Oleh: Amhar Rasyid
Jambi: 21 Febr 2025
Assalamu’alaikum wr,wb
‘Tak sengaja lewat depan rumahmu
Ku melihat ada tenda biru
Dihiasi indahnya janur kuning
Hati bertanya pernikahan siapa
Tak percaya tapi ini terjadi
Kau bersanding duduk di pelaminan
Air mata jatuh tak tertahankan
Kau khianati cinta suci ini…….
Demikian kutipan sebagian lirik lagu Tenda Biru yang dilantunkan merdu oleh artis cantik Desy Ratnasari terdengar di radio, cassette, tv dan bioskop di tahun 90an. Kenangan indah tersebut bagi sebagian pembaca tulisan saya ini tentu mampu membangkitkan memory mereka, terutama yang duduk di bangku SLA dan kuliah di zaman itu, waktu bujang dan gadis belia remaja. Sekarang artis Desy penyanyi Tenda Biru itu yang pernah juga sebagai Gadis Sampul tahun 1988 telah sukses meraih gelar Doktor…tapi bukan ‘Doktor’ dari Tenda Biru.
Akhir2 ini banyak fenomena artis kondang yang ‘hijrah’ ke dunia kampus dan dunia politik tanah air, selain yang tua juga banyak yang muda. Sebut saja misalnya Dian Sastro, bimbingan Rocky Gerung, Dian pernah mengajar di UI (Universitas Indonesia), Meutia Hafid pernah menjadi tawanan/sandera oleh Mujahidin Iraq pada 18 Februari 2005, Dede Yusuf, Rano Karno yang dulunya dalam Film Si Doel Anak Betawi diimpikan oleh ayahnya (Benyamin) akan jadi gubernur, dan memang kenyataannya demikian sekarang, dan banyak yang lain. Nasib manusia memang Tuhan yang menentukan tetapi usaha manusia penting untuk ‘menjemput’ untuk merobah nasib tersebut. Desy Ratnasari telah ‘berdarah-darah’ menyelesaikan S3nya: menjemput nasib di luar Tenda Biru.
Sumber utama tulisan ini penulis ambil dari You Tube, @Amri Mahri Channel. Penulis merangkum kisah berikut untuk pembaca tulisan2 saya yang setia menunggu setia setiap Jum’at. Tujuan penulis di sini bukan untuk mengungkit cerita lama, yang muda-cantik di zaman Soeharto, mertua Prabowo, tetapi lebih pada kejeniusan Desy dalam mempertahankan disertasinya di hadapan para Guru Besar dalam Ujian Terbuka. Ada segi2 istimewa yang saya lihat pada sosok mantan artis ini: fasih bicara, argumentative, alur berpikir yang rational dan ilmiah. Enak didengar, bermutu dari segi akademik dan perlu dicontoh oleh adik2 kini yang muda-cantik di zaman Prabowo menantu Soeharto.
Desy lahir di Sukabumi tanggal 12 Desember 1973. Pernah bersekolah SMAN 1 di Padang kemudian S1, S2 dan menyelesaikan S3nya di Universitas Katholik Atmajaya, Jakarta dan meraih gelar Doktor Psikologi tanggal 12 September 2024. Sekarang sebagai ibu dari 1 putri, Desy juga menjabat sebagai anggota DPR RI dan Ketua DPW PAN Jawa Barat.
Desy menulis disertasi dengan judul ‘Self-Efficacy, Intensi, Persepsi Kesetaraan Gender, dan Motivasi Sosial Perempuan Politisi Anggota DPR-RI Periode 2019-2024.” Isu yang diangkatnya adalah bagaimana motivasi politik dan kesetaraan gender di kalangan politisi perempuan dipengaruhi oleh faktor2 sosial eksternal. Titik focus penelitiannya tertuju pada peran kebijakan pro-perempuan, serta bagaimana konstruksi sosial dan budaya berdampak atas posisi perempuan dalam kancah politik. Menurut Desy, perempuan harus berkolaborasi dengan pria dalam dunia politik, sebab masyarakat Indonesia masih sangat paternalistic. Dalam kolaborasi, ada dua pilihan Chance and Choice. Menurut Desy: Chance harus diprioritaskan.
Setelah usai ujian terbuka, dihadapan sederatan penguji disertasi, Promotornya langsung menyerahkan Ijazah Doktor Psikologi kepada Desy yang disebutkan sebagai Doktor ke 12, IPK 3.80, 11 semester, dengan nilai Sangat Memuaskan. Usai menyerahkan Ijazah doctor, Prof. Irwanto mengatakan bahwa sekarang Doktor Desy sudah bukan mahasiswi lagi, tetapi sudah menjadi mitra (Peer), katanya. Artinya, mereka sudah sederajat secara akademik. Bukan Rektor yang memberikan ijazah, tetapi Promotornya. Rektor hanya menutup sidang.
