormati tamu2 yang hadir, malah jabatan structural hadirin yang diprioritaskan. Dan pada pembacaan teks klasik, otoritas (tokoh nama ulama) yang lebih diprioritaskan (memang ada juga benarnya). Tetapi ingat bahwa integritas tokoh sebenarnya ditopang oleh sejarah. Bila seorang tokoh telah meninggal, namanya harum, tetapi sifat pribadinya semasa hidup kadang2 tak seharum namanya, maklumlah manusia. Maka sejarah, menurut para ahli, terbagi dua: sejarah factual dan sejarah yang diceritakan. Mempercayai tokoh, sama dengan mempercayai ‘sejarah yang diceritakan’ karena kita kini tidak bisa memverifikasi kebenarannya.
Contoh, berdasarkan sejarah, Syi’ah melaknati Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, sementara Sunni menghargai nama2 mereka. Anda dan saya sekarang terlahir dalam tradisi Sunni, terdidik di dunia akademik yang bergengsi, tetapi kita terlena dalam tradisi klasik yang diwarisi semacam itu. Memprioritaskan tokoh, sanad, imam mazhab, imam pengarang kitab dalam tradisi pembacaan teks klasik Sunni, rasanya perlu ditinjau ulang oleh kita yang berpendidikan sarjana, sebab inti persoalannya (die Sache) dalam kitab2 klasik bukan terletak pada Sanad, pada matan, atau pada nama Imam maupun pada nama kitab. Ini bila anda mau memikirkan dan meliriknya.
Kesimpulan: dengan senyum saya pelan2 berbisik ke kuping anda bahwa die Sache itu bagaikan…. ‘gadis cantik yang lupa dilirik’. Kita melirik die Sache bila tulisannya menyangkut masalah kemoderenan (kartu undangan, SK, sertipikat tanah, Surat Nikah, Ijazah, dsb), tetapi kita ‘lupa melirik’ die Sache dalam masalah klasik: Kitab Kuning, ayat dan Hadis. Padahal semua yang tertulis itu sama2 mengandung die Sache di dalamnya. Kenapa sikap kita tidak konsisten? Inilah yang dirisaukan oleh Muhammed Arkoun.
Significance of Issue (Hikmah): nampaknya cara kita membaca ayat, Hadis dan Kitab Kuning hari ini sekedar ‘taqlid’ pada metode tradisional yang mungkin keliru, karena disesatkan oleh sejarah yang panjang. Saya yakin ulama2 terdahulu (pengarang kitab dan para Sanad) telah focus pada die Sache, hanya saja kita sekarang yang telah melenceng. Gerbong kereta api kita telah salah rel, lepas dari lokomotif (die Sache): maka eloklah kita kembali pada ‘track’ yang benar, sebelum kecebur pula masuk ‘Pagar Laut’.
Terimakasih telah membaca. Mohon maaf bila ada kata2 yang salah, pamit, wassalam, Amhar Rasyid.