Sederetan nama guru besar menjadi penguji disertasi Desy. Ada Prof. Dr. R. Siti Zuhro M.A disebutkan oleh Dekan sebagai Penguji Eksternal dari Muhammadiyah. Kenapa disebutkan Muhammadiyahnya? Apakah karena promovenda menjabat ketua PAN Jawa Barat atau untuk menunjukkan ada kesengajaan untuk mendatangkan Penguji Muslimah? Ada pula Dr. Angela Oktavia Suryani M. Si (Dekan) sebagai Ketua Sidang, ada pula Prof. Irwanto Ph.D, Psikologi (Promotor) dan Co-Promotor I Dr. Nani Nurrahman Sutoyo. Hadir pula Prof. Ivana R. Panggabean Psikolog. Tentu juga dihadiri oleh Rektor Unika Atma Jaya Prof. Dr. dr. Yuda Turana Sp. S (K). Dari 8 orang guru besar yang duduk di ruangan ujian tersebut, 6 penguji adalah cucu Hawa, dan hanya ada 2 cucu Adam.
Yang perlu kita simak berikutnya, bagi saya yang belum mengalami Ujian Terbuka di UIN Yogya, adalah cara Desy menjawab pertanyaan para guru besar. Ada yang pantas ditiru dan diacungkan jempol dari Desy. Pertama, Prof. Siti Zuhro menanyakan mengapa disertasi Desy belum menjelaskan asimetris psikologi politik yang terjadi di DPR mengingat Desy menyinggung buku Montero yang membahas tentang asimetris suara laki2 dan perempuan. Jawabannya oleh Desy kurang bisa saya pahami. Kemudian ditanyakan juga oleh Prof. Zuhro apa harapan Promovenda terhadap kaum perempuan? Dijawab oleh Desy bahwa perempuan harus berkolaborasi dengan laki2 dan harus memprioritaskan Chance dari pada Choice dalam setiap gerak: maka harus didahului dengan kesamaan visi.perjuangan politik perempuan harus strategis, sistematis dan sustainable katanya. Sebab laki2 yang mayoritas di DPR de facto tentu akan cenderung memilih laki2 pula sebagai pimpinan, dan ini harus disiasati untuk memberi peluang bagi pemimpin perempuan kata Desy.
Sementara Promotornya Prof. Irwanto menjelaskan tentang hasratnya dalam membimbing disertasi Desy. Dalam kata sambutannya sebagai promotor, Prof. Irwanto mengatakan bahwa selama kuliah dari S1, S2 Desy muncul timbul-tenggelam, mungkin karena kesibukan dunia artis di masa itu. Alasannya untuk mau membimbing Desy adalah karena beberapakali dia berdialog dengan anggota DPR tentang berbagai masalah bangsa, ujung2nya Undang2nya hanya ½ matang katanya, sebab anggota DPR yang perempuan kurang konservatif. Demikian pula di BAPPENAS, para elites Ph. D tamatan Harvard dan Oxford di sana malah membuat formula dari hasil penelitian mereka tanpa melibatkan partisipasi responden. Oleh sebab itu, lebih jauh, dia mempertanyakan mengapa problem solving korupsi di Indonesia berputar di kepala para elite? Kenapa tidak ditanyakan langsung, misalnya, kepada para mantan koruptor itu sendiri tanyanya. Menurut saya mungkin maksudnya ialah apa2 kira titik lemah system negara kita yang labil terhadap KKN bila dilihat dari sudut pandang koruptor sebagai pemain utama, dari pada dikonstruksikan sendiri oleh para elite. Oleh sebab itulah dia menyetujui untuk membimbing Desy agar penelitiannya lebih mendengarkan suara2 perempuan ‘dari dalam’.
Pendekatan Prof. Irwanto ini menurut saya menyiratkan keberpihakannya kepada epistemologi Heidegger dan Gadamer, bukan kepada Cartesian, bahwa Truth itu seharusnya dibiarkan menyingkapkan diri (aletheia). Maka Thou (Kamu) sebagai objek jangan ditundukkan oleh I (Subjek) agar pengalaman (Erlebnis) bisa dilacak dan ditemukan unsur2 universalnya di balik bahasa, mengingat motto Gadamer yang berbunyi ‘Being that can be understood is language’. Mungkin ini yang perlu kita perhatikan di dunia perguruan tinggi, sebab berbagai penelitian sosial kita hari ini masih berpihak pada epistemology Cartesian.
Selanjutnya Prof. Ivana bertanya bagaimana cara Desy menjelaskan ketidak sinkronan kuntitatif dengan kualitatif yang nampak sangat ‘jomplang’ dalam hasil penelitiannya? Karena berbagai variable Intensi, Persepsi Kesetaraan Gender, dan Motivasi Sosial menunjukkan ketidak sinkronan kuantitatif dan kualitatif tersebut. Jawab Desy, kuntitatif tersebut hanya dalam kepala, dalam wacana, sebab di internal DPR masih nampak relasi kuasa yang timpang. Kualitatif tersebut belum optimal kata Desy. Dari sejumlah pertanyaan di atas nampak arah pertanyaan sangat cenderung a posteriori. Kenapa cara berpikir para guru besar di Universitas Katholik tersebut cenderung ingin meningkatkan peran wanita? Bukankah Papacy itu sudah mentradisi dalam gereja Katholik? Apakah mereka memang menginginkan agar peran wanita (implisit di dalamnya mayoritas politikus Muslimat di DPR dan di partai2 politik) di tanah air ini di’genjot’ dengan menggali faktor2 ilmiah psikologis perempuan di mana Desy dijadikan sebagai ‘anak tombak’ terjun ke ‘field research’? Saya hanya dapat bertanya dalam hati dari Jambi.
Dari Ujian Terbuka tersebut beberapa hal bisa dipetik. Pertama, terlihat ketegaran seorang wanita dalam sosok Desy Ratnasari untuk menyelesaikan jenjang S3. Ini tentu tidak mudah. Di samping sebagai seorang ibu walaupun menjanda, sebagai artis di masa kuliah dulu, sebagai politikus di masa tua dan sebagai mahasiswa S3 jelas akan susah membagi waktu. Bukan waktu saja, tetapi juga pikiran dan emosi, perlu dukungan moril meskipun mungkin no problem dengan finansial. Kedua, mengapa Promotor yang menyerahkan ijazah, kenapa tidak Rektor? Apakah Promotor yang menyerahkan ijazah doctor sambil duduk di belakang meja tinggi melambangkan simbol ‘Bapa’ yang membaptis dalam tradisi Katholik? Ketiga, terbayang juga tradisi akademik Unika Atma Jaya yang ketat, procedural, berkualitas, ini semua dapat dipahami dari pidato sambutan Prof. Irwanto sebagai Promotor yang mengatakan bahwa semua mahasiswa diperlakukan sama tanpa ada keistimewaan katanya. Keempat, antara Prof. Zuhro sebagai Penguji dan Desy sebagai Promovenda tidak terdengar bertanya psikologi terkait masalah keislaman, meskipun keduanya sama2 Muslimat, apalagi yang diteliti oleh Desy mayoritas psikologi responden Muslimat dalam konteks politik Indonesia. Khusus bagi saya, lewat disertasi Desy, nampak Unika Atma Jaya telah berpartisipasi positif dalam pembangunan politik Indonesia dengan keberpihakan pada perempuan, kesetaraan gender utamanya di level legislatif dan partai politik. Sekali lagi, yang pantas diacungkan jempol ialah Unika Atma Jaya telah ikut membina semangat pluralisme di tanah air bersamaan dengan Muhammadiyah yang juga tengah gencar membangun pluralisme dan mendidik siswa2 Kristen di belahan Indonesia Timur. Artinya, bagi putra-putri Indonesia masuk ke dalam kelas bukan lagi serasa masuk ke rumah ibadah. Bertanya pengetahuan kepada guru yang tidak seagama berbeda dengan bertanya soal agama kepada pemuka agama yang bukan satu guru. Pluralisme perlu dipupuk, fanatisisme perlu dikikis!
Demikianlah pembaca setia. Terimakasih telah membaca dan mohon maaf bila ada kata2 yang kurang bijak, sebab saya bukan politisi. Tenda Biru Desy sekarang telah menjadi ‘tenda’ biru PAN. Dia beralih profesi dari bersolek wajah kepada bersilat lidah, peralihan dari Tenda Biru romantis psikologis ke ‘Tenda Biru’ politis ideologis. Di saat Tenda Biru romantis, mungkin kita banyak yang terhibur oleh Desy yang artis, tetapi di saat Tenda Biru politis, mungkin kita tidak terhibur tetapi ingin bertanya: Doktor Desy masih menjanda? Memang pemimpin negeri ini sekarang banyak fenomena janda dan duda. Kira2 faktor psikologis apa yang terjadi, hai DR. Desy?
……………………………………………
……………………………………………
……………………………………………
…………………………………………….
Tak percaya tapi ini terjadi
Kau ujian doctor bukan lagi di pelaminan
Kini air mata gembira tak tertahankan
Berkahi cinta suci ini…….
Liriknya habis….Pamit, Wassalam, Amhar Rasyid, Jambi.